Hanya Kamu Hidupku - Bab 474 Pani, Aku Akan Mendobrak Masuk

Bulu mata Pani berkedip, dia menggertakkan gigi sambil menilik Sandy dengan keras kepala.

“Pani, kamu terlalu bertindak sewenang-wenang sendiri!” Kritik Sandy, menunjuk Pani dengan raut muka buruk dan kesal.

Pani mengangkat dagu, mencibir dengan acuh tak acuh.

Sandy menarik napas berat, api amarah menyala-nyala di dalam matanya yang tertuju pada Pani, "Lihat putri orang lain, adakah mereka memperlakukan ayah mereka seperti kamu memperlakukanku? Aku telah cukup mentolerirmu, kamu jangan keterlaluan!"

Kata-kata berakhir di sini.

Pani sama sekali tidak berniat untuk lanjut berdebat dengannya.

Dia mengepal erat kedua tinju, lalu melonggarkannya lagi. Ia berdiri dari sofa, berjalan menuju pintu ruang kerja tanpa mengatakan sepatah kata.

"Pani, berhenti!"

Sandy menggeram marah sambil memelototi Pani.

Pani mengabaikannya, membuka pintu dan pergi.

"Putri durhaka!"

Ketika Pani keluar dari ruang belajar dan mendengar dua kata itu, mata yang awalnya sudah dingin bertambah selapis es lagi.

Melihat Pani menuruni anak tangga, Rati yang duduk di sofa ruang tamu tidak bisa menahan cibiran, “Pani, kamu sungguh mantap! Ayahmu menyayangimu, jadi dia membelikanmu mobil. Kamu bukan hanya tidak berterima kasih padanya, sebaliknya malah membuatnya sedemikian marah... Aku amat penasaran, apakah kamu tahu cara menulis kata bakti?"

Pani berjalan ke bawah tanpa melihat Reta sekali pun, berjalan lurus ke kamar.

Reta memicingkan mata dan melihat punggung belakang Pani, ketidaksenangan dan kemarahannya bubar begitu saja.

Reta melengkungkan bibir, lalu sekilas memandangi ruang kerja di lantai atas, kemudian pun pergi ke luar untuk menemani Troy dan Suli.

……

Malam hari, jam sepuluh lebih.

Club Bintang, kamar pribadi 503.

Ruang mahjong.

Sumi, Samir, Ethan dan Frans tiba lebih awal dan sudah mulai main.

William tiba terakhir. Beberapa orang itu bergiliran main.

"Kenapa tidak membawa Ellen kemari? Aku telah menyiapkan angpao untuknya." Ujar Samir sambil main.

William memandangi kartu di depannya, "Kasih saja ke aku, sama saja."

Samir memberinya tatapan putih, "Kamu sudah sekaya gitu malah masih serakah akan secuil ini?"

Bibir William melebar.

"Omong-omong, aku menyiapkan angpao untuk Pani juga." Samir tidak pilih kasih, dia sekilas melirik Sumi yang duduk diam sambil menatap kartu.

Sumi agak mengangguk, "Kamu cukup perhatian."

"Cih ~" Samir mencibir, melirik Sumi, "Sumi, aku sudah lama ingin bertanya padamu, apa yang kamu lakukan saat membawa gadis kecil itu ke Provinsi Huai, kamu tidak bertindak buruk, kan?"

Kata-kata itu menyelinap ke telinga semua orang di dalam ruangan.

William dan beberapa orang lainnya pada melirik Sumi, jelas bahwa mereka semua sangat tertarik dengan hal ini.

Sumi mengerutkan kening dan melirik keempat orang itu, sudut mulut terangkat, "Apa hubungannya dengan kalian!"

William mengangkat alis.

Ethan menggigit bibir bawah.

Frans mengangkat tinggi alis kanan, melihat Sumi dengan wajah yang dihias senyuman samar.

Samir menatap Sumi dengan kaget, "Sumi, apakah kamu baru saja mencaci?"

"Giliranmu!" Seru Sumi.

Samir sembarang membuang sebuang kartu, "Sumi..."

"Menang! Sini uangnya!"

Sebelum kata-kata Samir selesai, Sumi mendorong kartu sambil menyipit padanya.

Samir, "..."

"Menarik!"

Frans meraba dagu, menatap Samir dengan senyuman olok-olok.

Ethan dan William memandang Samir dengan mata yang mengandung senyuman.

Samir menarik napas, bergumam sambil menghitung secarik demi secarik uang untuk Sumi.

Ketika Sumi mengambilnya, Samir berkata, "Kamu hitung lagi, jangan sampai mengambil lebih."

"Pelit sekali kamu!" Frans menyengir.

Ekspresi Samir acuh tak acuh, “Kalian berempat kaya, aku miskin, kalian tidak mengerti!"

Frans menggelengkan kepala.

Aturan mereka, orang yang menang digantikan orang lain.

Ketika William dan tiga lainnya main, Sumi berdiri di belakang Ethan dan merokok.

Asap bergumpal-gumpalan di sekitar kepala Ethan, Ethan mengerutkan kening, ekspresinya sedemikian "kesal".

"Heh..." Frans tertawa, tetapi dia tidak menegur Sumi.

Bukan dia yang diasapinya!

Samir juga sangat senang, dia tertawa pada Ethan setiap membuang kartu, tidak mengatakan apa-apa.

Bibir William agak melengkung, diam-diam melihat kartunya sendiri.

Sebenarnya, bukan mereka berempat tidak ingin menegur Sumi.

Tetapi mereka semua menyadari kejanggalan pada emosi Sumi. Yah, dia jarang terlihat aneh.

Jadi, begitu dia terlihat aneh atau tidak benar, William dan lainnya cukup menganggapnya penting, iya, cukup menganggapnya penting!

"Menang!"

Ethan yang baru menang langsung mendorong batu-batu mahjong itu dan segera mengosongkan tempat untuk Sumi, sementara dirinya buru-buru berlari ke kamar mandi untuk "mendetoks racun”.

Sumi menyipitkan mata, terpaku sejenak, merapatkan bibir dan memadamkan rokoknya.

Keempatnya memulai ronde baru. Ketika menarik kartu, William berkata dengan nada ringan, "Anak zaman sekarang memiliki harga diri yang tinggi, keras kepala!"

Kelopak Sumi terangkat, menatap William.

"Tidak boleh terlalu mengikuti kehendaknya, tidak boleh terlalu menentangnya juga." Ujar William.

Sumi menyipitkan mata.

William menatap Sumi, "Giliranmu."

Sumi mengernyit, pandangan sekilas menyapu batu-batu mahjong di hadapannya, lalu membuang salah satu kartu.

"Aku amat suka berceramah." Kata William.

Berceramah?

Tatapan Sumi membeku sejenak.

Pada saat ini, Ethan usai "mendetoks" dari kamar mandi.

Mata Sumi mengencang, menoleh ke Ethan, "Ethan, sini kamu."

Ethan dan yang lainnya menatapnya.

Sumi bangkit dan memberi senyuman jelas pada beberapa orang itu, "Aku akan bermain dengan kalian kali lain, aku cabut dulu sekarang."

"Sumi, bukankah kita bilang mau bertempur sampai subuh?" Mata Samir terbelalak.

Sumi mengambil mantel dan berjalan ke pintu sambil berkata, "Aku akan menemani kalian lain kali."

William dan tiga orang lainnya menyaksikan Sumi berjalan keluar dari ruang mahjong, lalu mereka saling memandang.

Ethan duduk di posisi Sumi, memandangi kartu di depannya, alis panjangnya mengerut, tiga batang bambu yang begitu bagus malah disia-siakan dan kabur dengan begitu tergesa-gesa, seberapa penting urusannya itu?

“William, apakah kamu baru saja memberi ide pada Sumi?” Frans bingung, memandang William dengan lucu.

William memberi ekspresi "tentu saja" dengan percaya diri pada Frans.

Frans terkekeh-kekeh. Dia merasa cukup lucu.

Berpikir dalam hati: Selama Ellen bermasalah, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dari mana kepercayaan dirinya untuk memberi ide kepada orang lain?

"Haha..."

Frans merasa semakin lucu ketika memikirkannya, pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri, dia langsung tertawa lepas, "Menarik, sangat menarik, haha..."

Ethan dan Samir sekilas melihat Frans, apakah orang ini mengidap penyakit jiwa?

William merapatkan bibir, menatap Frans, dengan IQ-nya yang tinggi, dia tentu tahu bahwa Frans sedang "menertawakan" dia.

"Kalau mau cabut, bilang saja!" Kata William dengan serius.

"Jangan, jangan, cabut sungguh menakutkan! Adik takut!" Frans melihat William.

William mengedutkan alis, dia memutuskan untuk mengabaikan Frans yang bahkan akan memukul dirinya sendiri ketika menggila!

……

Sekitar pukul 11:30 malam.

Pani keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambut di kursi depan meja belajar.

Pada proses mengeringkan rambut, dia tidak sengaja menemukan kunci mobil di atas meja.

Pandangan Pani fokus pada kunci mobil itu.

Dia tahu bahwa alasan mengapa Sandy tiba-tiba berpikiran membelikannya mobil adalah karena Sandy mengira dia dan Sumi telah melewati batas hubungan ketika pergi ke Provinsi Huai.

Nasi telah menjadi bubur, jadi apa yang terjadi padanya dan Sumi tidak dapat berubah.

Jika dia dan Sumi bersama, itu menandakan bahwa Sumi akan menghabiskan banyak uang untuk membantu Wilman Grup melewati kesulitan. Dengan demikian, Sandy pun dapat terbebas dari krisis.

Hanya saja, perkiraan Sandy salah.

Dia dan Sumi tidak melewati batas, dia juga tidak berencana untuk bersama Sumi.

Bagaimana bilangnya?

Jika dia bersama Sumi karena dia membutuhkan bantuannya, maka hubungan mereka hanyalah sebuah transaksi.

Awalan ini membuat Pani merasa jijik, bahkan benci!

TOK TOK...

Ketukan pintu yang mendadak menarik kembali pemikiran Pani.

Pani mematikan pengering rambut.

TOK TOK...

Pani menoleh.

Dia tahu bahwa Yumari sudah beristirahat sekitar pukul 10, jadi pasti bukan Yumari yang mengetuk pintu.

Oleh karena itu, Pani tidak bersuara.

"Pani, aku mendengar suara, aku tahu kamu belum tidur, buka pintunya!"

Suara laki-laki yang jernih dan lembut merambat masuk melalui panel pintu.

Pani terbengong, mata terbuka lebar sambil menatap pintu.

Dirinya, dirinya tidak salah mendengar, bukan? Itu dia?

“Pani, jika kamu tidak membuka pintu, maka aku akan mengambil tindakan.” Ucap pria itu.

Pani mendengarnya dengan jelas kali ini.

Itu memang dia...

Pani meletakkan salah satu tangan di jantung kiri, bernapas dengan bibir terbuka, menatap pintu.

Hari ini adalah malam tahun baru, sementara sekarang merupakan detik-detik tahun baru, untuk apa dia datang ke sini?

"Aku rasa jika aku mendobrak pintu, ayahmu tidak akan berkomentar, bukan?"

Kata Sumi.

Pani, "..."

"Pani, aku akan menghitung tiga hitungan, jika kamu tidak membuka pintu, aku akan menendangnya!" Kata Sumi dengan serius.

Pani memoncongkan mulut, mengumpat dalam hati: bertingkah sesuka hati!

"Satu ……"

Detak jantung Pani bertambah kencang, dia tanpa sadar berdiri dari bangku.

"Dua……"

Kulit kepala Pani mengencang, dia melangkah cepat.

"Tiga……"

KREK--

Pani mengulurkan tangan dan membuka pintu dengan kecepatan kilat.

Begitu dia membuka pintu, terlihat kaki Sumi yang sedikit terangkat.

Urat biru di pelipis Pani berdenyut beberapa kali.

Jadi, jika dirinya benar-benar tidak membuka pintu, dia benaran mau mendobrak masuk?

Melihat Pani muncul di depan, Sumi menarik napas panjang, mata yang jernih menatap Pani dalam-dalam, perlahan-lahan tertawa, "Sudah buka."

Pani memandangnya.

Sumi masih menatap Pani dengan dalam, begitu fokus, seolah-olah matanya hanya bisa melihat Pani di antara dunia yang luas ini.

Mata Pani berkedip, dia mencengkeram telapak sendiri untuk menenangkan diri, lalu sekilas melirik koridor, melihat tiada siapa pun, barulah dia melihat Sumi dengan linglung. "Siapa yang membiarkanmu masuk? Kamu masuk ke rumah orang tanpa izin!"

Sumi menatapnya begitu saja, mendekatinya perlahan dengan diiringisenyum lembut, "Ayahmu secara pribadi menyambutku masuk, jadi aku bukan masuk tanpa izin."

Wajah Pani memerah tak terkendali, jantungnya berdebar sangat kencang. Seiring Sumi mendekat, kedua kakinya mundur tanpa sadar.

Sumi memasuki ruangan, menutup pintu dan menguncinya.

Mendengar suara pintu terkunci, kelopak mata Pani melonjak, dia melihat Sumi dengan panik, "Kamu, apa yang kamu lakukan? Siapa yang memperbolehkanmu masuk, masuk ke kamarku, ke, keluar!"

Sejak Sumi melihat Pani, pandangannya tidak pernah beralih.

Serangan langsung dan mendalam dari tatapan semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa ditahan oleh gadis berusia 18 tahun.

Pani tersentak, tak berdaya.

Novel Terkait

Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu