Hanya Kamu Hidupku - Bab 459 Paman Nulu, Tidak Baik Dipandang Jika Kita Begini

Pani kembali dari kamar mandi, Sumi sudah mengambil tas dan mantelnya berdiri di depan kamarnya dan menunggunya.

Pani kaget dan berkata “Paman Nulu, sudahkah kamu selesai makan?”

“Ke sini.” kata Sumi.

Pani berjalan ke depan dirinya.

Sumi membuka mantelnya dan menaruhnya di bahu Pani dan berkata “Tangan.”

Wajah Pani sedikit hangat, bulu matanya yang panjang dan hitam melintas dengan lembut, dan dia dengan patuh memasukkan lengannya ke lengan bajunya.

Waktu ini, dia baru saja mendengarkan Sumi berkata, “Sudah jijik karena kamu, tidak ada lagi selera.”

“Pooh.”

Pani pun dibuatnya tertawa dan melirik ke arah Sumi, “Apapula, apakah kalian orang kaya tidak masuk ke toiletkah?”

Mulut Sumi sedikit melengkung dan dengan tangannya ia memegang salah satu tangan Pani dan membawanya pergi dari restoran.

Dengan cepatnya, Pani melirik tangan dia yang besar yang menutupi tangannya, sambil mengerutkan bibirnya dan meliriknya dari bawah hingga ke atas, “ Dengan cara kamu mengandeng aku seperti ini, apakah ada yang berpikir bahwa kamu adalah ayahku?”

Sumi menatap Pani dengan penuh emosi dan segera melapaskan tangannya.

“Hahaha…..” Pani kembali tertawa dan sangat senang.

Dengan muka yang hitam, Sumi membawa tasnya dan dengan langkah kaki yang besar terus berjalan maju ke depan.

Pani pun tersenyum dan berlari mendekatinya dari belakang sambil berkata “Paman Nulu, bagaimana kalau aku menjadikanmu sebagai ayah angkatku?”

“Pergi.”

“Haha”

……

Sejak keluar dari restoran, Pani sangat senang sekali.

Sumi menekan alis panjangnya, membuka pintu kursi di samping supir dan melemparkan tas Pani ke bagian belakang mobil sambil melihat Pani dengan pandangan dingin.

Pani tersenyum dan melompat dengan pelan ke dalam, ketika ingin membungkukkan badannya ke dalam mobil, Tiba tiba sikunya ditarik dari belakang.

Pintu disamping tempat duduk supir pun terjatuh, dan dia juga jatuh kedalam mobil, dan sekelompok bayangan hitam menekannya dari atas ke bawah.

Pani sangat ketakutan hingga wajahnya berubah warna dan dengan lugunya menatap mukanya yang berwarna hijau gelap hingga pernapasannya menjadi sangat rendah.

Sumi memegang lengan Pani dengan satu tangan dan menekannya ke dalam mobil. Tangan lainnya berada di bagian leher Pani. Tubuh tinggi bersandar di wajah Pani, dan tubuh bagian bawah keduanya menempel erat di udara.

“Ayo tertawa, kenapa tidak tertawa lagi?” Sumi menyipitkan matanya pada Pani dengan suara dingin.

Dengan tenggorokannya yang berdenyut Pani mengelurkan suara dengan kondisi bergetar dan berbisik padanya, “Paman Nulu, ini didepan pintu hotel dan sangat banyak orang. Kalau ketahuan oleh orang lain kalau kamu yang melakukan ini, akan ada pandangan yang buruk terhadapmu.”

Sumi pun tertawa dan mencibir, “Di waktu seperti ini kamu masih bisa berpikir demi aku.”

Pani menggerakkan mulutnya dan memalingkan muka darinya, "Kalau, kalau ada masalah, kita bicarakan baik baik. Kita jangan seperti ini, tidak enak dipandang orang."

“Sudah genap berusia 18 tahun?” Sumi tiba-tiba menanyakannya.

Pani terdiam dan menatapnya.

Ketika dia melihat mata Sumi bagaikan api yang berkedip, jantung Pani pun terkejut, penuh dengan waspada dan ketakutan.

Sumi menarik napas dalam-dalam, menatap dengan tenang dan dalam pada wajah muda dan lembutnya Pani dan tubuhnya terus menekan ke bawah.

Otaknya tiba-tiba terkejut.

Karena dia menyadarinya dengan nyata bahwa perubahan dari badannya.

Napas Pani juga terlihat lebih tebal.

Melihat mata Sumi yang cerah tetapi dia tetap waspada dan ketakutan, dan dia menjadi lebih bingung dan tak berdaya.

Dia tidak terlalu mengerti perubahan namun tampaknya dia mengerti.

Umur 18 tahun, mengenai urusan wanita dan pria, mayoritas dari mereka tidak berada tahap dalam mengerti.

"Kamu sudah bergetar." Mata gelapnya Sumi penuh dengan belas kasihan, dia menyandarkan leher Pani dengan lembut membelai wajah kecil Pani yang bergetar sedikit, dengan lembut berkata padanya.

"...... Paman Nulu, ayo kita naik ke atas mobil, oke?" Pani tidak berani bergerak, juga sedikit takut dengan Sumi yang sekarang, kedua matanya memancarkan cahaya melihatnya berbicara dengan pelan.

Sumi memelototinya, telapak tangannya yang besar sambil memegang wajahnya, lumayan lama, tangannya kemudian dilepaskan dari wajah Pani, naik ke atas, menggosok kepalanya, kemudian dia menjauh darinya, tanpa membukakan pintu mobil untuk Pani, justru langsung dengan langkah besar berjalan ke arah kursi kemudi.

Perilakunya yang seperti itu, seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu ketahuan oleh Pani.

Kedua kaki Pani pun gemetar, kedua tangannya juga berdiri tegak memegang pegangan di mobil, wajah putihnya yang kecil pada awalnya justru sekarang sedikit berwarna kemerahan.

Sumi duduk di dalam mobil, terkadang melihat Pani dari spion mobil, tapi tidak membuka mulut untuk mendesak Pani untuk masuk ke mobil.

Pani berpikir dalam waktu satu hingga dua menit, dengan dua hembusa nafas panjang dan dalam, berbalik badan dan langsung membuka pintu mobil kemudian masuk ke dalamnya.

"Sabuk Pengaman" kata Sumi mengingatkan padanya dengan suara lembut.

Bulu mata Pani berkedip, menarik bibirnya, menarik sabuk pengaman dan menggunakannya.

Sumi kemudian melirik ke suatu tempat dan menarik napas dalam-dalam baru menjalankan mobil ke arah depan.

Sumi dan Pani menghabiskan setidaknya seperempat jam didepan pintu hotel, namun keduanya tidak menyadari ada mobil lain yang parkir dibelakang mobil bentley milik Sumi, ada mobil biru dengan wanita didalamnya, juga menatap mereka selama seperempat jam. Ekspresi wajahnya mulai dari penuh kejutan hingga tidak bisa mempercayai.

Ketika mobil Sumi sudah melaju pergi, wajah wanita itu menunjukkan senyuman yang tidak bisa mempercayai dan segera mengeluarkan handphonenya untuk melakukan panggilan handphone.

"Jing Jing." Panggilan telepon tersebut dengan cepatnya diangkat, terdengar suara santai seorang wanita.

Tanjing duduk dengan tegapnya, "Linsan, coba kamu tebak siapa yang aku lihat di restoran orchid seafood?

"Siapa?" Linsan dengan suaranya yang pelan.

"Aku melihat Sumi." jawab Tanjing .

"Tidak heran kalau Sumi makan malam di restoran orchid seafood jam segini." kata Linsan.

"Dia sedang bersama dengan seorang gadis." tekan Tanjing dalam nadanya.

Suara Linsan hilang beberapa saat, kemudian dengan tertawanya berkata, "Kalau dia dengan seorang gadis, terus kenapa? Dengan umur Sumi yang sekarang, sangatlah normal kalau disampingnya ada seorang gadis."

Tanjing mengerutkan keningnya, "Gadis itu terlihat sangat muda, mengenakan seragam sekolah, seperti anak SMA."

"Anak SMA? Apakah penyakit cinta?" tawa Linsan.

"Aku pernah jumpa dengan Nona Nie, bukan dia." kata Tanjing, "Linsan, taukah kamu? Sumi juga membantu gadis itu membawa tasnya, ketika sudah keluar dari restoran, mereka pun ...."

"..... mereka pun kenapa?"

"Dia pun kemudian mendorong dan menekan wanita itu ke mobil......." Tanjing memperkecil suaranya, "Sepuluh menit."

Linsan pun tidak bersuara.

Suara Linsan tidak kedengaran oleh Tanjing, matanya pun berputar dan berkata, "Sumi begitu tergila-gila denganmu selama bertahun-tahun. Meskipun banyak selebriti yang mendekatinya, namun dia tidak terkesan. Disampingnya tidak ada wanita seorangpun selama ini, aku selalu merasa bahwa dia tidak bisa melepaskanmu dan memperlakukanmu seperti batu giok.

" Jing Jing, lain kali perkataan seperti ini tidak perlu dibicarakan lagi." kata Linsan dengan suara yang serius dari handphonenya.

Tanjing mengangkat alisnya dan berkata, "Linsan, sebenarnya sangat jelas di hati kamu bahwa kenapa Sumi tidak memiliki pacar selama ini, semua karena kamu....."

" Jing Jing !" Linsan tertegun, "Kalau kamu ngomong perkataan seperti ini lagi, aku akan marah."

Tanjing mengerutkan bibirnya, sedikit tidak senang. "Baik, aku tidak membicarakannya lagi. Hari ini, seharusnya aku tidak menghubungimu, memberitahumu tentang hal ini, anggap saja karena aku terlalu kepo !"

"....... Kamu juga jangan seperti itu, Jing Jing, aku sekarang adalah istrinya Thomas. Thomas dan Sumi adalah teman baik dan teman lama. Perkataanmu seperti itu, sangatlah tidak cocok. Apakah kamu mengerti?” kata Linsan dengan suara pelan.

Tanjing menghel nafas, "Linsan, sebenarnya aku terus tidak mengerti, kenapa kamu lebih memilih Thomas daripada Sumi. Thomas memang luar biasa, tapi aku merasa kalau kamu bersama dengan Sumi, pasti akan sangat bahagia, dia begitu menyukaimu, pastinya tidak akan merelakanmu mengalami kesusahan."

"Aku dan Sumi hanyalah teman baik." kata Linsan.

"Baiklah, kamu bilang kalau hanya menganggap Sumi sebagai teman baik kan, aku tidak akan lagi berbicara. Aku ada janjian makan dengan teman, kita ngobrol lain kali." kata Tanjing .

"En. Lain kali ke rumahku, aku sendiri akan memasak untukmu."

Tanjing pun tertawa, "Gitu dong. Duluan."

"En."

Tanjing menutup teleponnya, sambil turun dari mobil dan berjalan ke arah restoran.

.......

VIla Shenglin. Ruang Tamu.

Linsan duduk disofa dengan ponselnya, menggambar alisnya yang ditarik dengan halus, matanya juga kelihatan berpikir.

Thomas turun dari lantai dua dengan tongkat, sambil membawa mantel dibalik badannya.

Mendengar suara langkah kaki yang menuruni tangga, Mata Linsan pun mengecil, mengarahkan matanya ke arah tangga, "Sudah begini malam, masih mau keluar?"

Thomas menatap Linsan dengan lembut dan mengangguk,“Ada urusan. Kamu istirahat lebih awal."

Linsan pun bangkit dari sofa, dengan alisnya menatap Thomas dengan curiga, "Ada urusan apa?"

Thomas menuruni tangga dan berkata, "Urusan Bisnis."

"Urusan Bisnis apa?" Linsan tidak sabar kemudian mengambil teleponnya dan menanyakan padanya.

Kedua mata Thomas terpusat pada Linsan dan dengan sabarnya berkata, "Eric pulang dari Thailand, baru saja menelepon, bilang kalau ada hal yang perlu dilaporkan ke aku, menyuruhku untuk ke kebun."

Linsan mengigit bibirnya, "Kenapa dia tidak ke sini dan melaporkannya secara langsung ke kamu?"

Thomas tertawa, "Kamu sudah lupa. Kamu pernah bilang kalau kamu tidak suka kalau aku membawa urusan bisnis ke sini."

"....." Linsan pun terdiam.

Thomas juga tidak ngomong apapun lagi, membuka pintu dan segera pergi.

Linsan memegang tangannya dengan erat, dan dengan kedua matanya, dia lantas bertanya,"Bolehkah aku pergi bersamamu?"

Thomas tidak berkata apapun, mengganti sepatu dan pergi.

Dengan cepat ia melangkah dan memakai mantel pada Thomas.

Linsan melihat Thomas pergi, kemudian mendengarkan suara mobil di luar villa, Lin San tiba tiba duduk kembali di sofa dengan air mata dan senyum.

......

Setelah ujian akhir, Pani menarik Ellen untuk pergi bersantai, tidak ingin pergi untuk bernyanyi, karena hampir tidak punya nyawa untuk keluar dari sana.

Walaupun berhasil lolos, namun Pani justru merasa terhormat berbaring di Rumah Sakit selama satu minggu. Dalam minggu ini, Sumi seperti walinya, Sandy Wilman selaku ayahnya saja tidak terlihat, dia justru kebalikan, langsung menemaninya tinggal di rumah sakit selama satu minggu.

Pani penampakannya pelit namun didalam hatinya, dia mengingat bahwa Sumi adalah penolongnya.

Di waktu yang sama, juga lebih mendalami karakter Sumi.

Baiklah, dia takut dengan penampilannya bak burung pemangsa ketika ia bergegas ke Ginza untuk menyelamatkannya.

Pani baru mengerti waktu itu, pria yang lembut ini sebenarnya adalah karakter yang kejam.

Juga karena itu, Pani merasakan jantungnya berdebar begitu dia ingat dengan sikapnya yang gila didepannya, batuk, waktu itu dia benar bodoh dan tidak kenal takut !

Novel Terkait

Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Pria Misteriusku

Pria Misteriusku

Lyly
Romantis
3 tahun yang lalu