Hanya Kamu Hidupku - Bab 66 Terasa Seperti Ayah Yang Sedang Menggandeng Putrinya

Jantung Ellen, ketika itu terasa jelas berdebar jauh lebih kencang.

William menggandengnya berjalan menuju tangga putar, Ellen seperti patung, ikut dibelakangnya dengan begitu kaku.

Bahunya yang terlihat kuat dihadapannya, seolah begitu ia mendekat, bisa menghadang semua angina dan badai yang menerpa, membuatnya hidup damai untuk selamanya.

Lantai 2.

Didepan kamar Ellen.

William berhenti, menundukkan kepala memandang Ellen, “Jangan belajar terlalu malam, istirahatlah lebih awal.”

Bulu mata Ellen yang lebat sedikit menunduk, mengangguk dengan muram.

William memberikan tas sekolah di tangannya pada Ellen.

Ellen melirik, mengulurkan tangan dan menerimanya, agak berat, begitu ia menerimanya, bahunya langsung terasa seperti tertindih.

Alis William agak mengkerut, lalu membantunya membukakan pintu kamarnya.

Ellen menundukkan kepala, tatapan mata tertuju pada tangannya yang menggenggamnya erat.

William menggunakan jarinya mengelus ruas jarinya, tangan William sangat besar, jarinya juga panjang, kuku jarinya dipotong dengan rapi dan bersih, begitu menggenggam tanga Ellen, membuat tangannya terlihat begitu mungkin bagaikan tangan anak kecil.

William melepaskan tangannya, ketika Ellen menarik tangannya, ia menggenggamnya lagi secara tiba-tiba, mencengkram tangannya kedalam tangannya, membungkus tangan kecilnya dengan tangannya yang begitu besar.

Nafas Ellen menjadi semakin memendek, ada butir keringat yang memenuhi hidungnya.

“Ellen.”

Bulu mata Ellen bergetar, mengangkat kepala.

Tatapannya seketika menjadi gelap, dia menundukkan kepala menciumnya.

Jantung Ellen serasa tergantung tinggi, tas yang dijinjing olehnya seketika jatuh ke lantai.

Pinggangnya dirangkul oleh tangan besar yang begitu hangat, membawanya mendekat.

Tubuhnya menempel dengan dadanya yang kekar, membuat Ellen gemetar.

Pikirannya kosong dan kacau, sampai bagaimana dia dibawa masuk dan ditindih diatas ranjangnya pun dia sama sekali tidak tahu.

Ciuman ini terasa panjang seperti melalui satu dasawarsa.

Namun ini hanya ciuman saja, dia bahkan tidak menjulurkan…………..

Dan tangannya sangat sopan, hanya menggenggam tangan juga merangkul pinggangnya, sama sekali tidak melangkah lebih jauh.

Namun Ellen malah merasa, ciuman kali ini lebih membuat hatinya bergetar, begitu haus akan belaiannya, jauh melampaui yang sebelumnya……..

……

William sudah meninggalkan kamar.

Ellen malah masih berada diposisi berbaringnya, kedua matanya menatap langiit-langit kamar dengan tatapan kosong, dadanya naik turun dengan teratur, terlihat seperti sedang tidur dengan mata terbuka.

“Huffth….”

Tiba-tiba.

Ellen bangun dari atas ranjang, tidak hentinya menggunakan tangan untuk mengipasi wajahnya.

Dia merasa wajahnya seperti sedang terpanggang sampai hampir terbakar.

Nafasnya yang teratur menjadi begitu kacau.

Bulu mata Ellen yang panjang lebih tidak hentinya berkedip, seolah ada sesuatu yang masuk dan ingin ia keluarkan dengan cara berkedip.

Tangan satunya memegang dadanya yang berdegup bagaikan gendang, Ellen berpikir dengan panik, dia pasti sakit, kalau tidak, dia tidak bisa mengerti perasaannya, kenapa jantungnya bisa berdegup begitu kencang, bukankah ini tidak masuk akal?!

……

Waktu berlalu dengan begitu cepat.

Hanya dengan satu kedipan saja sudah tiba di hari sabtu.

Karena sudah begitu dekat dengan ujian nasional, seluruh murid kelas 3 SMA 蔚然 diwajibkan mengikuti pelajaran tambahan di sekolah pada hari sabtu, yang tidak bisa hadir, harus meminta orang tuanya untuk meminta ijin secara langsung, dan alasannya juga harus begitu kuat, kalau tidak ijin tidak akan diberikan.

Baiklah, intinya sangat ketat!

hari sabtu pagi, Ellen baru bangun, langsung menerima telfon dari William, mengingatkannya kalau akan ada makan malam di rumah utama mala mini.

Dna berpesan, harus membawa Bintang bersamanya, kalau Ellen tidak mau, maka dia yang akan pergi mengundangnya langsung, dan meminta Ellen untuk memutuskannya sendiri!

Ellen… Bagaimana mengaturnya?

Selain setuju dia sudah tidak punya pilihan lainnya, tidak mungkin membiarkan pamannya yang mengundang langsung bukan? Apakah pantas?

Ellen menyetujui, William baru memutus telfon dengan puas.

Ellen berbaring diranjang selama beberapa menit, mengingat hari ini masih harus ke sekolah, mau tidak mau dia bangun.

Masuk kamar mandi dan mandi dengan cepat, lalu ke ruang ganti mengganti seragam, mengambil sebuah sweater lalu membawa tas diatas meja belajarnya.

Keluar dari kamar berjalan turun ke bawah.

William duduk di atas sofa sambil membaca Koran seperti biasa.

Ellen melihatnya dan memanggilnya dengan suara pelan, “Paman ketiga.”

Lalu meletakkan sweater juga tas sekolahnya di sekolah, dan berjala ke dapur.

William mengangkat wajahnya dari balik koran, lalu melirik Ellen yang berjalan dengan malas, tatapannya begitu dingin.

Begitu Ellen masuk ke dalam dapur, Darmi mengeluarkan sebotol yogurt, memberikan padanya, “Sebentar lagi sudah bisa makan.”

Ellen menerima yogurt, membuka tutupnya dan meminumnya dengan ogah-ogahan.

Darmi melihatnya mengkerutkan alis, terlihat tidak bersemangat, lalu mengulurkan tangan dan memegang dahinya, lalu memegang dirinya sendiri, bergumam, “Tidak demam. Nona, apakah anda merasa tidak enak badan?”

“Tidak.” Ellen agak tercengang, menggelengkan kepala lalu keluar dari dapur sambil membawa yogurt.

Tidak ke ruang tamu, ia langsung duduk di ruang makan, menunggu sarapan.

Tidak disangka, tidak lama setelah dia duduk di ruang makan, orang itu langsung datang menghampiri.

Ellen, “…….’

Tubuh yang tadinya tengkurap diatas meja makan dengan malas, seketika menjadi tegak, tangannya yang memegang yogurt juga menjadi erat sambil menatapnya.

William berjalan kedepannya, bibir tipisnya yang sexy dan tipis megetat, ada tatapan penuh rasa khawatir dalam matanya, “Tdak enak badan?”

“….. tidak.” Ellen menggeleng.

“Tidak ingin berangkat sekolah?” William berkata.

Ellen menggeleng, “Tidak.”

Hidung William yang mancung agak mengkerut, “Ada masalah?”

“……” bola mata Ellen yang hitam membesar dan segera menggeleng.

William menyipitkan mata, lalu menundukkan tubuhnya dengan cepat, satu tangannya bertumpu pada sandaran kursi yang Ellen duduki, satu tangan lagi menopang pada meja didepan Ellen.

Membuat Ellen merasa seperti setengah dikepung olehnya.

Ellen menarik nafas, wajah kecilnya menjadi begitu tegang, refleks memundurkan kepalanya, menelan ludah dan menatap dengan matanya yang bulat dan membesar.

William semakin menunduk, tatapannya begitu tajam, hanya terlihat bibirnya yang tipis sedikit membuka, “Itu sudah datang?”

Hm?

Yang mana?

Otak Ellen seketika seperti rusak mendadak.

Sehingga ketika William bertanya, dia sama sekali tidak bereaksi.

Dirinya sungguh kacau!

tatapan William menatap lurus kewajah Ellen yang begitu halus dan begitu berkilau, suaranya yang serak dan indah sampai bisa membuat wanita terlena menggema di telinga Ellen, “Kalian para wanita sering menyebutnya, tamu bulanan.”

Wanita?

Yang menarik perhatian Ellen justru kata ‘wanita’, bukan kata ‘tamu bulanan’ yang dikatakan William.

Semua orang mengatakan kalau ‘wanita’ itu panggilan untuk gadis yang sudah tidak gadis lagi.

Tiba-tiba Ellen teringat kejadian malam itu, tubuh mereka yang menjadi satu, sampai……… rasa sakit yang terasa sampai ke tulang sumsum.

Wajah yang memang bersih dan putih itu terlihat menjadi pucat.

Bulu mata Ellen menunduk, bibirnya yang merona agak gemetar, suaranya yang manis juga terdengar sedikit bergetar, “Tidak, aku hanya masih belum sadar betul dari tidur.”

Keduanya berada dijarak yang begitu dekat, William yang pertama kali merasakan perubahan emosional Ellen.

Kedua matanya menjadi semakin tajam, William mengecup ringan alisnya, lalu meluruskan tubuhnya, menjauh darinya, lalu duduk disisi lain meja, dan duduk berhadapan dengan Ellen.

Dan disaat bersamaan, Darmi juga sudah membawakan sarapan keluar dari dapur.

Ellen memegang erat tangannya sendiri, berusaha menahan emosionalnya, tidak membiarkan emosionalnya terus meluap.

Sepanjang sarapan dia terlihat tidak begitu fokus, dan juga tidak nafsu makan.

Ia memaksakan diri untuk makan sebuah bakpao, minum segelas susu, selebihnya sudah tidak sanggup ia makan.

Ellen mengambil sapu tangan yang berada disampingnya untuk mengelap mulutnya, agak ragu, lalu berdiri dari posisinya, berkata pada William dengan suara pelan, “Aku berangkat sekolah dulu.”

“Aku antar.”

William menyeruput kopi hitamnya, dan berkata.

Ellen, “… tidak, tidak perlu.”

Sekarang asalkan berduaan dengannya, Ellen akan merasa begitu tertekan.

Berbeda jauh dengan dirinya yang dulu yang selalu mencari cara untuk berdekatan dengan William.

Sikap Ellen pada William sekarang, menghindar sebisa mungkin, kalau tidak bisa menghindar usahakan memutar otak untuk menghindar.

Sekarang masih masa akhir kehidupan SMA-nya.

Masih ada setengah tahun, setengah tahun lagi, maka dia sudah bisa pergi.

Sebenarnya pikiran Ellen sangat mudah.

Asalkan berpisah dengannya, keduanya tidak lagi berhubungan langsung, perlahan, perasaan William padanya akan berubah, tidak akan menjadi begitu arogan dan serakah pada dirinya.

Mungkin saja perlahan mereka bisa kembali menjalani hubungan antara paman dan keponakan seperti semula.

Jadi ketika Pani bertanya padanya akan masuk universitas apa.

Dia mengatakan, ia ingin berusaha kuliah di luar kota atau luar negri.

“Aku tetap bersikeras!” William mengkerutkan alis, berdiri, lalu berjalan menuju ruang tamu.

Ellen mengetatkan bibir, kalau dia sudah berkata demikian maka sudah tidak mungkin merubah keputusannya.

……

Ketika Ellen berjalan keluar dari ruang makan, William sudah mengambil tas sekolah juga sweaternya dan menunggu didepan pintu.

Melihat ini semua, Ellen hanya bisa menghela nafas panjang dengan tidak berdaya, ia melangkah dengan cepat, mengambil sepatu merah mudanya yang berada diatas rak sepatu.

Beru menegakkan tubuhnya, merasa seperti ada sesuatu dibahunya.

Ellen mengangkat alis, bola matanya melihat kesamping, melihat sweater yang berada dibahunya.

Bulu matanya yang panjang agak bergerak, Ellen agak menundukkan matanya dan mengulurkan kedua tangannya kedalam lengan sweaternya.

Sweater korea memang terlihat agak gempal, postur tulang Ellen kecil, meskipun didalamnya mengenakan pakaian dalam, kaus dalam sampai seragam juga rompi sekolah, namun begitu sweater ini dikenakan olehnya, membuatnya terlihat begitu besar.

Lengan sweater juga begitu panjang, begitu tangannya dimasukka, sama sekali tidak bisa melihat tangannya.

Ellen keluar dengan pakaian seperti ini, bahkan kalau ada yang mengatakan dia murid SMP pun orang lain bisa percaya.

Hanya saja untuk ukuran anak SMP terlalu tinggi.

William mengelus rambut Ellen yang lembut, ia menggenggam tangan Ellen yang berada dibalik sweater, lalu menggandengnya keluar.

Darmi membawa piring keluar dari ruang makan, kebetulan melihatnya.

Sudut bibirnya sedikit mengangkat.

William yang berpakaian begitu dewasa bahkan terlihat begitu matang, menggandeng Ellen yang terlihat begitu kecil dan masih muda, membuat orang merasa mereka seperti ayah yang sedang menggandeng putrinya, hehehehehe……….

……

Keluar dari villa, naik mobil, setelah perjalanan 40 menit tiba di sekolah.

Akhirnya William melepaskan tangan Ellen, dari balik sweater yang tebal, Ellen bisa merasakan kehangatan tangannya, begitu hangat.

William melihat sekitar gerbang sekolah, lalu menatap Ellen dengan lembut, suaranya begitu lembut, “Masuklah.”

Ellen mengangguk, ingin melepaskan tangannya.

Namun ia sudah mencoba beberapa kali tetap tidak bisa ia tarik……………

Akhirnya Ellen menyerah untuk melepaskan tangannya.

Begitu ia mengatakan ‘masuklah’, ia langsung melepaskan tangannya……

Novel Terkait

Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Di Balik Awan

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu