Hanya Kamu Hidupku - Bab 294 Kelak Aku Akan Lebih Baik Lagi Padamu

Dan, Ellen yang terus “membiarkannya” pada saat ini tiba-tiba membuka mata, langsung duduk dari pelukannya, dengan impulsif memegang kedua belah jubah mandinya dan langsung menariknya.

Respon William sangat cepat, ditambah tangan yang panjang, langsung mengait dan memeluk Ellen yang sudah terduduk, begitu kaki panjang yang kuat disandarkan, dengan mudah menyandarkan Ellen di bawah tubuhnya, dan tepat menutup kedua belah bibirnya lalu menciumnya penuh gairah.

Nafas Ellen terengah-engah, sepuluh jari yang putih mulus menggenggam jubah mandinya, membiarkannya mencium sesuka hatinya, sepasang mata besar yang jernih dan cerah tetap menatapnya, tampang kecil yang sangat keras kepala.

William memejamkan mata, tak berdaya, hanya bisa berhenti, mata menatapnya dalam-dalam.

Mulut Ellen ternganga, sambil mengambil nafas, sambil menarik jubah mandinya.

William mengerutkan alis panjangnya, tidak mencoba menutupinya lagi.

Lampu dalam kamar tidur tidak menyala, ujung jari Ellen agak gemetar menyentuh bahu kirinya, merasakan bekas luka yang ada di kulit hangatnya, sudut mata semakin memanas.

Sekuat tenaga mengatupkan bibirnya, Ellen melototinya dengan kesal, “Berasal darimana?”

Satu tangan William diletakkan di atas kepalanya, pelan-pelan membelainya, nada bicara terdapat rasa tidak peduli, “Pria mana yang tidak ada luka di tubuhnya? Bukankah sudah terlalu membesar-besarkannya?”

“Kamu terlalu banyak bicara, aku hanya bertanya padamu darimana luka ini berasal?” Suara Ellen rendah dan serak.

Pandangan mata William yang tertahan, menatap Ellen yang ada di bawah tubuhnya, “Jika aku bilang terbentur karena tidak sengaja, apakah kamu percaya?”

“Bohong!”

Ellen meraih bahunya dan didorong ke belakang.

William menekannya hingga tidak bisa bergerak.

“Aku mau bangun!” Ellen menatapnya.

William mengatupkan bibir tipisnya, bangun dari tubuhnya dan duduk.

Ellen merangkak bangun, berbalik dan menyalakan lampu di samping tempat tidur.

Lampu di samping tempat tidur agak redup, tapi malah membuat William menyipitkan mata sejenak.

Ellen menoleh, dan mendekat untuk melihat luka yang ada di bahu kirinya.

Ada dua bagian, bentuk lukanya cekung dan bulat, sudah membentuk keropeng, sehingga di sekeliling masih berwarna merah muda, tapi belum sembuh sepenuhnya.

Dalam rongga mata Ellen muncul rasa hangat, menekan isak tangis yang sudah naik ke tenggorokan, mengulurkan tangan pelan-pelan menyentuhnya, “Apakah aku seperti orang bodoh? Kemana pun kamu bisa terbentur hingga muncul bentuk luka seperti ini?”

Seiring sentuhannya yang hati-hati, sedikit rasa gatal mulai menyebar di sekitar luka.

William merasa agak tertekan, mengulurkan tangan meraih tangan Ellen, diletakkan di samping bibir dan menciumnya.

Lengan panjang satunya lagi melingkari tubuhnya dan membawanya dalam dekapan, “Sudah sembuh, jangan dipermasalahkan lagi, eng?”

Ellen menempelkan wajah di bawah bahu kirinya, menundukkan mata yang merah melihat lukanya, “Kamu mendadak melakukan perjalanan bisnis dan pergi selama lebih dari dua puluh hari, tiga hari sebelum kembali, sudah mendengar kabar kematian Boromir dari kota Rong. Jika sekarang memikirkannya lagi, mana mungkin bisa kebetulan seperti itu?”

William memeluknya erat-erat.

“Nenek mengatakan padaku, akhirnya keluarga Nie kami bisa terlepas dari kendali Boromir, dendam keluarga Nie sudah terbalaskan, mulai saat ini sampai seterusnya keluarga Nie akan damai. Aku merasa senang sekali.” Ellen agak terisak.

William mencium telinganya.

Ellen mengulurkan tangan merangkul pinggangnya, “Meskipun nenek tidak menghalangi kita bersama, waktu itu juga diam-diam setuju kamu membawaku pulang ke kota Tong, tapi dalam hatiku mengerti, di hati nenek tidak bersedia kamu dan aku bersama. Namun kali itu saat dia menelpon denganku, malah terus mengungkitmu, menyuruhku baik-baik mengikutimu, dan sekuat tenaga memujimu. Saat itu aku sudah merasa ada yang tidak benar, tapi aku......terlalu senang, aku tidak berpikir banyak.”

“Eng.” William membelai kepalanya.

“Paman ketiga, kamu terlalu baik padaku.” Ellen mengangkat kepala dari bahunya, mata besar yang merah dan berair melihat ke arah William.

William merasa kasihan dan menyentuh sudut matanya, “Eng, baguslah sudah tahu.”

Ellen menghirup-hirup hidungnya, menatap matanya dengan serius mengatakan, “Kelak aku juga akan lebih baik lagi padamu, apapun akan mendengarkanmu. Aku akan.....sepenuh hati mengikutimu.”

“Tertawa keras~~~”

William tidak bisa menahan tawa, jari-jari panjang menyentuh hidungnya sejenak.

Ellen merasa malu memeluk lehernya, wajah menempel di wajahnya, “Paman ketiga, aku mencintaimu.”

William sekuat tenaga memeluk kesayangan ini dalam dekapannya, mencium wajahnya beberapa kali.

“Sangat sakitkan?” Ellen melepaskan tangannya, sangat berhati-hati membelai lukanya, wajah mungil yang putih halus sudah kusut bagaikan bakpao, merasa sedih dan kasihan.

Willian Dilsen menurunkan pandangan, penuh kelembutan melihat wajah samping Ellen, nada bicara lembut sekali, “Saat itu sakit. Sekarang sudah tidak sakit lagi.”

Ellen mengangkat sudut mata penuh penyesalan dan penuh rasa sakit hati melihat William, langsung menundukkan kepala, bibir merah muda pelan-pelan mencium di atas lukanya.

William pelan menarik nafas, menundukkan kepala menatap Ellen.

Ellen bolak balik beberapa kali mencium di dua lukanya, kekanak-kanakan meniupnya, selanjutnya mendesah karena merasa sedih.

Sudut bibir tipis William pelan terangkat, “Si bodoh kecil!”

“Bagaimana ini paman ketiga.” Ellen menatap lukanya, berkata sambil memonyongkan bibir kecilnya.

William sedikit mengernyit, mengangkat wajah kecilnya, melihat matanya yang sembab dan merah, “Apanya yang bagaimana?”

“Sakit hati.” Ellen sambil bicara, air mata langsung mengalir.

William tidak berdaya dan menghela nafas, langsung mencium semua bibirnya, “Paling takut kamu seperti ini, makanya tidak berani memberitahumu.”

Ellen terisak dengan suara rendah, “Dulu aku masih salah paham padamu, dan marah padamu, sekarang aku sungguh menyesal sekali, saat itu kenapa aku begitu brengsek.”

William menatapnya.

“Jadi saat itu kamu sudah memutuskan untuk membantu kami. Itu sebabnya kamu membawa aku dan anak-anak pulang ke kota Tong, pasti takut jika sudah mulai turun tangan, Boromir akan melukai kami, kamu juga akan menjadi banyak pertimbangan dan keraguan. Aku, aku masih menyalahkanmu, mengira kamu tidak bersedia ikut campur masalah ini......juga karena kamu tanpa izin langsung membawa aku dan anak-anak kembali ke kota Tong, menyalahkanmu tidak menghargaiku, jadi terus marah denganmu. Paman ketiga, maaf.” Ellen merasa sangat bersalah, air mata terus mengalir.

William menggunakan ujung jarinya untuk menyeka air mata di wajahnya, dengan suara rendah, “Bukan semua salahmu. Paman ketiga juga melakukan kesalahan. Paman ketiga lupa, Ellen-ku sudah dewasa, sudah menjadi seorang mama dari dua anak, memiliki pemikiran yang matang, juga bisa menghadapi sesuatu sendiri. Tidak seharusnya paman ketiga memperlakukanmu seperti anak kecil. Melakukan hal apapun dan membuat keputusan apapun, paman ketiga hanya mempertimbangkan melakukan begini adalah yang terbaik untukmu. Malah tidak membicarakannya, dan merundingkannya denganmu. Kali ini, jika paman ketiga memberitahumu rencana ini, kamu juga tidak akan melakukannya seperti ini, benarkan?”

Ellen mengangguk, kemudian menggelengkan kepala lagi.

William melihat keadaan, sedikit mengangkat alis.

Ellen memeluk kedua sisi telinganya, “Kali ini adalah salahku, aku yang tidak baik.”

William mendengarnya, dalam mata hitam penuh senyuman.

Kelihatannya kali ini, gadis kecil tulus menyayanginya.

Berusaha melemparkan semua kesalahan pada dirinya sendiri!

Memikirkannya, William sedikit menyipitkan mata, bibir yang menempel di bibirnya mendadak menekan sekuat tenaga, pandangan penuh gairah menatap Ellen, berkata dengan suara rendah, “Kalau begitu baik-baik memberiku kompensasi.”

Begitu kata-katanya ini terucap, Ellen langsung didorong kembali ke ranjang empuk yang besar di belakangnya.

Jubah tidur yang ada di tubuhnya ditelanjangi dengan kecepatan tercepat, Ellen bagaikan lobak putih agak menggigil terbaring di bawah tubuh William, mengangkat leher rampingnya untuk menyesuaikan permintaannya, “Paman ketiga, kamu, apakah lukamu tidak apa-apa?”

William memasukkan satu tangan ke sela-sela jari Ellen, tergengam erat dengan kelima jarinya, saat mendadak menyerang, bibir yang menekannya berkata, “Jangankan ini sudah hampir sembuh, walau masih belum sembuh, juga tidak menghalangi aku......membereskanmu!”

Pipi Ellen memerah tersipu, pelan memejamkan mata, secara bersamaan menyilangkan kedua kaki ke pinggangnya dengan lemah lembut.

Malam ini, sudah ditakdirkan malam tanpa tidur.

Keesok harinya, Ellen tidur nyenyak sampai siang hari, jika bukan Darmi memanggilnya untuk makan siang, dia masih bisa tidur lebih lama lagi.

Ellen turun dari tempat tidur, kedua kaki sangat lemah, sakit dan pegal bagaikan katak yang melompat sejauh satu kilometer.

Pergi ke toilet untuk mencuci muka dan gosok gigi, lengan Ellen yang mengambil gelas untuk berkumur juga gemetar.

Ellen sambil berkumur sambil melihat cermin, awalnya mengira akan melihat dirinya yang hampa, tidak menyangka malah melihat paras wajah yang lembut dan bening.

Gerakan menggosok gigi Ellen juga berhenti, hanya menatap lurus dirinya yang ada dalam cermin, ada sedikit rasa tidak percaya kalau itu adalah dirinya sendiri.

Seperti bunga mawar yang disiram embun di pagi hari, lembut dan mempesona......

Dalam benak muncul perumpaman seperti ini, membuat Ellen sendiri tidak bisa menahan detak jantung yang tidak karuan, wajah memerah dan malu.

Sepanjang hari apa yang sedang dipikirkannya?!

Ellen manarik nafas secara pelan, bergegas menundukkan kepala, tidak berani lagi melihat dirinya yang ada di cermin.

……

Ellen selesai mengganti baju dan keluar dari kamar tidur, di lantai atas sudah melihat Darmi berdiri di depan pintu sedang berbicara dengan seseorang.

Punggung orang itu menghadapnya, Ellen tidak bisa melihat jelas wajah orang itu.

Hari ini Ellen saat berjalan agak tidak wajar, meskipun dia sudah berusaha menyesuaikannya.

Sekarang dia hanya berharap, Darmi tidak akan melihatnya secara teliti......

Ellen berjalan ke lantai bawah, Darmi juga berjalan masuk dari depan pintu, melihat Ellen, dia mulai tersenyum, “Makan siang sudah diletakkan di atas meja makan, cepat pergi makan.”

Wajah Ellen agak merona, memaksakan diri agar tetap tenang sambil melihat Darmi, “Bibi Zhang, tadi kamu sedang berbicara dengan siapa?”

“Oh, itu Suno.” Darmi berkata.

“Paman Suno Zhang?” Ellen terkejut dan bertanya.

“Tuan Dilsen memanggil kembali semua pembantu yang telah diberhentikan sebelumnya. Juga memanggil kembali Suno. Bagaimanapun Suno sudah bekerja sebagai supir di keluarga Dilsen selama puluhan tahun, dapat dipercaya, kelak dia yang akan mengantar kedua tuan muda kecil pergi ke sekolah, jadi bisa lebih tenang.” Darmi berkata.

Ellen tersenyum sambil mengangguk, “Paman ketiga selalu lebih teliti dalam berpikir.”

Darmi mengerling padanya, “Terhadapmu tuan selalu berpikir dengan teliti.”

Ellen merasa panas, menutup rapat bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa lagi, menundukkan kepala dan berjalan ke arah ruang makan.

Darmi tahu dia merasa malu, tersenyum sambil menggelengkan kepala, berbicara sendiri dan berjalan ke lantai atas, berencana membersihkan kamar tidur, “Ada nona di sini, rumah ini baru benar-benar seperti rumah.”

Ellen yang sedang melangkah ke ruang makan mendengar perkataan Darmi ini, pertama terdiam sejenak, lalu mengangkat sudut bibirnya, berjalan masuk ke ruang makan.

……

Karena pergi ke kota Rong sudah menunda waktunya beberapa hari, masalah di perusahaan menumpuk bagai gunung.

Beberapa hari ini William melihat dokumen dari pagi hingga malam masih belum selesai-selesai.

Melemparkan sebuah dokumen yang sudah di tanda tangani ke atas meja kerja, William menutup penutup pena, jari-jari yang panjang menjentikkan pena ke atas meja, pena berguling di atas meja kerja sebelum berhenti.

William duduk di kursi bos dan menyalakan sebatang rokok di letakkan ke bibirnya, baru mengambil ponsel sambil mengerutkan alis, berdiri lalu berjalan ke depan jendela, ingin menelpon ke vila.

Hanya saja jari-jarinya belum digerakkan, ponsel sudah bergetar di telapak tangannya.

Melihat nama yang muncul di layar ponsel, mata hitam William menyipit, selanjutnya menerima panggilan telpon, di letakkan di samping telinga.

“Aku.”

Ponsel baru saja terhubung, dari mikrofon ponsel langsung terdengar suara pria tua yang rendah.

“Aku tahu. Ada masalah?” William mengulurkan dua jarinya, menjepit rokok di bawah bibirnya, suara tetap datar seperti biasa.

Di seberang ponsel terdiam beberapa detik, kemudian baru terdengar suara pria tua itu, “Ayo makan bersama.”

“.......”

Novel Terkait

Pria Misteriusku

Pria Misteriusku

Lyly
Romantis
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu