Hanya Kamu Hidupku - Bab 226 Sangat Rindu Padamu

Pukul delapan empat puluh menit, mobil Ellen tiba di Junli.

Begitu Ellen keluar dari mobil, melihat seseorang datang dan mengambil kunci mobil dari tangannya, menyerahkan pada pria yang berdiri di sebelah yang bertanggung jawab untuk memarkirkan mobil, lalu menarik tangannya dan bergegas masuk ke hotel.

Ellen tertegun, melihat orang yang menariknya, dia tidak menahan diri dan mengerutkan kening, “Paman Samir......”

“Kakak kelima.”

Samir bergegas ke depan, dan tidak lupa memutar kepala mengingatkan Ellen.

Ellen bingung, “Apa yang kamu lakukan?”

“Menjemputmu.” Samir menarik Ellen masuk ke dalam lift dan segera menekan tombol lift, setelah pintu lift tertutup, dia baru melepaskan tangan Ellen dan tersenyum melihat Ellen yang pipinya memerah karena berlari sepanjang jalan dengannya.

Ellen tidak berkata.

Emangnya dia bertanya tentang ini? Dia bertanya mengapa dia begitu terburu-buru?

Dalam sepuluh detik, lift tiba di lantai yang ditentukan, dan Samir mengulurkan tangan ingin menggandeng Ellen, tetapi kali ini Ellen menghindarinya.

Samir segera menunjukkan ekspresi sedih dan menatap Ellen.

Ellen keringatan, dia keluar lift.

Samir mencibir dan mengikutinya.

Membawa Ellen berjalan ke luar pintu kamar presidential suite, pintu kamar tidak tertutup rapat.

Begitu Samir mengulurkan tangan akan mendorong pintu, Ellen langsung menarik ujung bajunya.

Samir tertegun, dan menatapnya dengan curiga, “Kenapa?”

Ketika Ellen melihat mata Samir yang bingung, dia merasa agak ragu, perlahan-lahan melonggarkan ujung baju Samir, dan menggelengkan kepalanya dengan lembut.

Melihat situasi ini, Samir mengangkat alis dan mendorong membuka pintu.

Tetapi begitu pintu terbuka di depannya, hati Ellen juga terangkat.

Tetapi ketika melihat ruang tamu kosong tidak ada seorang pun, Ellen terkejut.

“Masuklah.” Samir masuk dan berdiri di samping memandang Ellen.

Ellen menundukkan bulu matanya yang panjang dan masuk ke dalam.

Setelah Ellen masuk, Samir menutup pintu, memandang punggung Ellen, dan berkata, “Pamanmu tahu kamu akan datang, dia tahu kamu tidak ingin melihatnya, jadi dia pergi dulu untuk sementara waktu, setelah kamu pergi, pamanmu baru kembali.”

Mata Ellen menjadi tegang, dia menundukkan kepalanya tidak berkata, dan berjalan menuju ke arah sofa.

Samir mengangkat alis, dan melirik ke arah pintu kamar utama, sudut bibirnya terangkat, dan juga berjalan menuju sofa.

Ketika mewawancarai Samir, Ellen berusaha untuk bersikap lebih profesional, namun tak terhindari kadang-kadang dia juga melamun.

Samir sangat semangat, begitu Ellen mengajukan sebuah pertanyaan, dia bisa memberikan beberapa jawaban sekaligus.

Tetapi tidak peduli seberapa jawabannya tidak masuk akal, Ellen tetap tidak mengejeknya.

Selesai mengajukan pertanyaan terakhir, Ellen menutup buku catatannya dan memandang Samir, berkata, “Kakak kelima, mengapa beberapa tahun ini, kamu selalu tidak ingin diwawancarai? Dan film yang kamu buat dalam beberapa tahun ini sangat suram, apakah kamu tidak bahagia?”

Samir bersandar di sofa, dan menatap Ellen dengan tatapan serius yang tidak pernah dilihat Ellen sebelumnya, “Karena terjadi sesuatu, aku merasa hidup sangat rapuh, dalam hidup ini, tidak peduli seberapa kuat orang itu, dia juga dapat dihancurkan begitu saja, dia tetap tak berdaya dalam banyak hal. Hidup tidak seindah yaang kita pikirkan, selalu ada kesedihan dan kesuraman di mana-mana. Kuharap semua orang bisa menghargai hal-hal indah disekitarnya, karena kita tidak tahu kapan itu akan hilang. Keputusasaan akan sedikit demi sedikit memakan hati manusia.”

Hati Ellen bergetar, tangan di atas buku catatan tanpa sadar memegang ujung buku catatan dengan erat, menatap Samir dengan matanya yang memerah.

Samir melihat penampilan Ellen yang tertegun, tatapannya menegang, dia duduk tegak, dan kembali berubah ke sifat sebelumnya yang nakal, “Wawancara telah selesai, aku harus pergi dulu.”

Selesai?

Ellen menatapnya dengan tatapan bingung.

Samir berdiri, tersenyum padanya, berbalik dan berjalan menuju keluar.

Ellen terkejut, dan segera berdiri, mengikutinya.

Dan pada saat ini, dia mendengar suara membuka pintu dari belakang.

Langkah kaki Ellen tiba-tiba berhenti, memutar kepala dan melihat ke belakang.

Ketika melihat seorang pria mengenakan pakaian berwarna hitam muncul di pintu kamar tidur, Ellen kaget dan membuka lebar matanya.

Bukankah dia keluar?

Karena berada di dalam hotel.

William hanya mengenakan kemeja hitam dan celana panjang, kemeja hitam dimasukkan ke dalam celana. Kemeja dan celana panjang dibuat khusus, dan tekstur bahannya membuat sosok tubuhnya terlihat ramping dan bergaya.

Di saat dia menggerakkan kakinya yang ramping berjalan menuju ke arahnya, otot-otot pahanya yang kencang terlihat begitu kuat.

Detak jantung Ellen berdebar kencang, pandangan yang tertuju padanya agak kaku, berdiri bingung di sana, tidak bergerak.

Bayangan hitam menutupi atas kepala, Ellen tidak bisa mendengar suara apa pun selain detak jantungnya sendiri.

Aroma tembakau yang familiar dan asing menembus ke dalam hidung, bau nikotin seolah-olah sedang menggoda Ellen, dia tidak menahan diri menghirup dengan hidungnya yang mancung.

William menundukkan kepalanya menatap Ellen yang hanya setinggi di bagian dadanya, hatinya yang kosong tiba-tiba muncul suatu perasaan ingin memenuhi rasa kesepian.

Oleh karena itu, William tidak ragu-ragu, dia mengeluarkan tangannya dari saku celana, meregangkan tangannya,dan memeluk pinggangnya, memeluknya ke dalam pelukannya dengan erat.

“......” Ellen menarik nafas, di saat ketika tubuhnya tertegun, kesadarannya tiba-tiba menjadi jernih.

Ellen panik dan mengedipkan matanya yang besar, lalu berjuang untuk keluar dari pelukannya.

Namun bagi William, tenaganya yang kecil itu terlalu mudah ditangani.

Menundukkan kepala, mata William yang dingin dan gelap bagaikan tinta, dan bibirnya yang tipis mencium rambutnya, berkata, “Sangat aneh, kamu berpisah denganku selama empat tahun, aku pun bisa menahannya. Tetapi sekarang hanya tidak bertemu selama satu malam, aku sudah begitu rindu padamu.”

Ellen, “......”

Ellen menundukkan bulu matanya yang lembut dan panjang, bibirnya yang tipis mencium di dahinya yang putih.

Ellen terus berjuang untuk menghindarinya, namun tak berdaya, dia mencium dari hidung dan kemudian bibirnya, tatapannya semakin mendalam.

Ellen membuka lebar matanya, kedua tangannya menarik kain kemeja di kedua sisi pinggangnya.

Namun, William hanya menempel di bibirnya, tidak melakukan hal lainnya.

Tetapi keduanya begitu dekat, tidak dapat membedakan detak jantungnya yang kuat bagaikan petir itu milik siapa.

Matanya yang hitam menatap fokus pada mata Ellen yang panik, seolah-olah ingin mengambil jiwa Ellen.

Ellen menarik bajunya dan tidak berhenti mendorongnya, hingga jari-jarinya menjadi putih.

Bulu matanya yang panjang berkedip Ellen menarik napas dalam-dalam, menyandarkan kepalanya ke belakang, menghindari bibirnya.

Tidak berani mengambil nafas terlalu kuat, Ellen menghela nafas dengan lembut, wajahnya memerah bagaikan dilapisi riasan wajah yang mahal.

William melirik bibirnya yang merapat, menjilat bibir dan menyipitkan matanya, kedua lengannya mengeluarkan tenaga, langsung menggendong Ellen, duduk di sofa, membiarkan Ellen duduk mengangkang di pahanya yang kuat.

Pinggul Ellen menegang, wajahnya juga menjadi tegang, dia ingin turun.

William pasti tidak mengizinkannya pergi, tangannya kebetulan memeluk di pinggangnya, tidak menyakitinya, tapi juga tidak membiarkannya pergi.

Wajah Ellen memerah, membuka lebar matanya, memelototi William dengan malu dan kesal.

William menatap Ellen dengan pandangan “tidak mungkin melepaskannya”, dan berkata dengan santai, “Wawancara sudah selesai, waktu selanjutnya milikku.”

Ellen menggigit bibirnya, wajahnya memerah seperti apel matang.

William menatap Ellen, mengerutkan bibirnya yang tipis, dan berkata, “Kapan kamu akan kembali ke kota Tong bersamaku?”

Kembali ke kota Tong?

Ellen mengedipkan matanya, dan mengerutkan kening, berkata, “Kapan aku bilang akan kembali bersamamu, um.....”

Sebelum Ellen selesai berkata, tangan yang dia letakkan di pinggangnya mengencang, Ellen tiba-tiba terasa sakit dan mendengus.

Saat ini, Ellen membuka lebar matanya, memelototinya tanpa rasa malu, hanya tersisa perasaan kesal.

Terakhir kali luka di pinggang yang dia buat masih belum pulih sepenuhnya! Sekarang dia mengulanginya lagi!

Melihat wajah Ellen menjadi pucat, William menyadari sesuatu, dia segera melepaskan tangannya, mengerutkan kening dan menatapnya, “Belum pulih? Tidak meminum obat?”

"Tidak ada hubungannya denganmu." Ellen berkata.

Sudut mulut William bergetar, nada suaranya menjadi lembut, “Biarkan aku melihatnya.”

“Kamu tidak perlu melihatnnya!” Ellen memukul tangannya yang akan menaikkan pakaiannya, karena sedih, suaranya menjadi serak.

William tertegun, mengangkat matanya dan memandangnya. Ketika melihat matanya berlinang air mata, hatinya merasa sedih, mengangkat tangan di pinggangnya, mencoba untuk menyentuh wajah Ellen.

Tapi sebelum tersentuh, tangannya langsung ditangkis oleh Ellen.

Alis William berkerut, matanya terlihat kesal, "Maaf."

Mendengar kata ini, hati Ellen merasa sedih, bibirnya bergetar, tidak mengatakan apapun.

Setelah William mengucapkan kata “maaf”, mereka berdua terdiam.

Dua atau tiga menit kemudian, ruangan yang sunyi terdengar suara William yang tenang, “Ellen, baik kamu menyalahkanku ataupun membenciku. Dalam kehidupan ini, kamu sudah ditakdirkan menjadi milikku, meskipun diikat ataupun dikunci, aku tetap akan meninggalkanmu selalu bersamaku.”

Mendengar perkataannya, Ellen mengepalkan tangannya sendiri, matanya yang jernih menatapnya, suaranya sangat kecil namun terdengar jelas, “Aku adalah milikku sendiri, aku memiliki hak pilih. Selain diriku sendiri, tidak ada siapapun yang bisa mengambilkan keputusan untukku.”

“Mulai sejak usiamu lima tahun, aku menjemputmu kembali, kamu sudah ditakdirkan hanya milikku seorang.” Pandangan William pada Ellen seolah-olah menyembunyikan sebuah kunci yang mengunci Ellen rapat-rapat.

“Dulu kalau bukan Papamu menabrak mati Papaku, kamu juga tidak akan mengadopsi diriku, dan kita juga tidak akan bertemu. Jadi pertemuan kita dari awal sudah sebagai kesalahan!”

“Kesalahan?”

William berekspresi suram, dan menatap fokus pada Ellen, “Kamu merasa itu adalah kesalahan, tetapi aku merasa merawatmu di sisiku adalah keputusan paling tepat yang pernah kubuat dalam hidupku. Permulaan seperti itu, bukan kehendak kita, namun sekarang kamu menjadikan itu alasan untuk menolakku, mendorongku dan menolakku, apakah ini adil bagiku?”

“Siapa yang adil padaku? Awalnya aku memiliki sebuah keluarga yang bahagia, Gerald yang menghancurkannya!” Ellen mengepalkan tangannya dan menatap William dengan tatapan penuh kebencian, dan berkata dengan sedih, “Kepada siapakah, aku meminta keadilan?”

Novel Terkait

Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu