Hanya Kamu Hidupku - Bab 155 Paman Ketiga, Aku Mulai Takut

Karena, Vania yang menganggapnya sebagai musuh, datang ke arahnya dan merasakan keberadaannya.

Ketika Vania tiba, Ellen sedang makan buah pir merasa gembira di sofa, menonton film idolanya Renji.

"Ellen"

Diluar pintu, terdengar suara mesin mobil, disertai dengan suara nyaring Vania.

Tangan Ellen yang sedang memegang buah gemeteran dan ujung matanya bergetar terus.

Tidak lama kemudian, Vania lari masuk ke dalam dari luar.

Ellen melihat ke Vania yang berdiri di pintu depan menunggu Darmi yang sedang mencarikan sepatu untuknya, mengedipkan mata sekejap dan mengigit buahnya.

Vania mengganti sepatunya, dengan langkah cepat pergi ke ruang tamu, langsung duduk di sebelah Ellen.

Ellen menonton tv, makan buah, tanpa menghiraukannya.

"Ellen, mengapa kamu tidak menghiraukanku?"

Vania menabrak Ellen dengan lengannya.

hehe.

Apa yang kamu bilang?

Ellen melihat dengan rasa malas Vania dan tidak berkata apa-apa.

Vania melihat Ellen tersenyum kepadanya, "Ellen, kali ini aku tetap memihak kepadamu!"

Ellen mengerutkan kening, menggigit buahnya, "Apa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu, Aku sudah mengetahui semuanya." Vania mengerutkan keningnya.

"Mengetahui tentang apa?" Ellen mulai berkeringat.

"Ai ya, kamu jangan khawatir, aku tidak akan mendiskriminasikanmu, cinta tidak mengenal batasan umur, ada cinta sudah cukup. Aku mendukungmu! Ellen, kamu jangan menyerah! pertahankan! pertahankan terus!" Vania mengepalkan tangan memberi semagat kepada Ellen.

Ellen, "....." terheran-heran.

Ellen tidak mengerti apa yang sedang dikatakan oleh Vania, Ellen juga tidak ingin mengerti, jadi dia tidak mengatakan apapun.

"Ellen, hari ini aku datang untuk memberitahumu, mulai hari ini dan seterusnya, aku akan menyayangimu dan menjagamu seperti keponakanku." Vania tiba-tiba berbicara.

Pufft------------------

Ellen memuntahkan buah pir yang sedang dimakannya.

Apa yang sedang dikatakan Vania?

Keponakan?!

Mulut Ellen bergetar, dia tidak tahu harus menghadapi Vania dengan ekspresi apa?

“Lihat mulutmu, makan buah sampai berantakan, cepat bersihkan.”

Vania tidak meninggalkannya, bahkan mengambilkan beberapa tisu untuk diberikan kepada Ellen untuk membersihkan mulutnya.

Ellen memandangnya dengan sangat serius, Dia benar-benar seperti sedang diperhatikan oleh orang tua.

Ellen, "..........." merasakan buah yang dimakan tadi sepertinya tidak bisa dicerna dengan baik.

"Vania, Apakah kamu baik-baik saja?" Ellen mengerutkan keningnya, mengambil tisu dan membersihkannya, dengan memiringkan mata melihatnya.

"Aku baik-baik saja."

Vania berbicara sambil tersenyum.

"......Oh." Ellen melihatnya sekali lagi.

"Ellen. "

Vania tertawa sejenak, tiba-tiba menarik tangan Ellen.

Ellen tidak berbuat apa-apa, dia tidak menarik kembali tangannya, menggigit buahnya dan melihat Vania.

"Bagaimanapun juga, aku harus berterima kasih kepadamu." Vania berkata.

"?" Ellen menaikan alisnya, dia tidak salah mendengar kan, Vania berterima kasih kepadanya?

"Jangan melihatku seperti ini, aku mengerti apa yang kamu maksud. "Vania menggerakkan bahunya, dengan suara manja.

Ellen, "......" perutnya merasa sedikit tidak nyaman.

Dia lebih bisa menerima gaya kesombongan Vania.

Tingkahnya sekarang yang manja lemah lembut, melihatnya pun merasa tidak nyaman!

"Itu.. aku berkata jujur, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan. Atau kamu jelaskan kepadaku? Ellen memandangnya.

"Kamu sangat tidak asik!" Vania menepuk Ellen.

Ellen menghela napas, tertawa, hari ini Vania pasti salah minum obat.

"Aku sudah tahu hubungan cinta palsumu dengan Bintang Hamid, kamu memiliki seseorang yang kamu sukai. " Vania berkata, mengulurkan tangan menepuk kepadanya, "Kamu, kenapa kamu tidak memberitahuku, kamu bersandiwara dengan Bintang Hamid?"

Tangan Ellen yang sedang memegang buah menjadi kaku.

Yang diperhatikannya, bukan perkataan Vania itu, dia berhubungan cinta palsu dengan Bintang Hamid, tetapi "Seseorang yang kamu sukai."

Ellen bernafas pelan, melihat ke Vania, bola mata yang hitam besar menyimpan rasa kegelisahan.

Melihat situasi ini, Vania tidak banyak memikirkannya, hanya bertanya-tanya kenapa aku tahu kamu bersandiwara dengan Bintang Hamid, tersenyum dan berkata, "Aku tidak hanya mengetahui itu, Aku juga mengetahui kamu menyukai lelaki yang lebih tua......."

Vania menunjukkan jari 12.

Ellen, "..........." Wajahnya langsung terlihat kaku.

Menatap dengan mata besar, "kamu,kamu........."

"Ai ya, kamu jangan gelisah, aku tidak mendiskriminasikanmu. Tidak mengherankan sekarang paman tua lebih menarik, kamu menyukainya tidak aneh. Cinta yang sejati tidak dibatasi oleh pandangan masyarakat. Ellen, aku mendukungmu! Semangat!

Sekali lagi Vania menunjukkan dukungan semangat kepada Ellen.

Ellen, "...." terkejut.

Vania tahu bahwa Ellen bersama paman ketiga, tidak menentangnya. Bahkan memberikan dukungan dan semangat padanya.

Apakah ini Vania yang aku kenal?

"Tapi Ellen, Siapa nama lelaki itu? Apa pekerjaanya? Cepat beritahu aku."

Sejak semalaman kondisi Vania gelisah terus-menerus setelah mengetahui hubungan cinta palsu Ellen dan Bintang Hamid, dan Ellen menyukai lelaki lebih tua 12 tahun. Jadi dia terlihat lebih semangat.

Jadi memperkirakan waktu pulang sekolah Ellen, tanpa henti dengan cepat mendatanginya.

Di satu sisi Vania tidak bisa mengontrol diri dari rasa gembira dan ingin memberitahu Ellen bahwa dia telah mengetahui rahasia ini, Rasa penasaran ini mendorong nya untuk segera menanyakannya.

Vania ingin tahu siapa lelaki tua yang membuat Ellen tidak memperdulikan segalanya, ingin bersama lelaki tua itu.

Tentu saja, kalau dia mengetahui Ellen menyukai lelaki yang berumur 30 an dan menpunyai perut buncit, kepala botak, muka berminyak, diperkirakan kegembiraan Vania akan membuatnya tidak bisa tidur selama satu bulan.

Ketikamendapatkan pertanyaan dari Vania, Ellen terkejut.

Jadi, untuk saat ini.....Vania hanya mengetahui Ellen menyukai seseorang, dan umurnya lebih tua 12 tahun, tetapi tidak tahu, siapa lelaki itu?

Ellen terlepas dari kegelisahannya, tapi tidak secara keseluruhan.

Menelan ludah, Ellen melihat Vania, "Nanti kamu akan tahu dengan sendirinya."

Ellen memberikan jawabannya, jawabannya sama persis dengan seseorang.

"Kamu beritahu aku sekarang, aku berjanji tidak akan memberitahu kepada yang lain, ini rahasia kita berdua."

Vania mendekati Ellen, belum putus asa dan berbicara.

"........." Sekarang, hati Ellen akhirnya bisa lega.

Vania tidak mengetahui orang yang sedang bersama dengannya.

Tapi, kenapa Vania tahu kalau Ellen menyukai lelaki yang lebih tua 12 tahun darinya?

"Kamu........."

Ketika Ellen ingin bertanya, diluar villa sudah terdengar suara mesin mobil.

Ellen melihat keluar pintu, menebak seseorang baru saja kembali, menutup kedua bibir, tidak bertanya, hanya tersisa keraguannya.

Kalau ada yang memberitahu Vania masalah ini.

Orang yang memberitahu Vania, apakah juga mengetahui lelaki yang disukainya, adalah William?

Ellen mengerutkan kening, mata yang hitam dilapisi kekhawatirannya.

"Mungkin Abang ketiga sudah pulang, aku datang melihat."

Vania melepas tangan Ellen, berdiri, berjalan santai ke arah pintu luar.

Mata Vania bersinar, Berkata riang, "Abang Ketiga."

William melihat ke arah Vania, mengerutkan kening, "Kenapa kamu ada disini?"

Sambil berkata, William berjalan menuju ke dalam, mengganti sepatu didekat pintu, sambil melepaskan kancing jas berjalan menuju ke dalam.

Berjalan sampai ruang tamu, William melihat Ellen dengan pandangan aneh, melihat dia dalam kondisi baik-baik saja, baru melepaskan jasnya, memberikan ke Darmi yang berjalan menujunya, dia berjalan menuju ke sofa dan duduk.

"Abang ketiga, apa yang kamu katakan, apakah aku tidak boleh datang ke tempatmu?"

Vania duduk disebelah William, dengan mesra memasukkan tangan ke lengannya dan menyandarkan kepala di bahu William.

Mata William menatap ke Vania, "Duduk."

Vania cemberut, mengeluarkan tangannya, dengan patuh duduk di sofa.

Ellen menggigit bibir bawah, mata menuju ke William, dan bulu mata turun ke bawah.

William melihatnya, dengan pandangan sekilas.

"Tuan, Nona keempat, Nona, makan malam sudah siap." Darmi berkata.

Mendengar suara Darmi, Ellen naikkan bulu matanya, mata menuju ke Darmi yang berdiri di dapur, pelan-pelan beralih pandangan ke William yang duduk di sofa.

William menutup sedikit bibir, berdiri dari sofa, berkata, "Ayo makan."

Setelah itu, William berjalan menuju ke meja makan.

"Aku tidak makan. Aku ada janji dengan seseorang. " Vania berdiri dari sofa, berjalan menuju ke Ellen, mengambil tas yang diletakkan disana, berkata dengan William.

William menatapnya, tidak berkata apa-apa.

Mulut Vania bergerak sekilas, aduh, kenapa tidak menyuruhku makan?

"Ellen, aku pergi dulu, kapan ada waktu baru datang." Vania berkata dengan mengerakkan alis mata , mengambil tasnya berjalan keluar.

Mendengar suara mesin mobil yang menjauh, Ellen baru melepaskan pandangannya, beralih kepada William yang berdiri di tengah sofa yang sedang melihat dirinya.

"Sini." William mengulurkan tangan kepadanya.

Ellen menghelakan nafas diam-diam, berjalan menuju kearahnya, tangannya yang mungil di letakkan ke telapak tangan William yang besar dan bersih.

William memegang kuat tangannya, menarik Ellen ke tubuhnya, bersama menuju ke dapur dan bertanya, "Apa yang dikatakan Vania kepadamu?"

Ellen berhenti sejenak, merasa terkejut dan heran melihat William, "Kenapa kamu tahu apa yang dibicarakan Vania kepadaku?"

Alis mata William bergerak sekilas, mata menatap ke muka Ellen yang kecil, "Kalau bukan karena perkataan Vania, kenapa kamu kelihatan tidak gembira."

"..........apakah dia?"

"Ya." William berkata.

"....." berkeringat.

Ellen menggerakkan matanya melihat ke William, dalam hati berkata, Paman ketigaku mempunyai kepandaian membaca pikiran seseorang? kenapa lelaki ini bisa mengetahui apa yang dipikirkan?

“Aku tidak bisa menbaca pemikiran orang, aku cuma mengerti kamu." William berkata.

"....baguslah.”

Ellen menggerakkan sisi mulut, tubuh bersandar kepadanya.

Willlam menundukkan kepala dan melihatnya, dengan satu tangan meraba-raba kepalanya, dengan kata lemah lembut, berkata, apa yang dia katakan kepadamu?"

Ellen muka sedih dan mengerutkan kening, naikkan kepala, dengan mata besar yang penuh kekhawatiran melihat kepada William, berkata dengan suara kecil, "Paman Ketiga, aku mulai takut."

William dengan pandangan mata yang penuh pikiran, melihat ke arah Ellen.

Novel Terkait

Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
3 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
4 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
The True Identity of My Hubby

The True Identity of My Hubby

Sweety Girl
Misteri
4 tahun yang lalu