Hanya Kamu Hidupku - Bab 76 Tangannya Kenapa Begitu Panas

Mungkin hanya tersisa dia seorang.

Ketika William kembali sudah larut maalm, sekarang setelah membuat keributan satu rumah, ketika ia sudah sedikit berhenti, waktu sudah menunjukkan pukul 3 subuh.

Umur Hansen sudah tua, tidak kuat bertahan sampai selama ini, begitu melihatnya agak berhenti, ia langsung kembali ke kamarnya dan beristirahat.

Kedua tangan Ellen saling berpegangan, tubuhnya yang kecil menempel di dinding, matanya memerah, melihatnya membelakangi dirinya, kedua tangannya diletakkan dipegangan tangga tanpa bersuara.

Diwaktu seperti ini, sekeliling begitu hening dan tenang.

Namaf Ellen begitu pelan, namun sama sekali tidak terdengar suara nafas William.

Entah karena terlalu banyak menangis atau bukan, airmatanya membasahi kain kassa diwajahnya, cairan yang basah dan asin masuk kedalam kain kassa dan membasahi lukanya, membuatnya merasakan perih diluka.

“Istirahatlah.” William membalikkan badannya, matanya yang dalam bagaikan binatang buas yang sedang berburu dimalam yang gelap.

Ellen terisak, “Kamu juga istirahatlah lebih awal.”

William tidak bicara, ia melirik mata Ellen yang memerah sejenak, lalu melangkah mendekat.

Tangan Ellen langsung menegang, bibirnya sedikit bergetar menatapnya.

William berjalan kehadapannya, tangan besarnya mengangkat wajah kecilnya, tatapannya mendarat di kain kassa Ellen dna melihatnya dengan teliti.

Ellen bisa melihat dengan jelas bayangan dirinya yang terpantul jelas dalam matanya, bibirnya bergerak dan berkata dengan lirih, “Paman Ketiga, maaf.”

Bola mata William bergetar, menatap Ellen dengan begitu dalam.

Airmata Ellen terasa hangat membasahi matanya sambil menatap William, melihat wajahnya yang menahan airmata sungguh kasihan, “Tidak seharusnya aku menelfonmu tadi pagi, tidak seharusnya membuatmu khawatir, kamu sedang bekerja……..”

“Jangan bicara.” William memotong ucapan Ellen, alisnya mengkerut semakin dalam, jarinya yang hangat menghapus airmata disudut mata Ellen dengan lembut, dan mengelus wajahnya dengan begitu lembut.

Ellen tidak sanggup menahannya, mengulurkan tangan dan memeluk pinggangnya, bagian wajahnya yang tidak terluka ditempelkan didadanya, berkata dengan suara serak, “Paman Ketiga lelah tidak?”

Pasti lelah yakan!

William merangkul Ellen, dagunya yang keras mengelus lembut rambut Ellen.

Ellen membuka mata melihat tenggorokkannya yang bergerak, mendengarnya mengatakan, “Sakit hati.”

Sudut mata Ellen langsung basah, kedua bibirnya mengetat begitu erat, nmaun tenggorokannya malah terasa seperti tercekat.

Tiba-tiba William mempererat pelukannya, “Semua salah Paman Ketiga karena tidak menjaga Ellen dengan baik.”

“…..” airmata Ellen langsung mengalir deras, “Apa hubungannya denganmu, kenapa kamu yang harus menanggungnya?”

“Paman Ketiga pernah berkata untuk melindungi Ellen. Namun Paman Ketiga gagal melakukannya.” William berkata.

Ellen menoleh, keningnya dia sandarkan didadanya, tidak mengatakan apapun.

……

Dikamar, Ellen digendong William sampai ke ranjang, menyelimutinya dengan sangat perlahan, mengelus kepalanya bagaikan sedang menenangkan anak kecil, “Tidurlah. Besok Paman Ketiga akan membawamu pulang.”

Pulang?

Ellen mengangguk sambil mengetatkan bibirnya yang merah karena menangis.

William menundukkan wajahnya, mengecup bibirnya, “Paman Ketiga akan menemanimu, tidurlah.”

Sentuhan lembut yang tersalurkan dari bibir, membuat bulu mata Ellen yang masih basah bergetar, lalu memejam perlahan.

Memang benar lelah.

Tidak lama setelah memejamkan mata, Ellen langsung tertidur.

William duduk disisi ranjang, malah tidak bisa memejamkan mata semalaman karena melihat kain kassa diwajah Ellen.

Dan keesokkan harinya ketika Ellen bangun dan melihat William masih duduk diposisi yang sama dengan semalam, kesadarannya yang masih belum jelas seketika langsung menjadi jelas.

Ia membuka mata dan melihat William dengan sangat terkejut, “Paman Ketiga……”

Ellen baru membuka mulut, depannya langsung menjadi gelap, bibirnya yang sedikit terbuka langsung ditutup oleh bibir tipis yang sama lembutnya.

Ellen menarik nafas, bulu matanya membeku disana, menatap wajah tampan yang hanya berjarak beberapa millimeter dari wajahnya.

Awalnya William hanya ingin mengecup ringan bibirnya, namun ketika melihat Ellen tidak memberontak, kecupannya menjadi semakin dalam.

Nafasnya masuk kedalam rongga hidung juga rongga mulutnya, nafas Ellen menjadi begitu pendek, detak jantungnya juga menjadi begitu cepat.

Entah saraf mana yang salah, ia malah menundukkan tatapannya perlahan, menutup matanya.

Bahkan.

Tanpa sadar dia malah sampai membalas ciumannya.

Bulu mata William yang panjang bergetar, bulu kuduknya langsung berdiri.

Melihat mata Ellen yang terpejam, rasa senang langsung membungkus seluruh hatinya.

Membuat William menerkamnya, mengangkat dagu Ellen dan menciuminya dengan semakin dalam.

“Aaaa……..”

Namun tiba-tiba.

Alis Ellen mengkerut, berseru dengan kesakitan.

Gerakan William langsung terhenti, bibir tipisnya yang hangat sedikit menjauh, matanya yang gelap menatap Ellen dengan tatapan terheran.

Wajah Ellen sangat merah, matanya yang menunduk sayu, namun terlihat kilau airmata di matanya, bibirnya yang sedikit membengkak bergerak perlahan, suaranya begitu pelan, “Wajahku sakit.”

Dia begitu bersemangat, sampai melupakan luka diwajah Ellen.

Ellen mengkerutkan bibirnya dengan sedih, matanya melihat kearah William dengan wajah kesal dan tidak senang.

William, “…”

Bibir tipisnya sedikit mengetat, matanya melihat kearah wajah kanan Ellen, dalam hati menghela nafas, lalu mengecup sudut bibir kirinya, segera menjauh dari tubuhnya dan bangkit berdiri, lalu berjalan kearah kamar mandi.

Ellen tercengang, menatap punggung William yang lebar dan tegap dengan wajah bodoh.

Ketika William keluar dari kamar mandi sudah 20 menit kemudian.

Ellen baru selesai mengganti seragamnya dan keluar dari ruang ganti.

Begitu melihat William, wajah Ellen menjadi agak memerah, matanya menunduk dan berjalan dengan cepat menuju kamar mandi.

Namun siapa yang menyangka ketika melewatinya, tangan yang terkulai disamping tiba-tiba menggenggam tangannya.

Hati Ellen bagaikan terangkat, menatapnya dengan bingung.

Tangannya kenapa bisa begitu dingin?

William hanya menggenggamnya sesaat lalu melepaskannya, ia menundukkan wajahnya menatap kedalam mata Ellen, ada getaran dalam tatapan matanya.

Wajah Ellen terasa sedikit bergetar melihatnya, segera mengalihkan pandangan, lalu berjalan ke kamar mandi dengan cepat.

William melihat bayangan tubuh Eiilen yang kecil, alis panjangnya sedikit mengkerut, menundukkan kepala melihat kearah bagian yang berada dibawah tali pinggangnya, bibir tipisnya hanya mengetat.

……

Meskipun semalam tidur sangat larut, namun Hansen tetap bangun sangat pagi, pergi ke taman untuk melakukan olahraga sesaat, tangannya memegang sebuah sapu tangan mengelap keringatnya sambil berjalan kearah pavilion, lalu melihat William membawa koper milik Ellen berjalan turun dari lantai atas.

Bola mata Hansen membelalak begitu besar, melirik Ellen yang berjalan dibelakang William, bertanya, “Mau apa?”

“…….. kakek buyut.” Ellen memanggilnya dengan suara yang begitu lembut dan sopan, namun ia tidak mengatakan tentang dirinya yang akan pergi, setelah berpikir, toh aka nada yang mengatakannya.

Hansen mengkerutkan alis, mengangguk dengan wajah yang tidak terlalu senang, lalu mendengus kearah William sambil bertanya dengan sengaja, “Untuk apa kamu membawa koper itu?”

William berjalan turun dari lantai atas, “Pulang.”

“Pulang? Pulang kemana?” Hansen agak kesal!

Sedang apa ini!

Baru pulang sudah mau membawa orang pulang? Apakah dia sudah menyetujuinya?!

Alis William mengkerut, melihat kearah Hansel yang terlihat kesal, “Kelak Ellen tidak akan datang kesini seorang diri. Kalau kakek kangen padanya, aku akan menyuruh orang untuk menjemputmu ke pavilion Coral.”

“… apa maksudnya kelak Ellen tidak akan datang kesini seorang diri? Jelaskan padaku!” Hansen sangat kesal.

Mata William yang dingin menyipit dan berkata, “Aku tidak merasa kakek sanggup menjaga Ellen dengan baik.”

Pipi Ellen langsung tertarik, melirik kearahnya.

Bicaranya tidak perlu begitu jujur dan polos boleh!?

Hansen dibuat diam oleh ucapan William ini, ia hanya bisa memelototi William dengan wajah kesal tanpa bisa mengatakan apapun.

Ellen tidak tega melihatnya, berjalan dengan cepat ke sisi Hansen, mengulurkan tangan dan merangkul lengannya, “Kakek buyut, Paman Ketiga bukan bermaksud begitu…..”

“APa maksudnya aku tahu sangat jelas!” Hansen berkata dengan kecewa, “Ellen, kali ini memang salah Kakek buyut yang tidak menjagamu dengan baik, paman Ketigamu berkata demikian, kakek buyut juga tidak bisa bicara apa-apa.”

Heee………..

Apakah ini sedang mengambek?

Ellen tersenyum, “Kakek buyut, aku sekarang sudah dewasa, sudah waktunya aku yang melindungimu, mana mungkin terus membiarkanmu melindungiku.”

Ekspresi wajah Hansen begitu tegang, hanya membuang muka tanpa bicara.

Dan wajahnya terlihat seperti sedang mengambek!

Ellen merasa pusing menghadapinya, menoleh kearah William sambil mengkerutkan alis.

William melirik Ellen.

Ellen segera membalas dengan tatapan memohon.

Membuat alis William langsung mengkerut, namun ia tidak tega menganggap tatapan Ellen tidak ada, bibir tipisnya mengetat, berkata pada Hansen, “Aku tidak berniat menyalahkanmu.”

Hanya merasa dirinya orang yang pantas untuk dipercaya dan diandalakan saja ok?!

Hati Hansen langsung terasa begitu senang, diam-diam tersenyum dalam hati.

Melihat ekspresi wajah Hansen yang tidak membaik, Ellen berpikir sejenak, matanya langsung bersinar, berkata pada Hansen, “Kakek buyut, bagaimana kalau kakek buyut pindah dan tinggal bersama kami di Pavilion Coral?”

“……….”

“Tidak bisa!”

Hansen belum sempat bicara, sudah mendengar suara William yang begitu tegas.

Ellen, “………”

Tiba-tiba Hansen merasa disingkirkan! Ekspresi wajahnya semakin buruk!

“… paman Ketiga.”

Ellen melihat wajah Hansen yang semakin memburuk, hatinya sungguh panic, melepaskan tangan Hansen, segera melangkah mendekat kearah William, lalu melirik Hansen, berkata dengan lirih pada William, “Kenapa kakek buyut tidak boleh tinggal bersama kita?”

Wajah William langsung menjadi tegas, hanya memandang Ellen dengan wajah dingin.

Ellen kebingungan, tidak mengerti apa yang ia pikirkan.

Bukankah hubungannya dengan Hansen baik-baik saja?

Dan diantara para cucu, Hansen paling sayang pada William.

Seharusnya, tinggal bersama dengan Hansen, dia tidak punya alasan untuk menolak!

“Huh!”

Hansen mendengus keras, lalu berjalan dengan wajah yang kesal.

Awalnya Ellen hanya akan mengambek sedikit pada mereka.

Namun siapa yang menyangka kakek buyutnya benar-benar marah dan menabrak William begitu saja ketika lewat disampingnya, lalu berlalu begitu saja dan naik ke lantai atas.

Ellen, “…….” Bibirnya mengangkat kaku menatap William.

Sudut mata William sedikit mengangkat.

Keduanya berdiri di ruang tamu sesaat.

William menunduk melihat Ellen, mendengus, “Kalau ingin tertawa, tertawa saja, jangan menahannya sampai merusak kesehatanmu!”

“……” Ellen menahannya, setelah tidak tahan akhirnya tertawa juga, “Kakek buyut sungguh sangat menggemaskan, tidak ada bedanya dengan bocah tua.”

Alis kanan William mengangkat, satu tangannya mengangkat koper Ellen, satu tangan lainnya menggandeng tangan Ellen, lalu berjalan kearah pintu utama.

Ketika Ellen mengira dia tidak akan berkomentar, tiba-tiba dia mengatakan satu kata, “Childish!”

kakek tua yang berdiri dibalik pintu mendengar diam-diam di lantai atas, “…..”

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu