Hanya Kamu Hidupku - Bab 179 Tidak Ingin Berpisah Dengan Paman

William berdiri diam disana, mengerutkankan keningnya, menatap Ellen selama beberapa detik, dan melangkah maju.

"Tuan, nona muda."

Lina keluar dari aula dan melihat rombongan William masuk, ketika ia melihat William yang membawa barang di tangannya, dia bergegas maju dan mengambil barang-barang tersebut dari tangan William.

Hansen dan Louis yang mendengar suara Lina di ruang tamu aula juga datang keluar ke pintu.

Hansen maupun Louis mengarahkan pandangannya langsung ke arah Vima, dan baru kemudian memandang Ellen dan William.

"Ellen, cepat bawa Mamamu ke dalam, Tidak baik membuat Mamamu menunggu di halaman seperti itu," kata Hansen yang menatap Ellen dengan penuh kasih.

"Ya," Ellen dengan cepat menanggapi, Dia pun memegang lengan Vima, "Ma, ayo masuk."

Wajah Vima sedikit tegang, namun ketika dia mendengarnya, dia pun segera mengangguk.

Hansen dan Louis berdiri di samping.

Ketika Ellen menarik Vima ke dalam rumah, Vima berhenti dan memandang Hansen dengan sopan, "Silahkan kamu duluan."

"Tidak perlu menjadi orang asing. Semuanya adalah keluargamu sendiri. Tidak ada banyak aturan," Hansen tertawa riang.

Vima menatap Ellen dengan perasaan tidak enak.

Ellen merasakannya, dia pun memandang Hansen dan Louis, "Kakek, nenek, mari kita pergi bersama."

Hansen memandang Vima, tahu bahwa dia belum terbiasa, dia pun mengangguk sambil tersenyum, dengan bantuan Louis, berjalan menuju ruang tamu.

Hansen dan Louis berjalan di depan, Ellen dan Vima mengikuti di belakang, William berada di paling belakang.

“Mama Ellen, silakan duduk.” Louis memegang Hansen untuk duduk di sofa utama, dan kemudian menyapa Vima dengan selayaknya.

Vima duduk terlebih dahulu, Sehingga Ellen duduk di sofa sampingnya.

Louis memandang Lina, yang meletakkan barang-barang yang dibawa oleh Vima di atas meja, "Lina, sajikan teh."

"Baik, Ma," jawab Lina.

Setelah memberi perintah, Louis duduk di sofa di seberang Ellen dan Vima.

William memperhatikan posisi duduk Louis, dan kemudian melihat ke arah Ellen, bibirnya menipis dan akhirnya datang untuk duduk di samping Louis.

Ellen melihatnya, Bola matanya terpancar senyuman.

William hanya menyipitkan mata dan bersenandung dalam diam.

"Mama Ellen..."

"Pak, panggil saja aku Vima. Kamu adalah penolong dari keluarga kami. Kebaikanmu kepada Ellen, Aku tidak akan bisa melupakannya." Mata Vima basah, sambil berbicara, dia bangkit berjalan ke arah Hansen dan berlutut di depan Hansen.

Semua orang terkejut dengan tindakan Vima ini.

Ellen pun juga berdiri dari sofanya.

"Aduh, lihat dirimu. Ellen, ayo cepat bantu Mamamu untuk berdiri." Hansen berbicara dengan panik.

Ellen melangkah maju ingin memegang tangan Vima, tetapi karena tidak ingin jatuh saat dia menariknya, Dia pun berlutut bersama.

William duduk tegak, alisnya berkerut sambil menatap Hansen.

Merasakan pandangan William kepadanya, Hansen pun semakin panik.

Ellen saat ini sedang mengandung ...

"Kakek, jika saat itu Keluarga Dilsen tidak mengadopsi Ellen, Tidak tahu hari ini kondisi Ellen akan seperti apa. Aku dan Ellen tidak bisa membalas dengan apapun, biarkan di sisa hidup kami, Aku dan Ellen bekerja keras untuk membalas jasa engkau."

Vima mengucapkan rasa syukurnya yang paling tulus atas kebaikan keluarga Dilsen untuk mengadopsi Ellen.

Ellen adalah satu-satunya darah daging nya dan pria yang paling dicintainya, dan harta paling berharga di dunia ini.

Dan Keluarga Dilsen tidak melihat Ellen sebagai anak angkat yang sepele. Dia dibesarkan dengan sangat baik, jangankan berlutut. Jika diperintahkan untuk memberikan nyawanya kepada keluarga Dilsen, Dia pun tidak akan berkedip dan langsung menyetujuinya.

Melihat mata yang tulus dan berlinang air mata di wajah Vima, Hati Hansen menjadi berat, dengan alis yang berkerut dia berkata, "Sejak mengadopsi Ellen, Dia telah memberiku kebahagiaan yang jauh melebihi apa yang sudah Aku berikan kepada Ellen. Jadi Mama Ellen, tolong jangan bicara seperti ini. Kita adalah satu keluarga. Bukankan satu keluarga sudah seharusnya untuk saling menolong ? Mengenai balas budi yang kamu bicarakan, Ucapaanmu terlalu berat. "

"Betul,Vima, kamu dan Ellen bangunlah sekarang, lantainya sangat dingin."

Sebenarnya lantai itu sudah dilapisi karpet.

Louis berdiri dan melangkah maju untuk membantu Vima bangkit.

Setelah Vima bangun, Ellen pun juga berdiri.

"Ayo silahkan duduk," Hansen menyapanya.

Vima menunduk dan bersama dengan Ellen duduk di sofa.

Kerutan alis pada wajah William pun lebih sedikit.

Begitu Louis kembali ke arah sofa di sebelah william , dia mendengar Vima berkata, "Kakek, Vima masih memiliki permintaan yang besar."

Louis memandang Vima.

Hansen yang meletakkan kedua tangannya di atas lutut, seolah-olah ingin menyatakan rasa hormatnya kepada Mama Ellen. Dia memandang Vima di matanya dan berkata, "Silahkan bicara."

Vima meraih tangan Ellen, "Sekarang Aku sudah kenal dengan Ellen. Suami dan anak tiriku juga sudah tahu keberadaan Ellen. Maksud dari mereka, adalah supaya bisa membawa Ellen pulang. Satu keluarga bisa kembali bersama."

Wajah Hansen gemetar dan dia memandang William, "Ini... William, bagaimana menurutmu?"

Mata William yang dalam dan dingin,tidak terlihat ekspresi apapun disana. Dia memicingkan matanya ke arah Hansen, dan kemudian menatap Ellen, "Aku menghargai keinginan dari Ellen."

Uh...

Wajah kecil Ellen menjadi kecut .

Walaupun dia bilang akan menghargai keinginannya, namun pandangan kepadanya sudah jelas penuh dengan peringatan?

Setelah mendengar William, Louis juga melirik William.

Hansen memandang Ellen dengan hati-hati.

Dia tentu tidak ingin Ellen tinggal bersama keluarga Vima.

Dia saat ini sedang mengandung, bahkan walaupun dia tinggal di Coral Paviliun bersama dengan William dia sudah merasa tidak nyaman, Setiap hari dia menelponnya lebih dari satu kali untuk menanyakan kondisi Ellen, bagaimana jika dia pindah dan tinggal bersama Vima.

Tapi Vima sudah menyebutkannya hal ini.

Dia tentu saja tidak bisa menolaknya secara langsung, jadi dia melemparkan pertanyaan ini ke William.

Dia tidak menyangka bahwa William akan mendengarkan keinginan dari Ellen.

Dia pikir dengan kepribadian nya, dia akan langsung berkata : Tidak!

Hah!

Di depan calon Mama mertua, akhirnya dia tahu menundukkan kepala, tidak berani sombong lagi kan !

Vima pun menatap Ellen, dengan pandangan berharap kepadanya, "Ellen, apakah kamu bersedia?"

"..." Ellen menjilat bibir bawahnya, pandangan matanya kembali jatuh kepada William.

Pada pandangan sekilasnya kepada William, dia melihat William yang menaikkan sudut bibirnya yang dingin.

Ellen pun mengembalikan pandangannya, Kedua sudut bibirnya tertarik hingga sudut tertentu, Mata nya yang bersinar memandang Vima, "Ma, tentu saja aku ingin tinggal bersamamu..."

"Ehm Ehm."

Hansen tiba tiba terbatuk.

Suara Ellen terhenti, bibirnya terbuka, matanya melebar ingin tersenyum menatap Hansen.

Hansen segera mengangkat satu tangan dan menggerakkannya ke arah Ellen, "Aku baik-baik saja, tidak perlu pedulikan aku, Kalian bicara saja."

Ellen menundukkan kepala dan menahan tertawa.

"Yah, aku tidak tahu apa yang terjadi baru-baru ini, selalu tidak enak badan, disini tidak enak, disana tidak enak," kata Hansen pada dirinya sendiri.

“Kakek tidak enak badan?” Vima yang mendengar bertanya karena khawatir.

"Sudah mulai tua. Tubuh tidak sebagus sebelumnya," kata Hansen.

"Kakek, Aku kenal seorang praktisi pengobatan Tiongkok yang bagus.Maukah Aku kenalkan untuk kamu coba ?" Kata Vima.

Mata Hansen seakan berkelip, menampilkan ekspresi tertarik, sambil menatap Vima, "Benarkah itu?"

"Benar. Penyakit yang tak tersembuhkan yang disembuhkannya tak ada habisnya," saran dari Vima.

"Oh? Contohnya seperti apa ?" Hansen memiliki kecenderungan untuk bertanya hingga jelas.

Vima yang tidak curiga,dengan sabar dan teliti memberi tahu kasus- kasus yang telah disembuhkan oleh pengobatan ini.

Ellen pun " didiami ".

Ellen bersandar di sofa dengan geli.

Mata besarnya dengan sengaja tidak melihat seseorang berpandangan dingin yang duduk berlawanan arah dengan Ellen, dan menatap perlahan-lahan ke arah lantai dua.

Sebelum dia datang ke rumah ini hari ini, dia sudah khawatir dia akan bertemu Gerald...

Ketika dia datang, dia terkejut tidak melihat Gerald dan Vania di ruang tamu.

Namun dengan segera dia menjadi lega.

Mungkin Gerald dan Vania tidak ingin melihatnya, ketika mengetahui bahwa dia akan datang, dengan sengaja menghindar.

Bagus juga

Tidak perlu membuat situasi canggung dan aneh, Supaya Vima tidak merasakannya.

Vima tidak berpikir bahwa Hansen "tertarik" pada pengobatan Tiongkok.

Pertanyaan diajukan satu demi satu.

Vima memiliki temperamen yang lembut Ketika Hansen tertarik, dia pun secara natural menjawabnya.

Setiap pertanyaan yang diajukan oleh Hansen, dipikirkan terlebih dahulu baru dijawab, menandakan sikap yang sangat serius.

Jadi hingga waktu makan siangnya, Vima tidak punya kesempatan untuk menyebutkan topik membawa Ellen untuk tinggal bersamanya lagi.

Sambil pada waktu makan siang.

Vima teringat tujuan datangnya ke sini, dan segera ingin berbicara.

Namun ketika melihat semua orang, termasuk Hansen dan Louis, yang fokus pada makanan mereka.

Vima khawatir bahwa ini adalah aturan makan bersama keluarga Dilsen, dan dia tidak jadi berbicara.

Setelah selesai makan

Mereka semua pergi berjalan jalan di halaman belakang rumah itu.

Louis dan Vima berdiri menuntun Hansen yang berada diantara mereka, dan Ellen dan William berjalan di belakang mereka bertiga.

Setelah berjalan dua putaran di halaman, mereka kembali ke halaman depan ruang tamu, Hansen terus menceritakan cerita lucu saat Ellen masih kecil.

Ketika Vima mendengarkan cerita Hansen, matanya terlihat basah.

Mereka berdiri beberapa saat di halaman, Vima tiba-tiba membicarakan pertanyaan yang telah ia sebutkan diruang tamu, dia memegang tangan Ellen, dan berkata dengan sedih, "Ellen, Mama telah kehilangan banyak waktu menemanimu, Mama tidak ingin kehilangan kenangan itu lagi. Ellen, maukah kamu tinggal bersama Mama? "

Mendengar kata-kata Vima, wajah Hansen sedikit disesuaikan. Sekarang ia dapat mengajukan beberapa pertanyaan lagi tentang pengobatan tradisional Tiongkok.

Wajah William yang dingin, Mata hitamnya menatap Ellen.

Ellen melirik sejenak ke arah William, dengan hati yang berat.

Dia tentu ingin tinggal bersama Vima, tetapi dia tidak ingin berpisah dari pamannya.

Ellen mengedipkan bulu mata hitamnya yang panjang dan memegang tangan Vima kembali, "Ma, aku..."

"Vima."

Louis tiba-tiba berbicara.

Ellen terkejut, menatap Louis yang berjalan ke arahnya dan Vima, matanya sedikit terkejut.

Louis menatap Ellen sejenak,dia memandang Vima. "Ellen berada pada masa kritis untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi, dan ujian masuk perguruan tinggi adalah hal yang paling penting sekarang. Sekarang setelah Kamu dan Ellen saling mengenal, selain itu kita semua kan tinggal di kota yang sama, Transportasi juga sangat mudah, Kapan saja ingin bertemu bisa dengan segera bertemu. Menurut pendapatku, jika membiarkan Ellen pergi untuk tinggal bersamamu, pertama agak menyusahkan; kedua, Ellen yang masuk ke lingkungan baru, membutuhkan waktu untuk beradaptasi,Aku khawatir hal ini akan mempengaruhi Ellen dalam belajar. Bagaimana jika setelah ujian masuk perguruan tinggi Ellen selesai kita bicarakan lagi ? "

"..." Vima mengerutkan kening, setelah menatap Ellen sejenak, lalu tersenyum pada Louis, "Kamu berpikir dengan sangat menyeluruh."

Mendengar perkataannya.

Ellen dengan cepat merasa lega.

Bukan hanya dia, Alis di wajah William pun terurai.

Novel Terkait

Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
3 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Innocent Kid

Innocent Kid

Fella
Anak Lucu
4 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu