Hanya Kamu Hidupku - Bab 223 Paman Ketiga Dia Bukan Tidak Peduli Padaku

William melirik Ellen, dan suasana hatinya yang suram tiba-tiba membaik.

William berbalik dan melangkah maju mendekatinya.

Ellen melihatnya melalui sudut mata, alis matanya yang panjang berkedip dengan cepat.

William berjalan mendekati Ellen, matanya yang mendalam menatap fokus pada Ellen, dan berkata, “Dia diperingkat kelima, kamu boleh memanggilnya Adik kelima.”

“Hey hey hey, jangan keterlaluan.”

Samir langsung melompat.

Dia boleh menerima penurunan jabatan tanpa alasan, namun sekarang malah menambahkan kata “adik” di depan nama!

"Aku tidak mau!" Samir mendengus, mengerutkan kening menatap Ellen, “Harus memanggilku kakak kelima!”

“Enak ajah!”

William meliriknya.

Samir merasa tidak puas dan terlalu malas untuk membantah William, mumpung tidak berguna juga, dia menatap Ellen dan berkata, “Ellen, kamu pilih!”

“Ini.....” Ellen menyentuh hidungnya, dan dia merasa dirinya juga tidak dapat memanggil “Adik kelima”, jadi dia memanggil “Kakak kelima.”

William mengerutkan bibirnya, menatap Ellen.

Dia memanggilnya "Kakak kelima", bagaimana dengan dia?

Ellen tidak melihat William, emangnya dia dapat mengurusnya?

Samir mendengar Ellen memanggil seperti ini, awan gelap di wajahnya tiba-tiba menghilang, tersenyum senang dan melirik William dengan sombong, “Ya begitu dong, baiklah aku tahu apa yang ingin kamu katakan. Kamu bisa melakukan wawancara kapan saja, tidak terbatas waktunya, dan aku akan menjawab semua pertanyaanmu, bagaimana, cukup baik?”

“Cukup, cukup, Terima kasih Tuan Sa..... Kakak kelima.” Ellen tersenyum puas.

Samir mengangkat dagunya, “Ini hanyalah masalah kecil.”

“Kalau begitu, aku akan pergi dulu, selamat tinggal.” Ellen melambaikan tangan padanya.

Samir terdiam, dan menyipitkan mata melirik ke arah William.

Alis William berkerut lagi, menatap Ellen dengan wajah suram.

Ellen mengedipkan matanya beberapa kali, menundukkan kepalanya dengan lembut, berbalik dan berjalan menuju ke arah mobil.

“Berhenti di sana!”

William tiba-tiba berteriak.

Ellen tertegun, memutar kepala menatapnya, matanya yang besar terlihat panik.

William melihatnya seperti ini, matanya yang dingin langsung melintasi suatu perasaan kasihan, ekspresinya yang serius mereda, lalu berkata, “Nomor ponsel.”

“?” Ellen mengedipkan matanya.

“Bukankah kamu ingin melakukan wawancara, kalau tidak ada nomor kontak bagaimana menghubunginya? Atau, kamu ingin langsung pergi mencarinya di hotel?” William menyipitkan matanya dan berkata.

Ellen menatap Samir.

Samir segera berkata, “Iya, Ellen, kamu harus meninggalkan nomor kontakmu. Ayolah, cepat beritahu Paman Samir, berapa nomor ponselmu.”

Samir mengeluarkan ponsel, segera membuka kunci dan menatap Ellen.

Ellen tertegun sejenak, kemudian memberitahunya nomor ponselnya.

Setelah memberitahu nomor ponselnya, Ellen langsung berbalik dan masuk ke dalam mobil.

Setelah memasuki mobil, Ellen menundukkan kepala dan mengaitkan sabuk pengaman, ketika menyalakan mobil, dia tidak menahan diri melihat kaca spion.

Tanpa terduga, dia kebetulan bertatapan dengan pandangan seseorang yang mendalam.

Hati Ellen tersentuh, dia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, menyalakan mobil dan melaju pergi.

William berdiri di tempat semula, melihat mobil Ellen pergi menjauh, hingga tidak terlihat lagi, dia baru memutar kepalanya, melihat Samir menundukkan kepala sedang melihat ponselnya, dia menggerakkan matanya dan jarinya sedang mengetuk ponsel di dalam sakunya dengan lembut.

……

Ketika Ellen membawa Tino kembali ke Vila, Nurima dan Nino Nie sedang duduk menonton TV di sofa.

Seperti wanita tua biasa, Nurima suka menonton drama etika keluarga yang sensasional dan terjerat serta drama TV yang diproduksi oleh saluran lokal, Karena dia suka menonton, jadi Nino Nie dan Tino juga sering ikut nonton.

Nino Nie melihat Ellen dan Tino kembali, matanya tiba-tiba bersinar, tetapi kemudian mengalihkan pandangannya dengan bangga, memeluk dada dan terus menonton TV, tetapi alisnya yang berkerut menunjukkan ketidakpuasan bocah kecil ini.

Ellen sudah melihatnya, dia tersenyum, menggandeng tangan Tino ke samping Nino Nie, menempatkan Tino ke sofa sebelah, sedangkan dia sendiri duduk diantara dua bocah kecil, mengulurkan tangan menggendong Nino Nie dan meletakkannya di pangkuannya. Mencium di alisnya yang berkerut dan berkata dengan lembut, "Ada apa? Siapa yang membuat Tuan muda tidak senang?”

Kedua tangan Nino Nie memeluk dadanya, mengangkat matanya menatap Ellen, “Adakah aku merasa tidak senang? Tidak ada, kan.”

“Pasti karena kita makan di luar, dan tidak mengajaknya, jadi dia marah. Dasar pemarah.” Tino mengangkat bahunya berkata.

Terbuka secara terang-terangan oleh Tino , wajah Nino Nie langsung memerah, memelototi Tino dengan wajah cemberut, “Bagaimana mungkin aku akan marah dengan masalah sekecil ini?”

Tino menatapnya, “Kalau begitu mengapa kamu tidak senang?”

“Karena.......”

“Bukankah tadi kamu bilang dirimu tidak marah?”

Nino Nie, “......” Dasar!

Ellen melihat Nino Nie yang terdiam tidak dapat membantah kata-kata kakaknya, dia tidak bisa menahan diri mengangkat sudut bibirnya, menundukkan kepala dan mencium di wajahnya, “Jangan marah lagi, di perjalanan kembali, kakakmu sengaja mengingatkan ibu untuk membeli kastanye yang paling kamu sukai.”

Mendengar kata-kata Ellen, Nino Nie memutarkan bola matanya, melihat sekantong besar kastanye yang diletakkan di atas meja, suasana hatinya tiba-tiba membaik, dia mencibir menatap Ellen, “Demi kastanye, aku memaafkanmu.”

Tino menggerakkan mulut kecilnya, malas melayaninya.

Hati Nino Nie sudah melayang ke kastanye, dan tidak dapat duduk tenang di pangkuan Ellen, selalu bergerak ingin turun.

Ellen tahu dan melepaskannya.

Setelah kakinya terkena lantai, Nino Nie berpura-pura diam selama dua detik, akhirnya tidak dapat menahan godaan yang dibawakan kastanye padanya, berjalan ke sana dan mengambil sebiji kastanye dari dalam kantong dan mengopeknya dengan serius.

Ellen melihat Nino Nie bagaikan seekor tupai kecil yang sedang memakan kastanye, hatinya terasa hangat.

Tino berdiri dengan kedua tangan menekan di sofa, menundukkan matanya, tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.

Tiba-tiba, bocah kecil melompat turun dari atas sofa, dan berjalan ke samping Nino Nie, langsung mengambil kantong kastanye dengan kedua tangannya.

Nino Nie tertegun, memutar kepala melihat Tino .

“Kita makan di lantai atas.” Tino berkata.

Selain waktu tidur, “Lantai atas” yang mereka katakan adalah ruang main di lantai tiga.”

Nino Nie menatap Tino , tiba-tiba menyipitkan matanya dan mengangguk.

Kemudian, kedua adik beradik menggoyangkan pantatnya yang berdaging naik menuju ke lantai atas.

Ellen memutar kepala menatap dua bocah kecil yang sedang naik ke lantai atas, matanya yang besar berkedip.

“Huanhuan.”

Mendengar Nurima memanggilnya, Ellen mengalihkan pandangannya, menatap Nurima yang sedang duduk di sofa.

Nurima tersenyum menepuk tempat duduk di sebelahnya, Ellen langsung duduk di sebelahnya, merangkul lengannya, bersandar di bahunya.

Nurima menundukkan kepala menatapnya dengan penuh kasih sayang, pandangannya menatap ke layar TV, dan perlahan-lahan berkata, “Hari ini membawa Tino keluar, adakah terjadi sesuatu?”

Mata Ellen tertegun, mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan curiga, “Nenek.”

Terasa pandangannya tertuju padanya, Nurima menghela nafas dalam hati, mengambil remot TV dan memadamkan TV.

Ellen melihat situasi ini, bibirnya tanpa sadar tertutup rapat.

Nurima memutar kepala menatap Ellen, tatapannya penuh khawatir, “Semalam setelah mendapat panggilan telepon, aku langsung menyuruh kakakmu mencari beberapa orang yang dapat dipercaya datang ke sini, untuk melindungi kakakmu, dan kalian bertiga. Jadi hari ini ketika kamu keluar bersama Tino , selalu diikuti seseorang secara diam-diam.”

Membicarakan ini, Nurima tertegun sejenak, lalu berkata, sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu, namun aku takut kamu merasa tidak nyaman, jadi setelah berpikir, aku memutuskan untuk memberitahumu.”

“.......” Mendengar kata-katanya, ekspresi Ellen sedikit tertegun, punggungnya juga menjadi tegak, “Nenek, apa benar begitu serius?”

Sudut mata Nurima memerah, dia mengulurkan tangan dan menepuk telapak tangan Ellen yang merangkul lengannya, “Huanhuan, kamu terlalu muda dan begitu baik, kamu tidak akan mengerti betapa kejamnya orang-orang yang melakukan kejahatan. Aku juga berharap semuanya hanyalah diriku kebanyakan berpikir, tetapi setelah kehilangan dua putra berturut-turut, aku benar-benar tidak dapat kehilangan kamu dan kakakmu lagi, aku memohon meskipun kamu merasa tidak nyaman, kamu harus tetap bertahan, ok?”

“Nenek.”

Ellen memeluknya, “Kamu begitu peduli pada kami, bagaimana mungkin aku akan merasa tidak nyaman, aku malah merasa bahagia.”

Sudut bibir Nurima bergetar, mengangkat tangannya yang keriput menyentuh punggung Ellen.

Membiarkan Ellen memeluknya sebentar, Nurima menyeka air mata di sudut matanya, memegang lengan Ellen, dan mendorongnya sedikit menjauh.

“Huanhuan, siapakah kedua pria yang kamu temui hari ini?” Nurima memandangnya dengan khawatir.

Ellen mengedipkan matanya, berbisik, "Paman ketiga dan paman Samir."

Paman ketiga?

Nurima membuka lebar matanya, “Maksudmu, paman ketiga dari keluarga Dilsen?”

Ellen mengangguk.

"..... Untuk apa dia ke sini?" Nurima memegang erat lengan Ellen, dan berkata dengan penuh khawatir.

Karena genggamannya yang erat, Ellen mengangkat pundaknya dan menarik napas berkata, “Nenek, jangan khawatir. Dia seharusnya tidak mengetahui aku berada di kota Rong sebelumnya.”

“Bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Dulu mereka begitu kejam padamu. Empat tahun yang lalu, kalau bukan aku dan kakakmu kebetulan bertemu denganmu di perjalanan mencarimu, akibatnya tidak dapat dibayangkan. Dan sekarang pada saat seperti ini, dia muncul lagi, bagaimana mungkin aku tidak khawatir!” Nurima mulai terengah-engah.

Ellen mengulurkan tangan dan membelai dadanya, “Nenek, ada kesalahpahaman dalam kejadian itu, Paman ketiga...... dia bukan tidak peduli padaku.”

Ketika mengatakan beberapa kata terakhir, suara Ellen tercengang, dan tatapannya terlihat sedih.

Nurima menarik nafas dan menatapnya dengan curiga, “Salah paham? Maksudnya?”

“Kamu tenang dulu, aku akan memberitahumu.” Ellen mengkhawatirkannya dan berkata.

“Aku baik-baik saja, katakanlah.” Nurima menghela nafas, menatap Ellen dan berkata.

Ellen mengerutkan bibirnya dan berkata, "Kejadian ini, sepertinya bukan penculikan biasa......"

Ellen memberitahu Nurima tentang isi pembicaraannya bersama William.

Tak terduga, Ellen berkata, “Aku terlalu bodoh, tidak memikirkan kemungkinan lainnya. Selain itu, aku mengetahui ayahku meninggal karena ditabrak oleh Gerald, hatiku terkejut dan sedih, sehingga membuatku mengabaikan banyak hal yang jelas di depan mata.”

Ellen menarik nafas, suaranya serak, “Dulu di keluarga Dilsen, Kakek buyut dan...... Paman ketiga benar-benar sangat baik padaku, kalau mereka yang menerima panggilan dari penculik, mereka seharusnya tidak akan mengabaikanku. Jadi pasti ada seseorang yang sengaja mempersulit dan menciptakan kesalahpahaman antara aku dan keluarga Dilsen, untuk mencapai suatu tujuan.”

Selesai mengatakan kata-kata ini, Ellen sudah berlinang air mata.

Mengetahui semua ini, suasana hatinya sangat rumit, tetapi dia memiliki suatu perasaan yang sangat jelas, yaitu rasa sakit!

Novel Terkait

Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
3 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
4 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu