Hanya Kamu Hidupku - Bab 34 Sangat sakit

Ellen terkejut, lalu mendengar suara pria yang begitu renyah dan merdu dari dalam ponselnya, "Ellen......."

Ellen melihat layar ponselnya sejenak, nomor telepon yang muncul adalah nomor asing, namun tadi mendengarnya memanggil namanya, seharusnya kenal.

Ia kembali menempelkan ponsel di telinganya, Ellen berkata, "Kamu siapa?"

"Ellen, apa kamu baik-baik saja? Kenapa akhir-akhir ini tidak datang ke sekolah? Tidak ada kejadian apa-apa bukan?"

"..........." Ellen agak tercengang, "Kamu siapa? Kamu kenal aku? Bagaimana kamu bisa punya nomor ponselku?"

Ellen menjawab dengan pertanyaan yang sama banyaknya.

"Uhuk.. Uhuk" terdengar suara batuk dari seberang sana, "Maaf, aku terlalu panik."

Setelahnya Ellen mendengar suara dia menarik nafas.

Lalu dia berkata, "Aku adalah Bintang Hamid."

Eeh...

Bolehkah Ellen mengatakan kalau dia tidak mengenali suara Bintang?

Dia menggigit bibir bawahnya dan berkata, "Ada apa kamu mencariku?"

"......Tidak apa apa. Hanya ingin tanya kenapa akhir-akhir ini kamu tidak datang ke sekolah." Suara Bintang terdengar penuh kecemasan dan kelembutan, "Apakah kamu sakit?"

"Aku melakukan sedikit operasi." mungkin perhatiannya membuatnya kehabisan kata-kata, Ellen segera menambahkan, "Operasi usus buntu saja. Namun sekarang sudah jauh lebih baik."

Tiba-tiba tidak ada suara dari Bintang.

Ellen melirik ponsel karena penasaran, melihat telepon masih dalam posisi tersambung, sama sekali tidak terputus, ia lalu menempelkan ponsel ke telinganya lagi, lalu terdengar suara Bintang yang jernih dan lembut dari balik ponsel, "Seharusnya sangat sakit ya kan."

Ellen agak menarik nafas, "Sebenarnya biasa saja, tidak begitu sakit. Oh iya, bagaimana kamu bisa tahu nomor handphoneku?"

Ellen mengganti topik.

"........Aku, aku meminta pada temanmu." Bintang terlihat tergagap, mungkin dia merasa seperti ini tidak baik karena seperti mengkhianati Pani.

Ellen paham, "Hm."

"Ellen, kamu jangan menyalahkannya, aku yang terus memohon padanya, dia baru memberikan nomormu karena dia sungguh sudah tidak tahan denganku." ada sedikit nada panik dalam nada bicaranya.

"Untuk apa aku menyalahkannya." Ellen tertawa.

Bintang menghela nafas, "Baguslah kalau begitu."

"Itu, Bintang, maaf, aku masih ada sedikit urusan........." ada nada tidak enak hati dalam ucapan Ellen.

".... Kalau begitu kamu urus saja urusanmu dulu. kamu pulihkan dirimu dulu saja." Bintang berkata.

"Um, terima kasih." setelah Ellen mengatakannya, ia bersiap mematikan telepon.

"Ellen....."

Ujung jari Ellen agak terhenti, kembali meletakkan ponsel ditelinganya, "Apa?"

"Aku boleh pergi menengokmu tidak?" Bintang bertanya dengan hati-hati, karena terlalu tegang sehingga suaranya terdengar agak serak.

Tangan Ellen hanya menggenggam ponsel dengan erat, ia menggigit erat bibirnya, sama sekali tidak bisa mengatakan apapun.

"Tidak enak ya?" suara Bintang yang terdengar agak kecewa.

"...... Bintang, terima kasih." setelah mengatakannya, Ellen langsung menutup teleponnya.

Berbaring di kursi panjang, Ellen memandangi awan putih dilangit, perlahan menghela nafas.

Dia mengambil soal latihan disampingnya, namun sekarang dia sudah tidak punya suasana hati untuk menjawab soal-soal itu.

……

Siangnya, William sengaja dari kantor pulang kerumah untuk menyiapkan makan siang untuk Ellen.

Coat abu berbulu domba yang dikenakannya membuatnya terlihat begitu menawan.

Darmi sedang membawakan makan siang dan meletakkannya di meja makan dalam ruang makan, mendengar suara dari ruang tamu, ia melangkah keluar dari ruang makan dengan cepat, ia melihat Willian yang sedang membuka coat bulunya sambil menuju lantai dua.

"Tuan, Anda mencari nona?" Darmi bertanya.

William bahkan tidak menoleh dan menjawab, "Em."

"Nona tidak ada di lantai atas."

"...." langkah William langsung terhenti, lalu melirik Darmi dengan tatapan yang agak dingin.

Darma menunjuk kearah taman, berkata, "Nona ada ditaman, dia sedang belajar disana."

Belajar?

William agak mengangkat alis, rajin sekali?

Sudut bibir William sedikit bergerak keatas, lalu berbalik menuju ke taman.

Darmi melihat tubuh William yang tinggi gagah lewat didepannya, "Tuan muda, makan siang sudah siap, sekalian panggil nona untuk masuk dan makan."

"Em."

……

Ellen yang berbarig di kursi panjang taman tanpa sadar tertidur, tiba-tiba ada rasa geli diwajahnya, alisnya yang cantik seketika mengkerut, kedua belah alisnya yang lentik agak bergetar, ia membuka mata perlahan.

Baru bangun tidur, tatapan mata Ellen masih tidak jelas.

Hanya merasa seperti ada wajah yang muncul dihadapannya.

lalu ujung hidungnya seperti terjepit oleh 'capit'.

Ellen seketika tidak bisa menarik nafas, hanya bisa membuka mulutnya untuk mencari oksigen, lalu menghela dengan pelan.

Matanya semakin lama semakin jelas, kesadarannya sudah kembali jelas.

Akhirnya Ellen bisa melihat dengan jelas wajah tampan di hadapannya.

Bola matanya langsung melebar, Ellen terkejut sampai langsung terduduk.

Karena gerakannya terlalu tiba-tiba, membuat luka di perut kanannya tertarik, tubuhnya perlahan meringkuk, tangannya memegang bagian yang sakit sambil berdesis.

"Sakit sekali..." sakit itu membuat wajah Ellen hampir mengkerut jadi satu.

Tiba-tiba ada sepasang tangan yang besar menggendongnya.

Karena Ellen sudah kesakitan sekali, dia juga tidak memberontak, ia membiarkan orang itu menggendongnya masuk ke dalam villa.

Darmi berdiri didepan pintu villa menunggu Ellen dan William kembali untuk makan siang.

Namun ia tidak menyangka kalau Ellen akan kembali dengan digendong oleh William.

Dan wajah William terlihat begitu tegang dan tegas, kedua bibir tipisnya mengetat, tatapan matanya yang dingin hampir membekukan semua yang terlihat olehnya.

Dan Ellen yang digendong olehnya, wajah kecilnya terlihat pucat, tangannya terus memegangi perutnya, bahkan nafas saja tidak berani terlalu kencang.

Darmi dalam hati berseru gawat.

Dirinya juga tidak berani maju, hanya diam-diam menyingkir ke samping.

Melihat William menggendong Ellen berlalu didepannya dengan dingin, melewati teras dan ruang tamu, lalu naik ke lantai dua.

……

Kamar tidur utama, yang juga kamar tidur William.

Ellen diletakkannya dengan agak kasar diatas ranjang, wajahnya dingin, tanpa mengatakan apapun ia mengangkat jaket bulu Ellen dan pakaiannya sampai perut.

Tangannya yang besar menekan kulitnya yang putih dan lembut.

Wajah dan telinga Ellen memerah, kedua tangannya menggenggam erat baju didadanya, takut ia mengangkat bajunya lebih tinggi lagi.

William jongkok di samping ranjang, matanya melihat kearah perban diperutnya, ia membuka satu sudutan perban untuk mengecek luka didalamnya.

Disekitar luka terlihat agak memerah karena mengalami sedikit infeksi, Disekitar luka yang dijahit selain warna merah karena infeksi, sama sekali tidak ada kejanggalan lainnya.

William mengetatkan bibirnya, lalu menurunkan jaket bulunya.

Dia berdiri dan duduk disamping Ellen, William menunduk dan melihat wajahnya yang menahan nafas.

Ellen merapikan ujung pakaiannya, ia membelalakkan matanya yang bulat dan hitam menatap William.

"Aku mirip hantu ya?" tiba-tiba William berkata.

"......" senyum Ellen mengembang, mana mungkin ada hantu yang begitu tampan.......

William menatap Ellen dengan tegas, "Kelihatannya kamu tidak ingin lukamu sembuh."

Ellen memilih diam, karena diam adalah emas.

"Bangun, kita turun makan." William berkata dengan dingin, lalu berjalan keluar sambil mengkerutkan alis, lalu meninggalkan Ellen begitu saja.

Ellen melihat bayangan tubuhnya yang pergi menjauh, ada berapa besar rasa kesal dalam hatinya, mungkin dia sendiri pun tidak akan menyadarinya.

……

Setelah satu minggu perawatan, akhirnya Ellen sudah boleh melepas benang.

Setelah membuka jahitan, Ellen melihat bekas luka panjang yang berada di perut kanannya, ia terlihat sangat sedih.

Mungkin kelak dia sudah tidak berjodoh dengan baju high waist lagi!

Sebenarnya, mengenai bekas luka di perutnya, selain karena tidak bisa mengenakan pakaian yang menunjukkan perutnya yang rata dan indah, Ellen sama sekali tidak peduli.

Namun Ellen menyadari, hal yang dia sendiri saja tidak peduli, ternyata paman ketiganya malah peduli.

Dia sengaja mencari ahli kecantikan untuk membantunya menghilangkan bekas jahitan itu.

Meskipun Ellen tidak mempermasalahkan, namun memiliki harapan lebih baik daripada tidak, sehingga dia mengikuti apa yang diatur oleh paman ketiganya.

Hari ini, gadis yang kehilangan sekolahnya, akhirnya bisa kembali ke sekolah menikmati masa mudanya di SMA kembali.

Jadi dia pagi-pagi sekali sudah bangun, setelah bersiap-siap sesaat, dia bersenandung ringan sambil membawa tas yang sudah ia rapihkan semalam keluar dari kamar.

Entah karena faktor usia atau bukan, William selalu bangun lebih awal.

Ellen melihat William yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca majalah keuangan, ia menyapanya dengan suasana hati yang baik, "Selamat pagi Paman ketiga."

Tatapan William yang dingin terlihat agak terkejut, mengalihkan pandangannya dari majalahnya, lalu melihat ke arah Ellen yang sedang turun dari atas tangga dengan baju seragam, senyum tipis melengkung dibibirnya, "Pagi."

Ellen turun, lalu meletakkan tasnya di sofa, melangkah dengan santai kearah dapur, "Bibi Darmi, berapa lama lagi sarapannya baru jadi?"

"Sudah jadi, segera disajikan." Darmi menaikkan volumenya dari dalam dapur.

"Aku bantu." Ellen langsung masuk ke dapur.

Ia keluar membawa bakpao yang putih dari dapur.

William melihat Ellen yang tinggi semampai keluar dari dapur membawa sarapan, ada tatapan lembuh penuh kasih yang muncul sekilas dalam sorot matanya.

……

SMA Weiran.

Ellen yang sudah menghilang selama setengah bulan lebih akhirnya muncul di kelas, membuat semua teman sekelasnya begitu perhatian padanya, bahkan ada beberapa teman yang karena penasaran Ellen menghilang kemana selama setengah bulan lebih sehingga mengelilinginya.

"Ellen, kamu kemana saja selama setengah bulan ini? Kenapa tidak datang untuk sekolah?"

"Pergi jalan-jalan ya?"

"Tugas kelas 3 begitu banyak, kamu masih sempat pergi liburan, kamu tidak takut ketinggalan pelajaran?"

"Apa yang perlu ditakutkan, nasib Ellen baik, tidak sama dengan kita, selain belajar keras sudah tidak ada jalan keluar lainnya lagi, kita tidak seperti Ellen yang memiliki backingan."

"Benar juga. meskipun Ellen tidak sekolah setiap harinya, ia juga tidak perlu pusing memikirkan masa depannya. Toh Paman ketiganya akan mengatur semua untuknya."

"Ellen, aku sungguh iri padamu!"

"Iya, kadang aku berpikir, kalau saja aku juga diadopsi oleh keluarga yang begitu kaya raya, asalkan aku menurut, maka aku tidak perlu memikirkan kehidupanku juga tidak perlu memikirkan masa depanku akan bagaimana."

"Sudah, sudah, sebaiknya kita lanjut belajar, jangan bermimpi disiang bolong lagi. Siapa yang suruh nasib kita tidak sebaik Ellen."

"........."

Orang yang mengelilinginya mulai membubarkan diri.

Kedua tangannya menggenggam erat tali tasnya, bulu matanya yang panjang agak menunduk, cukup lama tidak bergerak.

Kalau diadopsi oleh keluarga kaya raya harus mengorbankan kasih sayang orang tua yang paling menyayanginya, nasib baik yang seperti ini, apakah masih ada yang ingin berebut?

Novel Terkait

Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu