Hanya Kamu Hidupku - Bab 395 Mengapa Wajahmu Merah

“Kamu sebenarnya merasa bersalah pada anakmu sehingga ingin agar dia memaafkanmu, atau hanya untuk menenangkan hati nuranimu?” Dorvo yang hanya diam selama ini, akhirnya membuka mulutnya dan menatap Vima dengan dingin.

“Tentu saja aku merasa bersalah kepada Ellen, dan ingin agar dia memaafkanku.” Vima memandangi Dorvo dengan tatapan sedih.

“Apa yang pernah kamu lakukan untuknya, sehingga kamu bisa berpikir kalau dia akan memaafkanmu?” Suara Dorvo sangat lemah, tetapi apa yang dia katakan memang benar.

Vima seketika membeku.

Dorvo menyipitkan matanya, perlahan-lahan berdiri dari kursi, dan tidak lagi memandangi Vima, dia lalu menatap Nurima yang marah, berkata, “Nenek, ayo pergi!”

Nurima mengangguk.

Dorvo berdiri dari kursinya dan pergi menghampiri Nurima untuk membantunya berdiri. Saat hendak membawanya ke luar kamar, Nurima tiba-tiba menarik tangannya.

Dorvo berhenti dan mengalihkan pandangannya ke arah Nurima.

Nurima hanya menatap Vima yang bingung dan tidak tahu harus bagaimana, “Kamu hanya mengira-ngira bukan? Dulu Ellen dapat dengan mudah memaafkanmu, sehingga kamu bisa berpikir bahwa saat ini juga sama kan?”

Vima menangis terisak-isak, "Aku..."

Nurima melambaikan tangannya, menghentikannya melanjutkan perkataannya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun padanya dan menyuruh Dorvo membawanya pergi.

Vima menyaksikan Dorvo dan Nurima meninggalkan ruangan, memegangi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis.

……

Ellen baru saja keluar dari kamar mandi, dan William berjalan perlahan menuju ke arah kamar, dan telepon Dorvo baru saja dinyalakan.

Memberitahunya kalau dia dan Nurima sudah pergi meninggalkan Paviliun Mingyue, sekarang sedang berada di mobil menunggu mereka.

Setelah menutup telepon, William memberitahu Ellen yang sebenarnya.

Hati Ellen tiba-tiba merasa sedih, lalu langsung pergi ke lift.

William memeganginya, dan matanya terlihat berat. "Tunggu aku, aku akan pergi ke kamar untuk mengambil beberapa barang."

Ellen melihat ke arah kamar, dia juga tahu bahwa mereka tidak perlu terburu-buru pada saat ini, dia mengerutkan bibir dan mengangguk.

William tidak berlama-lama, dia melepaskan tangan Ellen dan dengan langkah besar pergi menuju kamar.

Saat William masuk ke kamar, Vima sedang duduk sambil menangis.

Saat dia mendengar langkah kaki, Vima membenarkan posisinya, dia menurunkan tangannya dari wajahnya dan melihat William melalui kabut air mata. Dia berdiri untuk mengatakan sesuatu kepada William.

William dengan cepat mengambil dua mantel di bagian belakang kursi dan tas Ellen, mengangguk pada Vima dan langsung pergi.

Vima yang sedang menangis bergegas keluar dari pintu kamar, dan melihat William memasangkan mantelnya di bahu Ellen dan membantunya masuk ke lift.

Melihat pemandangan seperti itu, hati Vima terasa sangat sakit.

Dia merasa, dia sudah menjadi orang yang telah dilupakan dan ditinggalkan sepenuhnya.

Vima perlahan-lahan berjongkok, pahanya menempel erat dengan dadanya, dan dia merasa hatinya sakit sama seperti saat kematian suaminya.

……

Saat menuju mobil untuk kembali ke Coral Pavilion, Nurima terus menangis. Meskipun dia sudah menahan agar tidak bersuara keras, suara tangisnya yang terisak itu membuat Ellen yang mendengarnya sakit hati dan sedih.

Ellen terus berbicara dan berusaha menenangkannya, tetapi itu tidak berhasil. Nurima hanya menangis dan diam.

Kembali ke vila.

Nurima dan Dorvo tidak berhenti, mereka langsung mengambil barang bawaan yang sudah disiapkan, naik mobil, dan pergi.

Ellen berdiri di gerbang villa, memandangi mobil Dorvo dan Nurima yang dengan cepat keluar dari pandangannya, air mata jatuh dari matanya, berbalik, memeluk William dan menangis.

Hati William terasa seperti ditusuk dan memeluk Ellen, "Ketika bayi itu lahir, aku akan menemanimu untuk mengunjunginya di kota Rong, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk tinggal sebentar di kota Rong."

“Aku mengerti kalau nenek tidak mungkin seumur hidup disini, tetapi aku juga tidak ingin dia pergi seperti ini, dia terus-terusan menangis.” Ellen berkata dengan suara kecil dan serak.

William mengerutkan keningnya, mengangkat tangannya dan membelai rambut panjang Ellen. "Ada sepupumu, dia pasti akan menenangkan nenek."

Ellen menggelengkan kepalanya, mundur dari lengan William, air mata masih menggantung di wajahnya, tetapi wajahnya dingin dan tegas. Dia berbalik ke samping dan berjalan lurus ke arah vila.

Mata William menatap punggung Ellen, dan setelah dia memasuki villa, dia berjalan menghampirinya dengan pelan.

William berganti sepatu dan berjalan ke ruang tamu, dia mendengar suara Ellen, " Nyonya Rinoa, sebenarnya apa yang kamu inginkan?"

Mata William sedikit mengecil, dia hanya berdiri di tempat, menatap Ellen yang sedang mengambil ponselnya. Matanya setenang air.

Ellen tahu bahwa William sudah masuk, matanya merah, dan dia hanya meliriknya, dia terlihat sangat dingin.

“……Ellen, dulu mama telah berbuat salah, mama meminta maaf kepadamu. Mama mohon kepadamu, jangan berbicara seperti ini dengan mama, hati mama sakit.” Vima memohon.

“Hatimu sakit? Apa orang lain tidak? Mengapa jika hatimu sakit, orang lain juga harus sakit?” Ellen berbicara dengan dingin seperti tidak berperasaan.

“Aku tidak…..”

“Kamu tahu kan kalau nenek hari ini akan pulang ke kota Rong ? Kenapa hari ini kamu berbicara seperti itu padanya? Apa kamu tahu bagaimana suasana hati nenek saat pergi? Nyonya Rinoa, 18 tahun lalu kamu sudah memilih untuk tidak menginginkanku! Kamu yang membuangku!” Ellen mengepalkan tangannya dan menggeram.

“Ellen, aku mohon padamu, jangan berbicara seperti ini padaku, jangan begini….”

Tangisan sedih Vima terus terdengar di telinganya seperti diulang-ulang.

Mata Ellen memerah, dan tubuhnya sedikit gemetar. "Selalu ada orang seperti ini. Mereka berpikir bahwa selama mereka jujur, mengakui kesalahan dan kejahatan mereka kepada siapa pun tanpa syarat, hati nurani mereka dapat dimaafkan. Mereka tidak akan peduli tentang konsekuensinya!"

"Orang seperti ini adalah orang yang paling egois dan tidak dapat dimaafkan! Karena mereka memilih untuk mengatakannya, bukan karena mereka ingin menebus kesalahannya pada orang-orang yang mereka sakiti, tetapi mereka hanya ingin menebus diri mereka sendiri. Bahkan jika itu terjadi, itu akan menyakiti lebih banyak orang, dan mereka tidak peduli! "

“Ellen, aku bukan orang yang seperti itu, aku benar-benar ingin menebus kesahanku padamu, aku ingin kamu memaafkanku.”

“He.”

Ellen menunduk, tersenyum pahit, dan berkata perlahan dengan suara serak, "Bisakah kamu menjadi orang yang memutuskan untuk tidak mengenaliku. Mulai sekarang, kamu bisa menjadi Nyonya Rinoa dan menjalani hidup yang bahagia dan nyaman. Kami tidak usah saling mengganggu lagi, dan hidup terpisah. "

“Tidak, tidak Ellen. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Hanya sekali lagi saja….” Vima memohon.

Ellen mencoba untuk menjaga matanya terbuka lebar dan tidak membiarkan air matanya jatuh.

Ellen menutup teleponnya.

William melihat hidung Ellen yang merah, dia menghela napasnya, melangkah maju lalu duduk di sampingnya.

Ellen menyandarkan kepalanya di lengannya, mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan matanya yang merah.

William meraih tangannya, merangkulnya dari belakang, membelai wajahnya yang sedikit gemetar dengan tangan yang lain, menatap matanya dengan mata yang gelap, dan berkata dengan lembut, "Jika kamu ingin menangis, menangislah."

Ellen menggelengkan kepalanya, tangan kecilnya yang lembut memegang dan perlahan membelai wajahnya, lalu tersenyum padanya.

Hati William sangat terluka, dia mengangkat wajah Ellen tinggi-tinggi, lalu tiba-tiba menundukkan kepalanya dan mencium bibirnya.

Ellen melihat kalau mata William tertutup, lalu dia membiarkan air matanya terjatuh.

……

Nurima dan Dorvo pergi pada sore hari dan tiba di kota Rong keesokan paginya.

Ellen menerima panggilan telepon dari Dorvo yang memberi kabar kalau mereka telah tiba dengan selamat, dan dia berkata kepada Dorvo kalau dia ingin berbicara dengan Nurima.

Namun, Dorvo berkata bahwa Nurima pusing dan muntah sepanjang jalan. Sekarang dia sedang di periksa oleh dokter keluarga, sedang beristirahat dan tidur dengan nyenyak.

Dorvo juga tidak ingin memperparah suasana hati Ellen, jadi dia tidak menyebutkan kalau Nurima terlihat depresi sepanjang jalan.

Dengan Dorvo tidak mengatakannya, apa berarti Ellen tidak mengerti?

Setelah menutup telepon dengan Dorvo, Ellen duduk di sofa sebentar, lalu naik ke ruang kerja.

Saat masuk ruang kerja, William sedang duduk di kursi dan berbicara di telepon.

Ellen menatapnya sebentar, tetapi tidak mengganggunya. Dia pergi ke rak buku dan mengambil sebuah buku. Dia duduk di sofa dan mulai membaca buku itu.

William menatap Ellen, tetapi tidak menatapnya langsung. Dia tidak tahu apakah Ellen bisa melihat atau mendengar suara di telepon.

Dia sudah menatapnya sejak tadi, Ellen balik menatapnya, matanya jernih.

William baru mengalihkan pandangannya. Dia merespons ponsel itu beberapa kali, menutup teleponnya, meletakkannya di meja, mengangkat pandangannya sedikit, dan memandang Ellen.

Wajah Ellen merah, menggigit bibir bawahnya dan berkata, "Mengapa kamu memandangiku seperti itu? Aku sudah mencuci muka."

“Sini.”

William mengulurkan tangannya.

“Apa?”

Ellen menutup buku itu, ingin menaruhnya di atas meja dan hendak berdiri.

Lalu dia mendengar William berkata, “Bawa buku itu.”

Ellen, “……”

Menatap buku di tangannya, matanya sedikit berubah, dan tiba-tiba dia mengerti sesuatu.

Dia baru mengerti.

Ujung telinganya memerah.

William melihatnya, bibir tipisnya terangkat dengan lembut, "Lupakan saja, aku saja yang kesana."

Ellen membeku, menatapnya.

William berdiri dari kursi besar, berjalan mengitari meja, berjalan beberapa langkah, mengambil buku dari tangannya, duduk di sampingnya, merentangkan lengannya yang panjang dari belakang, mengaitkannya pada bahunya, dan memeluknya. "Hari ini, aku baru tahu bahwa kamu tertarik pada keuangan."

Ellen merasa malu. Dia mengambil buku itu dari tangannya, memegangnya di tangannya dan menurunkan kepalanya untuk mengabaikannya.

William menatap wajah merahnya dan mengangkat alisnya dan tersenyum, "Aku baru saja mengatakan bahwa kamu tertarik dengan keuangan, mengapa wajahmu merah?"

Ellen menarik napas, mengangkat dagunya, mata besarnya cerah, berkata dengan penuh provokasi, "Itu hanyalah prasangkamu."

William memandangnya sambil tersenyum. "Kamu bisa memberitahuku mengapa hanya prasangkaku? Kata-kataku yang mana yang membuatmu berpikir begitu?" "Karena aku perempuan, kamu pikir itu aneh dan mengejutkan kalau perempuan tertarik pada keuangan, bukan? "Kata Ellen.

"Tidak juga." William menggenggam tangan Ellen dan menggosoknya di telapak tangannya. "Ketertarikanmu pada hal ini mengejutkanku. Kupikir kamu mungkin lebih tertarik dengan berita."

Ellen berpikir dan memandangnya, "Itu juga hanya prasangkamu! Sebelum kamu bertemu denganku, aku bekerja sebagai editor, jadi kamu berpikir aku lebih tertarik pada berita. Berita dan keuangan sangat berbeda satu sama lain, jadi kamu terkejut jika melihatku membaca buku tentang keuangan."

William menatapnya, dan matanya sangat senang, "Baiklah jika kamu bicara begitu."

Leher Ellen yang panjang dan kurus terlihat dari kerahnya juga memerah. Dia memandangnya dengan erangan dan bergumam, "Kamu mengatakan itu seolah-olah kamu membiarkanku."

William terkekeh, melepaskan tangan Ellen, memegang dagunya, mengelusnya dari kanan kekiri, menundukkan kepalanya ke bibirnya, mengecupnya dan berkata dengan suara gelap, "Bagus kalau kamu mengerti!"

Ellen, “…….” Dia harus menangis atau tertawa!

Novel Terkait

Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu