Hanya Kamu Hidupku - Bab 325 Siapa Suruh Aku Menyukainya

“Masih ada besok, besok undang kakak pertama dan kakak kedua untk datang makan ke rumah.” William menundukkan kepala menatap Ellen, berkara sambil mengangkat alisnya, “Ada lagi yang dipertimbangkan?”

Wajah Ellen sedikit memerah, matanya yang besar menatapnya serius sambil berkata, “Aku pikirkan lagi.”

William melihat wajahnya yang penuh percaya diri itu, ingin sekali mengulurkan tangan untuk menarik hidungnya!

satu keluarga berempat baru naik mobil, Vania dan Bintang baru turun dari mobil.

Ellen duduk disamping pengemudi, ketika William menyalakan mobil, tidak sengaja melihat Vania dan Bintang yang sedang berjalan kedalam gedung, pandangannya hanya tertuju satu detik, lalu langsung mengalihkan pandangannya lagi.

William juga melihatnya, hanya tidak mengekspresikannya saja.

……

Vania dan Bintang tiba di ruang vip, suasana dalam ruangan begitu kaku.

Vania melihat beberapa orang yang ada didalam ruangan, bertanya dengan heran, “Dimana kakak ketiga?”

Hansen, Demian dan Mila sama sekali tidak menjawab.

Gerald berdiri dari sofa, berjalan beberapa langkah kehadapan Vania, hanya menatap Vania lurus dengan matanya yang hitam pekat, “Sudah datang.”

Penampilan Gerald sekarang terlihat sangat buruk, Vania melihatnya mendekat langsung mengkerutkan alis dan berkata dengan datar, “Hm.”

Gerald sama sekali tidak mempermasalahkan, ia menarik tangan Vania ke sisi meja, “Kami sudah menunggumu, duduklah, sudah boleh makan.”

Alis Vania mengkerut semakin erat, melihat tangannya yang digandeng oleh Gerald, ia malah tidak menarik tangannya, hanya melihat kearah Demian dan bertanya, “Kakak pertama, dimana kakak ketiga?”

“Ada urusan, pergi duluan.” Demian berkata dengan nada bicara tenang.

“Sudah pergi?” Vania mengetatkan bibirnya, “Kalau mama?”

Demian menatapnya, “Ada urusan.”

“Ada urusan juga?” ada rasa tidak senang yang muncul diwajah Vania, “Kalau semua ada urusan, untuk apa berkumpul?”

Mila hanya melirik Vania dengan wajah datar, tidak mengatakan apapun, ia berdiri llau berkata pada Bintang, “Bintang, duduklah.”

“Kakak kedua, kakak pertama, kakek.” Bintang menyapa satu per satu, terakhir melihat kearah Gerald, “Paman.”

Gerald sama sekali tidak melihat kearah Bintang, hanya fokus menarik Vania untuk duduk.

“Pa, Bintang sedang menyapamu, kamu kenapa?” Vania menatap Gerald dengan tidak senang.

Gerald tersentak sesaat, baru bereaksi, menepuk tangan Vania dengan ramah, mengangkat wajahnya yang penuh kerutan melihat kearah Bintang, “Semua sekeluarga, silahkan.”

“Dudukla.” Demian berkata pada Bintang.

Bintang melihat kesekeliling, lalu mencari sebauh tempat duduk untuk duduk.

Melihat Bintang duduk, Gerald melihat kearah Vania dan tersenyum penuh kasih.

Vania melihat ini, hatinya sedikit melunak, sehingga memberi senyuman pada Gerald.

Gerald tersenyum sambil mengambilkan lauk yang disukai oleh Vania.

Selain Bintang, tiga orang lainnya hanya melihat Gerald dan Vania, terutama Demian, alisnya sampai mengkerut menjadi satu.

……

Mulai makan.

Hansen hanya makan dua suap, lalu meletakkan alat makannya dan duduk disamping, sama sekali tidak bersuara.

Meskipun Demian dan Mila memiliki mental baja, melihat Hansen yang seperti ini, mereka juga makan dengan tidak tenang, tidak lama setelah Hansen meletakkan alat makannya, mereka berdua juga menghentika gerakan makan mereka.

Tentu saja Bintang juga ikut berhenti makan.

Perhatian Vania semua tertuju pada Bintang, melihat Bintang tidak makan lagi, ia juga tidak makan lagi.

“…… Vania, kenapa kamu makan begitu sedikit?”

Gerald yang melihat ini, sangat panic, “Apakah karena belakangan ini terlalu lelah? Sehingga tidak enak badan? Kamu tidak bisa seperti ini, tidak ada hal yang lebih penting daripada kesehatanmu!”

“Pa, kamu berpikir terlalu jauh, aku hanya sudah kenyang. Kamu makanlah. Semua orang hanya menunggumu seorang.” Vania menatap Gerald dengan ekspresi yang tenang.

“Kamu lihat dirimu, hanya makan beberapa suap. Menurutlah, makan sedikit lagi.” Gerald mengambil sendok lalu mengambilkan satu mangkuk kecil lauk untuk Vania.

Vania agak mengkerutkan alis, menatap Gerald dan berkata, “Aku benar-benar sudah kenyang. Jangan perdulikan aku. Sebaiknya kamu lekas makan.”

“Vania……”

“Sudah sudah, kamu makanlah pelan-pelan, aku dan Bintang pergi dulu. Kami berdua masih ada sedikit urusan.” Vania memotong ucapan Gerald, bangkit berdiri dari tempat duduknya, lalu berkata pada Bintang, “Ayo kita pergi.”

Bintang mengetatkan bibirnya, menatap wajah Gerald yang menjadi kaku disana dengan iba.

Sudah hampir satu tahun Bintang sering berpikir, mungkin hatinya sudah sakit.

Selama ini banyak hal yang mudah tersulut, sekarang melihat dan merasakan langsung, membuat hatinya perlahan mulai bergejolak.

Rasa dingin dan kaku, membuat dirinya mulai tidak kenal dengan dirinya sendiri.

Dia juga berusaha membujuk dirinya, mungkin ini adalah kesamaan yang terjadi dalam perkembangan hidup seseorang!

sehingga dia melihat wajah yang Gerald yang kasihan, bahkan rasa sedih diwajahnya, namun hatinya sama sekali tidak tersentuh.

Demian dan Mila mengalihkan pandangan.

Hansen hanya menatap Vania, ia sama sekali tidak berkomentar apapun.

……

Vania dan Bintang berjalan keluar dari gedung, Bintang naik ke mobil terlebih dahulu.

Apakah Vania sudah terbiasa oleh sikapnya yang sama sekali tidak ramah dan cuek ini?

tidak.

Tidak ada satu pun wanita yang tahan diperlakukan dingin dan tidak dianggap seperti ini.

Setiap kali bertemu, hatinya pasti akan terasa sakit bagaikan tertusuk-tusuk oleh jarum!

Vania menarik nafas panjang, mempercepat langkahnya menuju posisi disamping pengemudi, ia mengulurkan tangan ingin membuka pintu, namun ia tidak menyangka pintu tidak terbuka meski sudah ia tarik beberapa kali.

Vania bingung, ia melihat Bintang dari balik kaca mobil, “Bintang, buka kunci pintunya, pintunya tidak bisa dibuka.”

Bintang menundukkan kepalanya mengenakan sabuk pengaman, “Aku masuk ada urusan, kamu pulang naik taksi saja, atau suruh temanmu datang menjemputmu.”

“Apa yang kamu katakana?” vania mengira dirinya salah dengar, ia membelalakkan matanya menatap Bintang yang dingin.

Setelah Bintang menyalakan mobil, melirik nya dan berkata dengan dingin, “Lepaskan!”

Vania tidak melepaskan tangannya, malah memegang pintu mobil semakin erat, dadanya naik turun dengan begitu cepat, berkata dengan panic, “Bintang, apa maksudmu? Kamu ingin meninggalkan calon istrimu ini begitu saja? Apakah kamu masih seorang pria?”

“aku memang orang yang seperti ini.” Bintang meliriknya dengan dingin, “Lepas!”

“Aku tidak lepas! Bintang buka pintu, buka! Sudah semalam ini kamu bisa ada urusan apa?” wajah Vania terlihat begitu pucat.

Bintang menyipitkan matanya, “Terakhir kalinya kukatakan padamu, lepas1’

“Bintang, aaa…………”

Vania baru berkata, Bintang sudah menginjak pedal gas dan melaju.

Vania sama sekali tidak menyangka Bintang akan begitu tega, dalam kondisi seperti ini menjalankan mobil tanpa ragu.

Ketika mobil melaju, dirinya langsung terseret.

Dia terkejut, refleks melepaskan pegangan tangannya, namun karena terlalu tiba-tiba, dirinya juga sempat ikut terseret sampai terjatuh.

Wajah Vania langsung menjadi begitu pucat, telapak tangannya menggores aspal jalanan, seketika ada rasa perih yang menyerang telapak tangannya.

Rasa sakit yang begitu tiba-tiba dan rasa shock membuat Vania melupakan hal lain untuk sementara.

Airmatanya menetes turun, mengangkat tangan dan meniupi lukanya, pandangannya menjadi buram, menatap kedepan dengan sedih.

Namun dihadapannya mana ada mobil Bintang lagi.

Tenggorokan Vania mengeluarkan suara tangis yang tidak tertahankan, duduk di jalanan dengan tubuh bergetar yang sulit untuk ia kendalikan.

Hansen dan lainnya berjalan keluar, melihat Vania yang terduduk dijalanan sambil menangis, seketika begitu terkejut.

Demian mengkerutkan alis, melangkah maju dengan langkah besar, mengangkat Vania dengan memapah kedua tangannya, “Kenapa?”

“Kakak.” Begitu Vania melihat wajah Demian, ia langsung menangis sejadi-jadinya.

Demian, “……….”

……

Hansen tidak ingin kembali ke rumah utama, hatinya terpusat pada Tino dan Nino yang berada di Pavilion Coral, sehingga Demian dan Mila berpencar.

Demian yang mengantar Hansen ke Pavilion Coral.

Mila bertugas mengantar Gerald dan Vania kembali ke rumah utama.

Di jalan.

Vania yang duduk dikursi belakang tidak hentinya menangis, ia menangis sambil mengeluarkan semua unek-uneknya pada Mila dan Gerald, ia tidak membicarakan hal lain, hanya terus mengatakan betapa Bintang memperlakukanna dengan buruk, betapa dinginnya, betapa tidak memperdulikannya. Dan betapa dia baik pada Bintang.

Mila hanya fokus mengendarai mobil, mengenai apa yang Vania katakan, ia hanya mendengarnya bagai angin lalu.

Bintang tidak menganggapnya, bukankah itu karena dia sama sekali tidak menyukainya.

Dan tingkat tidak suka Bintang padanya sudah sampai mana?

Asalkan punya mata pasti bisa melihatnya!

Dulu dia yang bersikeras ingin bersama dengan Bintang, sekarang akhirnya menjadi seperti ini.

Kalau dia yang ada diposisi ini, dia tidak akan berani mengatakan ini semua pada siapapun, dia merasa canggung, bahkan malu!

Apa yang ditanam, meskipun hasilnya beracun tetap harus dimakan! Diri sendiri yang buat mau menyalahkan siapa?

Namun Gerald merasa tidak tega!

ia segera menghubungi Ahmad Hamid.

Bola mata Mila sudah diputar sampai hampir menempel diatas mobil.

“Pa, jangan telepon lagi! Paman selalu sangat tegas pada Bintang, asalkan Bintang melakukan kesalahan, maka paman akan memukulnya. Aku tidak ingin Bintang dihukum oleh paman karena hal ini.” Vania berkata dengan wajah memelas dan mata memerah.

Gerald mengkerutkan alis, “Dia sudah begitu buruk padamu, kamu masih melindunginya?”

Vania terisak sambil tersenyum pahit, “Siapa suruh aku menyukainya!”

“Sejak awal aku sudah tidak setuju kalian bersama! Dia sama sekali tidak menyukaimu!” Gerald berkata.

“Benar, dia tidak menyukaiku, dia kan menyukai Ellen.” Vania hanya tersenyum dingin, “Tapi Ellen sudah mati, hatinya juga ikut mati! Sekarang yang berada disisinya adalah aku, hanya aku! Tidak masalah kalau dia tidak menyukaiku, aku juga tidak akan memberinya kesempatan untuk menyukai wanita lain! Dengan begitu, meskipun dia tidak menyukaiku, dia juga tidak akan menyukai orang lain!”

Pandangan Mila menjadi tajam, melihat kearah Vania dari balik kaca spion.

Baru mengingat sesuatu, Gerald sudah berkata, “Ellen tidak mati!”

Mata Mila sedikit menyipit.

Vania langsung terkejut, melihat kearah Gerald dengan aneh, “Pa, apakah kamu sudah pikun? Ellen sudah mati 4 tahun yang lalu! Apanya yang tidak mati?”

Gerald terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku baru saja bertemu Ellen, ia datang bersama kakak ketigamu. Dia tidak mati.”

“Tidak mungkin!”

tubuh Vania tiba-tiba menjadi tegang, kedua matanya membelalak besar kearah Gerald, suaranya terdengar kacau dan panic, “Ellen masih hidup? Bagaimana mungkin dia masih hidup? Dia sudah mati dalam ledakan 4 tahun yang lalu, sudah mati!”

“ selama beberapa tahun ini syaraf papa memang tidak berfungsi dengan maksimal, namun aku masih tahu mana yang nyata dan bukan. Kakak ketigamu membawa Ellen datang ke Ming Yue untuk makan bersama, aku melihatnya langsung, sangat jelas dan sama sekali bukan halusinasi! Benar-benar Ellen!” Gerald berkata dengan sabar.

Jantung Vania berdegub begitu kencang, tiba-tiba bola matanya bergetar hebat, dirinya sepenuhnya masuk dalam kondisi panic dan terguncang.

Dalam pikiranya terus menggema satu kata : Ellen tidak mati, dia tidak mati………

Novel Terkait

You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
3 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
4 tahun yang lalu