Hanya Kamu Hidupku - Bab 72 Paman Ketiga, Apakah Aku Mengganggumu Kerja

Ellen langsung bangun, berjalan kearah meja disamping ranjang, mengambil ponsel yang terletak diatasnya, lalu menelfon William dalam satu tarikan nafas.

Ketika ring back tone berdengung ditelinga Ellen, matanya langsung menjadi basah.

“Ellen.”

Suara pria yang serak terdengar dari balik telfon.

Ellen segera menjulurkan tangannya menekan ujung matanya, airmata yang membasahi ujung jarinya membuatnya agak panik.

“Ellen?”

Ada rasa aneh yang terdengar dari suara pria itu.

Ellen menarik nafas panjang, menahan pita suaranya yang bergetar, berkata, “Paman Ketiga, apakah aku mengganggumu bekerja?”

“……..”

Dibalik sana hening.

Ellen menghapus airmata disudut matanya dengan tangannya, “Kalau begitu kamu kerja dulu, nanti baru aku telfon lagi.”

Dia mengira ia terdiam karena sedang sibuk, sehingga Ellen berkata demikian.

“Menangis?”

Suara William terdengar agak tegas.

“… tidak. Kenapa aku menangis tiba-tiba.” Ellen menundukkan pandangannya, matanya tetap bergetar.

“Ada apa?” William tidak percaya dengan apa yang Ellen katakan.

Ellen mengetatkan bibir, “Sudah tidak ada.”

“Ellen!” William agak membentak, ada rasa panik dalam suaranya.

“…… sungguh tidak ada apa-apa. Kamu ingin aku mengatakannya, apa yang harus kukatakan.” Ellen meningkatnya nadanya satu oktaf, terdengar agak kesal karena disalahkan.

William menarik nafas dalam, lalu, “Ada apa dengan suaramu? Kalau bukan karena menangis kenapa bisa jadi seperti itu?”

Airmata langsung mengalir turun dari sudut mata Ellen, menarik nafas, lalu menjauhkan ponselnya, ia terisak sesaat, lalu kembali meletakkan ponsel ke telinganya, dan berkata, “Aku baru bangun.”

Yang ingin Ellen katakan adalah dia baru bangun tidur, jadi suaranya agak serak itu normal.

William terdiam sesaat.

Ellen khawatir ia tidak percaya, berkata, “Aku belum sarapan, lapar sekali. Paman kerja saja dulu, aku pergi makan dulu. Nanti kalau paman sudah tidak sibuk, kita telfonan lagi.”

Mungkin sekarang William benar-benar sedang sibuk, begitu mendengar Ellen mengatakan ini, ia terdiam sejenak lalu berkata, “Hm.”

“Bye.” Setelah Ellen mengatakannya, langsung mematikan telfon.

Ellen terduduk disisi ranjang sambil menggenggam ponsel, sudut matanya basah, termenung disana.

……

Ellen mengira dengan dia berkata demikian ia akan langsung percaya.

Namun tidak menyangka setelah mematikan telfonnya tidak sampai 40menit, Samir langsung datang.

Ketika Samir datang, tidak ada seorang pun di ruang tamu.

Hansen dan Jine masih berada dikamar belum keluar, Gerald sedang berada dikamarnya, Louis berada dikamar Vania, tidak keluar.

Para pelayan melihat Samir datang segera menjauh sejauh mungkin.

Mungkin karena tahu hubungan William dan Samir yang begitu dekat, dan Samir juga kelompoknya begitu mendukung Ellen, mengingat Ellen abru mengalami hal seperti itu, Samir langsung muncul, mungkin untuk menggantikan seseorang mengintrogasi, maka harus bersembunyi dan menjauh sejauh mungkin.

Begitu Saimir datang, ia langsung merasa ada yang aneh dengan suasana dirumah ini.

Setelah dibawah sesaat, tidak juga melihat ada yang turun, bahkan tidak ada pelayan yang naik untuk memberitahu Hansen dan yang lainnya.

Hatinya merasa semakin curiga.

Samir menyipitkan mata dan tidak lanjut menunggu dengan bodoh lagi, ia langsung naik ke lantai atas, berjalan kedepan kamar Ellen, lalu mengetuk pintu.

Disaat ini, Ellen sedang duduk di pinggir ranjang dan termenung, setelah suara ketukan pintu berlangsung cukup lama, Ellen baru mendengarnya.

Ia mengira Hansen yang mencarinya, takut Hansen melihat airmatanya yang memalukan ini, ia memejamkan mata untuk meredakan tangisnya sesaat baru membuka mata, ia bnagun dan berjalan kedepan cermin dan berkaca, melihat tidak ada yang aneh, berjalan menuju pintu.

Ketika ia mengulurkan tangan memegang pegangan pintu dan akan memutarnya.

Suara Lous yang penuh rasa kaget terdengar dari luar, “Samir…..”

Samir?

Samir….. Paman Samir……….

Tangan Ellen yang memegang gagang pintu seperti baru saja tersengat listrik, langsung ia tarik kembali.

Kenapa dia bisa datang?

Ellen menarik nafas, mengigit bibir bawahnya dengan cemas, berdiri dibalik pintu mendengar apa yang terjadi diluar.

……

“Bibi.”

Ketika mendengar suara Louis, Samir segera menoleh, melihat Louis dan Vania berdiri didepan pintu kamar Vania.

Ada tatapan terkejut dalam mata mereka ketika melihatnya.

Samir agak menyipitkan matanya dan tersenyum, “Bibi, aku tidak sedang menerobos rumah orang loh. Aku sudah datang sesaat, namun tidak ada yang keluar, aku pikir semuanya pergi.”

Ekspresi wajah Louis begitu kaku, menatap Samir dengan mata yang membelalak begitu besar, lalu berkata dengan waspada, “Kamu, kenapa bisa datang?”

“Bukankah aku sudah lama tidak datang, aku kangen dengan kalian, jadi sengaja mampir.” Samir memiringkan tubuhnya dan bersandar di pintu, berkata sambil tersenyum pada Louis.

Sudut matanya malah menangkap Vania yang berada disamping Louis, wajahnya begitu pucat, dan mundur perlahan ke belakang tubuh Louis.

Aneh sekali!

putri keempat Keluarga Dilsen yang biasanya begitu angkuh dan sombong tiba-tiba berubah?

senyum Samir semakin dalam.

Louis melirik ruang tamu di lantai bawah, melihat begitu banyak bingkisan diatas meja ruang tamu, matanya agak mengerut.

Apakah dia benar hanya mampir? Dan bukan karena tahu sesuatu?

Namun, biasanya tidak pernah melihatnya mampir seorang diri!

biasanya kalau bukan bersama William, ia datang karena mengantar Ellen, kalau tidak berarti datang bersama rombongan Sami dan lainnya……

Berpikir demikian, Louis mengkerutkan alisnya, berkata dengan tenang sambil menatap Samir, “Datang ya datang saja, untuk apa membawa begitu banyak barang? Keluarga sendiri untuk apa begitu sungkan.”

Samir hanya terkekeh, “Apa yang Bibi katakan benar, lain kali tidak akan dibawa lagi.”

Louis tersenyum dengan terpaksa, lalu melirik pintu kamar Ellen dibelakangnya, berkata, “Duduk dibawah yuk, aku akan menyuruh orang untuk membuatkan teh kesukaanmu.”

“Terima kasih Bibi.” Samir berkata dengan senang, “Aku lihat Ellen sebentar baru turun.”

“Takutnya Ellen masih tidur.” Louis segera berkata.

“…….” Samir menyipitkan mata, menatap wajah Louis yang begitu tegang, tersenyum, “Ok, kalau begitu aku akan menemuinya setelah dia bangun.”

“Hari ini hari minggu, jarang-jarang libur, rasanya Ellen tidak akan bangun sepagi itu. Bisa jadi bangun siang, langsung makan siang.” Louis berkata lagi.

“Tidak apa, toh aku memang berencana untuk makan siang disini.” Setelah terdiam sesaat, Smair berkata lagi pada Louis, “Bibi, aku makan siang disini, kamu tidak akan mngusirku bukan?”

Wajah Louis langsung menjadi kaku disana, lalu tersenyum dengan wajah yang masih kaku, “Bagaimana mungkin.”

Samir tersenyum padanya, melirik pintu kamar Ellen sekejap, lalu memasukkan kedua tangannya kedalam saku kantung celananya, berbalik lalu turun ke lantai bawah.

Louis melihat bayangan Samir sambil menopang dahinya dengan pusing.

“Ma.” Vania merangkul lengan Louis dengah kahwatir, “Kenapa Saimr bisa datanng tepat disaat seperti ini. Apakah Ellen mengadu pada Kakak ketiga sehingga kakak menyuruh Samir untuk datang melakukan ‘sidak’?”

Louis mengkerutkan alis, melirik kearah kamar Ellen, “Tidak mungkin laaaa.”

“Kenapa tidak mungkin? Ellen selalu tidak suka padaku, sekarang aku malah merobek wajahnya tanpa sengaja, bagaimana mungkin dia tidak melampiaskan amarahnya dengan cara ini dan menjelekkan aku didepan kakak?” Vania berkata dengan penuh kebencian.

“….. Ellen mana tidak suka padamu, jelas-jelas kamu yang terus mencari masalah dengannya.”

Jarang sekali Louis berkata dengan adil.

“Ma, kenapa kamu mendukung Ellen tapi tidak mendukungku? Aku mencari masalah dengannya? Jelas-jelas dia yang terus berebut kakak ketiga denganku, didepan kakak berpura-pura kasihan dan pengertian, membuat kakakku sama sekali tidak suka padaku sama sekali.” Vania berkata dengan kesal.

“Sudahlah.” Louis merasa pusing dengan sikapnya, memegang tangannya dan berkata dengan datar, “Kamu turun dulu, aku ke kamar untuk melihat Ellen.”

“Ma……”

Vania tidak berani percaya, dalam waktu satu malam sikap Louis padanya bisa berubah begitu banyak.

Dulu dia selalu menuruti apapun yang ia mau, apapun yang ia katakan tidak pernah dibantah, bahkan membantunya.

Namun sekarang, dirinya dihadapannya seolah salah semuanya, mengatakan apapun bisa membuatnya tidak senang.

Louis tidak lanjut mendengar apa yang Vania katakan, berbalik dan langsung berjalan menuju kamar Ellen.

Vania menatap bayangan tubuh ibunya, menghentakkan kakinya dengan keras, tidak mendengarkan ucapan Louis untuk turun, melainkan langsung masuk ke dalam ruang kerja ayahnya.

……

Mendengar suara langkah dibelakangnya, langkah Louis terhenti dan menoleh.

Melihat Vania berjalan masuk ke ruang kerja Gerald, Louis mengkerutkan alis, menggeleng dengan tidak berdaya.

Setelah melirik pintu kamar Ellen sesaat, Louis berjalan mendekat dan mengetuk pintu.

Ellen berdiri didepan pintu, semua yang dikatakan mereka diluar sudah ia dengar sepenuhnya.

Ia tahu Samir sudah turun, juga tahu yang berdiri didepan kamarnya adalah Louis.

Ellen sedikit ragu, namun tetap membukakan pintu.

Louis berjala masuk.

Ketika melihat Ellen yang berdiri didepan pintu dengan wajah yang tertutup perban, ada rasa iba yang begitu mendalam dihatinya.

Setelah menutup pintu, Louis mengangkat tangan untuk menggandeng ringan tangan Ellen, lalu membawanya menuju sofa yang berada didalam kamar.

Ellen melihat Louis dengan perasaan campur aduk.

Dia mendengar Vania berkata pada Louis kalau Samir bisa datang karena dia mengadu pada William.

Dia tidak mengadu.

Namun dia memang menelfon William, meskipun ia tidak membicarakan masalah ini, namun ia khawatir William curiga.

Jadi sangat mungkin Samir datang tiba-tiba karena disuruh oleh William.

Tujuan sudah pasti untuk memastikan keadaan disini, mengecek apakah dia baik-baik saja.

Louis menggandeng tangan Ellen untuk duduk di sofa, dan Ellen membiarkannya menggandeng tangannya.

“Nek……”

“Ellen, maaf.” Louis menatap Ellen, berkata dengan tulus, “Masalah ini adalah salah Vania, kamu hanya korban. Jadi apapun yang kamu lakukan aku bisa memahaminya.”

Jadi.

Dia sudah menganggap Ellen lah yang mengadu pada William tentang hal ini.

Ellen agak mengetatkan bibirnya, “Nek, aku tidak memberitahukan Paman Ketiga kalau aku terluka. Namun tadi aku memang ada menelfon Paman.”

Louis menatap Ellen, “Meskipun kamu berkata pada pamanmu juga tidak apa, bagaimana pun dia paling sayang padamu di keluarga ini. Terjadi hal seperti ini, kamu memberitahunya, aku juga bisa mengerti.”

“Aku tidak pernah berpikir untuk memberitahu paman tentang ini.” Ellen mengkerutkan alis, lalu berkata dengan lirih, “Aku baru menelfon paman karena aku hanya ingin mendengar suaranya saja.”

“Ellen…….”

“Nek, aku benar-benar tidak memberitahu paman, juga tidak pernah berpikir untuk memberitahu paman. Dan juga nenek tenang saja, sebelum paman Samir meninggalkan rumah utama, aku tidak akan keluar dari kamar ini dan membiarkan paman Samir melihat luka diwajahku. Nanti aku akan menelfon Paman ketiga, mencari akal untuk menghilangkan rasa curiganya. Bagaimanapun, aku tidak ingin mengganggu kerjanya hanya karena ini.”

Ellen sedikit mengkrutkan alisnya sambil berkata pada Louis dengan serius.

Novel Terkait

 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu