Hanya Kamu Hidupku - Bab 58 Paman Ketigamu

Pani melirik Suli, lalu langsung membawa Ellen masuk kamarnya.

Dekorasi kamar Pani sangat sederhana, dinding kamarnya di cat warna ungu muda yang lembut, horden jendelanya berwarna biru muda yang terlihat selaras.

Kamar yang kurang lebih seluas 3 meter ini, hanya cukup untuk sebuah ranjang, sebuah lemari pakaian, sebuah meja komputer yang rangkap sebagai meja belajar, juga sebuah kursi santai. Sekeliling dindingnya dipasang rak gantung, diatas rak itu tersusun berbagai koleksi buku juga hiasan kamar anak gadis.

Dan kamar ini masih cukup luas.

Pani membiarkan Ellen duduk sesukanya, Ellen memilih kursi santai dan meringkuk didalamnya.

Pani mengambil dua botol jus diatas meja komputernya, sekalian menggeser kursi didepan meja komputer dan mengambil karpet ke depan Ellen lalu duduk diatasnya.

“Dikamarku hanya ada ini.” Pani memberikan salah satu minumannya untuk Ellen.

Ellen menerimanya, lalu berkata padanya sambil menatapnya, “Aku paling suka minum jus merk ini.”

Pani mengangkat bahunya, lalu membuka tutup botol jus, dan meneguknya, baru lanjut barkata, “Kedua botol jus ini aku ambil dari toko tempat aku bekerja sambilan, ini buatan sendiri, sama sekali tidak dijual dipasaran.”

Ellen tersenyum, “Oh iya?”

Pani membalikkan bola matanya melihat Ellen.

Ellen menundukkan kepala, membuka tutup botol dengan perlahan.

Pani mengkerutkan alis, ia sungguh tidak tahan lagi, sehingga langsung mengulurkan tangannya, “Berikan padaku.”

Ellen tersenyum sambil menyerahkan minumannya pada Pani.

Pani langsung membuka tutup dan mengembalikannya pada Ellen.

Ellen menerima minumannya dan langsung meminumnya.

Pani mengangkat kepala melihat Ellen yang sedang menutup kembali botolnya, meletakkan minumannya disamping tempat duduk, lalu berkata perlahan, “Sekarang sudah bisa cerita?”

“……..” Ellen hanya mengetatkan bibirnya, kedua matanya yang jernih kembali berkaca-kaca sambil melihat kearah Pani.

Pani melihat mata Ellen yang berkaca-kaca, hatinya terasa begitu perih, lalu berkata dengan perlahan, “Hari ini, akhirnya datang juga ya kan?”

Ellen terkejut, menatap Pani dengan wajah bingung.

Pani menarik nafas dalam, menatap Ellen, “Kamu masih ingat ketika kamu ulang tahun yang ke-15, kamu mengundangku datang kerumahmu?”

“……hm.” Ellen mengangguk pelan.

Pani melihat wajah Ellen yang kebingungan, berhnti sejenak lalu melanjutkan, “Hari itu kita bermain begitu seru di kamarmu, lalu karena kecapekan kita berdua tertidur di pinggir ranjang. Aku orang yang mudah terbangun ketika sedang tidur, ketika tidur aku tidak bisa mendengar sedikit suarapun, kalau tidak aku akan terbangun.”

Kualitas tidur Pani tidak pernah bagus, hal ini dia tahu dengan jelas.

Karena ketika jam tidur siang di sekolah, Pani tidak pernah tidur.

Tapi, kenapa tiba-tiba membicarakan ini?

Ellen semakin heran.

“Lalu paman ketigamu masuk sekali. Namun kamu sudah tertidur sehingga tidak tahu.” Pani berkata.

Awalnya dia juga sudah tertidur, namun suara pintu yang dibuka William membangunkannya.

Dia membuka mata dan mengintip, begitu melihat yang masuk adalah William, ia segera memejamkan mata dan berpura-pura tidur.

bukan karena hal lain.

Melainkan karena aura yang terpancar dari diri Willam terlalu dingin, begitu menghadapinya, membuatnya merasa begitu tertekan.

Sehingga ketika ia merayakan ulang tahun Ellen, mereka hanya berada di kamar Ellen.

Tempat lain di dalam villa ini, dia sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya, karena dia takut bertemu dengan William!

namun akhirnya, bertemu juga….

Dan juga…….

Pani mengkerutkan alis, melihat kedua mata Ellen yang penuh dengan ekspresi yang rumit.

Elle menatapnya, “Paman ketigaku masuk, lalu?”

“Ehem…….” Pani menggigit bibirnya, berkata dengan suara pelan, “Aku melihat paman ketigamu, menciummu.”

Ellen, “……”

Telinga, wajah, leher, semua memerah.

“Tadinya kalau dia mencium kening, pipi atau tempat lainnya, meskipun aku merasa agak aneh namun masih bisa diterima. Namun yang ia cium, malah………”

Pani menunjuk bibir Ellen.

Ellen hanya merasa diatas ubunnya ada hawa panas yang mengebul, membuatnya panas sampai hampir terbakar.

Ia reflek menutupi bibirnya, lalu menatap Pani dengan wajah kaget juga canggung.

Pani hanya tersenyum garing untuk mengurangi rasa kikuknya.

Jantung Ellen berdegup begitu kencang.

Ketika itu dia baru umur 15 tahun loh?

Paman ketiganya sudah…..

Ellen memejamkan mata, tidak berani lanjut memikirkannya, bibirnya yang tersembunyi dibawah telapak tangannya langsung mengetat erat.

“Karena aku tahu paman ketigamu seperti itu terhadapmu…. Jadi ketika Bintang mengejarmu, aku ingin segera membantu kalian agar bisa jadian. Keluarga Bintang memiliki bisnis turun temurun, meskipun latar belakangnya tidak sehebat Keluarga Dilsen, namun paling tidak masih termasuk keluarga terpandang di kota ini. Kalau kamu bersama dengan Bintang, menurutku paling tidak pamanmu akan mempertimbangkan hubungan bisnisnya dengan Keluarga Bintang.” Pani berkata.

Ternyata begitu!

Pantas saja ketika itu Pani begitu semangat menjodohkannya dengan Bintang.

Ellen menatap Pani dengan wajah penuh haru, perlahan menurunkan tangan yang menutupi mulutnya, lalu berkata pelan, “Pani, terima kasih.”

“Untuk apa sungkan seperti itu padaku.” Pani berkata sambil agak memelototi Ellen.

Ellen hanya tersenyum pahit, “Pani, sekarang aku sudah tidak tahu harus bagaimana.”

Pani mengkerutkan alis, “Dimalam ulang tahunmu itu kamu sengaja meminta Bintang berpura-pura menjadi pacarmu, karena kamu sudah tahu kalau paman ketigamu memiliki perasaan yang tidak biasa padamu bukan?”

Ellen mengangguk, “Aku mengira dengan aku melakukan ini semua hubunganku dengan paman ketiga akan kembali normal. Siapa yang menyangka malah menyulut emosi paman ketiga, dia…..”

Ellen berkata sampai disini, airmatanya langsung mengalir, suaranya langsung tercekat.

Pani terkejut, ia segera banker berdiri, lalu pindah kesamping Ellen, ia menggenggam satu tangannya dan berkata dengan cemas, “Apa yang paman ketigamu lakukan padamu?”

Ellen menghapus air matanya, tidak bisara.

Pani melihat ini, semakin cemas.

Mleihatnya menangis tidak berhenti, ia juga tidak tega.

Ia bnagkit dan mengambil tisu yang terletak di meja komputer, kembali duduk, mengambil beberapa lembar tisu untuk diberikan pada Ellen, ekspresinya begitu berat.

“Pani, kamu jangan tanya lagi.” Ellen berkata dengan terisak dan lirih.

“… baiklah, aku tidak akan tanya lagi.” Pani menatap Ellen dengan dalam sambil berkata.

Ellen menatapnya dengan tatapan penuh terima kasih, ia mengambil tisu di tangannya untuk mengelap air matanya.

Pani tidak bicara lagi, hanya bisa menatap Ellen dengan wajah cemas.

Setelah sesaat, emosional Ellen beru kembali stabil.

Pani melihat mata Ellen yang sembab, dia menghela nafas lagi.

Ellen yang seperti ini.

Meskipun dia tidak mengatakannya, kurang lebih dia sudah bisa menerkanya.

Pasti karena malam ulang tahunnya, tiba-tiba Ellen membawa Bintang kehadapannya, lalu memperkenalkan padanya kalau itu adalah pacarnya, sehingga mmebuat marah pria yang begitu arogan itu.

Sehingga Ellen menerima hukumannya!

membayangkan apa yang terjadi pada Ellen malam itu, Pani merasa merinding seketika.

Dia tidak menyangka, sikap memiliki William terhadap Ellen sudah sampai tingkat psikopat!

Kalau demikian.

Kalau Ellen ingin terlepas dari ini semua, kecuali William bersedia melepaskan, kalau tidak semua mustahil!

ada rasa khawatir dibalik tatapan Pani yang menatap Ellen dengan iba.

Tokk… tokk…

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

Ellen terkejut dan melihat kearah Pani.

Ekspresi wajah Pani langsung menjadi agak serius dan bertanya, “Ada apa?”

“…….. kak, ini aku, Suli.”

Suara yang imut terdengar dari banlik pintu.

Alis Pani agak mengkerut, “Ada urusan apa?”

“Aku membawakanmu buah.” Suliberkata.

“Tidak perlu, kamu saja yang makan.” Pani berkata dengan dingin dan datar.

“Kak, kamu tidak makan buah, mau makan kue tidak, Suliambilkan untuk kakak.”

“…….” Pani tersenyum, lalu melirik Ellen, bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kearah pintu untuk membuka pintu kamar.

Suli berdiri didepan pintu sambil membawa dua buah apel, begitu melihatPani membuka pintu, ia langsung tersenyum sambil memperlihatkan barisan gigi kecilnya yang manis, terlihat begitu menggemaskan, “Kakak.”

Pani melihat Suli, mungkin karena pandangan yang begitu polo situ membuat nada bicaranya tidak begitu dingin lagi, “Suli, kakak sedang bicara dengan kakak yang ada didalam, bisakah kamu bermain sendiri dulu?”

Wajah kecil Suli bingung, kedua bola matanya yang bulat dan hitam melihat kedalam kamar, lalu berkata denga pelan, “Kakak itu mau makan buah?”

Pani agak tercengang, lalu menoleh kearah Ellen, “Kamu sudah makan malam belum?”

“Belum.” Ellen berkata.

Pani berbanlik lalu mengambil apel yang berada ditangan Suli, dan berkata, “Suli, bawakan kue untuk kakak.”

“Ok ok.” Suli sangat senang, ia berlari dengan cepat kearah ruang tamu.

Pani melihat Suli sambil tersenyum tipis.

Dalam keluarga ini, mungkin hanya Suli kecil ini yang bisa memberikannya sedikit kehangatan.

Suli membawa kue, lalu tetap tinggal dalam kamar Pani tidak mau keluar, berpura-pura tidak melihat isyarat yang diberikan oleh Pani, tubuhnya yang gemuk dan bulat bersandar di kaki Ellen, tersenyum bak malaikat kecil.

Ellen mengelus kepalanya sambil berkata pada Pani, “Dia lucu banget.”

Pani hanya memiringkan bibirnya, namun tidak menyangkal.

Mendengar Ellen memujinya, kedua mata Suli melengkung bagaikan bulan sabit, lalu berkata pada Ellen dengan manis, “Kak Ellen, kamu masih mau kue tidak?”

Ellen menyentuh hidung kecilnya dengan lembut, “Kak Ellen sudah kenyang, terima kasihSuli.”

“Hihi.. sama-sama.” Suli menutupi wajahnya dengan malu sambil berkata dengan tersipu.

Ellen dibuat tertawa olehnya, membuatnya tidak tahan untuk mengelus kepalanya sekali lagi.

Pani melihat Suli, ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

“Suli.”

Suara Reta terdengar dari arah ruang tamu.

Suli seolah begitu terkejut, ia segera berdiri tegak disamping Ellen, matanya melihat ke pintu dengan membelalak.

“Suli, Suli……..”

Suaranya semakin lama semakin mendekat.

Pani menyipitkan mata, ada tatapan dingin tang terpancar dari matanya, ia melihat Suli sambil berkata, “Sana cepat keluar.”

Suli membatu, melihat Pani yang tiba-tina menjadi galak, ia tidak tahu harus melakukan apa.

Ellen menundukkan wajahnya, ia menggandeng tangan kecilnya sambil tersenyum, berkata, “Ibumu sedang mencarimu, cepat sana.”

Suli menatap Pani dengan wajah sedih, lalu menatap Ellen dengan wajah cemas, baru berlari kearah pintu, “Ma, aku disini.”

“Kamu ya, kamu kenapa keluar dari kamarnya? Bukankah mama sudah pernah bilang berkali-kali, kalau tidak ada urusan jangan ke kamarnya, kenapa kamu tidak pernah dengar sih, hm….” Reta memarahi Suli dengan nada yang begitu tegas.

Ellen menatap kearah Pani dengan hati yang terasa sedih karena mendengar ucapan ini.

Namun melihat wajahnya yang biasa saja, seolah sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Reta.

Ellen mengangkat alis.

Novel Terkait

Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu