Hanya Kamu Hidupku - Bab 477 Dandan dengan Cantik, Jangan Mempermalukanku

Mendengar itu, Pani memberi senyuman pada Pataya.

Pataya lebih muda tiga tahun dari Pani, ia berusia 15 tahun sekarang, seumuran dengan Troy.

Dia mengenakan mantel ungu muda dengan rok sifon putih hari ini, rambut disanggul, wajah kecil tanpa bedak, berdagu runcing, dia sedikit pemalu, terlihat sangat polos.

Pataya tersenyum pada Pani, dapat dilihat senyumannya itu tidak terlalu natural, “Kakak sepupu, aku sekarang duduk di bangku kelas 3 SMP, aku akan masuk SMA tahun depan. Aku ingin pindah ke Sekolah Weiran, bagaimana menurutmu?”

"Menurutku amat bagus." kata Pani.

“Bisakah kakak sepupu memberitahuku apa yang harus aku perhatikan saat belajar di Weiran ?” Pataya menatap Pani dan berkata dengan lembut.

Pani mengernyit, tersenyum, “Selain rajin belajar, aku benar-benar tidak tahu apa hal yang yang perlu diperhatikan.”

Wajah Pataya memerah, ia agak mengerutkan bibirnya, memandang Pani dan berkata, “sayangnya, kakak sepupu akan segera mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Kalau tidak, saat aku masuk Weiran, aku tidak sendirian karena aku bisa bertemu dengan kakak sepupu.”

“Bagaimana mungkin kamu sendirian? Kamu akan bertemu teman baru ketika kamu masuk Weiran. Kamu begitu cantik dan lucu, pasti ada banyak teman baru yang menyukaimu dan mau berteman denganmu. Jadi, jangan khawatir.” Ucap Pani.

“Bagaimana mereka bisa dibandingkan dengan kakak sepupu. Kakak sepupu adalah keluarga.” Setiap perkataan Pataya tampaknya merupakan hasil dari pemikiran dan diksi yang cermat dan ketat.

Pani menyipitkan mata untuk memandang Pataya, ia tidak menjawabnya, ia berpaling dan melayani Liaoran dan yang lainnya untuk makan buah.

Melihat ini, Pataya sedikit menunduk, sekilas melirik Vimaya dengan gelisah.

Vimaya mengulurkan tangan dan menggandeng tangannya.

…..

Reta tidak turun untuk makan siang karena Keluarga Liaoran ada di sini. Baik Sandy maupun Troy tidak ada di rumah. Suli yang malang dilarang turun untuk makan siang oleh Reta.

Meskipun Keluarga Liaoran merasa canggung, tapi untungnya Pani sangat antusias, jadi mereka tidak merasa terlalu tidak nyaman selama makan.

Setelah makan, Liaoran dan yang lainnya duduk hampir satu jam sebelum memamitkan diri.

“Pani, bibi dan pamanmu harus pergi ke perusahaan pada sore hari, maka kita pulang dulu ya.” Kata Liaoran sambil meraih tangan Pani.

“Sebenarnya aku ingin meminta kalian untuk tinggal lebih lama, karena bibi dan paman ada urusan di perusahaan, maka kita hanya bisa berpamitan sekarang. ” Kata Pani.

Ini adalah pertama kalinya Pani menjamu tamu seperti orang dewasa, dia terlihat sangat tidak nyaman dan canggung.

Liaoran meminta untuk pulang, tentu saja Pani tidak akan menolak, malah sangat mengharapkannya.

Oleh karena itu.

Pani dan Yumari mengantar Liaoran keluar dari vila.

Liaoran dan Remon masuk ke mobil terlebih dahulu sebelum diikuti oleh Vimaya dan Pataya.

Pani dan Yumari melihat dengan jelas bahwa Vimaya berkali-kali memberi isyarat mata kepada Pataya sebelum naik ke mobil.

Pani dan Yumari saling melirik.

“Kakak sepupu.”

Begitu Vimaya naik mobil, Pataya mengambil napas dalam-dalam dan berbalik menatap Pani.

Kedua bibir Pani berpisah, “Ada apa?”

Wajah Pataya kembali memerah, dia memandang Pani dengan mata bersinar, “Bolehkah aku sering datang untuk mencari kakak sepupu?”

Pani mengangkat alis, mengangguk setelah beberapa detik kemudian.

Melihat itu, Pataya merasa lega, lalu berbalik masuk ke mobil dengan gembira.

Mata Pani menyusut. Pada saat Remon menyalakan mobil, Pani menggandeng tangan Yumari dan kembali ke vila.

Di dalam mobil.

Vimaya menyaksikan Pani dan Yumari berjalan ke vila dari kaca spion. Matanya berputar ke arah Pataya yang duduk di kursi belakang, berkata dengan suara penuh hati-hati, “ Yaya, kamu harus menjalin hubungan yang baik dengan kakak sepupumu.”

Bulu mata Pataya berkedut, ia lalu menatap Vimaya, mengangguk kecil.

….

Pada hari kedua tahun baru, Sumi menemani Siera untuk bersilahturahmi ke keluarganya, baru balik pada hari keempat.

Setelah kembali ke tempat tinggal, Sumi mandi terlebih dahulu, lalu mengambil handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Kemudian, dia mengambil ponsel dan berjalan menuju bar di ruang tamu.

Duduk di kursi tinggi berwarna perak, dia melempar handuk yang ada di tangannya ke meja bar, lalu menekan nomor di ponselnya sambil mengambil gelas anggur, menyalakan speaker.

Sumi sekilas melihat layar ponsel, lalu mengambil botol anggur dan menuangkan anggur merah.

Pihak seberang baru menjawab setelah dia meminum seteguk anggur merah.

Sumi mengangkat bibir, sedikit menegakkan leher untuk menghabiskan setengah gelas anggur merah yang tersisa.

Dia meletakkan kembali gelas anggur di meja bar dan berkata, “Bisu?”

Setelah kata-kata Sumi dilontarkan.

Terdengar suara dengusan dari ujung telepon.

Sudut mulut Sumi terangkat, dia mengangkat telepon, berjalan menjauh dari bar menuju sofa. “Luangkan waktu malammu.”

“Kenapa?”

Suara wanita dari ujung telepon terdengar canggung.

Sumi duduk di sofa dan meremas hidungnya sendiri dengan lembut, berkata, “Mau traktir kamu makan.”

Pihak seberang terdiam sejenak, berkata dengan manja, “Aku tidak sembarangan makan dengan orang lain. Coba kasih tahu dulu makanan apa yang mau ditraktirmu?”

“Aku memberimu muka, kamu malah membuangnya? Kalau tidak mau, ya sudah deh!” Kata Sumi.

“... Mana ada orang yang bersikap seperti kamu ini! Tidak ada keikhlasan untuk mentraktir orang makan!” Seru wanita.

Mendengar itu, terlihat garis senyuman di mata Sumi, suaranya melembut, “Kita makan apa yang mau kamu makan, oke?”

“Aku tidak mau makan apa pun sekarang! Baik makanan eksotis mau makanan mewah pun tidak mau, Bye!”

Kemudian, pihak seberang memutuskan sambungan telepon.

Mendegar nada sibuk dari ponsel, respons Sumi malah adalah tertawa kecil.

Sumi menjauhkan telepon dari telinga dan mengetik pesan: aku akan menjemputmu di vila pada jam 6 sore, berdandan dengan cantik, jangan mempermalukanku!

Melihat pesan yang dikirim, Sumi membayangkan reaksi wanita kecil saat melihat pesan itu, lalu dia mengangkat bibirnya dan tertawa.

……

Di vila kediaman Keluarga Wilman.

Tangan Pani yang memegang ponsel bergetar, dia benaran marah!

Apa-apaan dia?!

Pani melempar ponsel ke ranjang. Jangan mempermalukan dia? Dirinya yang seharusnya malu untuk makan dengan orang yang lebih tua 12 tahun darinya!

Berdandan dengan cantik? Heh! Mending tidak usah pergi!

“Kak, kakak sepupu…”

Pada saat ini.

Suara wanita lemah terdengar.

Pani tertegun, melihat Pataya yang sedang menulis tugas liburan musim dingin di meja belajar.

Barulah dia teringat bahwa dia tidak sendirian di kamar...

Setelah pertemuan kemarin, Pataya datang lagi sebelum jam 8 pagi. Katanya dia ingin menemani Pani mempersiapkan ujian.

Pani baru saja berjanji pada Pataya kemarin bahwa mereka berdua boleh bermain bersama dengan gembira.

Jadi, ketika Pataya datang, Pani tidak mungkin mengusirnya, bukan?

Pani merapatkan bibir, ekspresinya agak canggung, berkata kepada Pataya, “Maaf, apakah aku mengganggumu? Kamu anggap saja aku tidak berada di sini.”

Pataya melirik dengan hati-hati ponsel yang dilempar Pani ke ranjang, bertanya dengan lembut, “Kakak sepupu, siapa yang meneleponmu barusan? Dia membuatmu semarah ini.”

“Seorang pria tua. Tidak usah hirau dia.” kata Pani dengan emosi.

“Pria tua? Oh.” Mata Pataya berkedip, dia berbalik dan menopang dagunya dengan satu tangan, mata yang melihat buku tampak linglung.

……

Pataya baru meninggalkan vila pada pukul 5 sore.

Setelah Pataya pergi, Yumari mencari Pani yang ada di kamar.

Begitu memasuki kamar, Yumari melihat Pani berdiri di depan lemari untuk mencari sesuatu.

Awalnya dia tidak peduli. Dia duduk di samping ranjang dan menatap Pani sambil tersenyum, “Pani, aku tidak pernah berpikir bahwa kamu akan bergaul dengan Pataya.”

“Iya.”

“Kemarin nyonya membawa keluarganya untuk bersilaturahmi dengan ayahmu. Aku terkejut dan berpikir apakah aku sedang bermimpi?" Yumari berkata dengan penuh perasaan.

“Iya.”

“Pani, kamu dan Pataya harus bergaul dengan baik. Bagaimana pun, mereka adalah satu-satunya keluargamu dari pihak kakekmu. Mereka telah berinisiatif memperbaiki hubungan denganmu, jadi kita tidak usah terlalu mempermasalahkan masa lalu. Kalau kedepannya aku.... kamu masih mempunyai kerabat yang bisa diandalkan.” Suara Yumari serak saat berkata sampai akhir.

“Iya.”

Yumari menunduk, lalu mengangkat tangan dan menyeka matanya secara diam-diam. Dia lanjut berkata, “Sekarang sudah baik, ne……”

“nek, bisakah kamu membantuku memilih yang mana di antara kedua ini yang terlihat bagus?”

Pani berjalan ke depan Yumari dengan dua gaun yang dimilikinya, bertanya pada Yumari dengan mata berbinar.

Yumari tertegun sejenak, menatap kedua rok itu dengan tatapan bingung, berkata, “Yang merah.”

“Ini?” Pani mencocokkan gaun itu dengan dirinya.

Gaun ini dibeli pada saat ulang tahun Ellen. Mereke membeli gaun merah yang sama persis.

Yumari mengerjap dalam kebingungan, menatap Pani, “Pani, apakah kamu mau pergi?”

“nek, aku akan memakai kedua gaun ini dan menunjukkannya ke kamu, kamu lihat mana yang lebih bagus.” Usai berkata, Pani langsung bergegas menuju kamar mandi.

Yumari terbengong sesaat ketika melihat Pani berjalan menuju kamar mandi, mulutnya perlahan menarik lengkungan senyum tak berdaya.

…..

Pukul 6:30 sore.

Pani yang berpakaian rapi duduk di kursi kamar. Terletak sebuah buku di depannya, tetapi matanya tertuju pada ponsel di sebelah buku.

Dia melihat menit demi menit berlalu.

Hatinya ikut berdetak sekali demi sekali.

Sampai pada jam tujuh malam, lalu jam setengah delapan, jam delapan... jam sepuluh...

Cahaya di mata Pani perlahan meredup.

Dia membalikkan layar ponsel, berhenti melihat ponsel.

Dia melepas mantel dan gaun, lalu mengenakan piyama yang tebal dan nyaman, berjalan ke tempat tidur dengan sebuah buku, meringkuk dirinya di dalam selimut sambil membaca buku.

Matanya terfokus pada buku itu, jari-jari rampingnya terus membalik halaman buku.

Dia kelihatan sangat fokus.

Namun, bagaimana dengan faktanya? Siapa tahu.

TUT TUT...

Entah berlalu berapa lama, ponsel di atas meja belajar bergetar.

Pani mengangkat kelopak mata, pandangan beralih dari buku ke ponsel di meja belajar.

Beberapa detik kemudian, Pani meletakkan buku ke samping, menyampingkan selimut, berjalan ke meja belajar, dan mengambil ponsel.

Ketika melihat nama penelepon yang tampil di layar, bibir Pani melebar dengan dingin, dia berbalik dan kembali ke tempat tidur, meringkuk diri dan lanjut membaca.

Ponsel terdiam setelah beberapa kali getaran, kemudian tidak berdering lagi.

Pani masih melihat buku di tangannya, tetapi wajahnya menjadi semakin ganas seiring berlalunya detik demi detik.

Pada akhirnya, Pani membuka mulut, mengambil napas dalam-dalam, menyingkirkan buku dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.

Sekitar setengah jam kemudian, pintu kamar mandi kembali terbuka. Pani berjalan keluar dari ruangan beruap panas.

Dia berjalan ke ranjang seperti biasanya. Tidak sampai dua langkah, dia sontak terhenti, matanya yang redup karena uap panas membelalak, “Bagaimana kamu bisa masuk?”

Novel Terkait

Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
3 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
4 tahun yang lalu