Hanya Kamu Hidupku - Bab 526 Paman Nulu, Kamu Percaya Aku

Pani menatap kedua tangannya dan kemudian melihat dirinya yang tidak tahu bagaimana bisa menabrak ke sofa, membungkuk sambil memegang perut Linsan yang perlahan meluncur turun di sepanjang belakang sofa, dia sangat … bingung.

Sebuah angin dingin bertiup melewati tubuhnya.

Bulu mata Pani yang melengkung pun bergetar, melihat pria yang muncul di sebelah Linsan sambil menggenggam lengannya lalu memeluknya ke dalam pelukannya dan bertanya dengan cemas.

Dia bertanya sesuatu dan Pani sedikit mengarahkan telinganya ke sana.

Ngg ngg ngg ….

Tetapi dia hanya bisa mendengar suara itu.

Pani berkedip dan kepalanya sedikit pusing, dengan cepat dia langsung menjilat bibirnya yang kering, melihat Pataya dan Tanjing yang sedang menatap Linsan, dia berbalik dan dengan terburu-buru berjalan ke arah pintu masuk.

"Ahh …."

Sebuah jeritan terdengar dari belakang yang menembus gendang telinganya.

Pani mengangkat tangan untuk menutup telinganya dan mulai berlari.

"Darah, Kak Linsan, kamu keguguran, kamu bisa mati atau tidak …."

Mati?

Pani telah berlari ke pintu, tetapi ketika mendengar kata-kata ini, kakinya seperti diikat oleh tali tebal dan tidak bisa melangkah ke depan lagi.

Keringat dingin menetes dari sudut dahinya, Pani meremas erat tangannya, berbalik dan menoleh dengan gemetar.

Kejadian yang dilihatnya membuat Pani gemetar dan mundur dua langkah, punggungnya bergetar kuat, bersandar di dinding, matanya membesar dengan panik dan wajahnya memucat.

"Sakit sekali …."

Wajah Linsan pucat dan berkeringat, dia menunduk melihat darah yang keluar dari gaun putihnya, pertama-tama hanya sebuah bulatan kecil dan kemudian diameternya semakin membesar dan semakin besar ….

"Ahh …."

Linsan menggenggam bahu Sumi dengan erat, air mata dan keringatnya terus bercucuran, dengan lemah bersandar di tubuh Sumi, "Sumi, aku sangat sakit, sangat sakit, sangat sakit …."

Kedua lengan Sumi menegang, matanya juga menegang, dengan cepat melirik darah yang mengalir ke pergelangan kaki Linsan, menenangkan pikirannya dan berkata, "Jangan takut, aku akan mengantarmu ke rumah sakit sekarang juga …."

"Ya, Pani yang …."

Sumi terdiam, mengangkat kepala menatap Pataya.

Pataya kehabisan akal, menatap Sumi dengan penuh air mata, "Pani yang mendorong Kak Linsan, dia tahu Kak Linsan adalah wanita yang paling kamu cintai, dia membenci Kak Linsan …. Dia sangat jahat, aku belum pernah melihat wanita yang begitu jahat seperti dia! Sangat mengerikan, dia sangat mengerikan!"

Mata Sumi begitu dingin, dia terus mendengarkan, kemudian menurunkan pandangannya dan menggendong Linsan, lalu berjalan ke arah pintu.

Bagaimanapun masalah di depannya ini adalah yang terpenting, yaitu anak di dalam perut Linsan!

"Sumi, Pani bukan sengaja untuk mendorongku, dia hanya tidak sengaja … aku tidak menyalahkannya." Linsan meraih lengan bajunya Sumi, wajahnya yang pucat menatap Sumi, dengan mata merah dan berkata dengan sabar sambil menggigit bibir bawahnya.

Sumi mendengar kata-kata itu, lalu mengangkat kepala melihat Pani.

Pani berdiri di dinding dengan gemetar, melihat sosoknya seperti anak yang tak berdaya.

Dia belum pernah, belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.

Hati Sumi langsung tercekik, menarik pandangannya dengan kejam, menatap Linsan dan berkata, "Jangan katakan lagi, aku bawa kamu ke rumah sakit dahulu, kamu … jangan terjadi apa-apa!"

Tenggorokan Pani seperti dipaku keras dengan dua paku besi, dia merasakan lengket darah di tenggorokannya dan diikuti dengan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan di dalam hatinya.

Dia menatap Sumi, matanya yang terbuka lebar dan penuh dengan sinar air yang membuat matanya sakit, kemudian dia dengan perlahan membuka tenggorokannya yang berdarah itu, berkata dengan bodoh, "Aku, aku seharusnya, tidak, tidak menyentuhnya …. Jika, jika aku tidak sengaja menyentuhnya, aku, aku bukan sengaja, aku, aku tidak tahu, sungguh …."

Pani benar-benar tidak tahu apakah dirinya ada menyentuh Linsan atau tidak.

Pada saat itu situasinya terlalu kacau, Pataya terus tidak melepaskannya, dia tidak tahu kapan Linsan datang menghampirinya, dia hanya ingin melepaskan Patay, jadi dia mendorongnya … tapi, tapi intinya, dia tidak ingat, dia tidak tahu apakah dirinya kehilangan kendali dan menyentuh Linsan atau tidak ….

"Aku tidak tahu … sungguh, aku tidak tahu …." Pani menatap Sumi, dadanya naik turun dengan kuat, kemudian air matanya meledak begitu saja, "Paman Nulu, kamu percaya padaku, kamu katakan padaku, kamu percaya padaku … aku, aku juga tidak tahu …."

Sumi menarik nafas dalam-dalam, menggendong Linsan dan melangkah maju dengan cepat.

Pani berdiri di dinding di samping pintu.

Melihat Sumi menggendong Linsan dan berjalan ke arahnya, kedua matanya terus melonjak, lalu dengan panik mengulurkan tangan untuk meraih ujung pakaian Sumi, air matanya berlinang tak terkendali, "Paman Nulu …."

"Pani, apakah kamu baru ingin menyerah setelah membunuh Kak Linsan?"

Begitu Pani tersedak, Pataya bergegas maju ke arahnya dan menarik Pani, "Pani, mengapa kamu begitu jahat? Apa kamu tidak melihat Kak Linsan berdarah begitu banyak? Dia sekarang harus pergi ke rumah sakit, apa maksudmu menghentikan Tuan Nulu lagi? apakah kamu baru senang ketika melihat Kak Linsan mati di hadapanmu, bahagia ya!"

Pani terisak-isak dan masih tetap menatap Sumi, air mata di matanya tampak terus mengalir tanpa henti.

"Pani, aku tahu kamu tidak menyukaiku, bahkan membenciku. Tetapi aku memperlakukanmu dengan hati bersahabat dan tulus, sama sekali tidak pernah ada rasa musuh, aku selalu mencoba untuk berteman denganmu. Karena aku selalu percaya bahwa ketulusan bisa membawakan ketulusan."

Linsan mencengkeram perutnya dengan erat, keringat di wajahnya seperti baru saja di ambil dari dalam air, semua rambutnya basah lalu menempel di kepala dan wajahnya.

Dia memandang Pani dengan sedih dan kecewa, tetapi mencoba mengatakan semuanya dengan jelas, "Aku sekarang masih percaya bahwa kamu bukan sengaja untuk mendorongku. Tapi bisakah kamu sekarang membiarkan Sumi membawaku ke rumah sakit terlebih dahulu, terima kasih."

Pani masih tetap menatap Sumi, "Kamu …."

"… Linsan, Linsan!"

Linsan pun pingsan.

Pandangan di depan Pani mulai kabur dan bising, terdengar suara arus listrik di telinganya dan tubuhnya didorong lagi dengan keras.

Punggung belakangnya menabrak dinding dengan keras, plak ….

Pani menggerakkan kedua matanya dan menaikkan bahunya.

Dia tidak bisa membedakan apakah punggungnya tertabrak atau seluruh hatinya yang tertabrak!

Sakit sekali, sakit sekali.

Sumi menggendong Linsan dan lari keluar dan Pataya juga ikut keluar.

Tanjing melihat pintu yang kosong, tiba-tiba terlintas sinar putih yang berkilau di pikirannya.

Dia tertegun, seperti menerima pukulan.

Bum!

Terdengar suara barang yang jatuh ke lantai.

Kelopak mata Tanjing berkedut, memutar matanya secara mekanis untuk melihat ke sana.

Pani duduk melamun di lantai, dia bersandar di dingin dengan air mata yang penuh di wajahnya.

Namun ada lengkungan aneh yang tergantung di sudut mulutnya.

Itu adalah tawaan untuk dirinya sendiri, ejekan, kesedihan, atau, apa lagi ….

Dan juga … putus asa!

Tanjing melangkah maju tanpa terkendali.

Dia berdiri di depan Pani, menunduk melihat matanya yang penuh dengan kekagetan dan kekacauan yang tersembunyi.

Pani menatap Tanjing dengan aneh, bahkan tersenyum padanya.

Rasa dingin tiba-tiba melintas di punggung Tanjing.

"Kalian semua benar, dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa."

"Kamu bilang, mengapa dia datang menggodaku?"

"Kalian lepaskan aku, aku mengaku kalah."

Tanjing tiba-tiba merasakan perasaan yang sangat tidak nyaman yang tak bisa dikatakan di dalam hatinya, dia dengan perlahan menggerakkan tenggorokannya dan berkata, "Gaunmu, sudah rusak."

Pani tidak melihat gaun yang dikenakannya, dia menopang pada lantai, seperti seorang prajurit perang yang gigih, berdiri di tengah-tengah "Lautan darah", "Barang yang bukan milik saya, sudah rusak, apa yang harus disayangkan lagi."

Tenggorokan Tanjing bergetar, dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya dia tetap tidak mengatakan apa-apa.

Dia melihat Pani menegapkan punggungnya dan langkah demi langkah berjalan menuju pintu.

Semakin memaksa untuk tegar, semakin menyedihkan.

Tuk tuk tuk ….

Suara sepatu hak tinggi tiba-tiba terdengar dari kejauhan lalu mendekat.

Langkah kaki Pani sedikit terhenti dan melihat ke pintu.

Dengan cepat, sosok tubuh berwarna merah muncul di depan Pani.

Pani melihat orang yang datang itu, matanya tidak menggambar emosi sedikit pun, melewatinya dan ingin terus lanjut berjalan ke depan.

"Pani …."

Yuki segera meraih lengan Pani.

Pandangan Tanjing melayang, melihat Yuki.

Pani melirik Yuki dengan sangat ringan, mengangkat tangan untuk melepaskan tangannya Yuki dan terus maju.

"Pani, terjadi sesuatu pada Nenekmu!"

Yuki menggenggam tangan, menatap bayangan punggung Pani dan berkata dengan keras.

Tanjing tiba-tiba menarik nafas dingin, melangkah maju dan menarik Yuki, "Apa yang kamu katakan?"

Yuki melirik Tanjing, mengerutkan bibir melihat Pani yang berhenti dengan tubuh yang gemetar, lalu berkata, "Tadi Kak Lira tiba-tiba mengangkat telepon dan pergi, karena dia bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat Nenekmu. Pani … aku baru saja mendapat kabar, kondisi Nenekmu sangat tidak baik, jika sekarang kamu segera pergi ke sana, mungkin kamu masih bisa melihat Nenekmu untuk terakhir kalinya!"

Tanjing menatap Pani dengan mata membelalak.

Waktu terus berlalu setiap detiknya.

Pani setidaknya berdiri di tempat lebih dari satu menit, kemudian mengangkat gaunnya dan berlari dengan kencang.

Kelopak mata Tanjing berkedut, tampak tak ada keraguan dan langsung mengikutinya.

Yuki tersentak, dia tidak mengikuti mereka, tetapi bersandar di tepi pintu, termenung menatap lantai.

Dia samar-samar melirik gaun Pani yang robek, apa yang telah terjadi sebelum dia kembali?

Dimana Linsan dan Pataya mereka?

Yuki mengerutkan kening dan melihat ke dalam ruangan dengan curiga.

Beberapa detik kemudian.

Yuki mengerucutkan bibirnya, lupakan saja, intinya pesta hari ini pasti tidak akan diselenggarakan dengan lancar!

Yuki berdiri tegak, menepuk tangan, menaikkan bibirnya dan kemudian pergi.

….

"Naik mobil!"

Di depan hotel.

Pani terus tidak mendapatkan taksi, kedua tangannya tergenggam erat dan terus mengingatkan agar dirinya tetap tenang, tetapi malah semakin bingung dan air matanya terus mengalir tak terkendali.

Pada saat ini, sebuah mobil meluncur dan berhenti di depannya.

Pani menatap wanita yang duduk di kursi pengemudi dengan tertegun.

"Cepat!" Tanjing membungkuk dari kursi pengemudi, membuka pintu dan mendesaknya.

Mata Pani bergetar, lalu membungkuk dan masuk ke dalam.

"Sabuk pengaman!"

Kata Tanjing ketika dia menyalakan mobil kembali.

Tangan Pani gemetar parah dan butuh beberapa menit untuk mengikat sabuk pengaman.

Wajah Tanjing tampak serius, memandang Pani sekilas dari kaca spion, melihatnya telah mengikat sabuk pengaman dan kemudian langsung menginjak pedal gas, mobil melaju seperti hembusan angin.

Mobil melaju sangat kencang, pemandangan di luar jendela mobil terus lewat seperti bayangan di depan Pani.

Jantungnya sangat tegang, bukan karena kecepatan mobil ini, tetapi karena satu-satunya orang tua yang benar-benar peduli terhadapnya di dunia ini!

Nenek, jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku seorang!

Jika kamu saja sudah tidak menginginkanku lagi, bagaimana aku bisa bertahan hidup!?

Nenek, Pani hanya memiliki kamu seorang!

Mohon padamu, jangan pergi ….

Novel Terkait

Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
My Cute Wife

My Cute Wife

Dessy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu