Hanya Kamu Hidupku - Bab 74 Ellen Tersenyum Seperti Tidak Ada Yang Terjadi

Suara pria yang serak terdengar sangat kesal.

Samir merasa seperti disalahkan, “Bos, aku panggil kamu Pak Bos boleh tidak, aku membalas telponmu begitu telat juga karena menjalankan tuga sdari anda?”

“Jangan banyak omong kosong.” William berkata suaranya yang serak.

Samir tahu William naik pesawat selama belasan jam, begitu tiba di Prancis langsung menemui klien, sampai sekarang masih belum istirahat.

Jadi tidak bisa memutar-mutar bicaranya dengannya, “Semua orang bilang indra keenam wanita sangat tepat, aku merasa terkadang feeling pria juga sangat hebat.”

“Ada apa dengan Ellen?” nada bicara William tadi memang sudah begitu berat, sekarang menjadi dingin sampai bisa membekukan orang.

Samir menggigil, berkata, “aku tidak bertemu dengan Ellen…”

“Apa yang kamu katakan?”

“…. Aduh, kamu jangan emosi dulu, aku sekarang sudah ketakutan sampai hampir kena serangan jantung nih. Bisakan dengarkan aku sampai selesai dulu?” Samir mengelus dadanya sambil berkata dengan begitu pahit.

“Katakan!”

Samir mengangkat bibirnya dan berkata, “Meskipun aku tidak tahu bagaimana kondisi Ellen yang sebenarnya, namun aku merasa situasi di rumah utama hari ini begitu aneh. Aku ingin bertemu Ellen, Bibi terus menghalangiku, terlihat seperti tidak ingin Ellen dilihat olehku. Dan Ellen juga sangat aneh, begitu menerima telfonmu aku langsung datang, namun Ellen terus berada dikamar tidak mau keluar, aku pikir jam makan siang pasti akan keluar kan, namun anak itu bahkan makan siang pun tidak makan, ia bilang ia mengantuk sekali. Dan yan paling penting aku melihat 李恩.”

Setelah disana terdiam sesaat, ia membentak, “Katakan dengan jelas!”

“………” Samir speechless, “Kakek, paman dan bibi, juga adikmu yang manja itu, semuanya terlihat begitu sehat, sama sekali tidak terlihat seperti sedang sakit atau terluka. Menurutmu, mungkinkah 李恩 tidak ada angina tidak ada hujan datang kerumah utama? Ada lagi, emosi kakekmu juga sangat aneh hari ini, wajahnya begitu menyeramkan, terlihat seperti ingin sekali memakan orang.”

Setelah Samir mengatakannya, tidak terdengar suara apapun dari pihak William cukup lama.

Samir mengangkat ponsel dan melihat kearah layar dengan bingung, melihat telfon masih tersambung, kembali meletakkan ponsel di telinga.

Siapa yang menyangka, dia baru saja meletakkan ponsel di telinga, sudah terdengar suara telfon dputus.

Samir, “…….” Semoga trauma dalam hatinya tidak melebar, terima kasih!

……

Kamar Ellen.

Mendengar suara dari pintu, Ellen mengira itu adalah Samir, dia ketakutan sambil menarik selimut dengan cepat untuk menutupi wajahnya, hanya memperlihatkan dua matanya yang bulat dan melihat kearah pintu dengan ketakutan.

“Ellen, ini kakek buyut.” Hansen melihat Ellen ketakutan, segera berkata dengan suara lembut untuk menenangkannya.

Begitu Ellen melihatnya, menghembuskan nafas perlahan, lalu menurunkan selimutnya.

Hansen menutup pintu, berjalan kearahnya, duduk disisi ranjangnya, menundukkan kepala menatapnya dengan penuh iba, “Ellen, maaf sudah menyusahkanmu.”

Ellen menggeleng perlahan.

Hansen menghela nafas, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan kecilnya yang memegang selimut dengan erat, berkata, “Pasti sudah lapar bukan?”

Ellen mengangguk.

Hansen mengelus kepalanya dengan penuh kasih, “Kakek buyut sekarang juga menyuruh orang untuk menyiapkan makanan yang kamu suka.”

“Tidak perlu begitu repot, aku bisa makan seadanya saja.”

Ellen duduk diatas ranjang, menatap Hansen sambil berkata perlahan.

Begitu Ellen duduk, luka diwajahnya langsung terpampang jelas dihadapan Hansen.

Hati Hansen langsung terasa begitu sakit juga berat, menggenggam erat tangan Ellen, “Ellen, kenapa kamu tidak mempermasalahkannya? Hm? Anak bodoh.”

Kalau dia mempermasalahkan, menangis, mungkin Hansen tidak akan merasa begitu sedih dan iba padanya.

Tenggorokan Ellen seketika terasa seperti tercekat, diam-diam menarik nafas dengan berat, lalu berkata pada Hansen sambil menyunggingkan senyum dibibirnya, “Kakek buyut, untuk apa aku mempermasalahkannya? Toh ini bukan hal yang besar, bukankah diwajahku hanya bertambah sebuah bekas luka saja? Toh aku kelak tidak mencari uang dengan wajah ini? Kenapa aku harus perduli.

“Kamu jangan menenangkan kakek buyut lagi, kalau merasa sedih katakanlah pada kakek buyut. Dihadapanku tidak perlu berpura-pura tegar. Ellen, anak gadis sedikit egois tidak apa.” Suara Hansen menajdi serak, ia sungguh merasa sangat sedih.”

Anak ini tegar juga sangat pengertian….

Ellen tersenyum, “Kakek buyut, aku sungguh tidak apa, tidak perlu seperti ini. Lagi pula aku sungguh sudah lapar. Oh iya, Paman Samir sudah pergi?”

Hansen mengangguk, “Sudah pergi.”

“Kalau begitu aku bisa turun untuk makan.” Ellen tersenyum pada Hansen seolah tidak ada yang terjadi.

“……….” Hansen tidak mengatakan apapun, menggandeng Ellen turun dari ranjang, mengingatkannya untuk mengenakan sandal, lalu mereka berdua keluar dari kamar.

Dilantai bawah, Gerald dan Vania duduk di sofa.

Gerald sedang membaca majalah keuangan, dan Vania bersandar di sofa sambil menonton acara kecantikan.

Mendengar ada suara dari lantai atas, keduanya langsung mengangkat kepala dan melihat kearah asal suara.

Melihat Hansen yang turun dari atas sambil menggandeng Ellen, wajah Vania langsung berubah, melihat tangan Ellen yang digandeng oleh Hansen dengan penuh kebencian.

Apaan?

wajahnya hanya tergores sedikit saja, apakah perlu sampai dipapah seperti itu?

Dasar jalang manja!

Gerald hanya melirik tanpa ekspresi.

Ellen tidak menoleh kearah Vania dan Gerald, mengirit emosi.

Hansen menyipitkan mata, bibirnya mengetat, hanya melirik sedikit kearah Gerald dan Vania.

Keduanya turun dan berjalan menuju ruang makan.

Melihat Hansen dan Ellen yang masuk ke ruang makan, Vania langsung mematika TV, lalu membantik remote TV diatas meja dengan keras.

Gerald sama sekali tidak merespon apa yang dilakukan oleh Vania, sudah terbiasa.

Ia tetap membaca majalahnya dengan tenang, tatapannya penuh dengan kasih sayang dan kelembutan, bertanya pada Vania dengan begitu sabar, “Kenapa lagi?”

Meskipun ditambahkan kata ‘lagi’, namun tidak terdengan nada tidak sabar, terlihat begitu memaklumi.

Vania memutar tubuhnya dengan kesal, menghadap kearah Gerald dan berkata dengan kesal, “Pa, aku sudah memutuskan untuk pindah dari rumah ini!”

Gerald mengerutkan alis, “Hanya karena Ellen tinggal disini?”

“Masih kurang? Ellen memang ditakdirkan untuk bertentangan denganku, asalkan dia muncul maka tidak aka nada hal baik yang muncul. Sejak dia masuk Keluarga Dilsen, aku merasa tidak ada satu hari pun yang dilalui dengan lancar. Pa, aku merasa kalau aku tetap tinggal disini, tinggal dibawah atap yang sama dengannya, aku pasti akan menjadi gila!” Vania berkata dengan begitu menggebu-gebu.

Gerald melihat wajah Vania yang begitu mengkerut malah hanya tersenyum, “Begitu mudahnya menjadi gila? Pindah rumah tidak perlu, toh Ellen hanya tinggal beberapa hari. Setelah kakak ketigamu pulang dari dinas, dia akan pindah keluar juga.”

“Beberapa hari? Satu hari pun aku tidak tahan!” Vania berkata dengan rahang yang diketatkan.

Gerald berpikir sejenak, “Begini saja, ayah ajak kamu untuk jalan-jalan, setelah Ellen pergi, kita baru kembali.”

Vania agak tercengang, lalu mengkerutkan alisnya, “Pergi kemana?”

Gerald tersenyum tipis, berkata dengan penuh kasih sayang, “Kemana pun kamu mau.”

“… benarkah?” mata Vania langsung bersinar.

“Hm.”

“Kalau begitu kita ke Prancis saja, cari kakak ketiga.” Vania berkata dengan penuh semangat.

“Boleh.”

“Aaa, papa, kamu sungguh baik sekali, aku sungguh cinta mati padamu.”

Vania memeluk Gerald dan menciumi wajahnya.

Gerlad mengulurkan tangan untuk merangkulnya, wajahnya penuh dengan senyuman.

……

Di ruang makan.

Hansen mendengar suara Gerald dan Vania yang terdengar dari ruang tamu, wajahnya terlihat begitu kesal, berkata dengan begitu penuh amarah, “Masih berani pergi mencari William, sepertinya punya kulit gatal rasanya!”

Ellen seolah sama sekali tidak mendengar apapun, lanjut memakan makanannya.

Hansen melihat ini langsung mengkerutkan alis, tidak mengatakan apapun, hanya menemani Ellen makan.

……

“Apa? Pergi ke Prancis?”

Ketika Louis mendengar apa yang dikatakan Vania dengan begitu girang, ia terkejut sampai membelalakkan mata.

Vania merangkul lengan Louis dengan manja, “Ma, papa sudah menyuruh orang untuk memesan tiket pesawat ke Prancis, malam langsung berangkat.”

Louis menatap Vania, “Kenapa tiba-tiba ingin ke Prancis?”

“aku tidak ingin bersama dengan Ellen, kalau ada dia maka tidak ada aku, ada aku maka tidak boleh ada dia. Kalau dia mau tinggal disini, maka aku hanya bisa pergi.” Vania berkata dengan ketus.

“Bukankah kamu seperti ini sama saja dengan mencari masalah? Apakah kamu tidak tahu kalau kakak ketigamu juga ada di Paris!” Louis berkata dengan nada tidak setuju.

“Justru karena ada kakak ketiga makanya ma ke Prancis!” Vania berkata.

“……… “ Louis menatapnya dengan perasaan ajaib, “Bukankah kamu takut kakak ketigamu mengetahui kalau Ellen……”

“Apa yang kutakutkan, bukankah kakak ketiga masih belum tahu? Lagipula ada mama dan papa yang menemaniku, meskipun kakak ketiga marah juga tidak mungkin menelanku dihadapan kalian bukan?” Vania berkata dengan santai.

Louis berkata dengan tegas, “Kamu pikir kakak ketigamu itu gampang ikut dipancing emosinya? Kalau sampai dia tahu kamu membuat wajah Ellen menjadi cacat, kita lihat saja apakah dia berani memukulmu dihadapan kami?”

“………” punggung Vania tiba-tiba merasa kebas, ada ketakutan yang menghampiri pandangannya, suaranya juga menjadi kecil, “Tidak mungkin kan, kakak ketiga kelihatan galak dan dingin, namun dia tidak akan memukul wanita bukan?”

“Apakah kamu wanita? Kamu adalah adiknya. Kalau adik membuat salah, kakak turun tangan untuk memberi pelajaran, apanya yang tidak boleh?” Louis berkata.

“…. Tapi masalah ini tidak bisa sepenuhnya menyalahkanku.”

Louis mendengarnya mengatakan ini, seketika tidak ingin mengatakan apapun!

Vania keras kepala, kalau dia bilang dia mau ke Prancis, maka dia pasti akan pergi.

Awalnya Louis ingin pergi, namun ia juga khawatir William tahu masalah Ellen yang terluka, dan akan memukul Vania dengan emosi, sehingga ia memutuskan untuk ikut pergi.

Jam 6 sore, rumah yang begitu besar, selain pelayan, hanya tersisa Ellen dan Hansen.

Malamnya, Jine kembali datang ke rumah utama untuk mengganti obat Ellen.

Sebelum pergi, ia menenangkan Ellen, menyuruhnya tenang, kemungkinan luka diwajahnya membekas masih sangat kecil.

Dia juga mengatakan pengobatan jaman sekarang sudah begitu maju, meskipun meninggalkan bekas, pasti bisa dihilangkan.

Meskipun ini masuk akal.

Namun menjadi tokoh protagonist jauh lebih baik daripada orang yang tidak perduli bukan?

Dan lagi.

Ellen tidak pernah memikirkan operasi plastik!”

tentu saja, Ellen juga sama sekali tidak menentang operasi plastik.

Kalau luka diwajahnya meninggalkan bekas dan dia harus melakukan operasi plastik, rasanya dia akan pergi…. Hehehehe!

baiklah.

Dia hanya seorang gadis kecil, dan dia mengakuinya!

……

Malamnya, Hansen jam 9 lewat baru meninggalkan kamar Ellen.

Ellen menuruti saran Jine, setelah meminum obat, berbaring diranjang merasakan rasa kantuk.

Entah karena obatnya mengandung obat tidur atau dirinya yang terlalu lelah, tidak lama kemudian, Ellen perlahan tertidur.

Namun, belum sampai tertidur pulas, tiba-tiba terdengar suara dari arah jendela.

Ellen seketika membuka matanya dengan wajah tegang.

Novel Terkait

Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
3 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Everything i know about love

Everything i know about love

Shinta Charity
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu