Hanya Kamu Hidupku - Bab 344 Aku Paham, Kalian Iri Padaku

Segalanya tampak cerah dan perlahan membaik.

Ellen menjadi objek perlindungan utama keluarga, selain Ethan tiba-tiba jadi ayah, Sumi dan Frans yang mengetahui bahwa Ellen hamil lagi pada mengekspresikan bahwa mereka sangat terstimulasi.

Mereka berkelakuan baik-baik saja di depan Ellen, tapi begitu bertemu William, mereka beberapa sahabat langsung menyindir dan mengejek William, sama sekali melupakan bahwa mereka masih terdapat pegangan di tangan William, masing-masing dari mereka bagai akan melompat ke langit dan berdampingan dengan matahari.

Tidak hanya mereka, dengar-dengar Nurima yang mengetahui perihal kehamilan Ellen juga sangat senang, sampai-sampai mengomeli Dorvon yang tidak melakukan apa-apa.

Adik sudah mau melahirkan anak ketiga, abang malah masih jomblo, diomongin terus menerus oleh Nurima!

Ellen sudah menghamili anak ketiga, maka tampaknya ada suatu hal yang sudah tidak sabar untuk dilaksanakan.

Hari ini.

Frans, Sumi, dan Samir datang melihat Ellen.

Begitu Frans datang, dia langsung terjerat oleh Eldora, ke mana dia pergi, Eldora bagai GPS yang terpasang padanya, bagaimanapun tidak bisa disingkirkan.

Sedangkan Sumi dan Samar dipanggil William ke ruang belajar.

Di ruang belajar.

Mereka bertiga duduk di sofa.

Akhir-akhir ini, entah kenapa Sumi agak tidak semangat, melihat siapa pun tidak bertatapan langsung, roh seolah-olah tidak ada di tubuhnya, bagai terbang ke lain tempat.

"Ellen sudah hamil hampir 3 bulan, aku ingin lebih awal mengungkapkan identitasnya sebagai orang yang belum meninggal, dan... ..."

William menatap Sumi, "mengungkapkan fakta bahwa Ellen adalah anak yang diadopsi Paman dan Tante Nulu."

Meskipun dia telah meminta Sumi untuk mengembalikan identitas Ellen di hukum menjadi orang yang belum meninggal sejak awal ketika Ellen baru dibawa pulang ke Kota Tong, tapi sekarang identitas Ellen di Kota Tong masih merupakan orang yang "telah meninggal".

Juga, jika dia ingin bersama Ellen secara terang-terangan, pertama-tama dia harus memisahkan hubungan pengadopsian Ellen dengan keluarga Dilsen ... ...

"William, menurutku, semua hal ini sama sekali tidak diperlukan."

Sumi menyipitkan mata, suara terdengar malas.

William agak terpaku, menatap Sumi.

Sumi merapatkan bibir, "Ellen adalah anak dari keluarga Nie di Kota Rong, jika kalian ingin mempublikasikan hubungan kalian dan bersama tanpa harus sembunyi-sembunyi, kamu hanya perlu pergi ke Kota Rong dan melamar ke keluarga Nie seterang-terangan mungkin, lalu menikahinya, bukankah begitu?"

"Iya. Di mata orang, Ellen sudah tiada di dunia ini, maka biarkan saja Agnes yang hidup di mata orang itu, bukankah sama saja?" Kata Samar.

William agak mengernyit, "Apa yang kalian katakan pernah aku pikirkan juga."

Mendengar itu, barulah Sumi mengalihkan pandangannya ke William.

“Meski dengan cara begitu dapat mengurangi kerepotan, tapi juga menyisakan masalah." Suara William sedikit dingin.

Sumi dan Samar sekilas saling bertatapan, lalu menatap William.

William memandang Sumi dan Samar secara bergiliran, "Kita tidak boleh melalaikan kewaspadaan terhadap orang. Terhadap Ellen, aku tidak akan menganggap enteng masalah dan mengambil sedikitpun risiko yang akan menyebabkannya jatuh ke dalam badai yang berbahaya.”

Mata Sumi melebar, lalu menyipit kembali, "Maksudmu, ada orang yang akan memanfaatkan masalah ini untuk membuat masalah?"

Tatapan William mendalam, melihat Sumi, "Iya."

Sumi mengerutkan bibirnya dan mengangkat alis, "Oke. Malam ini aku akan mendiskusikan masalah pemublikasian dengan orangtuaku."

"Maaf merepotkanmu." Kata William.

"Memang benar sudah merupakan ayah dari tiga anak, kata-katanya menjadi lebih manusiawi.” Sumi menyipitkan mata, nada suara terdengar mengejek.

William mengangkat alis, "Empat anak."

Tatapan Sumi mendingin, memelototi William dengan ganas, meregangkan bibirnya yang tipis, kemudian bangkit dan berjalan keluar dari ruang belajar tanpa menoleh ke belakang.

Willian memandang Sumi berjalan keluar, lalu menoleh ke Samir

Samar juga tidak tahan melihat William yang penuh "kebanggaan akan kabar baik", tapi dia tidak berani mengekspresikannya secara terang-terangan seperti Sumi, sehingga ekspresi wajahnya kelihatan kaku, berdengus ringan, "Apa yang patut dipamerkan, di antara kita, bukan hanya kamu yang punya anak!"

"Aku paham."

William berkata dengan lambat, "Kalian iri padaku."

Samar merasa ingin muntah darah, melihat William dengan tidak senang, tidak mau mengaku "Apa-apaan, iri padamu, perlukah, hehe!"

Setelah mengatakan ini, Samar berdiri dari sofa dan menatap tajam William, sambil bergumam sambil berjalan menuju pintu ruang belajar, "Aku masih lumayan. Sumi yang parah! Sudah berumuran segitu, zhzh."

William mengangkat alis, mengeluarkan mancis dari saku celana, memutarnya beberapa kali dengan jari-jari, sudut mulut yang tertutup rapat itu melengkung tinggi.

Seketika melemparkan mancis ke atas meja kopi: Sudah merupakan ayah dari empat anak, merokok atau tidak merokok tidak akan memengaruhi apa pun, berhenti saja!

……

Hari Sabtu, Eldora tidak keluar untuk pertama kalinya.

Ellen sangat penasaran, sambil memegang semangkuk buah dan makan dengan garpu, sambil bertanya padanya, "Kak, kamu tidak keluar hari ini?"

Eldora menyandarkan tubuhnya yang sangat lentur itu pada sofa, tangan secara tidak sadar mengelus-elus bantal. Ketika mendengar kata-kata Ellen, dia terbengong sejenak, menatapnya, "Kenapa? Apakah sangat aneh kalau aku tidak keluar?"

Eldora telah berada di Kota Tong selama hampir sebulan, jadi seharusnya mereka juga telah berinteraksi selama sebulan.

Tapi Ellen tidak pernah merasa akrab dan dekat pada Eldora seperti pada Dorvo.

Menghadapi Eldora, Ellen selalu sopan dan segan-menyegan.

Jadi ketika mendengar jawaban Eldora, Ellen perlahan mengunyah buah dan kemudian mengangkat kepala dan menatapnya sambil tersenyum, "Tidak juga sih."

Eldora menatap Ellen, setelah hening sejenak, dia menyampingkan bantal, bangkit dan duduk di sebelah Ellen, memiringkan kepala untuk memandangnya, “Dik, apakah kakak terlihat susah diajak bicara?

“Tidak kok.” Ellen tersenyum garing.

Eldora masih tidak mengalihkan pandangan darinya, “Kita adalah sepupu, tapi aku merasa kamu selalu memperlakukan aku dengan sangat, bagaimana cara mendeskripsikannya, seolah-olah aku adalah kerabat jauhmu yang tidak akrab.”

Ellen memasang senyuman canggung, "Kak, jangan bercanda. Kamu adalah sepupu aku, kerabat jauh apaan."

Sambil berkata, Ellen menyodorkan piring berisi buahan kepada Eldora, “Makanlah sedikit buah.”

Eldora menatap Ellen beberapa saat, kemudian baru menarik kembali pandangannya, “Kamu saja yang makan.”

Ellen menarik tangannya kembali, menundukkan kepala, lanjut memakan buah.

……

Siang hari, selesai makan siang, Eldora balik ke kamar untuk istirahat.

Hansen duduk bersama Ellen dan tiga bocah kecil di ruang tamu untuk beberapa saat, lalu pun pergi ke kamar untuk beristirahat juga.

Ellen tadinya bangun agak siang, sehingga saat ini tidak mengantuk.

Mengedipkan mata sambil memandang ketiga bersaudara yang duduk di sofa dan bermain mainan masing-masing, tetapi satu sama lain terlihat sangat harmonis, berkata dengan lembut, "Keyhan, Nino, Tino, apakah kalian mau tidur siang?"

Keyhan meletakkan rubik di tangannya, mata hitam menatap perut Ellen selama beberapa detik, lalu menoleh untuk melihat Nino dan Tino, "Apakah kalian mau tidur?"

“Abang, kalau kamu tidur, kami ikut tidur. Kalau kamu tidak tidur, kamu pun ikut tidak tidur.” Kata Nino sambil memeluk Keyhan.

Wajah tegas Keyhan melintas kelembutan, berkata padanya, “Aku agak mengantuk.”

“Kalau begitu, ayo kita pergi tidur.”

Nino menggandeng tangan Keyhan dan melompat dari sofa, melihat Tino, “Abang.”

Tino mengangguk, juga meletakkan mainan di tangan, ketiga bocah pun pergi ke lantai atas.

Ketiga abang beradik baru saja menaiki setengah dari tangga.

Terdengar suara mobil dari luar villa.

Ketiga abang beradik langsung menghentikan langkah kaki, menoleh ke pintu dengan penasaran.

Ellen merapatkan bibir, sekilas melirik ke arah pintu, kemudian menoleh ke ketiga abang beradik.

Darmi sambil menyeka tangan sambil berlari kecil dari dapur, baru saja berjalan sampai ruang depan, Mila yang tampak lelah melangkah masuk.

“Nona kedua.” Sapa Darmi.

“Kakak kedua… …”

“Tante kedua.”

Suara Ellen dan Nino terdengar pada saat bersamaan.

Mila memasang senyuman, mengenakan sandal yang dikeluarkan Darmi dan berjalan ke ruang tamu. Tersenyum melihat ketiga abang beradik yang berdiri di tengah tangga, “Tampaknya aku datang tidak pada waktu yang tepat, apakah kalian bertiga hendak tidur?"

“Tante kedua.”

Saat ini, Keyhan baru saja memanggil Mila.

"Iya." Jawab Mila sambil senyum, mengulurkan tangan kepada ketiga anak, "Tidak mau tahu, aku baru saja datang, kalian bertiga tidak boleh tidur, semua turun untuk menemani bibi kedua sebentar."

Keyhan memandang Nino dan Tino satu per satu, lalu menggandeng mereka berdua berjalan turun lagi.

Setelah ketiganya mendekat, Mila membungkuk dan mencium masing-masing wajah ketiga anak kecil itu.

Nino dan Tino sudah terbiasa, tetapi Keyhan masih sedikit tidak nyaman, telinganya merah.

Mila tidak bisa menahan tawa ketika melihatnya, menarik tangan Keyhan ke sofa.

Mila dan ketiganya duduk di sofa, Ellen duduk sendiri di samping, "Kak, kamu sudah makan siang belum?"

Mila mengalihkan pandangannya dari wajah Keyhan, Nino, dan Tino ke Ellen, menggerakkan bibir, "Siang tadi Bibi Lina memasak bubur, aku makan sedikit."

Ellen diam sejenak, lalu berkata, “Aku minta Bibi Darmi potongkan buah-buahan untukmu.”

“Tidak usah, Ellen.” Kata Mila, “Akhir-akhir ini aku tidak nafsu makan. Di mana kakek? Sudah tidur?”

“Iya.” Ellen mengangguk.

Mila menghela napas, mencondongkan kepalanya untuk mengobrol dengan Keyhan, Nino, dan Tino.

Ellen mendengar sebentar dari samping, kemudian bangkit dan pergi ke kamar lantai dua.

15 menit kemudian, Ellen keluar dari kamar tidur dan turun.

Tengah berbicara dengan ketiga bocah, Mila menoleh dan sekilas melihat Ellen.

Terlihat Ellen menggantikan pakaian ruamhnya yang nyaman dengan pakaian rapi, bersiap untuk keluar.

Mila terpaku, “Ellen, kamu mau keluar?”

Ellen mengangguk, berjalan ke hadapan ketiga bocah, berkata sambil tersenyum, “Siang ini, bagaimana kalau kalian keluar berjalan-jalan bersama mama?”

“Ke mana?”

Begitu mendengar jalan-jalan, Nino membelalak, bertanya dengan senang.

Ellen mengulurkan tangan dan mengelus kepalanya, “Ibu bawa kalian pergi cari nenek.”

Mila, “… …”

“Nenek?” Tino memiringkan kepala.

“Iya, ibu dari ayah kalian, nenek.” Kata Ellen.

“… … Oh.” Tino mengangguk.

“Aku pergi juga?” Keyhan diam beberapa detik, mendongak dan melihat Ellen.

Hati Ellen agak tergerak, menggandeng tangan Keyhan, berkata dengan lembut, "Tentu saja. Kamu adalah anak ayah. Pergi bertemu ibu dari ayah tentu tidak boleh tanpa kamu."

Bibir tipis Keyhan merapat, menatap Ellen, mengangguk-angguk.

Ellen menatap Keyhan dengan lembut, menoleh untuk melihat Mila yang duduk termenung di sofa, tersenyum, "Ayo."

Mila menarik nafas kuat-kuat, bangkit dari sofa dan menatap Ellen dengan ragu, “Ellen, apakah kamu serius?”

Ellen mengangguk tanpa ragu.

Mata Mila terasa memanas, melangkah maju dan memeluk Ellen, “Ellen, terima kasih!”

Ellen tidak berkata apa-apa, hanya mengulurkan tangan dan memeluk Mila sambil mengelus punggungnya.

……

Sekitar 40 menit kemudian, kelima orang tiba di Mansion Sihe tempat keberadaan Louis.

Novel Terkait

My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Everything i know about love

Everything i know about love

Shinta Charity
Cerpen
5 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu