Hanya Kamu Hidupku - Bab 95 Paman Ketiga Dia, Menggoda Seorang Gadis Baik

Ellen, “... ...” Paman ketiga dia apakah sudah di buka titik tertawanya? Emm, pasti begitu!

Tiba-tiba, tubuhnya terasa kosong.

Jantung Ellen terasa menegang, dan juga, pinggulnya terasa jatuh di atas kakinya yang kuat.

Ellen bengong, belum menyadari apa yang terjadi, bibirnya dicubit dari sudut oleh seseorang, menjadi seperti mulut ikan mas, kemudian, sepasang bibir yang hangat, bibirnya yang berwarna terang menurun.

“Em.....”

Ellen menarik napas, kedua mata terbuka besar, melihat wajah tampan yang sangat dekat.

Paman Ketiga ini di ruang tamu!

Bibi Darmi kapan pun bisa datang dari dapur, apakah kita bisa lebih berhati-hati!

Ketika napas dia menerobos masuk ke mulutnya, seluruh tubuh Ellen tidak berhenti gemetaran, rupanya dia, sangat dalam.

“Tuan, Nona, makan, aiyo...”

Darmi membawa makanan dari dapur, belum selesai berbicara, melihat pria dan wanita yang berciuman di pinggir sofa, dia terkejut sampai menutup matanya, lari kembali ke dapur.

Mendengar suara dia, benar-benar sangat terkejut!

Telinga tipis Ellen memerah, begitu malu sehingga dia ingin menggali lubang untuk mengubur dirinya sendiri!

Tapi seseorang tidak merasa malu, melanjutkan memainkan bibirnya, sampai Ellen tidak bisa bernapas lagi dia baru melepaskan, bibir tipis yang hangat dan basah berpindah dari sudut bibirnya ke pipinya, berakhir di telinganya yang memanas, berbisik, “Aku adalah milikmu,”

Ujung rambut sampai ujung jari Ellen, terasa membeku.

Paman ketiga dia, menggoda seorang gadis baik!

Tapi dia .... ...

Suka.

……

Pani keluar dari rumah sakit, Ellen menjemputnya, William di tahun lalu hampir selalu sibuk, lebih bebas dibandingkan dengan biasanya, jadi dia menemani Ellen pergi ke rumah sakit.

Mereka berdua sampai di rumah sakit, baru saja turun dari mobil, melihat Pani digandeng oleh Sumi Nulu turun dari teras rumah sakit yang besar.

Ellen melirik tangan mereka berdua, ujung bibir menegang, melirik William yang di sampingnya, kecanggungan itu datang lagi.

Pani yang berjalan turun melihat Ellen, tersenyum, wajahnya langsung memerah, menahan bibir dengan sekuat tenaga menarik tangannya dari genggaman Sumi Nulu, berlari kecil ke hadapan Ellen, dengan hati-hati melirik Tuan berwajah dingin di sebelah Ellen, melihat Ellen dan berbisik,” Sudah aku bilang kamu tidak usah datang, hanya keluar rumah sakit, kenapa membuat banyak orang terlibat?”

Yang Pani sebutkan “Melibatkan banyak orang”, menunjuk ke orang yang berdiri di samping Ellen.

Ellen tahu Pani ada sedikit takut kepada William.

Alasannya.

Wajah orang itu benar-benar terlalu dingin, tidak ada ekspresi senang, kelihatannya sangat tidak mudah didekati.

Ellen melihat Sumi Nulu yang berjalan kemari, berkata.” Saat kami datang ada memberitahu Paman Nulu, dia tidak memberitahumu?”

“... ...” Pani sedikit tertergun, melihat Sumi Nulu.

Sumi Nulu menaikkan bibir, dengan pandangan hangat, suasana hati sangat baik, “Aku lupa.”

Hehe.

Pani menahan tawa.

Setelah beberapa hari di rumah sakit berhubungan, Pani sudah mempelajari secara dalam cara bermuka dua dia!

Kalau William adalah serigala, maka Sumi Nulu pasti harimau yang tersenyum.

Saat melihat orang memperlihatkan wajah penuh senyuman, memperlihatkan wajah yang hangat dan tidak berbahaya, tapi di belakang melakukan hal-hal merugikan orang!

Dan juga, dia pasti tahu Ellen dan William akan datang, maka pada saat keluar rumah sakit, bersikeras ingin menggandeng dia keluar, tujuannya yaitu ingin memperlihatkan ke Ellen dan William.

Rencana jahat ini

……

Karena Sumi Nulu dan William ada membawa mobil masing-masing, pada akhirnya, Ellen dan William mengemudikan satu mobil, Pani dan Sumi Nulu mengikuti bersama.

Ellen dari kaca spion melihat Sumi Nulu dan Pani naik ke mobil, bertanya kepada William, “Paman ketiga, Paman Nulu kenapa ingin menikahi Pani?”

Saat Ellen selesai bertanya, menunggu sebentar, tidak terdengar jawaban William, mengalihkan pandangan dari kaca spion, melihat ke arah William yang duduk di kursi pengemudi.

Pandangan William lurus ke depan, wajahnya sangat dingin, kedua bibir membentuk senyuman tidak peduli, yang terlihat seperti tidak ramah.

Tapi dia begini, Ellen sudah terbiasa, jadi hanya menganggap itu adalah suasana hati dia yang normal.

“Paman ketiga, apakah kamu mendengar aku berbicara?” Ellen berhenti sebentar, memiringkan kepala melihat William.

William dengan halus menganggukan kepala, pandangan yang dingin itu menatap Ellen dari kaca, suaranya sangat tenang, “Kamu pikir Paman Nulumu kenapa ingin menikahi Nona Pani?”

Ellen berpikir sebentar, menggeleng, “Tidak tahu.”

William menaikkan alis, “ Apakah tidak bisa kalau Paman Sumi Nulu menikahi dia karena menyukai dia?”

“... ...” Ellen tidak berbicara.

Melihat itu, William menoleh melihat dia, “Kenapa, kamu pikir Paman Nulumu tidak menyukai dia?”

Ellen mengetuk bibir, “ Kelihatannya bukan tidak suka, tapi.”

Ellen berhenti sebentar, alis matanya yang indah mengerut, melihat William dan berkata.” Paman Nulu bukankah selalu menyukai Arla Lin?”

“Arla sudah menikah.” William berkata dengan datar.

Ellen memandang William.

Dia mengerti maksud William.

Arla sudah menikah.

Walaupun Paman Nulu dia menyukai Arla seberapa besar, juga tidak bisa mengubah kenyataan bahwa Arla sudah menikah.

Lagipula, Arla sangat menyukai suaminya yang sekarang, demi bisa menikah dengan dia, sudah menderita banyak.

Jadi, dia tidak berpikir Arla akan bercerai dengan suaminya, tentu saja hanya pemikiran Ellen!

Saat itu juga.

Hati Ellen juga sangat jelas.

Paman Nulu dia sampai sekarang masih menyukai Arla.

Dan nama Arla ini, menjadi hal yang tabu untuk beberapa orang di acara pertemuan!

Tidak ada orang yang akan mengungkit namaArla di depan dia!

Tidak mengungkit bukan berarti lupa, tentu saja.

Alasannya karena masih cinta, dan lagi cinta yang sangat dalam.

Jadi, Ellen sangat tidak mengerti kenapa Sumi Nulu ingin menikahi Pani?

Dia tidak menyangkal karisma Pani, dia sangat bebas, mandiri, baik hati, dia bisa mengucapkan banyak kelebihan Pani dalam satu tarikan napas.

Sumi Nulu menyukai Pani, dia tidak merasa aneh, tapi tingkat kesukaan dia terhadap Pani, harus dipertanyakan.

Dan juga Ellen melihat kecanggungan antara Sumi Nulu dan Pani karena usia, atau mungkin juga karena Arla.

Ellen menghela napas dalam hati, pandangannya juga melihat pemandangan di luar mobil, matanya terlihat begitu bingung.

William melihat Ellen mengernyitkan dahi, bibirnya membuka ringan, seperti akan mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya, tidak mengatakan apa-apa.

……

Karena Pani keluar rumah sakit, beberapa orang berencana merayakan di Paviliun Mingyue.

Dan, belum sampai di Pavilium Mingyue, William mendapat telepon dari Hansen, mengatakan dia sekarang di Coral Pavilion, ingin mereka walau berada di mana pun, harus segera kembali.

Tidak berdaya, William dan Ellen hanya bisa berbalik kembali ke pavillion.

Mengetahui Ellen tidak pergi, Pani saat itu mengatakan supaya semua tidak usah pergi lagi, menyuruh Sumi Nulu mengantar dia pulang.

Sumi Nulu hanya tersenyum, tapi arah mobilnya tidak berubah, tetap di arah jalan ke Paviliun Mingyue.

Pani,“……”

……

Setengah jam kemudian, William dan Ellen sampai di Coral Pavilion.

Saat mobil baru berhenti di pintu, terlihat Hansen dan, Louis dan juga Gerald yang tidak tahu kapan kembali dari Paris berdiri di tangga depan pintu.

Pertempuran ini .....

Ellen sedikit bengong.

William mengernyitkan dahi.

Mereka berdua turun dari mobil.

Louis langsung berjalan ke depan, mengenggam tangan Ellen, melirik William dengan cepat, lalu menarik tangan Ellen berjalan ke dalam, “Ellen, nenek ada membelikan beberapa hadiah dari Paris untukmu, ayo masuk dan lihat.”

Ellen, “......” di paksa masuk ke pavilion, sepatunya pun belum sempat di ganti.

William melihat Louis menarik Ellen berjalan kedalam, melirik dengan dingin, melihat Hansen dan Gerald, “Kakek, Ayah,”

Hansen melihat Gerald sekilas, tidak mengatakan apa-apa, menggeleng dan masuk ke dalam rumah.

William menaiki tangga, melihat Gerald yang masih berdiri diam di tempat.

Gerald membuka mulut, “William ......”

“Masuk dulu.”

Gerald baru saja membuka mulut, William langsung memotong perkataan dia, berkata dengan datar.

Ekspresi wajah Gerald menjadi kaku dan canggung , menganggukkan kepala, juga ikut berjalan masuk ke dalam.

William menyipitkan matanya, mengikuti masuk ke dalam.

……

Ruang tamu.

“Ellen, ini pemutar CD yang nenek belikan khusus untukmu dari Paris, bisa digunakan untuk mendengarkan pembicaraan bahasa Inggris, saat liburan juga bisa mendengarkan lagu. Dan juga parfum Dior, tas Chanel, dan juga mantel Givenchy. Dan masih ada lagi, handphone. Kemarin malam tidak bisa menghubungi teleponmu, baru saja mendengar dari kakek besarmu, handphonemu tidak sengaja hilang, jadi pagi ini, aku khusus pergi ke mall membelikanmu handphone.” Louis berkata.

Ellen melihat banyak kotak dan tas belanja diberikan, wajahnya tersenyum kaku.

Parfum Dior, Tas Chanel, Mantel Givenchy...

Sangat mewah!

Ellen melihat Louis dan tersenyum, “Terima kasih nenek.”

“Tidak perlu terima kasih, sudah seharusnya.” Louis menjawab sambil tertawa senang.

Ellen tertawa kaku.

Berpura-pura mengulurkan tangan memegang dahi, tapi sebenarnya untuk menghadang mata nya yang melihat ke arah William.

Wajah William sangat tenang, wajahnya tidak bisa ditebak.

Menerima pandangan Ellen, William dengan ringan menahan bibir bawahnya, melihat ke Hansen, “Kakek, kenapa kamu menyuruh kami pulang dengan buru-buru, apa ada masalah?”

Hansen melirik dia, tidak berbicara.

Dia bisa tidak tahu alasan mereka datang?

Hansen tidak berbicara, William mengalihkan pandangan ke Louis dan Gerald.

Gerald mengambil teh di atas meja menahan mulut, berkata, “Aku lihat wajah Ellen sudah membaik.”

“Betul, wajahnya sudah mulus , sama sekali tidak terlihat bekas luka lagi.” Louis melihat wajah Ellen, berkata.

William melihat Gerald dan Louis, tidak bersuara.

Hansen berdeham, “Sudah membaik, gampang sekali mengatakannya, apakah batu yang jatuh di punggung kakinya? Coba saja wajah kalian dijahit berkali-kali!”

Louis menarik ujung bibirnya, mengeluh kepada Hansen, menekan suaranya berkata, “Pa, lihat apa yang kamu katakan.”

“Apa aku salah bicara?” Hansen memutar mata.

Louis berkeringat.

Saat datang sudah mengatakan akan berdiri di pihak mereka, kenapa sudah datang, malah melawan balik mereka?

“Ellen, melihat luka di wajahmu sudah sembuh, batu di hati nenek juga sudah hilang,” Louis dengan lembut melihat Ellen dan berkata.

Ellen tersenyum, “Sudah membuat nenek cemas.”

Ucapan sopan Ellen, masuk ke dalam telinga Louis, membuat wajahnya terpana, dan juga tertegun.

Dan saat itu, William membuka mulut, “Kalian sudah pulang, seharusnya Vania Dilsen juga sudah pulang!”

William langsung menyebutkan nama lengkap Vania.

Mendengar itu membuat hati Louis bergetar.

Novel Terkait

Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
4 tahun yang lalu