Hanya Kamu Hidupku - Bab 256 Makan Sendiri Atau Disuapin, Pilih

Tatapan William pada Ellen tiba-tiba menjadi serius.

Ellen juga tertegun mendengar ini, bulu matanya yang panjang bergetar, dan menatap William dengan gugup.

Pembantu mendekat dengan membawa semangkuk obat, dia merasa suasana agak aneh, tetapi tidak tahu apa yang salah.

Memegang semangkuk obat, berdiri di sana, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Ellen menggenggam erat tangannya, mengalihkan tatapannya dari wajah William yang tegang, memandang pembantu dan berkata, “Kamu letakkan obat di atas meja, sudah lumayan malam, kamu istirahatlah lebih awal.”

“.....oke.” Pembantu melirik William, meletakkan obat di atas meja dan segera pergi.

Melihat pembantu keluar dari Villa, Ellen menundukkan matanya, diam-diam menarik nafas, dia mengangkat matanya menatap William, menggerakkan sudut bibirnya dengan kaku, dan berkata, “Ini adalah obat tonik, bukan......”

Ellen mengatakan sampai akhir, suaranya semakin kecil, hampir tidak terdengar suaranya.

Mata William bagaikan dua paku besi, memakukan Ellen dengan erat.

Ellen tanpa sadar mengepal erat tangannya, bulu matanya yang panjang bagaikan kipas bergerak dengan panik.

Dan tepat pada saat ini.

Terdengar suara mesin mobil dari luar Villa.

Ellen tiba-tiba menarik nafas, mengangkat wajahnya yang kecil menatap William, dan tersenyum, “Sepertinya Kakak keempat dan kakak kelima sudah kembali, aku pergi melihat.”

Selesai berkata, Ellen memegang erat tangannya, berbalik dan ingin pergi.

Namun satu tangannya tiba-tiba ditarik dari belakang.

Hati Ellen menjadi suram, menelan ludah dan perlahan-lahan memutar kepala menatap William, matanya penuh dengan tatapan cemas yang tak tersembunyikan.

William melihat mata Ellen yang memerah dan wajahnya yang tegang dan bergetar, dia memegang lengan Ellen semakin erat, dan suaranya menjadi sangat rendah, “Minum obat!”

Ellen, “........”

Terdengar suara langkah kaki memasuki Villa.

Mata Ellen berkedip, menahan nafas menatap ke arah pintu masuk.

Melihat Dorvo berdiri di pintu masuk dengan memasukkan satu tangan dalam saku celana, dan satu tangan memegang jas, matanya yang hitam bagaikan sumur yang mendalam, diam-diam menatap ke arah Ellen dan William.

Ellen tidak menyangka Dorvo akan kembali, tangannya mengepal erat, dan berkata dengan lembut, “Kak, kamu sudah kembali.”

William merapatkan bibirnya, matanya yang dingin melirik ke arah Dorvo.

Dorvo mengangguk padanya, dan berdiri mengganti sandal.

Ellen menggigit bibirnya, menatap William dengan tatapan memohon.

William melepaskan lengan Ellen.

Ellen menghela nafas lega, berjalan mendekati Dorvo, dan mengambil jas dari tangannya, menggantung di rak baju, dan bertanya, “Kakak, apaakah kamu sudah makan?”

Dorvo tertegun, dan menatap Ellen.

Ellen melihat situasi ini, langsung tahu dia belum makan, dan menghela nafas dalam hati, “Kamu tunggu sebentar, aku pergi ke dapur dan membuatkwn sesuatu untukmu.”

Dorvo menatap ke arah William, kemudian mengangguk pada Ellen.

Ellen tersenyum padanya, “Aku pergi sekarang.”

Dorvo melihat wajah Ellen yang mempesona, tatapannya yang mendalam menjadi lembut, “Ya.”

Ellen berbalik dan akan pergi ke dapur.

“Berhenti!”

William tiba-tiba berkata.

Kedua kaki Ellen bergetar dan berhenti, berbalik dan menatap William dengan tatapan tidak bersalah.

Alis Dorvo berkerut, dan menyipit matanya menatap William.

William melirik Ellen, membungkukkan tubuhnya, mengambil mangkuk obat yang ada di atas meja, berjalan beberapa langkah dan berdiri di depan Ellen, berkata, “Makan dulu baru pergi!”

Ellen melihat obat di dalam mangkuk, mencibir dengan manja dan berkata, “Nanti baru makan.”

“Makan sendiri atau disuapin, pilih!” William mengerutkan kening, dan berkata dengan nada suara dingin.

Ellen menjilat bibirnya, mengambil mangkuk obat, mengangkat kepala dan langsung memakannya.

Selesai memakan, Ellen menutup mulutnya dengan telapak tangan, kedua alisnya berkerut, dan menyerahkan mangkuk obat ke tangan William, berbalik dan bergegas masuk ke dapur.

William memegang erat mangkuk di tangannya, melihat sosok Ellen bergegas masuk ke dapur, hatinya terasa sangat tertekan!

William mengepal erat tangannya, mengambil langkah menuju ke arah dapur.

“Tuan Dilsen, tunggu sebentar.” Dorvo tiba-tiba berkata.

William berhenti, dan menatap Dorvo.

Dorvo mengulurkan tangan membuat gerakan “silakan” ke arah sofa.

Tatapan William menjadi suram, menatap dapur dan kedua bibirnya merapat.

……

“Setelah melahirkan Nino dan Tino, tubuhnya selalu kurang sehat.”

Ini adalah kata pertama yang dikatakan Dorvo setelah duduk tenang di sofa.

Hati William tiba-tiba merasa tertekan, menatap Dorvo dengan tatapan suram.

Dorvo mengeluarkan kotak rokok dan mancis dari dalam saku celana, mengetuk kotak rokok dan mengeluarkan sebatang rokok dan menyerahkannya pada William.

William mengambil rokok itu dan meletakkannya di bibir.

Dring........

Dorvo menyalakan mancis, serangkaian api merah dinyalakan, mencondongkan tubuh, dan menyalakan rokok William.

William memandang Dorvo, dan tidak menolak.

Setelah menyalakan rokok William, Dorvo juga mengeluarkan sebatang rokok, dan meletakkannya di bibir, seiring kebenciannya, perlahan-lahan dia menghembuskan asapnya keluar, kemudian berkata dengan nada suaranya yang serak.

“Mengenai ledakan di pom bensin pada saat itu, aku merasa adik telah menceritakannya padamu, jadi aku tidak akan membicarakan detailnya lagi. Ketika adik diselamatkan dari pom bensin, muncul gejala keguguran. Untungnya, ada dokter yang menemaninya di sepanjang jalan, dan menyelamatkan anak untuk sementara waktu. Maksudku sementara.”

Dorvo menatap William, "Pada waktu itu, kami sangat dekat dengan kota Tong, awalnya kami rencana ingin membawa adik ke rumah sakit kota Tong, tetapi sayangnya, kumpulan penculik itu mengejar kami di perjalanan menuju kota Tong, akhirnya berhasil menyingkirkan mereka, namun kami melalui banyak belokan, adik menimbulkan gejala perdarahan lagi, meskipun ada dokter yang menemani, tetapi kurangnya obat hemostatik dan peralatan medis, mereka tidak dapat melakukan apapun yang ingin mereka lakukan. Dan membutuhkan waktu setengah jam untuk tiba di rumah sakit kabupaten terdekat, pertimbangan dokter pada saat itu adalah adik dan anak sepertinya sulit diselamatkan.

Jari William menjepit rokok dengan erat.

Dorvo melihat William mematahkan rokoknya, matanya menyipit dan terus berkata, “Akhirnya dengan pikiran bertaruh nyawa, membawanya ke rumah sakit kabupaten. Aku masih ingat adik didorong masuk ke dalam ruang gawat darurat dan berada di dalam selama lima jam.”

William menundukkan matanya, dan membuang puntung rokok yang dipatahkan ke asbak di atas meja.

Dorvo melemparkan kotak rokok dan korek api di atas meja.

William tidak bergerak.

Dorvo mengisap beberapa tegukan, dan menatap William.

William menundukkan kepala, dia tidak dapat melihat jelas emosi di dalam mata dan wajahnya, tetapi dari saraf tegang di lehernya dapat dilihat, seberapa kacau hatinya saat ini.

Dan Dorvo sangat pasti.

Ellen tidak mungkin akan memberitahu William tentang ini.

“Tentu saja, akhirnya Ibu dan anak berhasil diselamatkan, kalau tidak hari ini Tuan Dilsen juga tidak mungkin dapat bertemu dengan mereka bertiga.” Dorvo mengerutkan kening, berkata.

William mengangkat matanya yang dingin, menatap Dorvo, “Lalu?”

Dorvo menatap mata William yang merah bagaikan darah, dia berhenti sejenak dan berkata, “Lalu, kami mengetahui bahwa adik adalah orang yang kami cari di kota Tong, jadi langsung membawanya ke kota Rong untuk merawatnya.”

William tetap menatap Dorvo.

Dorvo mengangkat alisnya, “Adik mengetahui paman meninggal karena Papamu dalam kecelakaan mobil, dan selalu berpikir kalian keluarga Dilsen tidak peduli dengan keselamatannya, dan setelah mengalami beberapa pukulan selama penculikan dan melarikan diri, bagi seorang wanita hamil, secara psikologis, sulit untuk tetap normal.”

"...... apa maksudmu?" Tangan William mengepal erat.

"Depresi!"

Dorvo memasukkan rokok ke dalam mulutnya, “Selama kehamilan, mungkin karena mengkhawatirkan anak di dalam perut, dia berusaha menyesuaikan diri. Meskipun tubuhnya semakin memburuk, setidaknya dia mau makan, dan kadang-kadang dia juga menemani nenek berjalan-jalan di sekitar Villa. Sebulan sebelum melahirkan, depresi adik semakin memburuk, dia sering duduk menyentuh perut dan tiba-tiba nangis. Nenek melihatnya, dan mulai insomnia karena mengkhawatirkannya. Untuk menjaga adik dan nenek, aku mengundang tim medis Amerika ke Villa, khusus untuk merawat tubuh adik. Pada saat melahirkan, nenek tidak berani berpikir melahirkan secara normal, dia langsung meminta dokter untuk melakukan sesar.”

Ketika mengatakan ini, wajahnya sangat tenang, suaranya sangat rendah dan lambat.

William mengepal erat tangannya.

Bagian jantungnya, bagaikan dipukul dengan cambuk yang tak terlihat dan tak terhitung jumlahnya, sangat menyakitkan.

Rasa sakit membuatnya membuka sedikit bibirnya, untuk bernafas.

Dorvo menatap mata William yang merah, “Setelah melahirkan, depresi adik semakin parah hingga tidak bisa tidur, dia selalu tinggal di kamar bayi sepanjang hari, pagi dan malam duduk melamun melihat Nino dan Tino. Selama waktu itu, adik menjadi sangat kurus, di saat paling ringan, berat badannya kurang dari 32 kg!”

“......” William menggertakkan giginya dan terengah-engah.

Matanya sangat merah!

“Nenek dan aku sudah mencoba segalanya untuk mengubah situasi adik saat itu. Sampai suatu hari adik meminum pil tidur dalam jumlah yang banyak dan diantar ke ruang gawat darurat untuk melakukan penyelamatan.”

“Dia..... bunuh diri?” Ketika William berkata dengan suara serak, dia hanya terasa hatinya bergetar.

Dorvo merapatkan bibirnya, melirik William, mencondongkan tubuh membuang puntung rokok ke dalam asbak dan menggelengkan kepalanya, “Mungkin dia pernah berpikir ingin bunuh diri, tetapi dia tidak pernah melakukannya. Saat itu dia tidak memejamkan matanya sama sekali selama tiga hari, mungkin terlalu sengsara, sehingga dia memakan lebih banyak pil tidur.”

Ketika Dorvo membicarakan masalah ini, dia juga tidak menahan diri merasa takut.

Memikirkan situasi Ellen, hal-hal seperti pil tidur selalu disimpan oleh Nurima, kalau dia mau, dia akan memberikan setengah atau satu biji padanya, tidak pernah berani memberikan seluruh pil tidur padanya.

Kali itu tidak tahu dari mana Ellen mengetahui tempat Nurima menyimpan obat tidur, dia memakan setengah botol sekaligus.

Untungnya Nurima selalu memperhatikan Ellen, dia khawatir akan terjadi sesuatu padanya, dan begitu menemukannya, langsung mengantarnya ke rumah sakit.

Kalau tidak, konsekuensinya tak terbayangkan.

Dan juga karena kejadian itu, benar-benar “menyinggung” Dorvo.

Kali ini adik diselamatkan, dokter keluar dari ruang gawat darurat, perkataan pertama yang dia katakan pada kami, adalah....... kalau situasi adik saat ini tidak membaik, tidak perlu menggunakan obat tidur, dalam waktu setengah tahun, hidupnya akan berakhir.”

Selesai berkata, Dorvo menggertakan giginya, menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum menatap William, “Apakah kamu tahu, apa yang kulakukan setelah mendengar kata-kata ini?”

William, “.......”

Novel Terkait

Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love at First Sight

Love at First Sight

Laura Vanessa
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu