Hanya Kamu Hidupku - Bab 519 Paman Nulu, Kamu Sudah Datang

Sebuah aroma mint yang tipis masuk ke hidung Pani.

Pani panik, tubuhnya menjadi kaku.

Dia samar-samar merasakan ada sebuah tangan dengan pelan menepuk punggungnya.

“Langit tidak akan runtuh, pasti akan ada jalannya.”

Suara pria yang merdu sedikit kosong terdengar dari atas kepala.

Bulu mata Pani bergetar pelan, air mata mengalir turun.

“Kamu tidak seorang diri, orang yang mencintaimu, tidak peduli kamu berada dimana, hatinya berada bersamamu.”

“Wu……”

Dahi Pani menempel di dada pria, dia tahu pria gentlemen yang memeluknya di hadapannya ini, mungkin merasa dia kasihan, dia sama sekali tidak kenal dengan pria yang berbaik hati yang ingin menghiburnya, tapi saat ini dia memerlukan pelukan seperti ini.

“Wanita yang kuat, tidak akan dijatuhkan oleh situasi sulit yang sesaat. Percaya dengan kemampuan sendiri, kamu bisa membantu dirimu sendiri, juga bisa membantu orang-orang yang saat ini memerlukanmu itu,.” Suara pria merdu seperti tidak nyata, seperti khayalan Pani yang terjadi karena terlalu sedih dan putus asa.

“Aku sedikitpun tidak kuat.” Suara Pani sangat serak, “Aku takut.”

Suara pria lenyap cukup lama, berkata, “Kalau tidak merasa takut, bagaimana mengetahui seseorang kuat atau tidak.”

Pani dengan mengepalkan tangannya dengan kuat.

Dia memundurkan kepala dengan perlahan dari pelukan pria, dia tidak mengangkat kepala melihat pria, berkata, “Terima kasih padamu.”

Pria dari atas ke bawah menatapnya, “Sama-sama.”

Pani menundukkan kepala, melintas dari samping pria, berjalan ke depan.

Pria perlahan memiringkan tubuh, melihat punggung Pani yang kurus, sepasang mata yang tenang seperti air jernih samar-samar bersinar.

“Haiyo, aku juga pertama sekali mengetahui, ternyata Dewa Riki kita, adalah pria hangat yang bisa merasa kasihan melihat seorang wanita menangis lalu memberikan pelukan yang menenangkan.”

Riki mendengar perkataan itu, memalingkan kepala melihat wanita paruh baya di sampingnya, mengangkat alis, membalikkan tubuh, mengulurkan tangan memegang pundak wanita, setengah merangkulnya berjalan ke depan, “Bibi, kamu salah, aku bukan pria hangat, aku adalah petir, atau kamu boleh memanggilku syal merah!”

“Dasar kamu!”

“He~~”

Riki tersenyum pelan menyipitkan mata, dengan tidak bereskpresi melihat ke lorong jalan di belakang.

……

Pani dengan serius menjaga Yumari tiga hari di rumah sakit.

Tiga hari ini, Yumari begitu ada sedikit gerakan, Pani lalu seperti bertemu kedatangan musuh besar, gelisah tidak tenang.

Hari ini pagi hari jam sebelas.

Dokter datang melakukan pemeriksaan rutin, selesai memeriksa, dokter lalu menyuruh Pani ke ruangannya sebentar, mendiskusikan rencana pengobatan Yumari.

Setelah dokter pergi, Pani merapikan ujung selimut untuk Yumari, baru dengan langkah cepat pergi ke ruangan dokter.

Lantai dua ruangan dokter.

Pani menaiki lift turun.

Lift sampai di lantai dua, Pani baru akan melangkahkan kaki keluar, begitu mengangkat kepala, lalu melihat pria yang berdiri di depan pintu lift.

Pani dan pria yang berdiri di depan pintu lift melihat satu sama lain, sama-sama tercengang.

“Paman Nulu…..”

Sesaat dua kata ini dikeluarkan, mata Pani lalu menjadi memerah, tenggorokan juga tersedak bergetar.

“Pani.” Sumi malah sedikit kaku, sedikit terkejut melihat Pani.

“Paman Nulu.”

Pani berjalan keluar, menjinjitkan kaki dengan bertenaga memeluk Sumi, suara serak berkata, “Paman Nulu, kamu sudah datang.”

Mata Sumi menarik, sepasang tangan dengan pelan diletakkan di pinggang Pani, menundukkan mata melihatnya, “Pani, kamu kenapa di sini? Apa tidak enak badan?”

Berkata sampai akhir, Sumi baru menjadi gugup, menggenggam pinggang Pani, mendorongnya dengan pelan, mengerutkan kening, mengamatinya.

Pani menangkap lengan baju Sumi, sepasang mata memerah, mengeluh seperti anak kecil. “Bukan aku paman Nulu, nenekku, nenekku sudah sakit, sangat parah, dokter bilang untuk sementara waktu masih tidak memiliki cara menolong nenekku. Paman Nulu, aku tidak bisa menahannya lagi, untung kamu datang, untung……”

“Sakit parah? Ada apa?” Sumi menarik nafas pelan, dengan berat berkata.

Ekspresi Pani sudah seperti akan menangis, mengulurkan tangan kembali memeluk erat Sumi, “Semua karena aku, kalau bukan aku, nenekku tidak akan menahan diri tinggal di keluarga Wilman, tidak tinggal di keluarga Wilman, juga tidak perlu menerima pemerasan dan perbudakan mereka! Seperti itu, nenekku tidak akan karena terlalu kelelahan mengidap banyak penyakit. Semua karena aku, nenek demi diriku! Paman Nulu, aku tidak bisa kehilangan nenekku, kamu mengenal banyak orang, koneksi luas,kamu bantu aku pikirkan cara, selamatkan nenekku, baik tidak?“

Sumi tidak berhenti mengelus punggung Pani, “Baik. Aku sekarang pergi mencari kepala rumah sakit memahami kondisi.”

“Em em.” Pani segera melepaskan Sumi, mengangkat tangan dengan cepat mengusap air mata di wajah, menggenggam tangan Sumi lalu jalan ke arah ruangan.

“Sumi……”

Sebuah suara wanita yang kebingungan datang dari belakang.

Seketika.

Pani merasa tangan besar yang dia genggam menjadi kaku.

Pani dengan kebingungan mengangkat kepala, melihat pria di sampingnya.

Sumi menutup bibir, mengulurkan tangan, berbalik mengandeng tangan Pani, membalikkan tubuh, memandangi wanita yang di tangannya masih memegang laporan yang sama tidak jauh di belakang mereka, berkata, “Maaf, takutnya tidak bisa mengantarmu pulang lagi.”

Pani saat ini juga membalikkan tubuh, saat pandangan jatuh di wanita di hadapan, darah di sekujur tubuh Pani lalu dengan tidak terkendali menjadi dingin.

“Pani?” Linsan dengan terkejut memandangi Pani, “Kamu kenapa berada di sini? Kamu……”

Pandangan Linsan melihat perut Pani, “Apa tidak enak badan?”

Pani menatap Linsan, di dalam tenggorokan seperti tersumbat sesuatu, tidak bisa mengatakan sepatah katapun, juga tidak ingin mengatakan.

Sumi menyipitkan mata, “Bukan dia. Kondisimu saat ini khusus, lebih baik menelepon menyuruh Thomas atau supir menjemputmu pulang.”

Linsan melangkah maju, dengan perhatian melihat Pani, kembali melihat Sumi, “Raut wajah Pani sangat pucat, sebenarnya telah terjadi apa?”

Kali ini, Sumi masih belum menjawab, lalu merasa telapak tangannya kosong.

Mata Sumi menarik, menundukkan mata melihat Pani.

Sepasang tangan Pani mengepal, sedikit diletakkan di belakang tubuh.

Raut wajah Sumi sedikit memberat.

Linsan malah seperti sedikitpun tidak menyadari keanehan suasana hati Pani dan Sumi, mengerutkan kening memandangi Pani, perkataan seperti dari dalam lubuk hati, dengan perhatian berkata, “Pani, telah terjadi apa? Ada yang bisa aku bantu tidak? Kamu seperti ini, sangat membuat orang khawatir.”

Di sekeliling ujung mata Pani seperti ada duri yang menusuk, sakit dan menusuk, dia menatap lurus Sumi, suara serak, malah berusaha berpura-pura tenang, “Terima kasih nona Lin memperhatikan, aku tidak apa-apa.”

“Pani, kita adalah teman, ada hal apa kamu bisa memberitahuku, lihat aku bisa tidak membantumu.” Linsan mengulurkan tangan dengan pelan menggenggam lengan Pani, dengan lembut berkata.

“Aku bicara seperti ini mungkin sangat tidak sopan.”

Pani seketika mengalihkan pandangan dari wajah Sumi, jatuh ke tubuh Linsan, “Aku dengan nona Lin sepertinya bukan hubungan yang bisa mengkhawatirkan satu sama lain.”

Linsan menjadi kaku, detik selanjutnya rasa canggung dan malu muncul di wajahnya.

Dia melihat sekilas Sumi, sedikit mengeluh berkata kepada Pani, “Sepertinya, sepertinya aku yang terlalu berpikiran berlebihan. Aku mengira kita adalah teman, sudah seharusnya saling mengkhawatirkan.”

“Temanku hanya ada satu, dan dia sudah mati!” Pani mengibaskan tangan Linsan, berbalik dan berjalan pergi.

Linsan menggigir bibir, dengan kaku menatap punggung Pani, adalah perasaan sedih dan kecewa di matanya, “Sepertinya Pani sangat membenciku.”

Sumi menggenggam tangan, melihat Linsan dan berkata, “Suasana hati dia tidak baik, kamu jangan terlalu masukkan kedalam hati.”

Linsan menundukkan pandangan matanya, mengangguk pelan, “Em. Kamu dan Pani akan segera bertunangan, kamu adalah kerabatku, tentu saja Pani juga. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa keberatan.”

Linsan mendongak, menarik nafas dalam, tersenyum kepada Sumi, “Jangan khawatirkan aku, cepat pergi lihat Pani.”

“Em.”

Sumi tidak melihat Linsan lagi, dengan langkah besar mengejar Pani.

Linsan berdiri ditempat, tersenyum menatap arah Sumi dan Pani pergi, sampai mereka menghilang di sudut koridor, Linsan menunduk melihat laporan di tangannya, menyipitkan matanya, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, menekan nomor Tanjing.

Tanjing dengan cepat menjawab, “Linsan, kemana kamu beberapa hari ini? Membuat aku khawatir!”

“Maaf, sudah membuat kalian khawatir. Tapi aku tidak apa-apa, beberapa hari ini Sumi menemaniku.”Linsan berkata.

“Kakak Nulu?” Tanjing terkejut.

“Em.” Linsan menunduk melihat perutnya sendiri, “Tanjing, apakah sekarang kamu memiliki waktu? Aku sedang di rumah sakit, apakah kamu bisa datang menjemputku?”

“Rumah sakit? Kamu masih mengatakan tidak apa-apa, tapi pergi ke rumah sakit!” Tanjing berkata dengan panik.

Linsan tersenyum lembut, “Tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu datang dulu, kita mengobrol lagi setelah bertemu.”

“Baik, aku segera datang!”

Menutup telepon.

Linsan mengangkat alis, berjalan kedepan dan melihat, baru berbalik, dan berjalan ke arah lift.

……

Sebuah mobil putih modis berada di gerbang rumah sakit.

Linsan tersenyum melihat Tanjing yang meraih tangannya dan memeriksa dia dari atas sampai bawah, menghela nafas tidak berdaya dan berkata, “Tanjing, aku sudah mengatakan aku tidak apa-apa, tenanglah.”

Tanjing melihat dia memang seperti tidak ada masalah, alisnya yang mengernyit akhirnya dilonggarkan, menatap dia dan berkata menyalahkan, “Lain kali kamu tidak boleh begini lagi. Kamu tahu betapa khawatirnya aku beberapa hari ini tidak bisa menghubungimu? Aku hampir lapor polisi!”

“Benar Linsan, aku dan Tanjing sangat khawatir.”

Saat Linsan menelepon Tanjing, Yuki kebetulan juga bersama dengan Tanjing, saat mendengar Linsan menyuruh Tanjing datang menjemput, dia lalu ikut datang.

Linsan melihat Tanjing dan Yuki, berkata dengan lembut, “Sudahlah, aku tahu kali ini aku yang salah, membuat kalian berdua teman baikku menjadi khawatir, aku minta maaf kepada kalian, dan menjamin kepada kalian, tidak akan ada lain kali lagi, apakah begini sudah boleh?”

Tanjing menatap Linsan dengan tidak berdaya, “Apa lagi yang bisa aku katakan? Kamu baik-baik saja aku sudah sangat bersyukur.”

Linsan menggenggam tangan Tanjing.

“Oh ya Linsan, kamu mengatakan kepada Tanjing di telepon, beberapa hari ini bersama dengan Kakak Nulu?” Yuki menunduk melihat kuku yang baru dibuatnya, pura-pura bertanya dengan asal.

“Benar.” Linsan membahas, “Aku merasa tidak enak jika dikatakan, karena keras kepalaku, menunda banyak masalah Sumi.”

Yuki dengan cepat melirik Linsan, berkata, “Linsan, sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Cepat ceritakan kepadaku dan Tanjing.”

Linsan meletakkan satu tangannya di atas perutnya sendiri, meraba dengan perlahan.

Yuki melihat, pandangan matanya menjadi dalam.

Mendengar Linsan berkata lembut sambil tersenyum, “Aku hamil.”

Tanjing, Yuki, “......”

Novel Terkait

This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Mr Huo’s Sweetpie

Mr Huo’s Sweetpie

Ellya
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
3 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Everything i know about love

Everything i know about love

Shinta Charity
Cerpen
5 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu