Hanya Kamu Hidupku - Bab 553 Kamu Dihatiku Hampir Sempurna

Tanjing menatap wajah Linsan yang sedih dan lemah, dia justru mencibir, " Linsan, kamu anggap aku ini apaan?".

Mata Linsan berkedip, "... Apa?".

Tanjing tiba-tiba melepaskannya, berdiri dari sofa dengan mengerutkan kening dan menatap Linsan dengan cuek, "Aku menyarankanmu segera hentikan. Jangan menunggu sampai kehilangan segalanya, baru menyesalinya!".

Hati Linsan berdebar, menatap Tanjing, " Jinjing, apa yang ingin kamu katakan?".

"Kamu pasti tahu apa yang ingin aku katakan. Aku tidak mengatakannya sekarang, hanya mempertimbangkan martabat dan reputasimu, demikian pula, ini juga merupakan penghormatan bagi diriku karena mencintaimu selama bertahun-tahun!".

Tanjing mengeluarkan senyuman penghinaan diri, "Aku tahu bahwa orang-orang seperti kami, di mata kebanyakan orang biasa yang memiliki kebanggaan diri itu seperti tikus, hanya bisa hidup dalam kegelapan, bahkan tidak berhak untuk menyukai seseorang dengan terbuka!".

Tanjing memutar matanya yang berkaca-kaca, menatap Linsan, " Linsan, apakah kamu tahu mengapa aku menyukaimu, bertahun-tahun tidak berubah? Karena kamu menerima perbedaan antara aku dengan kalian dan menghormatiku. Aku masih ingat apa yang kamu katakan ketika kamu mengetahui aku menyukaimu. Kamu mengatakan kepadaku bahwa tidak ada perbedaan diantara aku dengan kalian. Kamu juga mengatakan bahwa aku menyukai wanita hanya menjelaskan keunikanku. Setiap orang memiliki karakteristik dan kepribadian, kamu mengatakan bahwa inilah aku, yang seperti ini!".

“Apa yang aku katakan berasal dari hatiku,” Kata Linsan dengan pelan sambil menatap Tanjing.

"Jadi aku semakin menyukaimu dan aku bersedia untuk mendekatimu! Di mataku, kamu adalah satu-satunya orang yang dapat sepenuhnya menerima aku! Pada saat itu, bahkan orang tuaku berpikir aku memiliki kelainan psikologis. Di dalam hatiku, kamu itu hampir sempurna!".

Tanjing menatap Linsan, matanya memerah, "Aku ingin melindungimu, melakukan yang terbaik untuk melindungimu dan membuat kamu bahagia!".

"Aku tahu, aku tahu semua ini."

Linsan berdiri, mengulurkan tangan untuk memegang tangan Tanjing, air mata membasahi bulu matanya.

" Linsan." Tanjing menatap kedua mata Linsan dengan serius, "Kamu katakan padaku, apakah kamu menyukai Sumi?".

Linsan tertegun.

“Apakah kamu menyukainya?” Tanjing bertanya lagi.

Mata Linsan bergetar, "Aku, aku menyukai Sumi, tapi kesukaanku hanya sebatas teman."

"Benarkah?".

Tatapan mata Tanjing begitu tajam seolah-olah bisa menembus kulit Linsan dan menahan jiwanya!.

Wajah Linsan menegang tanpa sadar, dengan tegas mengatakan, "Orang yang aku cintai dalam hidup ini hanya satu, namanya adalah Thomas!".

"Baiklah!"

Tanjing menepis tangan Linsan dan menatapnya, "Kalau begitu kamu pergi memberitahu Sumi bahwa pada jamuan pertunangan saat itu, Pani tidak mendorongmu karena kecerebohannya!".

"..." Wajah Linsan berubah menjadi putih pucat, gemericik dingin dari telapak kakinya mengalir ke hatinya.

Tanjing memaksa dirinya untuk kejam dan berkata, "Pergi dan katakan kepada Sumi tentang kebenarannya!".

Linsan tiba-tiba mundur dua langkah, menatap Tanjing dengan tersakiti, " Jinjing, bagaimana kamu bisa mengatakan begitu? Maksudmu, aku sengaja menabrak sofa, menggugurkan anak itu dan menyalahkan Pani? Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padaku? Bagaimana kamu bisa begitu?".

“Aku melihatnya dengan mataku sendiri! Pada saat itu Pani tidak mnyentuhmu!” Tanjing mengerutkan kening.

"Katakan padaku, apa maksud kamu, apakah aku sengaja menggugurkan anakku untuk menyalahkan Pani? Apakah maksudmu begitu?" Linsan menangis, berkata sambil mencengkeram dada dirinya.

"..." Tanjing mengepalkan kedua telapak tangannya, "Mungkin itu adalah sebuah kecelakaan. Tapi sebenarnya bukan Pani yang mendorongmu! Kamu tidak boleh membiarkan Sumi terus mengira karena kecerobohan Pani sehingga mendorongmu dan menyebabkan keguguranmu!".

" Jinjing!"

Linsan menatap Tanjing dengan emosi, suaranya seperti tersendak, "Aku yang kehilangan anak, anak aku dan Thomas! Tahukah kamu, aku sangat menghargai dan bersyukur tentang kehadiran anak ini? Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku ketika anak itu gugur dari tubuhku? Aku sangat sakit!".

Tanjing menatap mata Linsan yang penuh dengan rasa sakit, hatinya ikut bergetar juga, "Anak telah gugur, aku juga merasa sangat sedih..."

"Apakah kamu sedih? Apakah kesedihanmu dapat dibandingkan dengan kesedihanku seorang ibu? Hanya karena keguguran itu, aku tidak memiliki kesempatan untuk hamil lagi dalam hidupku! Jinjing, bagaimana kamu bisa memperlakukanku dengan begitu kejam? Seorang wanita, seumur hidup tidak dapat memiliki anak lagi! Apakah dapat disebut dengan seorang wanita? Wanita seperti apa aku ini? Hah? " Linsan bertanya dengan tidak terkendali.

Tanjing memejamkan mata, menarik napas panjang dan berkata dengan suara bergetar, " Sumi telah memikirkan berbagai cara dalam beberapa tahun ini..."

"Tidak mungkin! Aku tahu itu tidak mungkin lagi!" Linsan segera berkata, suara putus asa, " Jinjing, apakah kamu mengira aku ingin bercerai dengan Thomas? Ayah mertuaku yang memaksaku! Dia tahu aku tidak bisa hamil lagi, dia takut Keluarga Mu tidak ada pewaris, sehingga memaksaku! Apakah kamu tidak tahu dengan hal ini? Kamu mengetahuinya! Mengapa kamu masih memperlakukan aku seperti ini? Mengapa?".

Tenggorokan Tanjing tersendak, menatap wajah sedih dan sakit hati Linsan, dia tidak bisa mengatakan sepatah kata pun.

...

Setelah suasana hati menjadi tenang.

Linsan menatap Tanjing yang sedang duduk di sofa berlawanan dengan mata bengkak, bibirnya yang pucat menggeliat dua kali, kemudian berdiri, "Aku sedikit tidak enak badan, aku kembali ke kamar istirahat."

“Tidak enak badan?” Tanjing cemas.

Linsan tertegun dan menatap Tanjing dengan putus asa, "Jika ini yang kamu inginkan, tidak peduli kebenarannya seperti apa, aku akan memberitahu Sumi sesuai permintaanmu bahwa aku sendiri yang menggugurkan anak itu, tidak ada hubungannya dengan Pani."

Tanjing, "..."

Linsan pergi ke kamar.

Setelah pintu dikunci, dia mengambil teleponnya ke ambang jendela dan memutar sebuah nomor.

"Kak Linsan."

Telepon dijawab dengan cepat, kemudian terdengar suara seorang wanita muda.

Linsan mengedipkan mata, " Pataya, kapan mulai sekolah?".

"Beberapa hari lagi. Ada apa?" Tanya Pataya.

"Oh, aku sekarang berada di Kota Yu, datang ke sini melakukan sesuatu, kemudian sekalian jalan-jalan." Linsan tersenyum lembut, "Berpikir bahwa kamu mungkin belum mulai sekolah, makanya tanya saja apakah kamu tertarik untuk datang dan bermain bersama."

“Boleh!” Pataya langsung menyetujui.

"Baik, aku menunggumu," kata Linsan.

"Aku memesan tiket di sore hari," kata Pataya.

"Oke. Telepon aku ketika kamu sudah sampai, aku akan memberitahumu alamat hotel."

"Iya, sampai jumpa kak Linsan."

"Sampai Jumpa."

Setelah menutup telepon, Linsan berpikir sebentar kemudian memanggil Yuki lagi.

Sama seperti Pataya, ketika Yuki mendengar bahwa Linsan berada di kota Kota Yu, dia segera berkata akan datang pada sore hari!.

Setelah selesai menelepon dengan Yuki, Linsan menatap telepon tanpa sadar kemudian mencibir.

Satu Pataya, ditambah Yuki yang damai... Cukup meriah saat memikirkannya!.

Memikirkan tentang itu.

Linsan tiba-tiba mengguncang telepon, matanya menyipit dingin, "Aku tidak bisa mempunyai anak dalam hidupku, jadi mengapa kamu bisa mempunyai anak dalam satu kali pada waktu itu, apakah adil?".

Setelah Linsan mengatakan demikian.

Telepon di tangannya tiba-tiba bergetar.

Linsan melihat, kemudian mengangkat alis dan menjawab panggilan tersebut.

"Nona Lin, Aku sudah memeriksa dengan jelas orang yang ingin kamu ketahui!".

Linsan mengangkat dagunya, menarik napas pelan dan berkata, "Kirim barang-barang itu ke kotak suratku, satu tangan menyerahkan barang dan satu tangan membayar uang."

"Selamat bekerja sama, Nona Lin."

...

Panggilan Riki datang pada saat jam makan Pani dan Sumi.

Pani selalu khawatir tentang dia, akhirnya dia telah meneleponnya. Dia juga tidak menghindari Sumi, dengan cepat dia menjawab, " Riki, apa kabar?".

Tindakan Sumi memegang sumpit dan menjepit makanan untuk Pani berhenti kaku, dia menatap Pani dengan dingin.

Pani meliriknya, mengerucutkan bibir dan menopang pinggangnya ingin meninggalkan meja makan untuk menjawab telepon.

"Katakan saja di sini!" Kata Sumi.

Mata Pani berkedut dan menatapnya.

Sumi meletakkan sayur ke dalam mangkuk Pani, wajahnya seperti Pani telah berhutang ratusan juta padanya, sangat suram.

“Apakah kamu bersamanya?” Terdengar suara dingin Riki melalui telepon.

"... Sekarang sedang makan malam," kata Pani dengan pelan.

"Kamu nyalakan speaker telepon saja! Karena takut dia khawatir, mari kita bicarakan secara terbuka!" Kata Riki.

Pani berkeringat, "Aku mendengar Bibi Diana mengatakan, pada siang hari suasana hati kamu sangat buruk..."

“Jika aku mengatakan padamu bahwa suasana hatiku sangat baik, apakah kamu percaya?” Riki berkata dengan pelan.

"... Riki, Bibi Diana mengatakan sekarang kamu perlu mengonsumsi obat tidur untuk tertidur."

Riki terdiam, kemudian dengan nada yang keras berkata, "Ibuku memberiku obat tidur?".

Pani, "..."

"Ibuku memberiku obat tidur!!" Riki terdiam, "Sejak dulu aku ingin memutuskan hubungan antara ibu dan anak dengannya! Jangan memaksaku!".

"... Umm, Bibi Diana mungkin sedang bercanda denganku." Pani berkeringatan.

"Aku juga bercanda denganmu," kata Riki.

"..." Pani kaget kemudian mengerti.

Dia mungkin telah mendengar kegugupan dan kekhawatirannya, sehingga sengaja mengatakan demikian untuk menyesuaikan suasana.

“Suasana hatiku memang tidak terlalu baik, tapi jelas tidak keterlaluan seperti perkataan ibuku, jangan percaya!” Kata Riki dengan pelan.

“Mengapa kamu tiba-tiba pergi ke Australia?” Pani menggunakan sumpit untuk menyodok nasi dalam mangkuk, bulu matanya terkulai rendah dan menutupi matanya.

Sumi menatap Pani dengan wajah dingin, "Makanan segera dingin."

Pani mengangkat kelopak matanya dan menatapnya, kemudian melirik sudut mulutnya.

"Terlalu cuek," kata Riki diam-diam.

Pani merasa sedikit masam, " Riki, jaga dirimu dengan baik, jangan membuat aku khawatir."

Riki diam, tidak mengeluarkan suara.

Pani berdehem dengan masam dan suaranya menjadi serak, "Kamu harus menemani Bibi Diana dan Paman Mu dengan baik, kamu jarang sekali kembali."

"... Apakah aku bisa meneleponmu?" Tanya Riki.

Pani mengepalkan sumpit di tangannya, matanya terasa sedih, "Apa yang kamu bicarakan? Kapan aku tidak membiarkan kamu meneleponku?".

Terdengar suara menarik napas Riki melalui telepon.

Pani mengedipkan mata dan berkata, " Riki."

"Iya?"

"Aku baik-baik saja."

"……Baiklah."

Setelah itu.

Keduanya terdiam.

Beberapa saat kemudian.

Pani mendengar suara bip bip panggilan sudah ditutup.

Pani merasa bahwa napasnya sedikit tersumbat.

Dia meletakkan telepon, bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

Sumi diam-diam menatap punggung kepergiaan Pani ke kamar mandi, tumpukan kecemburuan menyebar di dadanya.

Dia menggemgam sumpit di tangannya dengan erat, kemudian melonggarkannya dengan cepat, membentak dan menepuk di meja makan.

Pani baru saja berjalan ke kamar mandi, bahunya sedikit mengguncang ketika mendengar suara ini.

Novel Terkait

Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
4 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu