Hanya Kamu Hidupku - Bab 266 Pulang ke Kota Tong 2

Dan, suasana hati Nurima saat ini, tidak bisa diungkapakan dengan bahasa apapun.

Malam ini, Ellen, Tino, dan Nino berada di dalam kamar Nurima sekitar dua jam.

Ellen membawa Tino dan Nino keluar dari kamar Nurima, saat menutup pintu, dia menyadari Nurima sudah berdiri dari sofa, menatap tajam ke arahnya, tatapannya muncul rasa tidak tega.

Tangan Ellen yang memegang pintu sedikit ketat, menarik napas, dan hendak masuk.

Nurima malah mengangkat tangannya, “Pergilah, nenek sudah lelah.”

Selesai berkata, Nueima langsung berbalik badan, dan membelakangi Ellen.

Ellen menatap punggung Nurima selama beberapa menit, kemudian diam-diam menutup pintu.

Setelah mendengar suara tutupan pintu, Nurima memejamkan kedua matanya.

……

Pada pukul sepuluh, Tino dan Nino beristirahat, setelah Ellen keluar dari kamar Nurima, dia menatap dua anak yang sedang duduk di sofa ruang tamu, dia langsung membawa Tino dan Nono pergi ke kamt untuk mandi.

Setelah Ellen siap mengatur kedua anak ini, saat dia keluar dari kamar, dia melihat seseorang tetap duduk bersama Dorvo di atas sofa ruang tamu.

Seperti Ellen baru saja keluar dari kamar Nurima, keduanya melihat ke lantai atas.

Ellen meraparkan bibirnya, dia mengira keduanya sedang mengatakan sesuatu yang darurat dan tidak nyaman untuk didengar olehnya, jadi Ellen langsung kembali ke kamar sendiri.

Setelah kembali ke kamar, Ellen meletakkan dokumen yang ada ditangannya di atas meja, matanya menatap dokumen itu selama beberapa menit, kemudian dia baru mengambil baju tidur dan pergi mandi.

Setelah empat puluh menit kemudian, Ellen mengenakan baju tidur, kepalanya mengenakan shower cap, dia melihat sosok orang duduk di atas tempat tidurnya.

Ellen terbengong, dia berjalan ke depan tempat tidur dan mengeluarkan hair dryer dari lemari sebelah tempat tidur, kemudian berjalan ke meja rias sambil melihat William dan berkata, “Paman ketiga, sudah pukul sebelas malam, abang keempat dan kelima sudah pulang kah?”

Jari-jari William memegang mancis, dia berdiri dari tempat tidur, tangan yang memegang mancis dimasukkan ke dalam saku celana, dia berjalan ke arah Ellen.

Ellen baru saja mencolokkan steker pengering rambut ke soket, pengiring rambut yang ada di tangannya di ambil oleh satu tangan besar.

Selanjutnya, bahu Ellen di tahan ke depan meja rias.

Ellen ditahan di bangku meja rias, kepalanya melihat ke belakang.

Tangan William yang besar menahan kepala Ellen, tidak membiarkannya bergerak.

Ellen hanya bisa duduk dengan baik, melihat sosok orang itu lewat cermin meja rias.

William juga menatap Ellen lewat cermin meja rias, melepaskan showe cap yang ada di kepalanya dan melemparkannya di meja rias.

Ellen melirik shower cap itu, sudut matanya sedikit gemetar.

William Dilawn memegang rambut basah Ellen, membuka pengering rambut dan mulai menggeringkan rambut Ellen.

Kursi yang ada di depan meja rias berbentuk bulat, dan ada sandaran di belakang.

Ellen merasa punggungnya sedikit pegal, saat dia perlahan-lahan bersandar ke balakang.

Punggungnya tiba-tiba bertabrakan dengan paha yang penuh dengan otot.

Ellen langsung menegakkan punggungnya, matanya langsung melirik sosok itu dari cermin.

William menyipitkan mata, tangan besarnya memegang bahu Ellen, membiarkan Ellen bersandar di pahanya.

Wajah Ellen terlihat sangat panas, punggungnya bertabrakan dengan pahanya sebanyak dua kali, Ellen sedang mencari posisi yang nyaman untuk bersandar.

Melihat ini, sudut bibir William segera terangkat.

Rambut Ellen dirawat dengan baik, setelah menggeringkan rambutnya sama sekali tidak perlu disisir, jari-jari yang masuk ke rambutnya pun bisa ditarik lurus ke bawah dengan lancar.

William meletakkan pengering rambut di atas meja rias, satu tangannya mengusap rambut Ellen.

Ellen melihat William lewat cermin, dia tiba-tiba berkata, “Paman Ketiga, aku selalu merasa nenek sedikit aneh.”

William mendongak, satu tangannya terus memainkan rambut Ellen, nada suaranya terdengar polos, “Aneh?”

Tatapan Ellen kosong, dia masih menatap William Dilswn, dan berkata dengan nada rendah, “Dia memberiku saham perusahaan Nie.”

Mendengarkan ini, William mendongak dan melihat wajah Ellen, “Kamu ambil?”

“...” Ellen mengangguk, “... Paman Ketiga, aku seharusnya tidak mengambil kan, betulkah?”

“Tidak masalah.” William dahi kepala Ellen, dan bekata dengan nada polos.

Ellen mengerutkan alis.

“Itu juga kehormatan dari nenek, jika kamu tidak mengambilnya, malah membuat nenek merasa sedih.” Kata William.

Ellen menghela napas, dia melihat William Dilswn, “Aku hanya penasaran, kenapa sekarang nenek memberiku saham ini?”

William melihat ke bawah.

Setelah Ellen menunggu sebentar, dia tidak mendengar respon dari William, bulu matanya sedikit bergerak, “Paman Ketiga, apa yang kamu bicarakan dengan abangku di bawah?”

“Masalah pria, untuk apa wanita ikut campur!” William berkata.

Ellen, “...” dia hanya merasa napasnya tersumbat di dada! Masih berani sedikit kah!

“Kamu tidak membiarkanku ikut campur, aku sama sekali tidak ingin ikut campur!” Ellen merapatkan bibirnya, mengangkat tangannya dan menyingkirkan tangan William yang sedang memainkan rambutnya, berpura-pura marah dan berdiri dari tempat duduk, menatap tajam ke arah William Dilawn, “Ini adalah rambutku, jangan kao pegang!”

William tersenyum polos, dia melihat Ellen.

Ellen memutarkan bola mata, “Aku mau tidur, kamu seorang pria dewasa tinggal di kamar wanita sangat tidak masuk akal. Jadi, tolong saat kamu keluar, tutup pintunya!”

Setelah Ellen selesai berkata, dia berjalan melewati William Dilawn.

William menundukkan kepalanya, tertawa-tawa selama beberapa detik, memutarkan tubuh yang tinggi ke belakang, melihat wanita yang sudah terbaring di atas tempat tidur, dia berkata dengan nada polos, “Emosinya seperti ini, masih bukan wanita kecil kah!”

Ellen mengigit giginya di dalam selimut, dia tidak ingin menghiraukannya!

Setelah William menunggu, dan tidak mendapatkan respon dari Ellen, alisnya terangkay, melangkah maju dan berjalan ke sana.

Tidak ada sapaan, dia langsung naik ke tempat tidur, berbaring di hadapan Ellen, matanya diam-diam terus melihat selimut itu.

Di dalam selimut sangat gelap, tapi sepasang mata sangatlah terang.

Ellen tahu William berbaring di sebelahnya, dia mengira William akan mengatakan sesuatu... tentu saja, Ellen tidak berharap William berkata, Uhm... kata-kata mesraan, tapi juga tidak mungkin dengan kondisi seperti saat ini, dia tidak mengatakan apa-apa!

Hati Ellen sangat tidak nyaman, kemudian, napasnya sudah tidak teratur, dan sedikit panas.

Ellen sudah menahan sejenak, dia tidak bisa menahan lagi...

William Dilswn melihat satu tangan keluar dari selimut, dengan pelan memegang sudut selimut, perlahan-lahan menarik ke bawah.

Bibir William Dilswn terangkat, mata yang mengelap tiba-tiba menjadi terang.

Akhirnya, wajah merah keluar dari selimut.

Ellen memejamkan matanya dengan erat, wajahnya sangat merah hingga tidak bisa dilihat lagi, bibirnya pun membuka, menghirup udara segar.

William hanya melirik rambut yang ada di wajahnya, tatapannya langsung jatuh dibibir merahnya.

Mata yang terang tiba-tiba mengelap.

William merupakan tipe aksi seperti ini.

Dia akan melakukan semuanya sesuai apa yang dia pikirkan.

Menurunkan kepalanya, dia langsung mencium bibir yang manis itu.

Ellen menarik napas, mata yang tertutup tiba-tiba terbuka, tangan yang memegang selimut menjadi erat, menatap wajah yang ada di depannya.

William menatap Ellen, badan yang besar dan tinggi melayang di atas, menyingkirkan selimut yang ada di bawah dan berbaring ke dalam, dan memeluk Ellen.

Napas Ellen terengah-engah, tatapannya menjadi panas, dia tidak tahan lagi dan memejamkan kedua mata.

“Sangat panas kah?” William memegang pipi Ellen yang merah, dia merasa telapak tangannya lembab, mengangkat alisnya dan berkata dengan nada suara serak.

Ellen memejamkan mata, “… Aku, tadi berada di dalam selimut terlalu lama, jadi merasa panas.”

William menggerakkan tenggorokannya, mengigit bibir Ellen, kemudian berpindah ke dagu.

Ellen mengigit bibirnya dengan erat, merasa tangan William tidak masuk dari kerah bajunya, dia membuka mulut, dan manarik napas.

“Masih tahu dirimu sendiri berada di dalam selimut terlalu lama.” Setelah beberapa saat kemudian, terdengar nada suara serak dari dada Ellen.

Ellen sudah tidak bisa berbicara lagi, tangannya sudah tidak bisa memegang sudut selimut. Bahan pakaian yang ada di tubuhnya sudah dilepas dengan kecepatan tercepat, Ellen sudah mempersiapkan diri… tapi sosok itu tiba-tiba maju ke depan, satu tangan memegang dada Ellen, satu tangannya lagi memeluk kepala Ellen dan menyandarkan kepala Ellen di dadanya.

Ellen kesakitan hingga mengerutkan alis, tatapannya terlihat bingung.

Tubuh William mengeras seperti batu, wajah Ellen bersandar di dadanya, dia bisa merasakan keringatan yang mengalir dari dadanya, dan… monster itu, terus melampiaskan kemarahannya di perut Ellen.

Membuat Ellen mengeluarkan suara serak, “Ketiga…”

Sepertu dugaan, Ellen baru saja mengatakan satu kata, sosok itu tiba-tiba melepaskannya, membuka selimut dan turun dari tempat tidur, membelakangi Ellen dan berdiri di sebelah tempat tidur.

Ellen termenung.

Mengedipkan mata dan melihat sosok itu, hanya sekali pandangan, tatapan Ellen langsung ditangkap, Ellen segera mengalihkan pandangannya.

Beberapa menit kemudian, Ellen mendengar suara gesekan kecil.

Dalam hati Ellen sangat gelisah seperti seekor kucing yang tidak bisa tenang.

Menelan ludah, Ellen diam-diam mendongak dan melihat William.

Dia melihat orang itu dalam waktu sesaat, sudah mengenakan celana, dan sedang berhadapan ke arahnya, mengancingkan kancing kemeja.

Ellen tiba-tiba mendongak dan menatapnya.

Dalam situasi seperti ini, hati Ellen tentu saja akan merasa sedikit gairah: Pakaiannya sudah dilepas, kamu seperti ini cocok kah? Cocok kah? Cocok kah?!

William mengancingkan kancing terakhir, membungkukkan badannya, dan mencium Ellen, “Tidurlah.”

Wajah Ellen terlihat sedikit gelap.

Tidur apaan!

Membuat Ellen sangat marah!

Awalnya mengatakan Ellen merupakah wanita kecil, kemudian merayunya!

Rayu ya rayu, tapi tidak bertanggung jawab… apaan ini!

Ellen mengigit gigi, matanya menatap tajam ke arah William.

William memegang telapak tangan, di bawah tatapan Ellen, dia langsung berbalik badan dan berjalan ke arah pintu.

Mendengar suara membuka pintu.

Ellen mengigit bibirnya dengan erat, dia ingin menghancurkan bumi ini, bagaimana!

Novel Terkait

The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu