Hanya Kamu Hidupku - Bab 619 Cinta Melemahkan Orang

“Sumi, kamu sudah yakin akan hal itu bukan?” Pani mencibir, mata memerah.

Betapa bodohnya dia, dia dengan konyolnya terus menunggu lamaran Sumi…...

Apakah Sumi bahkan terlalu malas untuk memberinya lamaran pernikahan sederhana?

Mengapa Sumi begitu tidak menghormatinya? Sedangkan dirinya peduli semua tentang dia, selalu menghormati dia!

Sumi menyuruhnya untuk beristirahat setahun sebelum bekerja, dia sudah berkompromi!

“Sumi.” Ekspresi wajah Pani menghilang sedetik kemudian, hanya menyisakan pucat. Dia menatap Sumi dan bernada aneh dan dingin, “Kamu keluar, aku mau sendirian.”

Sumi menggelengkan kepala, bagaimana boleh dia meninggalkannya sendirian pada saat ini?

"Pani, mengajukan kartu nikah tanpa berdiskusi denganmu adalah kesalahanku… … "

"Aku sudah bosan mendengarnya."

Pani menunduk, "Kamu selalu mengatakan bahwa masalah yang terjadi adalah kesalahanmu. Kamu bersalah, kamu segera mengakuinya."

Pani tersenyum pahit, membalikkan punggungnya, "Lupakan saja. Kamu menang lagi. Apa yang diprediksimu tidak salah, aku tidak bisa hidup tanpamu. Anak membutuhkan ayah, kita juga sudah menikah secara hukum, Tidak ada gunanya aku ribut ataupun bertengkar denganmu, Jika masalah ini ketahuan orang lain, mereka agaknya akan memarahiku manja, memarahiku munafik."

"Pani." Hati Sumi sangat sakit. Dia mengambil beberapa langkah maju, memeluk Pani erat-erat dari belakang, "Dengarkan penjelasanku, oke?"

Pani memandang ke luar jendela dengan diam, penglihatannya kabur.

“Kartu nikah diajukanku setelah kamu pulang ke Kota Tong bersamaku. Saat itu, aku tidak percaya diri. Aku selalu khawatir kamu akan meninggalkanku kapan saja. Aku kira setelah kita bersama untuk waktu yang lama, kekhawatiran ini akan berkurang secara bertahap dan hilang. Tapi tidak, kekhawatiran itu selalu ada, seolah telah menyatu denganku."

Suara Sumi lembut, suara serak dan lemah yang sulit terdeteksi, "Perasaan ini sangat buruk. Jadi, aku berpikir jika kamu dan aku terikat bersama secara hukum, akankah kekhawatiran ini hilang dan lenyap dengan sendirinya. Pada saat yang sama… …"

Kecanggungan melintasi mata Sumi, "Aku tahu bahwa William melakukan ini dulunya dan akhirnya membuat Ellen bersedia bersamanya. Aku hanya…... dibawa dorongan sesaat dan akhirnya mengajukannya."

Pani tidak berbicara, tetapi alis eloknya semakin menegang.

“Tapi aku menyesal beberapa hari setelah mendapatkan kartunya.” Ujar Sumi.

Menyesal?

Pani mengerutkan bibir.

Sumi menilik wajah samping Pani yang sedingin es batu, ketidakberdayaan dan kompromi mengisi suaranya, "Karena aku menyadari bahwa kamu berbeda dari Ellen. Kamu adalah orang yang sangat otonom. Kalau kamu tahu aku mengajukan kartu nikah tanpa sepengetahuanmu, ini pasti bakal menyentuh tulang amarahmu. Nantinya kamu bukan hanya tidak berkompromi denganku seperti Ellen, tapi kamu malah akan menjadi marah dan kecewa seperti sekarang."

Apa yang seharusnya dilakukan sudah diusahakan.

Apa gunanya menganalisisnya secara detail setelah masalah terjadi?

Pani berdengus di dalam hati.

“Tapi kartu nikah sudah diambil, nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlambat untuk menyadari ini.” Suara rendah Sumi bertambah perasaan kesal dan tertekan.

Memang sudah terlambat!

Sekarang Pani sangat, sangat, sangat marah!

Walau Sumi sudah memberi penjelasan demikian, Pani tidak merasakan tanda-tanda meredanya emosi dirinya!

Belajar dari William

Hehe!

William begitu mendominasi hingga sepenuhnya mengendalikan Ellen di telapak tangan.

Bagaimana, apakah dia juga ingin mengendalikannya di telapak tangan?

Jangan harap!

Pani memicingkan mata, mengambil keputusan, masalah ini tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja!

"Aku selalu mencari kesempatan yang tepat untuk memberitahumu tentang ini, tapi aku…... tidak pernah menemukan waktu yang cocok."

Sumi ingin mengatakan bahwa dia berencana untuk memberitahunya tentang kartu nikah setelah dia melamarnya. Pada saat itu, Pani mungkin tidak akan marah dan kecewa seperti sekarang.

Namun kata-kata yang telah sampai di mulut itu tidak dikeluarkan Sumi.

Lamaran pernikahan adalah kejutan yang ingin dia berikan padanya.

Jika hal ini diungkap, maka kejutan lamaran akan berkurang.

Tidak pernah menemukan waktu yang cocok?

Sungguh penjelasan yang masuk akal!

Pani diam saja.

Sumi menatap Pani dalam diam selama beberapa menit. Melihat Pani masih emosi dan tidak mau menghiraukannya, Sumi memegang pundak Pani dan ingin membalikkan punggung Pani untuk menghadapinya.

Siapa tahu Pani meronta kuat. Sumi takut menyakitinya, jadi dia pun melepaskannya.

Pani tidak berbalik untuk menghadapi Sumi, Sumi pun hanya bisa berjalan ke hadapannya.

Sumi memandang Pani dari atas ke bawah, mata jernih penuh hati-hati, takut emosi wanita ini belum mereda dan akan tiba-tiba meledak lagi setelah melihat wajahnya.

Pani menatap Sumi dengan dingin, suara tidak bisa lebih dingin lagi, "Penjelasannya sudah cukup?"

Saat Sumi mendengar ini, dia lekas tanggap bahwa Pani masih marah.

Alis yang panjang semakin rapat, "Jika kamu masih marah, pukul saja aku, aku berjanji untuk tidak melawan."

Sumi mencengkeram pergelangan tangan Pani, mengangkat tangan kepalan Pani dan menamparkannya ke wajah sendiri, "Pukul dengan kuat, pukul sampai emosimu reda."

Sumi bisa merasakan perlawanan Pani saat tangan dibenturkannya ke wajah.

Hati Sumi terasa asam, sepat, dan manis. Dia menatap kedua mata Pani dengan kelembutan, "Pani…..."

Pani menilik wajah Sumi, air mata akhirnya bercucuran.

Seiring bergulirnya air mata, isak tangis sedih juga terdengar dari tenggorokan Pani.

Mencintai seseorang sampai batas terdalam.

Perasaan Pani seolah bisa dirasakan Sumi juga!

Sumi diam-diam memegangi pergelangan tangan Pani, tangan yang lain membelai rambut Pani dengan lembut, mengerutkan kening karena iba.

Wajah Pani berkerut, tangisan sedih keluar dari mulut.

Sekarang.

Pani tidak mau peduli tentang apapun, dia hanya ingin menangis lepas.

Mungkin.

Mencintai seseorang, kamu enggan pergi walau telah disakiti!

Jangankan pergi.

Sekalipun marah, itu juga tidak bertahan lama!

Saat melihat kedua kartu nikah itu, Pani sangat marah seolah ada puluhan bahan peledak di tubuhnya. Dia sudah berpikir untuk menghempaskan kartu nikah kepada Sumi yang pulang, berinterogasi padanya, memarahinya, kemudian mengatakan “kamu telah menyinggungku dan aku mau pergi” dengan nada angkuh.

Tapi apa yang terjadi?

Dia tidak tega membuang kartu nikah ke lantai!

Dia juga tidak bisa mengatakan kata-kata untuk pergi!

Sumi hanya menjelaskan beberapa kata, tangannya hanya menampar wajah Sumi beberapa kali, dia sudah tidak tahan.

Tiba-tiba, Pani meragukan cinta.

Apakah cinta memang membuat seseorang tidak memiliki batas dan menjadi lemah?

Cinta segitu "parah", mengapa semua orang menginginkannya?

... …

Seminggu berikutnya, sikap Pani tidak berbeda dari dulu. Dia makan, tidur, dan tersenyum sesuai waktunya.

Dia tidak pisah kamar dengan Sumi, juga tidak pisah tempat tidur!

Saat Sumi menginginkan tubuhnya, dia juga bekerja sama dengan antusias.

Semuanya sama seperti sebelumnya, seolah-olah perihal kartu nikah tidak pernah terjadi.

Sementara Sumi sedikit khawatir. Hatinya tidak hanya tidak melega, melainkan menjadi lebih tegang.

Oleh karena itu, pada waktu sarapan hari ini.

Sumi berkata, "Hari ini tidak ada urusan di kantor. Aku dengar kamu mengatakan pada beberapa hari yang lalu bahwa kamu mau pergi ke Coral Paviliun untuk melihat Si Ndut. Pergi hari ini saja, aku akan menemanimu."

Siera dan Samoa entah benar-benar tidak menyadari perubahan antara Pani dan Sumi atau berpura-pura tidak tahu. Mendengar perkataan Sumi, mereka sekilas melirik Pani.

Pani menjepit sepotong kecil lobak asam dan menaruhnya ke mulut. Rasa asam menyebar ke seluruh gusi, menyebabkan wajahnya agak berkerut. Dia menjawab, "Oke. Kebetulan Ellen juga mengatakan bahwa dia merindukan Lian."

Setelah makan, Sumi dan Pani membawa Lian ke Coral Paviliun.

Sumi sepertinya sudah memberi tahu mereka lebih awal, sehingga William tidak pergi ke perusahaan untuk bekerja, melainkan tinggal di rumah.

Tiba di vila.

Ellen dan Pani membawa anak ke kamar bayi, meninggalkan kedua pria itu di bawah.

Kamar bayi.

“Lihat Lian, dia mau meraih tangan Si Ndut.” Pani tersenyum sambil melihat tangan gemuk putranya terulur ke arah Si Ndut.

Tentu saja, tangan kecil Lian sudah dianggap kurus dibandingkan tangan Si Ndut.

Ellen memandang Pani dan mencolek wajah kecil Si Ndut, "Aku melihat Paman Sumi sangat berhati-hati padamu hari ini, dia terus menanggung emosimu. Aku rasa kamu harus tahu batas. Paman Sumi sudah berumuran segitu, aku merasa tidak tega padanya."

"Tidak tega? Kamu tidak tahu bagaimana dia menindasku!" Pani mengerutkan bibir, "Lagi pula, pertama aku tidak melakukan apa-apa. Kedua, aku tidak mengabaikannya, aku tidak sengaja beremosi padanya. Ketiga, bagaimana suami istri lain... … bergaul, kami juga bergaul seperti itu, saling menyayangi, oke?"

Mendengar Pani melontarkan kata "suami istri" dengan canggung, Ellen tidak bisa menahan tawa, "Aku tidak mau memedulikan kalian lagi."

Pani mengangkat dagu dengan angkuh.

Setelah makan siang di Coral Paviliun, Sumi dan Pani pergi bersama Lian.

Saat mobil melaju keluar dari Coral Paviliun, Pani memandang Lian dalam pelukannya sambil berkata, "Pergi ke sekolah dasar di sebelah Chunyi."

Sumi tertegun, melihat Pani dari kaca spion, "Ada urusan?"

Pani mengangguk, tidak mengatakan apa-apa.

Bibir Sumi tertekan, pergi ke sekolah dasar di sebelah Chunyi tanpa banyak komentar.

Mobil berhenti di pinggir jalan di depan sekolah. Pani meletakkan Lian ke dalam keranjang dengan hati-hati, menyelipkan selimut bayi di tubuhnya Lian, berkata tanpa mengangkat kepala, "Kamu jaga Lian, aku akan kembali dalam waktu singkat."

Sumi mengerutkan alis, melihat Pani mendorong pintu mobil dan berlari ke arah pintu.

Sumi mengunci pintu belakang. Mengingat Lian ada di dalam mobil, jadi alih-alih keluar dari mobil, dia hanya menatap ke arah Pani melalui jendela.

Entah apa yang dikatakan Pani kepada penjaga keamaan, penjaga keamanan mengangguk dan berjalan menuju sekolah.

Di antara itu.

Pani berbalik dan sekilas memandang Sumi.

Selama sekitar lima atau enam menit, penjaga keamanan membawa kemari seorang gadis kecil.

Mata Sumi menyipit, dia mengenali bahwa itu adalah putri bungsu Sandy dan Reta, Suli.

Sumi menatap pintu masuk sekolah dengan tatapan mendalam.

... …

"Kakak, kakak…..."

Suli sudah berumur 10 tahun. Dia sangat cantik, rambut lembut tersampir di bahu, jepit rambut elok bertahtakan rhinestones disematkan di kepala bagian kiri. Matahari berpancar dari atas, rhinestones memantulkan cahaya kelap-kelip. Senyum di wajah kecil tampak semakin cerah dan indah.

Mendengar Suli memanggil dirinya dengan panggilan manis, ekspresi Pani tidak berubah terlalu banyak, dia berkata dengan tawar, "Aku sekadar lewat, bukan sengaja datang untuk melihatmu."

Suli berkedip pada Pani dengan tatapan polos, mengulurkan tangan kecil dari celah jeruji besi untuk meraih tangan lembut Pani, bersuara rendah, "Kakak, kamu mau mendatangi Suli, Suli benar-benar sangat senang."

“Aku sudah bilang, aku bukan sengaja datang untuk mendatangimu.” Pani mengerutkan bibir.

“Hehe.” Suli memegang erat tangan Pani, menatap Pani dengan mata sabit tersenyum seolah takut Pani akan meninggalkannya.

Pani menghela nafas di dalam hatinya, berkata, "Sudah, sekarang kamu seharusnya sedang dalam waktu istirahat, aku tidak mengganggu waktu istirahatmu lagi, kamu harus kelas lagi pada sore hari, masuklah."

“Kakak… …” Wajah kecil Suli tiba-tiba menunjukkan ekspresi yang tidak sesuai dengan usianya.

Pani menatapnya, "Apa?"

Novel Terkait

Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu