Hanya Kamu Hidupku - Bab 450 Paman Sumi, Lepaskan Aku

Pani tercengang, setelahnya wajah kecilnya itu suram sekali, dengan kesal melihat Sumi, "Kamu jangan kelewatan!"

Sumi masih menatap Pani dengan dingin, menunjukkan keyakinannya.

Tidak tau apa karena dia dipeluk terlalu erat, atau karena makan belum kenyang, Pani tiba-tiba merasa lambungnya sakit, menggertakkan giginya mengalihkan pandangannya, "Kalau aku tidak setuju, apakah kamu berencana terus memelukku?"

"Benar!" Ucap Sumi.

Pani marah sekali sampai wajahnya seolah tertarik, hatinya sakit sekali.

Raut wajah Riki juga tidak enak sekali.

Dia mengira hanya dia yang sangat tidak tau malu dihadapan Pani, tidak penah terpikir kalau Sumi jauh lebih tidak tau malu darinya! Benar-benar parasit!

Pani diam-diam menarik nafasnya dalam-dalam, menggertakkan giginya, melihat Riki berkata, "Dekat apartemen ada sebuah cafe, aku bawa dia pergi kesana."

Riki menatap Pani, wajahnya tegang sekali.

Sumi juga menatap Pani, raut wajahnya juga tidak enak.

Pani melihat Sumi, "Sekarang sudah boleh?"

Sumi menyipitkan matanya, memeluk Pani berjalan ke depan pintu.

Detik dimana Sumi membawa Pani melewati pundak Riki, Riki memejamkan matanya, urat nada dikepalanya sampai menonjol.

.......

Keluar dari apartemen, berjalan masuk ke lift, Pani langsung menggoyangkan badannya, "Lepaskan."

Sumi menundukkan mata melihatnya, meskipun tidak tega, tapi dia tetap melepaskan tangannya.

Pani dengan cepat menarik roknya yang longgar, berjalan ke sudut lain di lift, menjaga jarak dengan Sumi.

Sumi mengeratkan kepalan tangannya, dengan heran melihat sebelah wajah Pani, "Kenapa kurus sekali?"

Pani menundukkan kelopak matanya, wajahnya sedingin es batu, tidak menjawab perkataannya.

Sumi mengerutkan keningnya, melangkah berjalan ke arah Pani.

"Kamu jangan bergerak." Ucap Pani.

Sumi berhenti, wajahnya dingin sekali, matanya mengunci wajah Pani.

"Sekarang aku sudah keluar denganmu, kamu bilang saja kamu mau apa." Nada bicara Pani membawa sedikit kesal.

"Hari ini aku sengaja dari kota Tong datang kemari." Sumi melihatnya berkata, tenggorokannya terdengar sedikit rasa kasihan, sepertinya sedang mengeluh sikap dingin Pani terhadapnya.

Saat ini lift sudah sampai di lantai satu.

Pani menarik nafas, melihat Sumi, "Jadi, untuk apa kamu datang mencariku?"

Sumi melihat wajah Pani yang dingin, jantungnya seperti teriris, kedua tangannya mengepal semakin erat, dengan rendah berkata, "Mengkhawatirkanmu."

Pani tidak tau bagaimana ekspresi wajahnya, tapi dia sangat sedih.

Dia bisa merasakan bibirnya tidak bisa menahan gemetaran, juga bisa merasakan rasa sakit yang dari tenggorokannya hingga ke organnya.

Dia mengangkat kelopaknya, tiba-tiba memalingkan wajah, berjalan keluar dari lift, "Sumi, kamu lucu sekali."

Sumi mengkhawatirkannya?

Hehe.

Tapi dia tidak pernah merasakan sedikitpun kekhawatirannya.

Karena saat menghadapinya, semua perhatian dan perasaannya, berfokus pada penderitaan yang Sumi bawakan untuknya.

Dia kenapa, harus muncul?

Sumi melihat punggung Pani yang keluar dari lift, matanya terpendam warna kemerahan, melangkah ikut kesana.

......

Berjalan keluar dari gedung apartemen, Pani melihat cafe yang tidak jauh dari hadapannya, dengan kuat menarik nafas, lalu berjalan ke arah cafe sana.

Lengannya tiba-tiba ditarik dari belakang.

Pani mengeratkan tangannya, memutar kepalanya melihat pria yang ada dibelakangnya, didalam matanya, seperti membawa sedikit tawa dingin.

Sumi mengerutkan keningnya, menarik lengannya dan berjalan ke arah mobil, "Naik ke mobil!"

"......" Pani membeku, lalu berkata, "Cafe tidak jauh lagi, tidak perlu naik mobil!"

"Siapa bilang aku mau ke cafe?" Ucap Sumi sambil menarik pintu mobil kursi penumpang, memutar kepala melihat Pani.

Pani langsung menyuramkan wajahnya, "Sumi, apa maksudmu?"

"Masuk ke mobil!" Sumi menariknya kemari, membungkukkan badannya menggendong Pani dan memasukkannya ke kursi penumpang.

"Aku tidak akan pergi kemanapun! Sumi, kalau mau pergi ke cafe didepan, kalau tidak bicara disini. Aku tidak akan pergi ke tempat lain bersamamu!" Pani terkejut dan panik, sambil mendorong Sumi dengan kukunya.

Sumi memakaikan sabuk pengaman untuk Pani, tapi saat menarikkan sabuk pengaman melewati perut Pani, lalu dengan cepat terhenti, punggungnya dalam saat yang sama membeku.

Pani yang panik tidak langsung merasakan perubahan emosi Sumi yang mendadak, mencengkram pundaknya, dengan kuat mendorong, "Sumi, lepaskan, aku......"

Dibelakang kata "aku", suara Pani dengan cepat terhenti.

Tidak hanya suaranya, bahkan suara disekitarnya, juga tidak bisa masuk ke dalam telinganya.

Selain satu tempat, seluruh tubuh Pani membeku, tidak bisa merasakan apapun.

Satu-satunya yang bisa dia rasakan, adalah kehangatan yang terbagi dari luar bajunya. Kehangatan yang seperti ini, sepertinya membakar seluruh tubuhnya.

"Sudah sakit?"

Suara Sumi yang dingin datang seperti angin dingin yang bersiul dibawah tanah.

Bulu mata Pani tertutup seperti buih es, bergerak pun tidak bisa.

Jiwa, gulungan panas diperutnya tiba-tiba tertekan kebawah.

Pani panik, wajahnya yang pucat dengan cepat mencengkram tangan yang ada di perutnya, bulu matanya gemetaran, melihat wajah yang dihadapannya tidak berekspresi, dengan menggigil mengeluarkan nafas dari mulutnya.

Sumi menatap Pani, kedua matanya saat ini mirip sekali seperti iblis, langit gelap seperti tengah malam.

Tangannya yang dia letakkan diatas perut Pani itu, menurun kebawah.

"Tidak......" Wajah Pani sepucat kertas, gemetaran dan mundur ke belakang, sampai seluruh pinggangnya menempel pada kursi, lalu tidak bisa mundur lagi.

"Sakit apa?" Sumi membuka mulutnya lagi, suaranya tidak seperti suara orang normal.

Dia tampak sangat tenang, tapi juga bahaya sekali!

Tiba-tiba sekali, seluruh tubuh Pani panik, apalagi menghadapi pria didepannya, saat ini membuatnya terpikir dengan pembunuh psycho di film thriller.

Otaknya bingung, fokusnya terpecah.

"Pani, aku bertanya padamu." Sumi menatap lurus mata Pani yang ketakutan, tatapannya seperti malaikat pencabut nyawa, membuat orang takut, suaranya yang dingin seperti baru saja keluar dari ruangan es, membuat orang keringat dingin.

Pani mencengkram tangannya dengan kuat, melihat kedua mata Sumi bagaikan baru diangkat dari tangki pewarna merah, setiap kata-katanya yang keluar bergetar, "Kamu, kamu jangan seperti ini......"

"Apakah kamu sedang sakit?" Sumi terus bertanya tentang pertanyaan ini.

Cairan bening yang hangat mengalir dari sudut mata Pani, isak pelan terdengar dari tenggorokannya, "jangan seperti ini......"

Sumi tiba-tiba menghela nafas, kerutan di kelopak matanya sepertinya tertutup, dia pelan-pelan melihat Pani dengan lembut karena tangannya yang dengan kuat bertahan tidak membuat pergelangan tangannya yang terjatuh gemetaran kuat, hatinya juga ikut sakit.

"Pani, kalau kamu sakit harusnya kamu memberitahuku." Suara Sumi sangat sangat pelan.

Pani terisak, pergelangan tangannya pegal, tapi dia tidak berani melepaskannya.

Dia dengan berhati-hati melihat wajah Sumi yang kecapekan dan kesurupan, dengan pelan memanggilnya, "Paman Sumi......"

Sumi menurunkan pandangannya, berselang lama sekali, baru menjawabnya pelan, "Ehn."

Kelopak mata Pani tiba-tiba bercucuran air mata, tenggorokannya menimbulkan suara sendat dan suara air yang jernih, "Lepaskan aku."

Sumi masih tetap mempertahankan posisi tadi, dia melihat perut Pani yang buncit, melihatnya dengan terbodoh.

Tidak ada yang mengerti sakit hatinya.

Sakit ini sudah jauh dari yang bisa dia tanggung, karena dia sudah sangat lelah menanggungnya, jadi dia tidak bertenaga berbicara.

"Paman Sumi, lepaskan aku." Tatapan Pani mengabur, dengan rendah memohon.

Sumi merasa sesuatu dari sudut matanya sudah mau keluar, tapi dia tidak memikirkan apa itu.

Dia mencengkram lengan Pani yang gemetaran sampai tidak bisa bertahan lagi, dengan jarinya menggosok tangannya yang lembut, dia bilang, "Anak ini, apakah punyaku?"

Pani terdiam.

Setelah Sumi mengatakannya, dia tertawa, "Aku sudah hampir 4 tahun tidak menyentuhmu, bagaimana mungkin anak ini milikku? Jadi punya siapa? Kamu melahirkan anak ini utnuk siapa? Ehn? Pani, beritahu aku, selain aku, kamu melahirkan anak untuk siapa lagi, untuk siapa? Beritahu aku, untuk siapa?!"

Sumi berkata sampai akhir, suaranya semakin dingin, semakin suram, sampai akhirnya, bahkan sudah gemetaran.

Pani terkejut sekali sampai mengangkat bahunya, tangan yang satunya lagi tidak lupa memegang perutnya sendiri, wajah pucatnya melihat wajah Sumi yang sudah gila, kepalanya dengan gemetaran sampai tidak bersuara.

Sumi menatap Pani tajam, sepertinya ingin sekali menelan Pani, "Pani, aku benci kamu!"

Kebencian Sumi itu, bisa-bisanya lebih sakit dari 4 tahun lalu ketika Pani tau kalau Sumi tidak mencintainya.

Air mata Pani hampir membuat tatapannya kabur, bulu matanya sudah lengket didepan matanya, dia sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas wajah Sumi, tapi dia berusaha melihat, dia berkata, "Kebetulan, aku juga."

......

Empat tahun lalu. Kota Tong.

Musim dingin di kota Tong sangat dingin, setidaknya Pani yang berumur 18 tahun hampir naik SMA kelas 3 merasa begitu.

Jadi dia yang membungkus dirinya bagaikan sebuah bola pergi ke penjamuan bahaya diberhentikan didepan pintu restoran Francis elegan karena bajunya, Pani merasa sangat tidak bisa berkata apa-apa, "Kakak, aku hanya memakai baju lebih tebal, bagian mananya yang tidak rapi? Kamu lihat aku kecil jadi mudah diganggu, sengaja menyulitkanku?"

Kakak yang menyambut tamu menarik sudut bibirnya, dengan dingin melihat Pani.

Sebenarnya Pani benar-benar tidak bisa dibilang memakai lebih tebal, sebaiknya pakaiannya cukup sederhana. Dilihat saja pakaian yang dia pakai semua tidak sampai 200 yuan.

Dan pakaiannya terlalu berantakan.

Di dalam mantel untanya adalah seragam sekolah SMA yang longgar, didalam seragamnya ada baju sweater yang menutupi leher, tampaknya diantara seragam dan sweater masih ada rompi tipis. Dan juga bagian bawahnya memakai celana seragam sekolah.

Kakinya memakai sepasang sepatu salju unta, celana sekolahnya dimasukkan kedalam sepatu saljunya, membuat celana seragamnya sebesar lampion.

Sejujurnya, kalau bukan Pani berusaha tegar, dandannya ini sangat susah membuat orang merasakan keindahannya.

Yasudalah begitu, malah memikul tasnya di bahu, sebelah tangannya masuk ke dalam mantel jasnya, sebelah kaki sedang gemetaran, tidak tau sedang gemetaran apa.

Kakak ini melihat kaki Pani yang gemetaran, dari kepalanya keluar beberapa utas benang hitam.

Diam-diam mengeluh: Preman wanita mana ini!

Novel Terkait

Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu
The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu