Hanya Kamu Hidupku - Bab 626 Sundal, Kenapa Tidak Bergaya Lagi

Linsan menatap Pani.

Kedua mata Pani jernih dan murni, ekspresi wajah tulus.

Linsan yang telah mengenal banyak orang di industri hiburan bahkan lekas memercayai kata-kata Pani.

Dia selalu memeluk sikap curiga dan waswas sepanjang perjalanan ke posisinya yang sekarang. Meski sudah percaya pada Pani di dalam hati, ia tetap memiliki keragu-raguan.

Dia perlahan meletakkan tangannya yang lain di atas tangan Pani, "Pani, terima kasih telah bersedia melepaskan keberatan itu dan berteman denganku, benar-benar terima kasih."

“Linsan, kamu dan aku tahu bahwa anakmu bukan gugur karena aku. Meskipun aku tidak tahu mengapa kamu tidak menginginkan anak ini, tapi aku mengerti kamu pasti punya alasan tersendiri.” Pani menatap Linsan dan berkata dengan lembut.

Linsan sontak memejamkan mata, tangan di punggung tangan Pani agak menekan ke bawah.

Merasakan hal ini, kedua mata Pani tertuju pada Linsan, tidak melewatkan sedikit pun perubahan ekspresi pada wajah Linsan, suara merendah, "Aku pernah mendengar dari Ellen bahwa kamu sangat mencintai suamimu, Thomas. Demi menikah dengannya, kamu menanggung banyak penderitaan dan kesengsaraan. Kamu segitu mencintainya dan akhirnya kamu memiliki anak dari pria yang kamu cintai itu. Kamu pasti sangat menghargainya."

Wajah Linsan dengan riasan elok memucat tak terkendali.

“Linsan.” Pani menatapnya, “Kamu pastinya tahu temperamen seperti apa aku ini. Jika aku tidak benar-benar ingin berteman denganmu tanpa niat buruk, aku tidak akan menyusahkan diri untuk duduk di depanmu, aku juga tidak akan munafik denganmu. Aku menunjukkan ketulusanku yang sepenuhnya. Sekarang, semuanya terserah kamu."

Terserah dia?

Linsan mengerutkan kening pada Pani.

Raut muka Pani tidak berubah, "Aku pernah berkata kepada Tanjing bahwa jika dia ingin menjadi temanku, dia harus membuatku percaya padanya. Linsan, sejujurnya aku bisa membuat keputusan hari ini karena telah melalui peperangan hati yang berlangsung panjang. Jika kamu tidak bersedia, maka tidak akan ada lagi lain kali. Kamu tahu bahwa sifatku memang seperti itu. Jadi Linsan, bisakah kamu membuatku mempercayaimu?"

Jantung Linsan berdebar-debar di dada.

Dia menyipitkan mata, menilik Pani dengan tatapan rumit.

Seperti yang dikatakan Pani, Pani membedakan dengan jelas antara hitam dan putih. Jika Pani benar-benar membenci dirinya, Pani tidak akan pernah memaksakan diri untuk bersikap baik padanya, serta berpura-pura ingin berteman dengannya. Kecuali, dia benar-benar berniat melakukannya.

Pada waktu bersamaan.

Mengenai persoalan anak, Linsan tidak tahu seberapa banyak yang diketahui Pani.

Dia tidak berani menjamin, dia tidak diperbolehkan mengambil resiko dalam hal ini.

Linsan dengan cepat mempertimbangkan hal ini di dalam pikiran, membuat pilihan dan keputusannya.

"Pani, karena kamu menunjukkan 100% ketulusanmu, maka aku tidak akan mengecewakan kepercayaanmu."

Wajah Linsan menegang ringan, menatap Pani, "Kejadian di kamar hotel pada pesta pertunangan memang bukan kamu yang mendorongku."

Linsan berhenti sejenak, melanjutkan, "Aku sendiri yang terjatuh karena tidak hati-hati. Kamu juga mengatakan bahwa itu adalah anak Thomas dan aku, anak yang aku dapat dengan tidak mudah, aku menghargainya melebihi nyawaku sendiri. Jadi, aku tidak dapat menerima bahwa penyebab keguguran anak itu adalah karena aku sendiri. Oleh karena itu, ketika aku mendengar dari Pataya bahwa kamu yang mendorongku, aku pun mengikuti arus, membuat semua orang dan bahkan diriku sendiri percaya bahwa kamu yang mendorongku."

“Kemudian dokter memberitahuku kejatuhan aku tidak hanya menyebabkan anak itu mengalami keguguran, tetapi aku juga kehilangan kualifikasi untuk menjadi ibu selamanya. Aku seolah menggila. Aku semakin memaksakan diri untuk percaya bahwa kamulah yang mendorongku, bukan aku sendiri yang tidak hati-hati."

"Pani, aku bersalah padamu, aku lebih bersalah pada Sumi yang telah menaggung rasa bersalah selama bertahun-tahun. Di saat yang sama, aku berterima kasih padamu, terima kasih telah mengundangku keluar hari ini. Perkataanmu membangunkanku dan membuatku sadar bahwa aku sangat bersalah!"

"Aku seharusnya tidak mempergunakan perasaan Sumi padaku selama lebih dari sepuluh tahun untuk menyerahkan semua tanggung jawab padanya tanpa rasa bersalah, membiarkan dia menanggung semua ini. Ini salahku, aku terlalu egois."

Berbicara sampai akhir, mata Linsan sudah dikaburkan oleh air mata. Jadi, dia tidak menemukan secerca cahaya yang melintasi mata Pani, serta nafas lega di antara bibirnya.

Pani menurunkan kelopak, menutupi semua cahaya di mata. Tidak ada emosi ekstra dalam suaranya, "Satu hal lagi."

"Apa?" Kata Linsan serak.

"Apakah kamu yang memberi tahu Pataya bahwa aku akan menghadiri pameran Tanjing?"

"Iya." Linsan tidak menyangkalnya, dia mengaku dengan lugas, "Tapi aku bersumpah, aku tidak tahu bahwa dia menanyakan keberadaanmu padaku adalah untuk membalaskan dendammu. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin memintamu membantu Keluarga Zhao. Dia berkata dengan sangat tulus. Dengan mempertimbangkan pertemananku dengannya, aku tidak tahan untuk memberitahunya. Pani, percayalah padaku."

Pani mengangkat bulu mata untuk melihat ke arah Linsan.

Pertahanan psikologis Linsan sangat kuat, tidak mungkin bisa dihancurkan dengan mudah.

Meskipun dia percaya bahwa kebaikan yang ditujukan Pani padanya tulus, tapi dia tetap memiliki keraguan terhadapnya.

Mungkin inilah prinsip Linsan dalam memperlakukan orang lain.

Pani tahu walau dirinya bertanya lagi, dia juga tidak akan bisa mendapatkan informasi lebih dalam dari Linsan.

Walau dia mendapat informasi berguna, dia juga akan membuat diri sendiri terjatuh dalam.

Oleh karena itu.

Pani tersenyum padanya, "Aku percaya padamu."

Linsan menangis tersedu-sedu, memberi senyuman sukacita pada Pani, tersedak, "Terima kasih."

Pani menurunkan bulu mata, sudut pandangan melirik tas yang diletakkannya di bangku samping.

... …

Setelah kurang lebih satu jam berada di cafe, Pani dan Linsan keluar dari cafe tersebut. Ketika keluar, Linsan berinisiatif untuk menggandeng Pani.

Pani tidak menunjukkan rasa jijik, sebaliknya sangat kooperatif.

“Pani, kita sudah berteman sekarang, bagus sekali.” Linsan memandang Pani dengan gembira sambil berkata dengan lembut.

Bulu mata Pani agak bergetar, bibir terbuka hendak berbicara.

Serangkaian langkah kaki tergesa-gesa bergegas ke arah mereka.

Pani hanya merasakan hembusan angin bertiup dari depan. Setelah itu, salah satu lengannya dikawal dengan ganas, dirinya ditarik dengan brutal.

Jantung Pani tersentak, meronta secara naluriah.

"Dasar jalang!"

Begitu Pani bergerak, dia langsung ditendang dengan keras di bagian belakang pinggangnya. Seluruh tubuhnya terlempar ke depan, tas di bahu terlepas.

"Uhm!"

Pani terjatuh keras ke tanah. Organ-organnya seolah bergeser semua ketika lempengan batu dingin dan kasar menghantamnya. Rasa sakit membuat wajahnya langsung pucat. Dia bahkan tidak bisa bersuara untuk waktu yang lama.

"Ah… …"

Linsan berteriak panik setelah dua atau tiga detik kemudian, "Apa yang kalian lakukan? Pani, astaga… ..."

"Jangan kepo! Jika kamu berteriak lagi, aku akan menidurimu di sini juga!"

Pria berjanggut menunjuk ke arah Linsan dengan kejam.

Linsan mencengkeram tas erat-erat, mundur dua langkah secara naluriah, memandang dengan panik Pani yang tergeletak di tanah dan tidak bisa bergerak.

"Ikat dan bawa wanita jalang ini!"

Perintah pria.

Segera, dua pria melangkah maju, mengangkat Pani dengan kasar dari sisi kiri dan kanan, berjalan maju tanpa menoleh ke belakang.

"Mau dibawa ke mana dia? Apakah kalian tahu… ..."

"Katakan satu kata lagi, aku akan membunuhmu!"

Pria yang mengambil beberapa langkah ke depan tiba-tiba berbalik, mengertakkan gigi dan menatap Linsan, membentak dengan galak.

Linsan mundur selangkah lagi, menyaksikan ketiga laki-laki itu menculik Pani.

Sampai mereka menghilang.

Linsan terengah-engah. Dia mengeluarkan ponselnya untuk melakukan panggilan. Ketika dia hendak menelepon, dia tiba-tiba teringat sesuatu, gerakan di jari terhenti.

Linsan berdiri di tempat selama lebih dari sepuluh detik, memejamkan mata, membuang beberapa kali nafas, menggenggam ponsel di tangan, melangkah maju untuk mengambil tas yang dijatuhkan Pani ke tanah.

Jari telah menyentuh tali tas, tapi Linsan menemukan sesuatu, raut mukanya sontak berubah, pupil mata melebar beberapa kali lipat.

Rahang menegang, wajah kejam dan ganas tak terkendali, "Sialan, aku hampir tertipu olehmu!"

Sambil memaki, Linsan mengeluarkan ponsel yang setengah terpapar keluar dari tas kecil di luar tas Pani.

Layar ponsel menunjukkan status perekaman!

Linsan mengertakkan gigi, menghempaskan ponsel ke tanah dengan kuat.

Melihat ponsel yang tergeletak di tanah, serta layar ponsel yang telah hancur, Linsan menyeringai, "Pani, Tuhan bahkan tidak mau membantumu! Kalau begitu, jangan salahkan diriku kejam! Aku berharap kamu dibunuh hari ini juga!"

Usai bicara.

Linsan memungut ponsel itu lagi, lalu meninggalkan tempat.

Begitu Linsan berbalik dan pergi, sesosok tubuh terbang keluar dari cafe seperti angin, berlari ke arah Pani dibawa.

... …

Sebuah jalan tua dan kecil yang terpencil.

Dahi, sudut mata, wajah kiri, sudut mulut dan bahkan leher putih Pani dipenuhi memar yang mengerikan.

Jari kelingking tangan kanannya tampak remuk, bengkak seperti wortel kecil.

Dia diangkat seseorang dan ditahan di dinding tua, menempel di sana seperti boneka rusak.

"Pelacur kecil, kenapa kamu tidak bergaya lagi sekarang? Coba bergaya sekali lagi?"

Pria berjanggut menggesekkan kepalannya di telapak tangan lain, menatap wajah Pani yang malang itu sambil berkata dengan kasar.

Pani merasakan sakit di sekujur tubuh, terutama bagian punggung bawah dan dada. Rasa sakit itu hampir meledak.

Bibirnya memar dan kering, noda darah kering menggantung di sekitar sudut mulut, wajah yang kecil seukuran telapak tangan diselubungi luka, debu, serta keringat. Dia berjuang untuk mengangkat sudut kelopak matanya dan melihat ke pria galak di depan, suara sangat lesu, "Aku, aku tidak mengenal kalian. Tidak, tidak tahu apa perbuatanku yang menyinggung kalian?"

Telapak tangan pria yang tebal dan kasar menampar sisi wajah Pani. Setiap tamparan membuat Pani merasa wajahnya akan dihancurkan oleh pria itu. Kepala terasa pusing hebat.

Apakah dirinya ini disebut keluar tanpa menghitung nasib? Terjebak malapetaka besar?!

Pani ingin tertawa, tapi jantungnya sangat lemah. Pandangan di depan mulai bayang-bayang, dia menggeleng-gelengkan kepala. Suara pria merambat masuk ke telinganya.

"Kamu tidak perlu tahu bagaimana kamu bisa menyinggungku, pokoknya kamu telah menyinggungku! Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan memukuli kamu hingga setengah mati supaya kamu tidak mudah lupa."

Jari-jari pria itu membanting kepala Pani bak tongkat besi, "Biar kamu ingat, jangan memandang rendah orang! Dasar jalang, sundal. Walau kamu menikah dengan pria kaya, fakta ini tidak bisa diubah! "

Menikah dengan pria kaya ...

Samar-samar Pani mendengar empat kata itu.

"Pukul lagi!"

Kegilaan dan kegirangan muncul di wajah pria itu. Dia mundur selangkah, pria lain tersenyum tragis, tiba-tiba menendang dada Pani.

Pada saat ini juga, sirene tiba-tiba berbunyi.

Ketiga pria itu terkejut.

"Pak polisi, di sini, mereka ada di sini, cepatlah, mereka belum lari… ..."

Pada detik berikutnya, suara wanita yang tergesa-gesa itu entah datang dari mana.

Kepanikan sontak muncul di mata ketiga pria. Mereka tidak berani ragu. Mereka melepaskan Pani dan melarikan diri.

Novel Terkait

Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
3 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu