Hanya Kamu Hidupku - Bab 42 Dipukul Oleh William Dilsen!

Ellen mengkerutkan alis, dia duduk dengan malas dalam mobil selama dua menit, lalu turun dengan ogah-ogahan dari mobil, lalu berjalan dengan malas kearah lift khusus presdir yang terletak di basemen.

Lantai 65 gedung Dilson Group, ruang presdir.

Ellen menundukkan kepala berdiri di depan ruang kantor, kedua tangannya diletakkan dibelakang, ujung kakinya menggesek pelan lantai, setelah sesaat ia mengangkat tangan dan mendorong pintu yang berada dihadapannya.

“Nona Ellen?”

Ada suara seorang pria yang terdengar heran.

Ellen tercengang sesaat, lalu mengangkat kepala dan melihat.

Hawn berdiri disampingnya, entah sudah berapa lama ia berdiri disana, dia sama sekali tidak menyadarinya.

Ellen mengangkat kepala, Hawn baru melihat wajahnya dengan jelas, dan memastikan kalau itu Ellen.

Hawn melihat kearah pintu yang tertutup rapat, lalu melihat kearah Ellen dengan bingung, “Kenapa Nona Ellen tidak masuk?”

“Bukan tidak masuk.” Ellen berkata pelan.

“Kalau begitu………” Hawn melihat Ellen dengan aneh.

Sejak ia melihatnya berdiri didepan pintu sampai sekarang sudah beberapa menit berlalu.

Ini…… bukan tidak masuk?

Ellen Menatap Hawn, “Kamu ada urusan ingin menemui Paman Ketiga?”

“Hm, ada sedikit hal yang harus kulaporkan pada presdir.” Hawn berkata.

Ellen mengangguk, lalu menepi, “Kalau begitu kamu masuk saja.”

Hawn melihatnya, “Kamu tidak masuk?”

Ellen mengkerutkan alis, “Aku mau masuk, kamu masuk duluan.”

Hawn tersenyum, ia merasa hari ini Ellen agak aneh.

“Kalau begitu aku ketuk pintu ya?” Hawn berkata.

“….hm.” Ellen mengangguk pelan.

Hawn mengetuk pintu.

“Masuk.”

Ada suara berat dan serak milik pria yang terdengar dari dalam.

Tangan Ellen yang berada dibelakang saling menggenggam.

Hawn meliriknya, lalu mendorong kedua pintu kantor dan masuk………..

Ellen menarik nafas panjang diam-diam, ia masuk dengan tetap menunduk.

Hawn hanya tersenyum, melangkahkan kakinya kedalam kantor.

Pria tampan dengan wajah dingin sejak memeriksa dokumen perusahaan dengan begitu seriusm kedua matanya yang begitu tajam dan dalam fokus melihat kearah komputer diatas meja kerjanya, jarinya yang panjang mengetik diatas keyboard komputer dengan cepat dan sangat bertenaga.

Hawn melihat William tidak melihat kearahnya, menolehkan kepalanya melihat kearah Ellen yang berada dibelakangnya, “Pe…presdir, perwakilan dari Kanada yang diutus untuk membicarakan masalah kerja sama sudah tiba di Kota Tong, se…sekarang sudah diatur untuk tinggal di Hotel Dihuang untuk beristirahat, kapan anda akan menemui mereka?”

William tetap tidak mengangkat kepala, “Masih berdiri didepan pintu untuk apa? Jadi dewa penjaga pintu!”

Hawn, “…”

Ellen, “…”

Hawn menarik nafas, melihat kearah William dengan kagum, ini skill baru yang hanya dengan mencium aroma saja sudah bisa tahu siapa yang datang, tidak perlu mengangkat kepala untuk melihat?

Diam-diam Ellen mengkerutkan bibirnya, ia melepaskan tangannya yang ia genggam dibelakang tubuhnya, lalu melangkah masuk, duduk di sofa kantor.

“Siang kalau mereka mau istirahat di hotel biarkan mereka istrahat, kalau tidak utus orang untuk menemani mereka jalan-jalan, malamnya siapkan penyambutan di Dihuang dan bertemu langsung di acara penyambutan saja.” Ekspresi William datar, namun terlihat dingin, tidak terdengar ekspresi apapun dalam ucapannya.

“… baiklah.” Hawn menjawab.

Kedua bibir William yang tipis mengatup, tidak lagi bicara.

Hawn menunggu sebentar, menyadari kalau William tidak ingin berpesan apapun lagi, ia berbalik dan meninggalkan kantor.

Ketika keluar, ia menutup pintu dengan pelan.

Dan seiring dengan pintu yang tertutup, suara keyboard yang sedang diketik oleh William juga ikut terhenti.

Ellen tidak mendengar suara, perlahan mengangkat kepala, lalu melihat kearah pria yang duduk dibalik meja kerjanya.

Tepat ketika ia melihat kearahnya, mata pria yang sejak tadi fokus melihat kearah layar komputer sedang melihat kearahnya.

Kedua mata mereka bertemu.

Ellen hanya merasa kedua matanya seketika menjadi begitu dalam, seperti lautan dalam yang tidak terlihat dasarnya, entah tersembunyi berapa banyak ombak didalamnya.

Tanpa sadar ibu jari Ellen menekan jari lainnya, hatinya seketika menjadi panik dan bingung, lalu menghindari tatapan ini dengan cepat.

William merasa Ellen aneh, tatapannya seketika menjadi dingin.

Dia tidak bicara, bahunya yang lebar bersandar pada kursi dibelakangnya, kedua tangannya yang besar ia letakkan di atas meja, jari tangan kanannya mengetuk permukaan meja, namun tetap tidak bersuara.

Ellen menundukkan kepalanya, namun ia tetap bisa merasakan tatapan tajam yang diarahkan Willam kearahnya.

Membuat hatinya seperti dirayapi oleh ratusan bahkan ribuan ekor semmut.

Hati Ellen sangat panik, membuatnya kebingungan di tatap seperti itu, dia kembali mengangkat kepalanya, melirik William yang memelototinya dengan mata besarnya, lalu berkata, “Aku belum makan siang dengan kenyang!”

Jujur saja, cara Ellen menutupi rasa paniknya ini memang agak memalukan.

Alis William perlahan melunak, setelah menatap Ellen beberapa detik, ia mengangkat telepon kantor, lalu menelepon le line Hawn, “Beli makanan sesuai apa yang Ellen suka.”

Setelah mengatakannya, tanpa menunggu Hawn menjawab, langsung menutup teleponnya.

Wajah Ellen langsung menjadi merah, ada rasa canggung yang terpancar dari kedua matanya.

William menatapnya, matanya agak menyipit, berjalan dari meja kerjanya, lalu menuju kearah Ellen.

Jantung Ellen berdegup begitu kencang, nafasnya juga jadi begitu cepat.

William berjalan mendekat, lalu menundukkan tubuh, kedua tangannya yang begitu bertenaga menopang di kedua sisi sofa yang diduduki Ellen, mengurung Ellen diantara sofa dan dadanya.

Nafasnya yang panas bagai hujan yang membasahinya, tubuh Ellen tidak hentinya mundur kebelakang, wajah kecilnya bergetar tanpa tahu apa yang harus dilakukan, matanya yang besar membelalak besar melihat wajah tampan William yang semakin mendekat.

“Tidak kenyang marah padaku, atau menyalahkanku mengganggu makan siangmu dengannya?” suara William terdengar begitu tajam dan menusuk, giginya yang menggertak terlihat seperti akan menelannya.

Karena takut, kepala Ellen seketika buntu, menahan rasa bingung siapa yang dia maksud dengan ‘dia’.

“Paman Ketiga, kamu jangan…jangan begini…….” Tangan lembutnya yang lemah mendorong William sambil berkata dengan suara yang bergetar.

“Jangan bagaimana? Jangan menyentuhmu, atau jangan mempedulikanmu makan dengan siapa, jalan-jalan dengan siapa? Atau, jangan mencintaimu… ” William berkata dengan suara yang serak.

Ketika ia mengatakan Ellen makan dengan siapa, jalan-jalan dengan siapa, ada kebencian yang terlihat sekilas diwajahnya.

Dan yang membuat Ellen fokus adalah ucapannya yang terakhir.

Jangan mencintaimu….

Ellen membelalakkan mata, jantungnya sungguh berdegup begitu kencang, namun seperti ada sutra yang lembut memenuhi relung hatinya, “Paman Ketiga…”

Ellen baru saja menggumammkan nama Paman ketiga, bibirnya yang hangat sudah mendarat diatas bibirnya yang kecil.

Ellen menarik nafas, menenangkan diri mengulurkan tangan mendorongnya, namun tangannya yang besar mengangkat tangannya dengan lembut dan meletakkannya diatas sofa.

Tubuh mereka berdua begitu dekat, Ellen bisa merasakan setiap gerakan nafas di dadanya.

Semua yang dihidrup oleh Ellen adalah aroma maskulin pria ini, kepalanya terasa pusing.

Dia tidak tahu apakah karena kekurangan oksigen atau ini hanya….. diciumnya.

Begitu selesai berciuman.

Pipi Ellen memerah, ada keringat kecil yang membasahi keningnya, rambutnya yang panjang dan lebat menempel di kedua pipinya.

William sama sekali tidak meninggalkan tubuhnya, malah semakin mendekat.

Ellen gemetaran, kedua matanya yang lemas menatap wajah tampan yang mendekatinya dengan ketakutan.

“Ellen, jauhi pria lain, atau, aku akan menggila. Kamu pasti, tidak ingin melihatku menggila. Karena akibatnya, jauh dari yang kamu bisa tahan.” Mata William menatap tajam kearah mata Ellen yang bergetar, dalam suaranya yang serak ada kelembutan yang tersembunyi, namun setiap katanya, penuh dengan keseriusan!

Air mata yang tersangkut disudut matanya, akhirnya mengalir turun.

Ada isakan yang terdengar dari arahnya, matanya yang merah menatap William dengan sedih.

William mengkerutkan alis, melepaskan kedua tangannya, kedua tangannya memegang pinggangnya yang kecil dan menggendongnya dari sofa, ia berbalik dan duduk di sofa, lalu memangku Ellen di pahanya.

air mata Ellen mengalir tidak berhenti.

Ada perasaan sedih, ada perasaan takut, juga ada perasaan bingung.

Langkah William yang terus mendesaknya, sikapnya yang arogan, membuatnya merasa begitu tertekan, hingga ciumannya yang tidak boleh dibantah itu, membuat emosional Ellen semakin kuat.

Alis tebal William mengangkat, mengangkat tangannya yang besar dan mengusap air matanya, kedua bibirnya yang merona hanya tertutup dan terdiam.

William tahu sejak ia mengetahui perasaannya, membuatnya menjadi semakin berani mendekati Ellen dengan cepat.

Namun ia tidak sanggup mengendalikannya.

Menahan perasaan terlalu lama, terlalu lama disembunyikan, begitu ada celah untuk dilampiaskan, rasanya seperti langsung kehilangan kendali.

Sehingga meskipun butuh waktu untuk membiarkannya menerimanya, jelas-jelas dirinya yang mendekat bisa membuatnya takut, namun dia sungguh tidak mampu mengendalikannya lagi.

……

30 menit berlalu, ketika Hawn membawa satu plastik besar makanan take away, ia melihat Ellen tertidur diatas sofa berselimutkan jaket bulu domba.

“Presdir, ini….” Hawn menunjuk kantong plastik berisi makanan dengan bingung.

William yang duduk dibalik meja kerja meliriknya, lalu berkata dengan datar, “Taruh saja dimeja.”

Hawn mengangguk, berjalan ke meja panjang di depan sofa, lalu meletakkan kantung itu.

Ketika akan pergi, ia melihat mata Ellen yang bengkak dan bulir air mata yang masih menggantung di bulu matanya sekilas, alis Hawn agak berkedut, ini, habis menangis?

Hawn merasa aneh sehingga melihatnya dengan jelas.

Begitu melihat dengan jelas makin kacau, ia bukan hanya melihat mata Ellen yang bengkak, bibirnya juga merah dan bengkak sekali.

Jantung Hawn seketika berkedut, gawat, ini dicium sampai bengkak, atau dipukul?

Dia ingat ketika ia datang kondisinya tidak begini.

Diam-diam Hawn menelan ludah, matanya melihat kearah William yang duduk dibalik meja kerja.

Biasanya Tuan presdirnya terlihat begitu kalem, namun begitu ia turun tangan terlalu menakutkan.

Sampai memukul mulut gadis kecil ini hingga bengkak seperti itu, sadis sekali!

Meskipun Hawn bisa merasakan kalau bibir Ellen mungkin bengkak karena dicium, namun melihat wajah William yang begitu tegas, tiba-tiba kata tidak mungkin langsung muncul dalam kepalanya.

Bagaimana pun di mata Hawn, hubungan William dan Ellen hanya hubungan antara paman dan keponakan.

Pamannya melumat bibir keponakannya sampai bengkak, ini bukan lelucon loh!

Jadi pasti tidak mungkin!

Jadi satu-satunya alasan bibir Ellen begitu bengkak adalah dipukul oleh William!

Hawn menatap William dengan tatapan agak rumit.

Novel Terkait

Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
My Cute Wife

My Cute Wife

Dessy
Percintaan
4 tahun yang lalu
1001Malam bersama pramugari cantik

1001Malam bersama pramugari cantik

andrian wijaya
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu