Hanya Kamu Hidupku - Bab 112 Paman Ketiga, Kamu Sangat Hebat

Sudut mulut Ellen bergetar, dia melihat ke Bintang yang dikalahkan oleh William dan memberikan dia sebuah tatapan kasihan secara diam-diam sebelum berjalan ke arah dalam rumah.

Pada saat Ellen tiba di dalam rumah, William sedang meletakkan jaketnya di atas sofa, dia melihat ke arah pintu setelah mendengar suara langkah kaki, melihat Ellen berjalan masuk, ekspresi William tetap terlihat biasa saja, setelah itu dia pun berjalan ke arah lantai atas.

Kedua kaki William menginjak di atas tangga kayu yang berwarna merah, suara ketukan yang berat juga berdering.

Ellen melihat ke arah taman bunga dan melihat Bintang terus menatap ke catur dengan mata membesar, sementara Vania yang duduk di sampingya sibuk menghibur dia.

Ellen menjilat bibirnya dan menoleh ke arah lantai atas, dia melihat William sedang berdiri di lobi luar kamarnya dan menatap Ellen dengan tatapan dingin secara diam-diam, hal ini membuat jantung Ellen berdetak dengan cepat.

Ellen menatap ke William dengan tatapan polos tanpa berkata apa pun.

William menyipitkan matanya dan bibirnya yang tipis bergerak sejenak sebelum berputar balik badannya dan masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintu kamar dengan suara besar.

Ellen menarik nafas dingin, kakinya bahkan langsung terasa kram, setelah meragu sejenak, Ellen merasa sekarang kalau dirinya naik, bisa jadi dia tidak bisa menjelaskan kepada William, tetapi kalau menunggu sebentar lagi, kemarahan William akan bertambah, kalau begitu Ellen benar-benar akan dihabisi olehnya.

Berpikir sampai sini, Ellen pun langsung berlari ke lantai atas.

Tiba di luar kamar William, Ellen memegang pegangan pintu dan mencoba untuk memutarnya, tidak menyangka William tidak mengunci pintu.

Mata besar Ellen memancarkan cahaya terang, apakah ini berarti William sebenarnya tidak begitu marah?

Ellen tetap tidak berani bersikap sembarangan, dia membuka pintu dengan hati-hati, setelah membuka sebuah celah kecil, Ellen menatap ke arah dalam.

William tidak tahu sedang melakukan apa sambil membelakanginya.

Setelah tunggu beberapa detik, Ellen mendorong pintu ke celah agak lebar, kedua matanya terus melihat ke arah dalam dan melihat bayangan belakang William yang gagah sambil memanggilnya dengan suara kecil, "Paman ketiga"

William tidak bereaksi.

Ellen mengedipkan matanya dan masuk ke dalam kamar.

Berdiri di dekat pintu, Ellen menatap bayangan belakang William beberapa detik, ekspresi tidak mengerti muncul di wajahnya, Ellen menutup pintu dengan gerakan ringan dan berjalan ke arah William secara perlahan.

Setelah tiba di belakang William, Ellen menjelaskan dengan perasaan gugup, "Paman ketiga, yang menyuruh Bintang datang adalah kakek buyut, bukan aku"

Setelah berkata, William tetap tidak bereaksi, alis Ellen mengerut, "Paman ketiga, kamu marah ya?"

Ellen tahu kata-kata dirinya adalah kata-kata bodoh, sejak Ellen masuk, William terus membelakanginya dan tidak bereaksi dengan kata-kata Ellen, tentu saja dia marah.

Setelah tunggu beberapa detik, William tetap tidak bergerak, Ellen berdiri di belakangnya seperti tidak ada siapapun.

Ellen menjilat bibirnya dengan sedih dan berkata dengan suara kecil, "Paman ketiga, aku tidak menyangka kamu begitu pandai bermain catur"

"..............."

"Bintang adalah peraih juara ketiga di pertandingan catur internasional.... Paman ketiga, kamu benar-benar sangat hebat" Ellen memujinya.

Meskipun kata-kata Ellen ada sebagian alasan itu berusaha membuat William tidak marah, Ellen tetap benar-benar merasa paman ketiganya hebat dengan tulus.

Ellen mengedipkan matanya, "Paman ketiga, apakah ada sesuatu yang kamu tidak bisa? Kamu tidak hanya bisa mengurus perusahaan Dilsen yang begitu besar dengan lancar, kamu bahkan juga bisa memasak, selain itu kamu juga bisa bermain catur................."

Kali ini, tanpa menunggu Ellen habis berkata, William tiba-tiba berputar balik badannya, hal ini membuat Ellen yang terkejut langsung berhenti berkata dan mundur ke belakag satu langkah dengan mata membesar dan ekspresi panik.

William berkata dengan suara agak serak, "Kamu sendiri yang mau masuk?"

Ellen, "..............." Dia ingin memukul dirinya!

William menyipitkan matanya dan berjalan ke Ellen.

Suhu hangat mengelilingi Ellen, dia menarik nafas dengan ekspresi yang agak kaku, tetapi bola matanya yang besar bergerak dengan aktif.

Wajah Ellen langsung memerah pada saat tatapannya berhenti di dada William yang telanjang.

Tiba-tiba Ellen mengerti mengapa William membelakanginya tadi.

William sepertinya sedang mau mengganti baju tadi.

Mata Ellen yang jujur terus menikmati tubuh William yang cantik dan kuat, lehernya bergerak secara diam-diam dan kedua tangan Ellen terasa agak gatal, dia sedikit ingin menyentuh tubuh William.

Detak jantung yang kencang membuat Ellen mengigit bibir bawahnya dan mendekatkan tangannya ke tubuh William.

"..............." Dada William yang berotot tiba-tiba bergetar sejenak, api yang menyala tiba-tiba memenuhi seluruh tubuhnya.

Jari Ellen yang putih dan kurus terus menyentuh otot tubuh William yang cantik.

Pada saat jari Ellen menyentuh ke bawah, kedua mata Ellen juga ikut menatap ke bawah, William melihat ke bulu mata Ellen yang tebal dan panjang.

Pada saat tangan Ellen menyentuh tali pinggang William, ekspresi Ellen tiba-tiba terlihat sepertinya dia baru melihat sesuatu yang menakutkan, mulut kecilnya langsung membentuk bentuk 'o'.

Bagian sana terus mengembang di depan Ellen seperti makhluk hidup.

Ellen, "............"

Detak jantung Ellen terasa seperti berhenti beberapa detik, dia langsung menarik kembali tangannya dengan cepat dan menatap ke arah atas, wajah kecil Ellen langsung memerah dan nada suaranya sangat bergemetaran, "Paman ketiga, Kamu, kamu ganti baju dulu, aku, aku keluar, tunggu sebentar, tunggu........."

Sebelum sempat selesai berkata, Ellen langung berputar balik badannya dan 'berlari' ke arah pintu.

Tetapi.

Pada saat Ellen baru berjalan beberapa langkah, sepasang tangan yang kuat langsung memegang pinggangnya dan menariknya kembali.

Dada William yang hangat menempel di bagian belakang tubuh Ellen, hal ini membuat seluruh tubuh Ellen terasa lemah.

William menatap ke kulit leher Ellen yang putih dan lembut, api di dalam matanya bahkan sudah mau menyala keluar, dia mengeluarkan sebuah nafas sesak dan menundukkan kepalanya untuk mencium Ellen.

"William, William, cucuku sayang......"

Pada saat ini, suara Hansen yang gembira berdering dari arah luar.

Tubuh bagian belakang Ellen terasa kaku, dia menoleh ke William dengan panik.

Wajah William agak memerah dan kaku, tatapan dinginnya memancarkan cahaya yang membuat orang merasa takut.

"Paman ketiga.........."

Ellen berkata dengan suara kecil.

William memejamkan matanya dan mengangkat dagu Ellen sebelum memberikan sebuah ciuman berat di bibir Ellen, setelah itu dia melepaskan Ellen dan mengunci pintu kamar.

Pada saat yang sama, Ellen melihat pegangan pintu mulai bergerak karena Hansen mencoba membuka pintu dari luar.

Wajah kecil Ellen menjadi pucat, jantungnya serasa sudah mau loncat keluar dari tenggorokannya.

"William, William, buka pintu, kakek ada urusan mencari kamu, cucuku, cepat buka pintu" Nada suara Hansen terdengar sangat gembira.

William melihat ke arah pintu dengan alis mengerut, "Aku sedang mengganti baju, kamu menungguku di ruang baca saja, nanti setelah ganti baju, aku pergi mencarimu"

Nada suara William terdengar agak serak, tetapi Hansen yang diluar sepertinya tidak menyadari karena terlalu gembira.

Mendengar kata-kata William, Hansen berkata dengan nada suara pengertian, "Baik, baik, kamu ganti dulu, kakek menunggumu di ruang baca"

William tidak berbicara, dia menjilat bibirnya dan menatap ke Ellen yang berdiri di tempat tidak berani bergerak.

Tatapan William memancarkan perasaan sakit hati, mendengar suara langkah Hansen yang menjauh, William baru berjalan ke arah Ellen dan memeluknya dengan lembut, kemudian mencium rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Wajah Ellen menempel di dada William yang berotot, setelah beberapa saat Ellen baru merasa kehangatan.

Dia mengulurkan tangannya dan memeluk pinggang William, kemudian memejamkan matanya dan merasa agak lega.

Untungnya reaksi William cepat langsung mengunci pintu sebelum Hansen sempat masuk.

Kalau Hansen masuk ke dalam dan melihat adegan tadi, semua masalah akan menjadi gawat.

Setelah merasa Ellen sudah terasa agak lega, William baru melepaskan pelukannya dan memegang bahu Ellen.

Ellen membuka matanya dan mengangkat kepalanya melihat ke William.

Tatapan William dipenuhi oleh kelembutan, dia menundukkan kepalanya dan mencium bibir Ellen.

Ellen menarik kemeja di belakang tubuh William dengan erat dan menatap ke William dengan mata membesar.

William mengelus telinga dan pipi Ellen sebelum melepaskan diri dari bibir Ellen, dia menatap ke Ellen dengan tatapan mendalam dan berkata dengan nada suara lambat, "Apa pun yang terjadi, ada paman ketiga, jangan takut, oke?"

"............." Ellen menghela nafas lega di dalam hati dan menempel wajahnya ke dada William.

Meskipun kedua orang sudah menikah sekarang, di mata orang luar dan mata seluruh anggota keluar Dilsen, hubungan mereka adalah paman dan keponakan.

Kalau orang lain menyadari mereka bedua bersama, air liur yang mengkritik sudah cukup membuat Ellen tenggelam sampai mati, untuk sekarang Ellen masih belum sanggup menerima hal itu.

Jangankan kritikan dari orang luar, kritikan dari orang yang dia panggil kakek, nenek, paman dan tante saja Ellen belum sanggup menanggapi.

"Hais"

Ellen menghela sebuah nafas panjang.

Hal itu membuat tatapan William terhadap Ellen semakin mendalam.

Ellen yang sedang melamun tidak memperhatikan tatapan William kepadanya.

Bahkan dia tidak tahu 'nafas panjangnya' bersuara.

Ellen mengira dirinya hanya menghela nafas panjang di dalam hati.

...........

Mungkin karena Hansen masih sedang menunggu di runag baca, William takut Hansen akan datang lagi kalau menunggu terlalu lama.

Setelah memeluk Ellen beberapa saat, setelah reaksi tubuhnya membaik, William langsung mengganti baju rumah dan pergi ke ruang baca.

Ellen keluar dari kamar William setelah William meninggalkan kamar selama 5 menit.

Baru saja tiba di ruang tamu, Bintang dan Vania pun masuk ke dalam rumah dari taman bunga.

Ellen melamun sejenak setelah melihat Bintang.

Karena ekspresi Bintang pada saat ini sangat kaku dan gelap.

"Bintang, waktu tidak sekolah, kamu suka melakukan apa? Semester depan sudah mau ujian nasional, kamu berencana mau kuliah di dalam atau luar negeri? Kalau di dalam negeri, kamu mau kuliah di dalam universitas apa? Bintang........."

Setelah melihat Ellen, ekspresi Bintang baru membaik, dia langsung berjalan ke Ellen dengan langkah cepat.

Melihat Bintang berjalan ke arah Ellen dengan tidak sabar, ekspresi Vania langsung menggelap ketika dia membandingkan sikap Bintang yang tidak sabar dan ikhlas waktu menghadapinya, Vania berdiri di tempat dan melirik ke Ellen dan Bintang dengan wajah tidak percaya.

Ellen melihat ke Vania dengan alis bergerak.

Setelah itu Ellen baru melihat ke Bintang, Ellen merasa agak kasihan dengan Bintang setelah melihat Vania terus menganggunya.

Vania memiliki sebuah kemampuan luar biasa yang sudah dibawa olehnya sejak lahir.

Kemampuan itu adalah, orang yang sudah masuk ke dalam matanya, mau yang dia benci atau suka, dia pasti akan bersikukuh sampai akhir, bahkan dia tidak akan menyerah walaupun telah mengalami banyak tantangan dan kesusahan.

Contohnya, pada masalah membenci Ellen, Vania tidak pernah menyerah dan melupakan tentang itu.

Novel Terkait

Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu