Hanya Kamu Hidupku - Bab 479 Bengong Apaan, Aku Sedang Menunggumu

Setelah keduanya selesai makan mie, Pani meletakkan mangkuk di dapur dan mendesak Sumi untuk pulang.

“Kepuasan akan sandang pangan menghasilkan nafsu lain”, Sumi yang kenyang dan puas tentu enggan pulang begitu saja, kaki panjangnya bersandar di tempat tidur Pani, berbaring dengan nyaman.

Pani memelototinya dengan emosi, “Sumi, kamu keterlaluan!”

Sumi menyipitkan mata untuk meniliknya, lalu menepuk tempat tidur di sebelahnya dengan telapaknya yang besar, “Berbaringlah bersamaku sebentar.”

“Kamu bilang kamu akan pulang sehabis makan mie!” Pani melangkah maju dan menarik tangan Sumi dengan kuat.

Bibir Sumi melengkung, ia memejamkan mata, punggungnya seperti dilekatkan di tempat tidur dengan lem super rekat. Pani tidak bisa menyeretnya dari tempat tidur.

Pani terengah-engah, memelototi pria yang berbaring di tempat tidurnya, gigi menggertak, “Kamu tidak mau pulang?”

Sumi membuka mata, memandang Pani dengan malas.

Pani menghempaskan tangannya dengan marah, “Tidak mau pergi? Oke, kamu tidur di sini saja, tidur senyenyak mungkin!”

Seusai membentak, Pani berbalik dan berjalan menuju pintu.

Melihatnya berjalan keluar, alis Sumi berkedut dua kali, berkata, “Kamu mau ke mana?”

“Aku tidur di jalanan!” Pani meledak.

Sumi mengenyit, “Sini!”

Pani yang melangkah sampai di pintu berhenti, membalikkan wajah yang beremosi buruk untuk melihat Sumi.

Sumi perlahan duduk di tempat tidur, menatap Pani dan mendengus, “Aku pulang!”

Mata Pani menyipit, dia mundur mendekati pintu untuk memberi jalan kepada Sumi.

Melihat aksinya ini, Sumi mendengus lagi.

Sumi bangun dari tempat tidur, kedua tangan menyaku di celana, berjalan dengan santai menuju pintu. Dia tidak berhenti ketika melewati Pani.

Pani mengerutkan bibir sambil menatap punggungnya.

Sumi berhenti saat melewati ruang tamu. Dia berbalik badan dan memandang Pani dengan tatapan lembut.

Pani menggigit bibir bawahnya tanpa sadar.

“Apakah kamu masih mau gajimu?” Kata Sumi dengan sikap bos.

Pani tertegun sejenak sebelum tanggap, wajah kecil mendongak, “Tentu saja mau, itu uangku!”

“Kalau kamu mau uang, datang ke alamat yang kukirim ke ponselmu sebelumnya!” Sumi mengerutkan bibir.

“... Kenapa tidak langsung kamu berikan padaku saja?” kata Pani.

Sumi mengangkat alis, "Jika kamu mau mendapatkan uangmu, ambil denganku di tempat itu. Kalau tidak, lupakan saja.”

Pani mengernyit, “Kenapa tidak langsung kamu berikan padaku saja? Kenapa harus begitu repot?”

Sumi menatap Pani selama beberapa detik, tidak mengatakan apa-apa, berbalik dan pergi.

Pani menyipitkan mata untuk melihat punggung Sumi yang menjauh, bergumam, “Semakin tua, semakin merepotkan orang!”

……..

Sampai liburan sekolah berakhir pun Pani tidak punya waktu untuk mencari pekerjaan paruh waktu, karena adik sepupunya itu selalu mendatanginya setiap pagi dengan tepat waktu, pulang juga tepat waktu pada pukul lima sore, bahkan pekerja kantor pun tidak serajin dia.

Pani awalnya mengira setelah kembali ke sekolah, situasi seperti ini akan berakhir karena keduanya tidak berada di satu sekolah yang sama.

Dia tidak menyangka pada Hari Senin minggu kedua sekolah, ketika dia sedang bertanya tentang tata bahasa Inggris kepada Ellen, teman sekelasnya tiba-tiba mendatanginya dan berkata kepadanya bahwa seseorang sedang mencarinya.

Pani amat kaget, karena ini adalah pertama kalinya dia dicari orang selama bertahun-tahun sekolah di Weiran.

Saat berjalan keluar dari kelas dengan segudang kebingungan dan belum sempat melihat orang itu, tangan Pani tiba-tiba ditarik dari samping.

Pani terkejut dan berbalik untuk melihat.

Ketika melihat orang yang menarik lengannya, Pani semakin terkejut, “Pataya...”

“Kakak sepupu.”

Pataya merangkul lengan Pani dengan gembira, kedua mata dipenuhi cahaya kegembiraan.

Pani menggerakkan bibir, bertanya dengan heran, “Pataya,kenapa kamu ada di sini? Hari ini adalah Hari Senin, bukan hari libur. Bukankah kamu seharusnya berada di sekolah pada jam segini?"

“Aku memang lagi di sekolah.” Pataya mengayun-ayun tangan Pani dan berkata sambil tersenyum.

Setelah pergaulan dalam jangka waktu yang lumayan panjang, Pataya sudah tidak begitu waswas dan takut-takut seperti awal bertemu Pani, dia terlihat lebih natural dan santai.

Meskipun dia terkadang merasa bahwa Pani merupakan sosok yang cukup hebat dan tidak dapat diprediksi.

Pani terkejut, “Di sekolah?”

Pataya melepaskan tangan Pani, berganti menjadi memeluknya, mata berbinar.,“Kakak sepupu, aku pindah ke Weiran untuk melalui kelas tiga SMP. Jadi, kita sekolah di sekolah yang sama sekarang.”

Apa?

Pani memandang Pataya dengan bengong, “Maksudmu, kamu pindah ke Weiran pada semester ini?”

“Iya.” Pataya mengangguk.

Pani, “...” Tampaknya dirinya akan dijerat terus-menerus oleh adik sepupu ini? Tuhan, tolong!

…..

Semenjak Patayapindah keWeiran, setiap kali Pataya punya waktu ataupun Pani punya waktu, Pataya selalu menjeratinya.

Selama dua minggu berturut-turut, pertemenan berdua antara Pani dan Ellen berevolusi menjadi pertemanan bertiga orang.

Bagaimana pun Pataya adalah sepupu Pani, meskipun Ellen merasa tidak cocok dengannya, tapi dia menjaga perasaan Pani sehingga dia tidak mengatakan apa-apa.

Sebenarnya mereka berdua mengira mereka akan merasa cocok dengan Pataya jika sudah bergaul untuk waktu yang lama.

Tetapi setelah dua minggu berlalu, baik Pani maupun Ellen tidak menunjukkan tanda-tanda kecocokan.

Meskipun Pataya tidak membuat orang merasa tidak nyaman atau sebal, tapi mungkin karena sifat dan kelakuan mereka tidak cocok, atau mungkin karena Pani dan Ellen memiliki sifat alami yang dingin sehingga sangat sulit untuk bergaul dengan orang lain. Mereka berdua merasa agak tidak nyaman untuk bergaul dengan Pataya yang tiba-tiba muncul di sisi mereka.

Sepulang sekolah hari ini, Ellen dan Pani keluar dari ruang kelas sambil bergandengan tangan, mereka langsung menemukan Pataya yang menunggu di depan pintu ruang kelas.

Pani dan Ellen menarik napas secara serentak.

“Kakak sepupu, Kak Ellen.” Pataya melompat maju dan tersenyum kepada mereka.

Ellen dan Pani juga memberi senyuman padanya.

“Ayo.” Seru Pani.

“Oke.” Pataya berjalan ke sisi Pani dan merangkul lengannya yang lain.

Mata Pani berkedip dua kali dengan kecepatan kilat.

Mereka bertiga berjalan berdampingan dari pintu kelas ke gerbang sekolah. Selain Pataya sesekali mengucapkan sepatah dua patah kata, Pani dan Ellen nyaris tidak berbicara.

Saat berjalan keluar dari gerbang sekolah, Ellen sekilas melihat tempat Suno memarkir mobil, dia lalu berkata kepada Pani, “Aku mengantarmu pulang?”

Pani melirikPataya, kemudian menggelengkan kepalanya dengan lembut.

Ellen tersenyum, tidak memaksanya, melambai pada keduanya dan berjalan pergi.

Melihat Ellen masuk ke mobil, Pataya langsung berkata kepada Pani, “Kakak sepupu, pak supir tidak bisa menjemputku hari ini. Bolehkah aku pergi ke rumahmu untuk mengerjakan tugas? Ayahku akan menjemputku setelah pulang dari kerja.”

Uh….

Pani merapatkan bibir, melihat Pataya, “Boleh…”

Kata “saja” belum sempat diucapkannya, ponsel di saku mantelnya berdering.

Saat Pani mendengarnya, dia tidak peduli untuk melanjutkan pembicaraan, mengeluarkan ponsel.

Pandangannya sekilas menyapu layar ponsel, kemudian mulutnya membentuk lengkungan yang sulit terlihat, dia berbalik untuk menjawab panggilan tersebut.

“Apakah kamu mengenali mobilku?”

Suara rendah pria melintasi telepon dan merambat ke telinga Pani.

Pani ragu-ragu, berpikir sejenak, “Mungkin kenal.”

“Kalau begitu, kemarilah.” Ujarnya.

"..." Pani tertegun sejenak, berbalik untuk melihat deretan mobil yang terparkir di depan gerbang sekolah.

“Apakah kamu menemukannya?” Tanya pria itu dengan lembut.

Mata Pani tertuju pada mobil Bentley, “... Iya.”

“Sini.” Kata pria itu.

Bulu mata Pani berkedip, dia memandang Pataya yang menatap dirinya, setelah beberapa detik, dia menjawab, “Tunggu.”

Dia lalu mematikan telepon.

Pani menggenggam telepon, berdiri berhadapan dengan Pataya, “Pataya, aku punya sedikit urusan dan tidak akan pulang sekarang.”

Pataya memandang Pani, dia tidak mengabaikan warna merah muda yang menghiasi pipi Pani. Matanya berputar, lalu tersenyum dan berkata, “Urusan apa, kakak sepupu?”

Pani agaknya tidak menyangka Pataya akan bertanya.

Pani terpaku sejenak sebelum berkata, “Aku punya janji untuk bertemu dengan teman. Kamu mau pesan taksi untuk pulang atau …”

“Kakak sepupu, bolehkah kamu membawaku bersamamu? Aku tidak berani pulang sendirian dengan taksi.” Pataya meraih tangan Pani dan menatapnya dengan tatapan malang.

Tidak berani pulang sendiri dengan taksi?

Kelopak mata Pani berdenyut dua kali, dia menarik napas dan menatap Pataya sambil tersenyum, “Ini adalah pertama kalinya aku mendengar bahwa seseorang tidak berani pulang sendirian dengan naik taksi.”

Pataya tersipu, berbisik, “Aku tidak pernah berpergian sendiri sejak kecil, biasanya pak supir ataupun papa dan mama yang mengantarku. Ayah dan ibu sering berpesan padaku untuk tidak menaiki taksi sendirian, mereka takut aku akan terancam bahaya. Jadi, aku tidak pernah naik taksi sendirian.”

Keluarga Zhao memperlakukan Pataya bagai seorang putri!

Pani menjilat bibir bawah dan memberi saran, “Sebenarnya tidak segitu menakutkan, kamu akan tahu sesudah mencobanya.”

“Bagaimana jika terjadi sesuatu?” Pataya menatap Pani dan berkata dengan gelisah.

Pani, “...” Dia sangat ingin mengatakan bahwa Pataya terlalu banyak berpikir, tidak akan terjadi apa pun!

Tapi … Bagaimana jika benar-benar terjadi?

Pani tidak memiliki keberanian untuk menjamin hal semacam ini!

Keluarga Zhao tidak akan memaafkannya jika sesuatu terjadi pada putri mereka karena sarannya!

“Kakak sepupu, jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu. Aku berjanji untuk berada di sisimu dan tidak akan mengganggu pertemuanmu dengan teman-temanmu, oke?” Patayamengguncang jari-jari Pani dan bertindak manja.

Pani agak tak berdaya, pandangan tanpa sadar melirik mobil Bentley. itu

Pria di dalam mobil sepertinya merasakan tatapannya, ponsel di tangannya berdering lagi.

Pani menunduk dan sekilas melihat layar ponsel, dia terdiam selama beberapa detik sebelum melekatkan ponsel ke telinga.

“Tidak apa-apa, bawa dia juga!”

Sumi bagai memiliki kemampuan mendengar dari jarak jauh, kata-katanya seolah dia mengetahui kondisi canggung antara Pani dan Pataya.

Pani agak terkejut, menatap mobil itu.

“Bengong apaan lagi, aku sedang menunggumu.” Sumi mendengus ringan.

Ujung telinga Pani memanas, ia menjauhkan ponsel dari telinga, kemudian menoleh ke Pataya, "Oke."

Pataya sangat senang, cepat-cepat merangkul lengan Pani. “Kakak sepupu, kamu sangat baik padaku.”

Pani, “...” Dia terpaksa untuk berbaik padanya!

…..

Pani membawa Pataya ke mobil Bentley, Sumi mendorong pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil.

Momen ketika melihat Sumi keluar dari mobil, kedua mata Patayamembelalak. Dia merangkul Pani lebih erat, menatap Sumi dengan malu dan takut, disertai bibir yang merapat erat.

Merasakan genggaman di lengan menjadi erat, Pani menoleh untuk melihat Pataya. Dia menemukan bahwa ekspresi Pataya tegang, juga merah pada saat yang sama. Sepasang bola mata yang menatap Sumi terlihat gemetar, tidak dapat dideskripsikan apakah itu adalah kegugupan ekstrem atau apa.

Mata Pani sedikit menyipit, dia mengangkat alis dan mengalihkan pandangan dari Pataya, kembali fokus pada Sumi

Novel Terkait

Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu