Hanya Kamu Hidupku - Bab 234 Jangan Terlalu Merindukanku

William duduk di kursi pengemudi, tangannya menyetir mobil, dan mata gelapnya menatap Ellen dan dua anak kecil di kursi belakang dari kaca spion. Dia merasakan perasaan penuh yang tidak bisa di ungkapkan.

Untuk sarapan, Nurima meminta para pelayan menyiapkan dua roti berbentuk tupai, telur, sekotak buah, dan segelas susu untuk Tino dan Nino .

Kedua anak kecil itu memiliki selera makan yang baik dan mereka hampir makan seperti itu untuk sarapan setiap pagi.

Tapi hari ini Tino hanya makan sebuah roti tupai kecil dan sedikit buah, dan dia bahkan menyisakan setengah dari susunya.

Ellen sedikit khawatir, "Sayang, apakah kamu tidak enak badan?"

Tino menggelengkan kepalanya, mengulurkan jarinya yang gemuk, dan menunjuk ke telur yang tersisa dan berkata, "Paman belum makan, ini buat paman."

Ellen membeku, menatap Tino.

William yang duduk di kursi pengemudi, mempererat tangannya yang menyetir, dan mata gelapnya bersinar dengan cahaya merah. Dia memandang Tino dari kaca spion, menggerakkan tenggorokannya dan berkata, "Setelah mengantarmu dan adikmu ke taman kanak-kanak, paman akan pergi sarapan. Jadi, Kamu bisa makan ini. "

William tidak tahu bagaimana mengatakan kata-kata hangat. Baru saja menjadi seorang ayah, dia sedang berusaha beradaptasi.

Tino memandang kepala William dengan mata hitamnya yang besar, dan berkata, "Paman, aku tidak membuatnya kotor. Susu juga dituangkan oleh mama dalam cangkir kecil, tanpa air liur."

"... Paman tidak keberatan. Hanya saja Paman berharap kamu bisa pergi ke sekolah dengan kenyang." William menarik napas, menekan dadanya yang dipenuhi dengan kehangatan.

“Aku kenyang,” kata Tino dengan keras kepala untuk berbagi setengah dari sarapannya kepada William.

William memandangi wajah kecil Tino yang gigih dari kaca spion, dengan mata yang merah dia tidak dapat mengatakan kata-kata yang menolaknya.

Nino memutar mata hitamnya, menatap William, dan memandang Tino, menggerakkan mulutnya, dan menyerahkan kotak buah yang sudah di makan setengah olehnya dan berkata, "Kakak, aku tidak bisa makan lagi, tolong bantu aku makanlah. "

Tino memegangi dadanya, "Aku tidak mau, aku kenyang."

"Walaupun kamu kenyang, kamu juga harus membantuku makan. Kalau tidak aku akan menyia-nyiakan makanan, dan Agnes akan mengomelku lagi." Nino berkata sambil memandang Ellen.

Ellen menarik napas, tersenyum, menyentuh Tino, dan berkata, "Sayang, bisakah kamu membantu adikmu untuk makan sedikit?"

Tino mengerutkan kening, berpikir sebentar, dan menoleh ke arah Nino, "Kalau begitu aku makan setengah, kamu makan setengah."

Nino memutar matanya, "Terserah."

Tino menjilat mulut kecilnya, kemudian mengambil kotak buah yang diserahkan oleh Nino, mulai makan.

William memandang mereka dari kaca spion, matanya memerah, jantung kirinya terasa lembut.

...

Dari vila ke taman kanak-kanak tempat Tino dan Nino belajar, kecepatan normal adalah sekitar setengah jam, tetapi William membutuhkan empat puluh menit untuk mencapai tujuan.

Meskipun dengan kecepatan seperti itu, Ellen akan terlambat dari taman kanak-kanak ke kantor Magazine dia bekerja, tetapi Ellen tidak mengatakan apa-apa.

Dia berpikir dia bisa mengerti suasana hati William sekarang.

Taman kanak-kanak yang dihadiri oleh Tino dan Nino adalah sekolah yang terkenal di kota. Masalah keamanan anak-anak tidak perlu diragukan. Selama anak-anak berada di sekolah, tidak perlu khawatir tentang keselamatan mereka kecuali pertengkaran mereka sendiri.

Sebelum memasuki taman kanak-kanak, Ellen diam-diam memasukkan sarapannya ke tas sekolah kecil Tino.

Berjalan ke gerbang TK.

Ellen menyerahkan tas sekolah ke tangan mereka masing-masing.

Ketika Tino mengambil tas sekolah, matanya yang jernih terpaku. Dia menyipitkan mulut dan memandang Ellen. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengulurkan lengannya yang gemuk dan memeluk paha Ellen.

Ellen menyentuh kepala kecilnya dengan lembut.

“Ayo pergi.” Nino mengguncang tas sekolahnya ke belakang dan menggantungnya di pundaknya dengan anggun.

Tino melepaskan kaki Ellen dan melototi Nino.

Nino mengejeknya dengan membuat muka jelek.

Tino membalikkan tubuh gemuknya menatap William yang berdiri di belakang Ellen dengan wajah kecilnya berkata"Paman, akankah kita bertemu lagi?"

William tersenyum, melangkah maju, membungkuk sedikit, memegang lengan Tino dan mengangkatnya dengan mudah, menggendongnya dan menatapnya dengan mata hitam yang cerah, "Kapan pulang sekolah? "

Mata Tino melebar dan dia langsung berkata, "Apakah kamu akan datang menjemput kami?"

William menatap wajah putihnya, bibir tipisnya tiba-tiba bergerak maju, dan mencium ringan di pipinya.

Tino, "..." Wajah gemuknya bergetar, dan kemudian menjadi merah, dan dia menatap William dengan malu-malu .

Nino melihatnya, matanya yang besar berkedip dua kali dengan cepat, dia bersenandung dan memutar kepalanya ke samping.

"Paman, kami pulang sekolah jam lima sore." Tino mengatakan dengan penuh kegembiraan, "Bisakah kamu?"

“Tentu saja,” William menjawab langsung.

Wajah Tino menjadi cerah dan tangannya yang gemuk menyentuh wajah William, "Aku dan adikku akan menunggumu."

“Oke.” William mengangguk, menyentuh alis Tino sangat ringan dua kali, dan mundur ketika dia menyentuhnya sedikit.

Kemudian, dia melepaskan Tino.

"Agnes, jangan terlalu merindukanku, mua ~"

Nino mengangkat mulut kecilnya dan mencium tangannya yang gemuk. Dia melemparkan ciuman itu ke Ellen, meraih tali tas sekolah di bahunya, dan berjalan menuju gerbang TK tanpa melihat William.

Bocah kecil.

Ellen mengerutkan kening, dan menatapnya dengan manis.

“Ma, paman, selamat tinggal.” Melihat Nino berjalan pergi, Tinomelambaikan tangan kecilnya kepada Ellen dan William kemudian berjalan masuk.

"Kakak, jaga adikmu," kata Ellen sambil tersenyum melihat punggung Tino.

Tino tidak melihat ke belakang, hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan 'oke' kepada Ellen.

Nino tersenyum, berbalik, dan melambaikan tangannya ke Ellen dari jauh.

Ellen tertawa.

William hanya memandang mereka berjalan ke taman kanak-kanak. Perasaan di hatinya hanya bisa digambarkan dengan kata yang indah.

Sampai tidak bisa melihat dua sosok kecil itu, Ellen menggerakkan matanya, tersenyum, berbalik, dan bergerak maju dengan cepat.

William melirik gerakannya, dan melihat ke taman kanak-kanak terakhir kali. Berbalik, dan menatap Ellen yang berjalan ringan seperti kupu-kupu menuju ke mobil.

Dia berbisik dan melangkah maju.

Begitu Ellen masuk ke mobil, melalui jendela dia melihat seseorang datang ke sini, dia terkejut, dan menunduk kepalanya.

Tiga atau empat detik.

Pintu di buka dari luar, dan suara dingin lelaki itu muncul dari atas kepalanya, "Keluar!"

Ellen menarik napas, tidak mengatakan apa-apa, pindah ke sisi lain, membuka pintu dan keluar.

Kenapa tidak turun dari sini?

Karena seorang paman memblokir pintu, dan dia tidak berani menyuruhnya memberi jalan.

Setelah Ellen keluar dari mobil, dia memunggungi pamannya.

William mengerutkan kening dan membanting pintu mobil.

Melangkah dua kaki panjangnya ke bagian depan mobil, duduk di kursi pengemudi.

Satu detik setelah membanting pintu kursi pengemudi, sebuah teguran datang dari dalam mobil, "Apakah kamu ingin aku membantumu naik?"

Ellen menggertakkan giginya, mengulurkan tangannya dan berpura-pura merapikan rambutnya beberapa kali, lalu berjalan cepat dari belakang mobil menuju ke kursi penumpang depan, menarik pintu, masuk dan duduk. Kemudian dia memasang sabuk pengamannya, dan pindah ke jendela mobil, mencoba untuk mengurangi rasa kehadiran.

William menatapnya dari kaca spion, mengambil napas, meregangkan bibirnya yang tipis, dan mulai menyetir.

Mobil melaju ke depan selama sekitar lima menit. Ellen melirik keluar dari mobil dan menemukan bahwa itu bukan jalan menuju ke kantor Magazine ...

Ellen menutupi bibirnya, dan bulu matanya yang panjang terus berkedip.

Butuh beberapa saat untuk mempersiapkan diri, kemudian dia menoleh dan melirik ke sisi seseorang, dan berkata dengan lemah, "Aku, aku mau ke kantor Magazine W. Apakah kamu tahu Magazine W? Tidak masalah jika kamu tidak tahu, kamu bisa buka navigasi... "

Sebelum Ellen selesai berbicara, mobil melaju kencang.

Karena jendelanya terbuka sedikit, ketika mobil melaju kencang, angin yang berhembus kencang masuk ke jendela.

Ellen merasa alisnya akan terbang!

Dengan panik, dia memegang kursi dengan satu tangan dan dengan cepat menutup jendela dengan tangan lainnya.

Ketika dia akhirnya berhasil menutup jendela, kecepatan mobil ... turun.

Ellen,"..." merasa tidak enak.

Ellen terengah-engah, mengangkat tangannya dan merapikan rambut panjangnya yang berantakan, menggigit bibirnya, dan merajuk!

Seseorang semakin kasar sekarang!

Keterlaluan!

William memandangnya dari kaca spion, dan mata hitamnya yang dalam melontarkan penyesalan.

Begitu dia melihat kepanikan Ellen, dia menyesalinya!

Mengencangkan bibirnya yang tipis, dia mengedipkan matanya, dan tidak mengatakan apa-apa.

...

Mobil Audi berhenti di depan Grand Palace Hotel.

Ellen membeku dan menatap William dengan bingung.

William menatapnya dari kaca spion, melepaskan sabuk pengamannya, mendorong pintu dan keluar dari mobil.

Ellen menghela napas.

William berjalan mengitari kepala mobil ke sampingnya, menarik pintu mobil, menurunkan kepalanya untuk membuka sabuk pengamannya, memegang tangan Ellen dengan tangannya yang besar, dan membawanya keluar dari mobil dengan paksa.

"Paman ketiga ..."

Ellen terkejut.

William menariknya turun dari mobil, membawanya ke belakang mobil, membuka pintu, dan mengambil kotak sarapan yang telah ditinggalkan Tino untuknya.

Melihat ini Ellen sedikit terpaku.

Setelah sadar, William telah menariknya ke hotel.

Kakinya panjang dan dia berjalan sangat cepat.

Ellen harus berlari untuk mengikuti.

Setelah tiba di lift, dia berhenti dan Ellen baru bisa berhenti.

Melihatnya menekan lantai di lift, Ellen terengah-engah dan menatapnya dengan gelisah.

William tidak memandangnya, hanya mengangguk, menatap kotak sarapan di tangannya.

Bulu matanya yang panjang dan gelap menutupi matanya sehingga Ellen tidak bisa melihat emosi di matanya.

Melihatnya seperti gini, hati Ellen yang sedikit berantakan, merasa nyaman dan tenang.

Lift mendarat, mata William bergerak menjauh dari kotak sarapan, memiringkan kepalanya dan menatap Ellen.

Ellen berkedip mata, "Paman ketiga ..."

William mengerutkan kening, bersenandung, dan tidak menunggu Ellen berbicara, menggigit bibirnya, menyeret Ellen keluar dari lift, dan berjalan menuju suite presdir.

"..."

Novel Terkait

Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Love at First Sight

Love at First Sight

Laura Vanessa
Percintaan
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu