Hanya Kamu Hidupku - Bab 238 Dia Tidak Tahu Seberapa Menakutkan Dirinya

Tubuh mereka berdua memanas, jantung mereka berdegup kencang terasa panas.

Satu tangan Ellen memeluk erat leher William, satu tangan lainnya membelai kedalam rambut William dari belakang, tubuhnya terus menekan tubuh berotot William, seperti ingin sekali menanamkan dirinya dalam tubuhnya, dan sepenuhnya melebur menjadi satu tubuh.

William juga memeluk erat tubuh Ellen yang basah karena keringat, kedua otot lengannya mengeras, penuh dengan kekuatan.

Ciuman ini berlangsung cukup lama, lama sampai tubuh mereka berguncang, William melepaskan ciuman dari bibir merah merona Ellen, bola mata hitamnya menatulkan secercah cahaya, memikat pandangan Ellen

Ellen membaca hasrat yang tersimpan dalam tatapannya, kedua lengannya yang berada di leher William bergetar lembut.

William meregangkan lengannya yang memegang belakang kepala Ellen, tangannya menuruni punggung Ellen yang halus dan sedikit basah.

“Paman Ketiga……”

Ellen tiba-tiba mengangkat tubuhnya, menempel dengan dada William, wajah kecilnya memerah dengan lembut mendekap pada leher William, bernafas erat.

William mencium bagian belakang telinga Ellen, tangannya membelai pinggang Ellen dari belakang kedepan.

Lalu, Ellen mendengar suara ritsleting terbuka, matanya terpejam.

Beberapa detik kemudian, rasa sakit yang teramat spontan menjulur di seluruh organ pancaindera Ellen.

Wajah Ellen yang memerah berubah menjadi pucat, dia merintih namun tertahankan, dia mengecup leher William, butiran air mengalir dari kelopak matanya.

Sakit! Hanya itu yang Ellen rasakan.

Sadar tubuh Ellen yang menegang, William berhenti sejenak, keringat di dahinya menetes, dia menempelkan bibirnya pada telinga Ellen, suaranya serak seperti suara orang lain, “Aku yang terburu-buru.”

Sebenarnya bukan masalah William yang terburu-buru, selisih tubuh mereka yang menjadi salah satu faktor, Ellen bertubuh mungil, William secara keseluruhan...... “Spesial (⊙﹏⊙).

Faktor lainnya, pengalaman Ellen dalam hal ini tidak banyak, empat tahun lalu dia seperti ini dengannya, dapat dihitung dengan jari satu tangan, tambah lagi dia tidak pernah berbuat demikian beberapa tahun ini, dia terburu nafsu, bertindak serampangan tanpa memikirnya, sulit mebayangkan dia dapat menahannya.

Selain itu, pengalaman William dalam hal ini juga tidak lebih banyak ketimbang Ellen, dalam hal percintaan dia lebih paham dibanding Ellen, tapi pengetahuan sebanyak apapun tidak akan sebanding dengan pengalaman nyata. Tapi sejauh ini dia hanya pernah tiga kali dengan Ellen, gadis lain tidak ada yang mampu menariknya dalam hal ini.

Oleh karena itu, secara trik, bisa dibilang tidak ada, dulu seluruhnya hanya berdasarkan sebagaimana dirinya nyaman saja. Sekarang masih tahu untuk berhenti sejenak, menjaga perasaan Ellen, sudah terhitung....ada kemajuan, hehe.

Seusai William bertanya, dia tidak mendengar Ellen menjawab.

Mereka berdua seperti....tersedak.

Pembuluh darah di kepala William menegang keluar, pembuluh di kedua lengannya yang memeluk Ellen juga berdenyut, serasa akan pecah jika dia melanjutkannya.

William menggigit telinga Ellen, semakin lama semakin kuat, nafasnya yang berhenbus di daun telinga Ellen membawa semacam rasa sakit dan penyiksaan.

Keringat yang menetes dari leher William terasa sedikit pahit dalam mulut Ellen, kedua bulu mata Ellen bergemetar, tapi tidak membuka mata.

Gigitannya pada leher William perlahan melonggar, pelan-pelan ia mengangkat kepalanya, bibir kecil pucatnya menempel di kuping William.

Entah apa yang Ellen katakan.

Postur William yang tegap, jelas membuat wanita bergetar ketika melihat punggungnya yang berotot.

Setelah itu, wajah Ellen digenggam oleh William, bibirnya mendarat di bibir Ellen, tidak sabar, melepaskan segala gerakannya.

Saat momen terakhir, Ellen baru merasakan sedikit rasa yang berbeda, tapi selama keseluruhan proses, rasa sakit diseluruh tubuhnya melebihi semuanya.

Setelah itu, William memeluk Ellen, wajahnys dingin menampilkan tubuh yang puas akan kenikmatan, bibir tipis dan dinginnya perlahan naik keatas, mencium punggung Ellen dari belakang.

Ellen membungkukkan pinggangnya, mukanya yang pucat berubah merona, bulu matanya sayu, matanya merefleksikan dua bayangan, dua tangan yang berada di depan tubuhnya, satu lengan menggenggam telapak tangannya, lengan lainnya, mengusap perutnya.

“Ellen.”

William mencium Ellen dari leher bagian belakang sampai telinga, di samping telinganya William dengan suara serak dan seksi memanggilnya dengan panggilan kesayangannya.

Ellen menggerakan bulu matanya, bibirnya yang pucat mengekspresikan kekesalan.

Sedangkan, William yang sedang dalam gairah tidak menyadari ketidakpuasan Ellen, tangannya yang berada di pinggang Ellen perlahan kembali meraba dengan tak terkendali.

Ellen pada awalnya tidak mampu mengendalikannya, sampai pinggang bawahnya ditusuk dengan keras, jantung Ellen berdegup, memindahkan pinggangnya.

Tapi tidak sampai satu detik ia kembali terangsang, bahkan mulai bergeser kebawah.

Ellen membuka kedua matanya, matanya sembap, bola mata hitamnya kembali membara tidak biasa, membalik menatap William.

Baru saja membalikkan kepala, tanpa diduga William mencium bibir Ellen dengan presisi yang tepat.

Kedua mata Ellen yang berkabut menciut, dengan satu tangan menempel di perut William mendorongnya kebelakang.

Ellen menunjukkan ketidaknyamanan, membuat William mengernyitkan alisnya, perlahan melepaskan bibirnya, mata hitamnya menatap Ellen.

Ellen membuka mulutnya dan terengah, alisnya mengernyit dalam melebihi William, suaranya serak seperti demam berat, dengan kekesalan, “Aku masih harus pergi kerja!”

William memejamkan matanya, lalu kembali menatap Ellen, “Tidak usah pergi.”

Saat tengah berbicara, William memeluk Ellen dengan lembut dan membalikan badan, berhadapan dengannya, menunduk menutup bibir Ellen.

“.....” Ellen dengan tidak senang mengangkat kepalanya kebelakang, satu tangan kecilnya menutup mulutnya sendiri, mata hitam bersinarnya menatap William, “Aku mau pergi kerja”.

William beragumen, ia menarik pinggang Ellen memeluknya lebih erat, matanya menatap Ellen dengan tegas, “Apakah pekerjaan lebih penting dariku?”

Ellen mengumpat, tidak bersuara.

Tentu saja dia lebih penting dibanding pekerjaan!

Apa hal ini masih perlu dikatakan!

Hanya saja jika hari ini ia tetep tinggal disini, kemungkinan dia tidak akan selamat!

Orang ini masih tidak tahu....betapa menakutkan dirinya!

Sama sekali tidak tahu soal kelembutan, seluruh tenaga dikerahkannya!

Sakit sekali!

Semakin diingat semakin kesal, Ellen mendorong William menggunakan tangan yang menutupi mulutnya, “Aku harus bergegas pergi kerja.”

William tidak mengerti jalan pikiran gadis ini.

Jelas-jelas barusan masih baik-baik saja, dia juga yang mengijinkannya, William baru saja.....

Kenapa sekarang ia terlihat berubah seperti tidak senang?

Apa wanita setelah itu.....semua seperti ini?

William kesal menekan alis panjangnya, dua bibir tipisnya mengkerut, dengan redup menatap wajah Ellen bagaikan roti.

“Ngapain lihat-lihat? Lepaskan!”

Ellen mengangkat kelopak matanya menatap William, bergumam dalam-dalam.

William memejamkan matanya, menghembuskan nafasnya, dia tidak mampu menatapnya, dia melepaskan Ellen.

Ellen bergumam kembali, lalu membungkus dirinya dengan selimut, tertatih turun dari kasur, memunguti pakaiannya yang terhambur di kasur dan lantai, dengan sedikit membungkuk, ia tertatih berjalan perlahan menuju kamar mandi.

Ellen berjalan tanpa sungkan berjalan dengan terbungkus selimut, sama sekali tidak mempedulikan William yang berada di atas kasur.

William menggertakan giginya, duduk diatas kasur dengan wajah tampan suramnya, dalam-dalam menatap ke arah kamar mandi.

Gadis ini diutus Tuhan untuk menyiksanya!

......

Ellen baru keluar dari kamar mandi setelah setengah jam.

Saat ia keluar, William sudah berpakaian rapih, dia berpakaian warna cerah, ditambah wajah dingin tampannya, seperti prince charming yang terlihat berbeda dari pria lainnya dari kejauhan.

Ellen terpaku sejenak, setelah itu ia kembali teringat dengan yang barusan William lakukan padanya di atas kasur, menarik kembali pandangannya terhadap William.

Karena kenyatannya, adalah kebalikannya.

William menatap Ellen, dengan nada datar, “Bukannya terburu-buru pergi, masih melamun apa.”

Ellen menatapnya, berjalan pergi, mengambil mantel diatas kasur, pergi keluar pintu tanpa berbicara dengannya.

William mengepal erat tangannya di dalam saku celana, mengerlingkan mata hitamnya, diikuti dengan bibirnya.

Ellen membuka pintu kamar berjalan ke ruang tamu, dia tiba-tiba berhenti.

William yang melihatnya, juga berhenti.

Ellen memalingkan kepala menatapnya, bibir merahnya menekuk, dengan suara ringan berkata, “Aku bisa menyetir sendiri ke kantor, kamu tidak perlu mengantar.”

William mendengarnya, kerutan di wajahnya semakin bertambah, dengan dingin menatap Ellen.

Entah apa Ellen tidak melihat kekesalan di wajah William, melambaikan tanganya kepada William, “Aku pergi dulu.”

Lalu, Ellen berpaling, berjalan keluar pintu.

Sampai Ellen berjalan keluar rumah, William tidak lagi mengikutinya.

Ellen memejamkan matanya sejanak, dia tidak berhenti, berjalan menuju lift.

Dia berdiri di depan lift, setelah beberapa detik lift baru sampai.

Setelah pintu lift terbuka, Ellen berjalan masuk, ketika membalikan badan ingin memencet tombol lanyai tujuan, sebuah bayangan hitam menyambar keluar dari kamar, masuk kedalam lift.

Ellen hanya merasa pandangan matanya buram, setelah itu, seluruh tubuhnya terasa diselimuti oleh hawa dingin, dinding lift terasa begitu dingin.

Merasa dirinya hampir tergencet ke dinding lift.

Ellen menarik nafas dalam, mengangkat matanya kearah wajah yang buram itu, dia mengepalkan telapak tangannya, dengan pelan berkata, “Bukankah aku sudah bilang tidak perlu mengantarku?”

……

“Sebenarnya mengapa kamu tidak senang?”

William menatap erat Ellen, suaranya terdengar terbungkus kekesalan dan amarah.

Ellen menatap wajah tampannya yang menegang dan matanya yang gelisah, beberapa detik setelah itu, wajah kecilnya tiba-tiba tersenyum, pupil mata hitamnya juga bersinar.

William, “........”

.......

Hotel Junli sampai Magazine W tidak lebih dari 20 menit berkendara sudah sampai.

Mobil Audi berhenti di depan gedung kantor penerbitan Magazine, William menekukan bibir tipisnya, dingin tersembunyi didalam matanya yang dengan ragu menatap Ellen yang duduk di kursi penumpang sambil melepaskan sabuk pengaman.

Ellen melepaskan sabuk pengaman, ia mencium wajah William, dengan suara manis, ramah dan gembira, “Paman Ketiga, aku pergi dulu.”

Setelah Ellen berkata, ia membalikan badan membuka pintu mobil, tapi tiba-tiba satu lengannya tertarik.

Novel Terkait

Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
3 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu