Hanya Kamu Hidupku - Bab 557 Aku Tidak Mencintai Linsan, Yang Aku Cintai Adalah Kamu

Belum menyelesaikan makan malam, mereka berdua sudah berkelahi, lalu karena mengalami komplikasi kehamilan menyebabkan dia harus masuk rumah sakit dan dia juga lupa kalau dirinya baru makan sedikit.

Saat tengah malam Pani terbangun karena lapar, dia begitu kelaparan hingga tidak bisa tidur lagi walaupun sudah dipaksakan.

Pani merasa apabila dirinya tidak memakan sedikit makanan mungkin dia akan menemui kematian.

Kemudian dia bangkit dan duduk di ranjang, bersiap-siap untuk turun dari ranjang dan pergi ke ruang tugas mencari perawat untuk meminta makanan agar dia dapat bertahan.

Akan tetapi saat kaki sebelahnya belum turun dari ranjang pintu kamar pasien terbuka dari luar.

Segera setelah itu Pani mencium aroma makanan yang wangi.

Perutnya menjadi berbunyi, krucuk…krucuk.

Dengan canggung Pani meletakkan tangannya di atas perut seperti ingin menghalangi suara tersebut keluar, dia menutupinya sedikit erat dengan tidak nyaman melihat ke arah pria yang muncul di depan pintu.

Sumi masuk dengan membawa makanan yang di bungkus dan sekaligus menutup pintu, dia berjalan ke samping ranjang pasien menatap Pani dengan dalam selama beberapa detik kemudian baru dengan perlahan meletakkan barang di tangannya tersebut ke atas meja samping ranjang, lalu dia berjalan ke satu sisi mengambil meja makan kecil dan meletakkkannya di depan Pani, baru mengangkat kelopak mata melihatnya dan berkata “Duduk yang benar.”

Pani melirik bungkus makanan itu, dia merasa tidak perlu mempersulit diri sendiri lagi dan dengan patuh mengatur posisi duduknya agak ke belakang dan menyandar pada kepala ranjang, dia seperti murid SD yang sedang menunggu jatah makanan saat menatap Sumi.

Sumi menghela napas pelan dalam hati, dia mengeluarkan makanan yang berada dalam kantong, membuka dan meletakkannya di atas meja, kemudian meletakkan sumpit pada tangan Pani “Makanlah.”

“…..” Pani menggenggam sumpit, berpikir sejenak baru mengangkat nasi untuk dimakan.

Sumi menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang pasien, matanya dengan jelas melihat ke arah Pani “Makan dengan pelan, tidak ada yang merebut makananmu!”

Pani terhenti sejenak, dengan menatap ke bawah dia melanjutkan makannya.

“Minum sedikit sup.” Sumi mengingatkan.

Pani tidak mendengarkan.

Sumi menatapnya, dia sudah menduga Pani tidak akan mendengarkannya dan dia juga tidak memaksakannya lagi.

Setelah hampir setengah jam, Pani baru mengangkat sup, meminumnya setengah lebih dan menunjukkan rasa puas.

Sumi tidak bersuara menatap makanan di atas meja kecil, ternyata Pani memakannya lumayan banyak sehingga dia menjadi lebih lega lagi.

Dia bangkit dari tempat duduknya dan membereskan sisa-sisa makanannya.

Pani sudah kenyang, dia bersandar pada kepala ranjang sambil memegangi perutnya dengan mulut tertutup menatap Sumi yang sedang beres-beres.

Sampai Sumi sudah selesai membereskan dengan cepat, Pani baru perlahan-lahan menarik kembali tatapannya dan menundukkan mata memandangi perutnya.

Sumi mencuci tangannya di toilet dan saat keluar dia berdiri di depan pintu toilet menatap Pani dengan tatapan mendalam yang mengandung suatu rasa yang rumit dan bersalah.

Sesaat.

Sumi kembali duduk di samping ranjang pasien, dia merangkapkan kedua tangannya dan meletakkannya di atas kakinya, dengan tatapan lembut dan hangat menatap Pani “Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah masih ada yang tidak nyaman?”

Pani menunduk dan berkata “Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk berpura-pura menjadi orang baik yang menaruh perhatian padaku dan anakku!”

“Masih marah?” Sumi tersenyum pahit.

Pani tidak bersuara.

Melihat kondisi tersebut Sumi menghela napas ringan, dia mengulurkan sebuah tangan dan meletakkannya pada salah satu punggung tangan Pani “Panpan Panpan, aku minta maaf padamu dengan tulus, tolong maafkan perbuatan sembronoku.”

Pani mengerutkan alis dan menarik tangannya dengan senyuman dingin berkata “Kamu tidak perlu mempersulit diri sendiri untuk meminta maaf kepadaku.”

“Aku serius.” Walaupun mengerutkan alisnya, suara Sumi terdengar sedikit rendah.

“Baik kalau begitu!” Pani mengangkat kepala melihatnya, dengan sorotan mata yang tidak dingin juga tidak hangat berkata “Aku tidak mau memaafkan.”

Kedua bibir tipis Sumi terlihat sedikit tegang “ Panpan Panpan ….”

“Kenapa?” Kamu minta maaf kepadaku, apakah aku harus menerima permintaan maafmu dan memaafkanmu? Peraturan dari mana itu?” Pani terus menatapnya, terlihat dia masih marah!

Atau mungkin tidak hanya marah, masih ada unsur lainnya.

“…” Sumi hanya merasa seperti ada napas yang tertahan di dadanya “Apa yang harus aku lakukan agar kamu memaafkanku?”

“Bukankah bos Nulu merasa dirinya tidak bersalah? Karena sudah begitu mengapa harus meminta maaf kepadaku? Apa yang perlu kumaafkan?” Pani terlihat begitu galak dan agresif!

Sumi mengepalkan sebelah tangannya, menatap Pani dengan dalam “Panpan Panpan, kamu ingin aku bagaimana? Apa yang harus kulakukan agar saat berhadapan denganku, kamu bisa bersikap baik terhadapku!”

Pani menghela napas dan mengangkat dagunya melihat Sumi, dengan datar berkata “Kalau aku tidak begitu, mungkin aku sudah lama hilang dari dunia ini!”

Sumi merasa sakit hati.

“Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, lagipula apapun yang kamu katakan sekarang…semuanya tidak ada gunanya!” Sebelum Sumi berkata, Pani sudah menyela dengan perkataannya yang dingin.

Sumi menggenggam tangannya dengan sangat erat “Kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu lagi untuk menggugurkan anak, lahirkanlah dan kita besarkan bersama, aku akan mengganggap dan memperlakukannya dengan baik seperti anakku sendiri, menjaga dan mendidiknya menjadi orang yang berguna.”

Perkataan Sumi ini terdengar tidak tulus.

Pani sedikit tercengang, dengan tampang terkejut dia menatap Sumi.

Sumi tidak menghindari tatapan Pani yang tajam, dia sedang membuktikan kepada Pani ketulusan hatinya “ Panpan Panpan, seumur hidup ini apapun yang terjadi aku tidak akan pernah melepaskan tanganmu lagi!” Kelebihanmu, kekuranganmu, setiap bagian dirimu, aku ingin memilikinya semuanya! Dan anak di dalam perutmu sekarang juga adalah bagian dari dirimu! Aku akan mencintai setiap bagian darimu, mencintainya seperti aku mencintaimu!”

Hati Pani terasa bergetar, sudut matanya terasa tidak terkendali dengan rasa sakit yang luar biasa.

Pani menatap mata Sumi sejenak, dia sedang mencari tanda-tanda kalau Sumi sedang membujuknya!

Akan tetapi tidak ada!

Dia tidak menemukannya!

Pani merasa tersentak, sepasang alisnya mengkerut “Mengapa kamu bisa tiba-tiba merubah pemikiranmu? Apakah karena kamu mengetahui bahwa anak yang aku kandung bukanlah anak Riki?”

“Bukan!”

Sumi mengulurkan tangan memegang kedua tangan Pani “ Panpan Panpan, aku tahu perbuatanku menyuruhmu untuk menggugurkan anak sudah membuatmu ketakutan, akan tetapi tidak peduli kamu percaya atau tidak, walaupun kemudian kamu tidak mengatakan bahwa Riki bukanlah ayah kandung dari anak ini, aku juga tidak akan begitu kejam hingga membuatmu menggugurkan anakmu! Walapun aku tidak mempedulikan anak ini tapi aku juga tidak akan tidak mempedulikan keselamatanmu! Panpan Panpan, percayalah padaku, dalam hatiku kamu bahkan lebih penting daripada diriku sendiri!”

Sepasang mata Pani terus menatap mata Sumi.

Perkataannya begitu tulus dari hati, seperti tidak ada sedikitpun tanda dia berpura-pura!

Akan tetapi mengapa.

Dia masih tidak percaya secara naluriah, tidak berani percaya.

Pani mencoba untuk menarik tangannya dan menggelengkan kepala “ Sumi, kamu begitu berusaha berakting di depanku, berakting sepertimu memiliki perasaan yang sangat mendalam, berakting kalau kamu sangat membutuhkanku, jika tidak ada aku kamu seperti sudah tidak dapat hidup lagi…..Aku tidak mengerti, aku tidak mengerti, apa maksud dari semua ini? Aku yang melihatnya saja capek, aku juga merasa kamu pasti sangat capek! Jadi Sumi mengapa kamu tidak menjadi dirimu sendiri saja? Kamu akui saja kalau diriku tidak begitu penting, tidak ada diriku juga tidak masalah bagimu, sebenarnya tidak sesulit itu untuk mengakui semuanya!”

Wajah Sumi menjadi tegang, dia memegangi kedua bahu Pani, dengan mata yang merah kehitaman mengunci tatapannya pada mata Pani yang berkaca-kaca “ Panpan Panpan, kamu tatap mataku!”

Bola mata Pani bergetar dan tanpa sadar menatap matanya.

“Kamu tidak mengerti kenapa aku harus berakting di depanmu, itu karena aku sama sekali tidak mempunyai alasan untuk melakukan ini! Aku sudah memutuskan untuk berada dalam hidupmu karena aku mencintaimu, hanya mencintaimu! Ini adalah perasaanku yang paling tulus, bukan sesuatu yang dibuat-buat. Panpan Panpan, aku tidak dapat hidup tanpamu!” Setiap perkataan Sumi begitu jelas dan dalam.

Saat menatap matanya yang memerah, Pani merasa perkataannya tersebut seharusnya memang benar, akan tetapi saat pemikirannya ini muncul, setelah itu kata “Tidak mungkin” juga akan muncul dalam kepalanya.

Pani dengan pelan menggelengkan kepalanya, dengan suara serak berkata “Yang kamu cintai bukan diriku, tetapi adalah Linsan! Kamu pernah mengatakannya padaku bahwa kamu mencintainya! Kamu masih memintaku untuk membantumu melupakannya! Sumi, kamu tidak boleh membohongiku lagi, kamu tidak bisa membohongiku lagi!”

“Dulu aku memang pernah menyukainya, akan tetapi orang yang aku cintai adalah kamu!”

Sumi berkata sambil dengan erat meremas bahu Pani.

Pani mengelengkan kepala, dengan senyuman yang diiringi air mata, dia mengangkat tangan mendorong tangannya “Aku bukan orang bodoh, aku bukan! Kamu jangan berharap bisa membohongiku lagi! Kamu jangan berharap!”

“ Panpan Panpan!”

Sumi dengan sekuat tenaga mendekap Pani ke dalam pelukannya, sebelah tangannya merangkulnya dari belakang sedangkan sebelahnya lagi terus memegangi kepala bagian belakangnya dan berbisik di samping telinganya “Kamu bukan orang bodoh, yang bodoh itu adalah aku, aku tidak mengetahui isi hati sendiri, tidak bisa membedakan perbedaan antara suka dan cinta!”

“Aku tidak ingin dengar, tutup mulutmu!”

Pani mendorongi dadanya.

“Kamu harus dengar dan harus mendengarnya dengan teliti, kamu harus mendengarkan semuanya!”

Sumi memeluknya dengan erat, kedua matanya juga menjadi basah “ Panpan Panpan, aku tidak ingin kita menghabiskan waktu pada hal yang tidak membahagiakan lagi! Bangsat, aku sudah cukup menerima ini semua!”

“…..” Pani awalnya masih terus mendorong Sumi.

Akan tetapi tidak disangka dia mendengar kata-kata kasar dari mulut Sumi!

Pani mengira dirinya salah dengar dan menjadi tercengang sejenak.

Sumi memeluknya lebih erat lagi, sehingga saat Pani sudah kembali sadar, sudah tidak ada celah untuk mendorongnya lagi.

“Aku sudah hampir gila Panpan Panpan! Aku terlalu takut kehilanganmu, setiap memikirkan bahwa kamu mungkin bukan lagi milikku, aku begitu panik dan merasa hampa!” Sumi menutup mata dengan erat, suaranya terdengar serak “ Panpan Panpan, anggap aku memohon kepadamu, percayalah padaku, bisakah?”

Dari dasar matanya Pani terlihat begitu bingung.

“Aku tidak mencintai Linsan, orang yang kucintai adalah dirimu!” Sumi mengatakannya dengan nada bicara pasti dan dalam! Seperti sebuah sumpah dan janji!

Pani menggigit erat bibir bawahnya, dua butir air mata bergulir di dalam matanya sehingga saat dia dengan pelan mengedipkan matanya saja, air matanya mengalir membasahi wajahnya.

Mungkin karena terlalu tiba-tiba dan mengejutkan, mungkin karena pengecut atau mungkin karena telah dilukai terlalu dalam, Pani tidak berani mempercayai “Kata-kata manisnya”.

Jadi setelah Sumi selesai berkata, Pani tidak bersuara sedikitpun!

Sumi masih terus memeluknya, sehingga membuat hati mereka menjadi dekat dan saling menempel.

Dia merasa mungkin dia dapat menyalurkan maksud hatinya yang dalam ke dalam hati Pani.

Seperti apa yang dikatakan oleh Sumi.

Dia sudah muak, dia sudah muak dengan perpisahan, dia sudah cukup menerima ketidaktabahan dan kepanikan saat Pani tidak berada di sisinya, juga sudah cukup menerima siksaan dan rasa tidak aman apabila Pani mungkin masih akan meninggalkannya!

Dia tidak membiarkan dirinya terpisah lagi, juga tidak mengizinkan diri sendiri menggunakan cara yang salah sehingga mendorong Pani menjadi semakin jauh darinya!

Jadi mulai saat ini.

Dia akan menggunakan segala cara untuk membuatnya tinggal di sisinya, siapapun jangan berharap dapat menghalanginya!

Novel Terkait

Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu