Hanya Kamu Hidupku - Bab 478 Jangan Marah Lagi

Sumi bersandar di kepala ranjang dengan kaki panjang bertumpu santai di tepi tempat tidur, mata menyipit sambil melihat kekagetan yang tercetak di wajah Pani yang sedang emosi, melengkungkan bibir, "Bagaimana aku bisa masuk? Tentu saja aku masuk dengan jalan."

Pani mengerutkan kening, "Tuan Sumi memasuki kamar tidur gadis tanpa izin dari gadis, apakah itu tindakan yang benar?"

Tuan Sumi?

Sumi menilik Pani, "Kamu panggil aku apa?"

Pani menatapnya dengan tatapan tegas, "Aku mau beristirahat, silakan keluar."

Alis Sumi mengencang, mata memandang Pani dengan tenang. Beberapa saat kemudian, dia berkata, "Apakah kamu marah?"

Tuan Sumi memasuki kamarku tanpa izin dan duduk di tempat tidurku. Apakah aku tidak seharusnya marah?” Ujar Pani.

Sumi melihatnya dan berkata perlahan, "Kamu tahu aku bukan menanyakan ini."

"Lalu bertanyalah dengan jelas! Aku bukan cacing gelang di perut Tuan Sumi. Bagaimana aku bisa tahu apa yang ditanyakan Tuan Sumi." Suara Pani tenang, tetapi semakin dia terlihat tenang, ia semakin tampak dingin.

Sumi merapatkan bibir, menurunkan kaki, bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke hadapan Pani. Matanya menilik wajah halus dan lembut Pani yang baru selesai mandi, suaranya terdengar lembut, “Aku bukan sengaja mengingkar janji, aku memiliki urusan mendadak. Jangan marah lagi, oke?"

Pani mendongak untuk melihat Sumi, bibirnya berkedut beberapa kali, pada akhirnya dia menekan suaranya, berusaha membuat suaranya tidak terlalu kaku, "Aku tidak marah. Aku memang tidak berjanji untuk pergi bersamamu."

Sumi menatapnya, mengulurkan tangan dan memegang satu tangannya, "Kamu terus berbicara dengan nada marah kepadaku, kamu malah bilang tidak marah?"

Pani menarik kembali tangannya, melewati Sumi dan berjalan ke tempat tidur. "Aku bilang aku tidak marah, terserah apakah kamu mempercayainya atau tidak. Aku benar-benar mau tidur, tolong bantu aku menutup pintu ketika kamu keluar. Terima kasih."

Sumi berbalik untuk melihatnya.

Pani duduk di tepi ranjang, memandang Sumi.

Keduanya bertatapan sesaat, Sumi berkata, "Aku belum makan malam, masaklah sesuatu untukku."

Demi apa?

Wajah Pani berkedut, dia ingin mengatakan dirinya juga belum makan malam, siapa yang mau memasak untuknya?

“Jika kamu tidak memasak sesuatu untukku, maka aku akan kelaparan.” Sumi menghela nafas.

"Aku tidak bisa masak!" Kata Pani dengan marah.

Sumi menatapnya dan mengangguk, "Aku tidak bisa memaksamu jika kamu memang tidak bisa memasak. Lapar sepanjang malam bukan masalah besar. Kamu tidurlah, aku pulang."

Sumi tidak pergi, melainkan terus menatap Pani.

Sumi terlihat begitu malang ...

Pani menarik napas dalam-dalam, dalam hatinya marah, juga tertekan ...

Emosi yang lebih kuat daripada kemarahan dan perasaan tertekannya adalah ... tidak tega!

Jika Sumi bahkan tidak punya waktu untuk makan malam, apakah itu berarti dia sibuk semalaman?

Jadi dia tidak menjemputnya karena dia benar-benar sibuk?

Di satu berpikiran seperti ini, di lain sisi Pani juga berpikir walau dia terlalu sibuk hingga tidak bisa menarik diri, tidak bisakah dia meluangkan beberapa detik untuk mengirim pesan padanya?

Jika dia memberi penjelasan padanya, dirinya pun tidak akan menunggu terus menerus!

"Aku benar-benar pulang nih." kata Sumi.

Pani menggertakkan gigi, dia marah pada dirinya sendiri, juga marah pada Sumi, berkata dengan emosi, "Pulanglah, siapa yang memintamu untuk tinggal?!"

Sumi diam-diam melihatnya.

Pani membuka bibirnya untuk menghirup napas. Dia merasa hatinya sudah sangat panik.

Semua emosinya tentang Sumi membuatnya merasa panik dan gelisah.

Pani memicingkan mata setelah “percekcokan” selama beberapa menit, dan akhirnya berkompromi, "Kamu duduk di kamarku, aku akan memasak semangkuk mi untukmu. Ini sudah larut, kamu hanya bisa makan seadanya."

Mendengar kata-kata Pani, hati Sumi menegang, bibir tipisnya tertutup rapat, memperhatikan Pani dengan mendalam.

Pani bangkit dan berjalan menuju pintu.

Sumi menyaksikan Pani keluar, ketegangan di hatinya bertambah buruk.

Dia sekilas melihat mantel dan gaun merah yang dilempar Pani ke sofa, mata jernihnya menyembul belas kasihan yang kental serta jejak penyesalan.

Ponsel bergetar dua kali di dalam saku celana setelannya.

Sumi mengeluarkan ponsel, membuka kunci layar, melihat pesan teks yang tampil di layar ponsel:

"Sumi, aku sunggug kacau, bukan? Aku selalu menampakkanmu sisi keterpurukkanku."

Sumi menatap pesan itu untuk sementara waktu, dia mengetik sebaris teks di layar dan mengirimnya, "Jangan banyak berpikir, istirahatlah lebih awal."

Setelah Sumi mengirimkannya, pihak seberang membalas dalam hitungan detik:

"Oke, kamu juga istirahat lebih awal, selamat malam."

Sumi sekilas membacanya, tidak balas, lalu memasukkan ponsel ke saku celana.

……

Pani kembali ke kamar dengan semangkuk mi, Sumi duduk di meja belajar dan melihat album fotonya lagi.

Sebenarnya, tidak ada banyak foto di album itu, selain beberapa foto sebelum dia berusia tiga tahun, sisanya adalah foto kelulusan sekolah dan foto dia dan Ellen.

Pani berjalan mendekat, meletakkan mi di atas meja, berkata dengan dingin, "Cepat makan, pulang sehabis makan."

Selesai bicara, Pani berbalik dan hendak pergi.

Hanya saja, belum sempat melangkah, pinggangnya ditarik kuat dari belakang, dia mundur dua langkah searah dengan tarikan itu, kemudian jatuh terduduk di sepasang paha yang kuat.

Pani terkejut, meraih lengan panjang Sumi yang melingkar di pinggangnya, berteriak, "Sumi, apakah kamu serigala bermata putih? Tahu-tahu aku tidak memasakkanmu makanan!"

"Apa yang kamu pikirkan? Aku hanya ingin kamu menemaniku makan mi." Sumi mendekatinya dari belakang dan terkekeh di telinganya.

“Memasakkanmu makanan sudah merupakan kebaikan maksimalku, kamu jangan keterlaluan!” Pani berkata dengan marah.

Sumi memeluknya dan melekatkan dagu di pundaknya, meliriknya wajahnya yang memerah karena emosi, "Jika kamu tidak menemaniku, aku tidak akan makan."

Pani, "..." Dasar manja!

“Sumi, aku bilang sekali lagi, lepaskan aku!” Pani memelototinya.

Sumi menatapnya dan bersuara tegas, "Tidak!"

“Kamu… …”

Jika tatapan mata bisa membunuh orang, agaknya Sumi telah mati ribuan kali!

“Kamu temani aku makan, aku akan pulang sehabis makan.” Sumi menghela nafas lembut sambil memandnag wajah Pani yang dipenuhi emosi.

Pani menatapnya dengan marah, "Sumi, kamu sungguh tidak layak mendapat simpati!"

Sumi amat keras kepala, "Kamu putuskan sendiri. Jika kamu menemaniku, aku akan makan. Jika kamu tidak menemaniku, aku pun tidak akan makan, sekaligus tinggal di kamarmu malam ini, tidak pulang."

Nada bicara Sumi pada Pani sangat ringan dan tegas dari awal hingga akhir.

Pani menggertakkan gigi dengn penuh emosi.

……

“Yah, lumayan enak.” Sumi memakan sesuap mi, memberi tatapan penghargaan pada wanita kecil emosi yang ditahannya di pangkuannya.

Wajah Pani cuek.

Sumi tersenyum padanya, "Apakah kamu pernah mendengar kata-kata bahwa kamu harus bisa mengendalikan selera seorang pria sebelum mengambil hatinya?"

"Makan semangkuk mi malah mengeluarkan begitu banyak kata!" Pani berbisik tidak puas.

“Pani, kamu sudah bisa menangkap seleraku sekarang.” Sumi mengabaikan ketidakpuasan Pani, makan beberapa suap mi lagi dan berkata.

Wajah Pani menghangat, memelototinya dengan tajam, bergumam, "Gila!"

Sumi tersenyum, berhenti berbicara dan fokus makan mi.

Karena mi-nya benar-benar enak.

Sumi tidak lagi "berbual", Pani agak bersantai, dia memalingkan matanya ke kiri dan ke kanan, mencoba mengalihkan perhatiannya agar matanya tidak menempel pada Sumi secara tak terkendali.

Seiring berlalunya waktu.

Mata Pani pada akhirnya tetap tertuju pada Sumi.

Saat matanya beralih kepada Sumi, emosi di matanya seketika menjadi mendalam dan fokus.

Ketampanan Sumi tidak diragukan lagi, digabungkan dengan keanggunan mulia, kedewasaan dan ketenangan pria pada usia besar, serta pengalaman sosialnya yang menumpuk tinggi, dirinya lebih dari cukup untuk menarik perhatian seorang wanita.

Menatap dan menatap, pandangan Pani tiba-tiba fokus pada pipi Sumi yang bergerak naik turun karena gerakan mengunyah, sementara mata berputar, Pani sudah mengulurkan jari ke pipi Sumi.

Meskipun Sumi sedang makan mi, tapi itu tidak menghalangnya untuk melihat Pani.

Jadi, dia menyadari jari Pani yang menodong ke arahnya.

Sumi sangat tenang ketika jari lembut Pani tercetak di wajahnya, dia sekilas melirik Pani dengan lembut, "Hobi apa ini?"

"..." Pani terbengong, memandang Sumi, kemudian melihat jarinya sendiri yang mencolek wajah Sumi.

Pani merasa malu, dia dengan cepat menarik kembali jari-jarinya, menundukkan kepalanya karena malu.

Sumi mengerutkan bibir, tiba-tiba bertanya, "Apakah kamu sudah makan malam?"

Pani sekilas meliriknya, ketidaksenangan menyembul di muka, tidak berbicara.

Sumi terpaku, kelopak mata terangkat, "Tidak makan?"

Pani memalingkan wajah ke samping.

Mata Sumi tiba-tiba dipenuhi dengan ketidaktegaan yang kental, berkata, "Kalau kamu belum makan, kenapa kamu tidak memasak semangkuk mi untuk dirimu sendiri juga?"

Tadinya otak Pani dibanjiri pemikiran bahwa Sumi sedang kelaparan, dia ingin segera memasakkan sesuatu untuknya, jadi dia melupakan dirinya sendiri ...

Tapi apakah Pani akan berkata demikian?

Pani berkata dengan tidak acuh, "Aku tidak lapar."

Sumi menarik napas, meletakkan sumpit, memeluk pinggang Pani dan mengangkatnya untuk duduk di atas bangku. Ketika Pani secara naluriah ingin berdiri, dia menekan bahunya dan berkata, "Tunggu sebentar!"

Selesai berucap, Sumi melangkah keluar.

Pani, "……"

……

Sekitar 20 menit kemudian.

Sumi kembali ke kamar Pani dengan semangkuk mi yang mengepul.

Pani terkejut ketika melihat mi di tangan Sumi, "Bukankah kamu tidak bisa memasak?"

Sumi meletakkan mi di hadapan Pani, kemudian menyodorkan sumpit ke tangannya yang kecil, mengangkat alis dan mengerutkan kening padanya, "Yah, aku memang tidak bisa memasak. Memasak mi adalah satu-satunya masakan yang kukuasai."

Pani memadang mi di depannya, mi itu terlihat sederhana, beberapa sayuran hijau dan bawang hijau mengambang di sekitar mi.

Tengah berpikir, Pani menyumpit sehelai mi dengan hati-hati dan memasukkannya ke mulut, lalu mengunyahnya dengan lembut, ia agaknya merasa bahwa mi tersebut tidak seperti yang dia bayangkan ... aneh.

Barulah dia mengangkat mangkuk mi dan menyantapnya.

Melihat Pani yang mencoba makan mi dengan penuh hati-hati seakan mi tersebut beracun, Sumi merasa lucu dan sebal, menepuk-nepuk kepala Pani.

Sumi memandang Pani yang memakan mi untuk sementara waktu, lalu mengulurkan tangan dan mengangkat Pani dari bangku, sementara dirinya sendiri duduk di bangku, kemudian ia mendudukkan Pani di pangkuannya lagi.

Menghadapi ini.

Pani hanya sekilas melihatnya, lalu kembali menunduk dan terus makan mi.

Sumi mengangkat mangkuk mi yang dibuat Pani untuknya, lanjut memakannya.

Meskipun agak dingin, tapi dia tidak peduli.

Novel Terkait

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
3 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu