Hanya Kamu Hidupku - Bab 97 Dia Merasa Dirinya Akan Pingsan

Vania tertegun.

Matanya melihat Louis mengulurkan tangan ingin keluar dari toilet, mata Vania memerah, “Ma, kamu sudah berubah.”

Louis yang memegang pintu menegang, menoleh melihat Vania, melihat matanya yang memerah, menghela napas dalam hati, lalu menutup kembali pintu, berjalan ke depan Vania.

“Ma, dulu kamu yang paling sayang padaku.” Vania berkata.

“Mama sekarang juga sayang padamu.” Louis berkata dengan rendah.

Vania menggeleng, “Tidak sama. Kamu tidak sayang padaku seperti dulu. Dulu asal aku berbicara denganmu, kamu tidak akan pernah bosan, tapi sekarang, kamu tidak mendengar lagi apa yang aku katakana, kalau bukan mengernyit maka kamu langsung pergi. Dan lagi, sekarang kakak ketiga mengatakan ingin mengirim aku keluar negeri, kamu juga tidak takut, seperti tidak keberatan jika aku pergi.”

Vania sambil berkata, air matanya jatuh.

Hati Louis terasa sakit, mengulurkan tangan menyentuh air mata di ujung mata Vania, “Vania, kamu adalah putri mama, di dunia ini mana ada ibu yang tidak sayang pada anaknya sendiri?”

Vania tersedak, air mata nya terus mengalir dan melihat ke Louis,” Mama, belakangan ini kamu berubah sangat banyak, aku sangat takut, aku takut kamu tidak mencintaiku lagi, tidak sayang padaku lagi.”

“Anak bodoh, bagaimana mama bisa tidak mencintaimu? Kalau mama tidak mencintaimu, maka tidak akan menyuruhmu datang meminta maaf kepada Ellen. Apakah kamu mengerti mama tidak rela kamu sendirian di luar negeri?” Louis berkata.

“Tapi, aku benar-benar tidak ingin meminta maaf kepada Ellen. Aku tidak sengaja. Dan lagi, bukankan Ellen sudah sembuh? Kenapa masih harus meminta maaf? Ellen pasti karena melihat kakak ketigaku membantu dia dari belakang, di rumah kita, siapa pun harus mengalah padanya, aku tidak tahan melihat kakak ketiga begitu baik padanya, dan juga tidak tahan melihat dia di sayangi dan sombong! Kali ini aku meminta maaf ke dia, lain kali dia akan semakin memijak kepalaku dan merajalela?”

Semakin banyak yang dikatakan Vania semakin menyakitkan hati, dan air matanya jatuh semakin cepat.

Louis cemas dia akan menangis dengan keras, dengan terburu-buru memegang punggungnya, “Kamu berpikir terlalu banyak. Kita dan Ellen tidak tinggal bersama, dan biasanya juga jarang bertemu, dia mana ada waktu untuk menyombongkan diri?”

“Biasanya tidak bertemu, tapi suatu saat pasti ada waktu bertemu. Ma, aku benar-benar tidak ingin meminta maaf ke Ellen, aku juga tidak ingin keluar negeri, aku ingin di sini, aku tidak akan pergi kemanapun.” Vania menarik tangan Louis, berbicara sambil menangis terhadap Louis.

Louis di satu sisi sedih melihat dia terus menangis, di satu sisi juga merasa kesal, menahan emosi berkata, “Tapi sekarang kalau kamu tidak minta maaf, kakak ketigamu akan mengirimmu ke Kanada. Kamu juga bukannya tidak tahu sifat kakak ketigamu, masalah yang melibatkan Ellen, dia tidak pernah mengingkari janji.”

“Huh……” Vania memikirkan harus meminta maaf ke Ellen, merasa sangat emosi sampai menangis.

“Sayang, kamu minta maaf saja ke Ellen, anggap saja berlalu. Kamu pasti tidak ingin nanti kedepannya kakak ketigamu selalu melihatmu dengan ekspresi tidak enak? Jadi anak baik, minta maaf ke Ellen, kakak ketigamu mungkin akan mengira kamu pengertian, lain kali akan lebih baik terhadapmu.” Louis membujuk.

Mendengar dia berkata begitu, tangisan Vania berhenti, matanya menatap Louis dengan curiga, “Aku minta maaf ke Ellen, apakah benar bisa membuat kakak ketiga berpikir aku pengertian, dan bisa lebih baik terhadapku?”

“……Emm.” Mata Louis bergerak cepat, mengangguk.

Air mata Vania yang menggantung di ujung matanya, dia mengangkat tangan menghapus, matanya kusut.

Louis melihat diam, tidak berbicara lagi.

Tapi dia merasa, Vania seharusnya setuju untuk meminta maaf kepada Ellen.

“Baik, aku akan minta maaf ke Ellen!”

Setelah menenangkan diri, Vania menarik napas memantapkan diri, berkata kepada Louis.

Louis menghela napas lega, tersenyum menggenggam tangan Vania, “Begini sudah betul.”

……

Kira-kira sudah pergi selama 20 menit, Louis dan Vania keluar dari toilet.

Ellen melihat ke arah dua orang itu, ujung bibirnya tertarik.

Wajah Vania pucat, matanya sangat merah, sekali lihat saja sudah tahu karena menangis.

Dia sebenarnya juga bisa mengerti, Vania selalu senang mendahului dia, mengganggap diri lebih tinggi, satu helai rambut Ellen saja tidak bisa dibandingkan dengan kesombongan dia, dan juga selalu menganggap dia sebagai musuh.

Ingin dia meminta maaf kepada musuhnya, pastilah sangat sulit dilakukan.

Ellen merasa.

Kalau hari ini Vania meminta maaf kepadanya, Vania pasti akan merasa tidak nyaman untuk sementara waktu, setiap bertemu dengan dia, perasaan benci seperti ingin merobeknya.

Gerald melihat mata Vania memerah, dahinya semakin mengernyit.

Hansen melihat mata Vania, mengerucutkan bibirnya.

William tidak melihat Vania, bersandar di sofa tanpa ekspresi.

Louis berjalan kemari, lalu duduk di sofa.

Vania dan Ellen berada di setiap ujung meja, Ellen duduk, dia berdiri.

Vania menggenggam tangannya erat, wajahnya sangat tidak bisa ditebak.

Berdiri selama 3 menit, baru membuka mulut, bergumam kepada Ellen,”Maafkan aku.”

Ellen menaikkan alis, sebenarnya, dia hanya mendengar kata “Maaf”.

Tapi, itu sudah cukup.

Dari awal memang tidak menyangka dia akan meminta maaf.

Ellen menjilat bibir bawahnya berkata,”Tidak….”

“Tadi ada yang berbicara?” William tiba-tiba membuka mulut.

Ellen,“……”

Vania menggigit bibirnya, menarik napas, melihat ke Ellen,”Ellen, Maafkan aku!”

Ellen tersenyum canggung.

Vania mengatakan “Maafkan aku”, tapi nada bicaranya seolah ingin menelan Ellen.

Ellen melirik seseorang, berkata dengan lirih, “Tidak, tidak apa-apa.”

William kali ini tidak membuka mulut.

Air mata Vania jatuh, dan di ruang tamu meremas tangannya.

Gerald merasa hatinya tertekan, berdiri dari sofa, berjalan ke depan Vania.

Vania melihat Gerald, air matanya mengalir lebih deras, merasa sangat dirugikan.

Wajah Gerald menunjukkan sakit hati, mengulurkan tangan menggenggam tangan Vania, “Ikut Papa pulang.”

Vania menutum mulutnya, melihat ke arah William.

William masih saja dingin, dia datang sudah begitu lama, juga tidak melihat dia sekilas.

Vania merasa patah hati, menganggukkan kepala ke Gerald.

Gerald tidak berbicara apa-apa, membawa Vania meninggalkan pavilion.

Louis melihat itu, buru-buru bangkit dari tempat duduk, melihat Ellen, menghela napas berat, mengejar Gerald dan Vania.

Ellen melihat Louis dan lainnya keluar dari pavilion, perasaan aneh, merasa dirinya bersalah karena mengganggu mereka.

Ellen melirik seseorang, ini disebut masalah apa!

William melihat Hansen yang duduk di sofa, bibir tipisnya berkata, “Kakek, apakah kami harus tinggal untuk makan siang?”

“…… makan kepalamu! Emosiku sudah meledak!” Hansen melirik William dengan galak.

Wajah Ellen merasa bersalah, melihat Hansen, “kakek buyut, maaf.”

Hansen terdiam, melihat ke arah Ellen.

Melihat alis Ellen mengernyit dengan ketat, wajah bersalah, dia merasa gadis ini sudah salah paham.

Hansen melambai kepada Ellen.

Ellen berdiri, duduk di sebelah Hansen.

Hansen menggenggam tangan Ellen, berkata, “Ellen, kakek buyut tidak menyalahkanmu, marah jga bukan karenamu. Aku marah karena paman ketigamu dan kakekmu. Dan juga Vania yang tidak tahu aturan!”

Ellen melihat William, berbisik, “kakek buyut, paman ketigaku karena aku, ingin melampiaskan emosi untukku, jadi…..”

“Kamu, hanya tahu berbicara baik tentang paman ketigamu.” Hansen tidak berdaya.

Wajah Ellen memanas, berkata dengan rendah, “Tidak ada.”

Hansen berdeham, “Ada atau tidak hati kakek buyut tahu dengan sangat jelas.”

Ellen tidak berbicara lagi.

Hansen menggelengkan kepala, mencubit punggung tangan Ellen, “Ellen, kamu anak yang tahu aturan, kali ini Vania meminta maaf kepadamu juga seharusnya, sepantasnya,kamu tidak perlu merasa bersalah. Hah.”

Hansen selesai berbicara menghela napas, “Jika ingin menyalahkan salahkan kakek buyut, melahirkan kakekmu yang berbicara tanpa logika! Untung saja, paman ketigamu mengikutiku, tidak mengikuti ayahnya.”

Uh…..

Mana ada orang meremehkan putra sendiri, memuji ayah sendiri?

Ellen menurunkan bibirnya, tidak bisa menangis atau pun tertawa.

William mendengar, dan masih memasang wajah dingin.

……

Masalah Vania akhirnya berakhir seperti ini.

Beberapa hari selanjutnya, Ellen selain kadang pergi dengan William ke perjamuan makan, tinggal di rumah membaca buku, belajar.

Dan William sudah sibuk sampai akhir tahun, sekarang waktu istirahatnya banyak, jadi kalau perusahaan tidak ada perlu, dia akan berada di rumah.

Hari ini setelah makan siang, Ellen kembali kekamarnya, berencana tidur siang.

Dia baru saja sampai di ranjang, pintu kamarnya terbuka, seorang pria dengan wajah tampan berjalan masuk.

Ellen melihat dia dengan tatapan bengong.

William menutup pintu, dan …. Menguncinya.

Jantung Ellen berdetak kuat, tubuhnya terasa tegang.

William berjalan ke arah dia, badannya yang kekar berdiri di depan menghalangi pandangan dia, matanya bersinar terang menatap dia.

“Paman ketiga, uu….”

Ellen baru saja membuka mulut, pria itu membungkuk, bibir tipisnya dengan cepat menangkap bibir Ellen.

Perasaan lembab itu, dengan cepat menyerang indera Ellen.

Ellen mengangkat bahu, punggungnya tidak berhenti bergetar.

Satu tangan William menopang dan mengangkat dagu Ellen, supaya dia bisa lebih baik untuk mencium.

Tangan yang lain melewati pinggang Ellen, memegangnya, dengan perlahan membuat dia berbaring.

Dan dia sendiri juga mengikuti.

Dalam kepala Ellen sudah seperti melepaskan kembang api, satu persatu meledak di kepalanya.

Napasnya mengelilingi dia, perasaan maskulin dan hormon unik pria yang kuat memenuhi hidungnya.

Dia merasa dirinya akan pingsan.

Yaitu, pada saat tubuh William turun ke bawah.

Tiba-tiba dia merasakan kejang di perutnya, kedua mata Ellen yang kabur terlihat jelas, mengangat kedua tangan kecil dan putih menahan William, suaranya bergetar hebat, “Paman Ketiga……”

Mendengar suara Ellen yang penuh penderitaan, William berdiam kaku di sana, dengan penuh keringat mengangkat kepala menatap Ellen,” Kenapa?”

Dahi Ellen juga di penuhi butiran keringat, mulutnya yang merah seperti ceri memucat, dan bergumam,”Aku, sepertinya aku datang bulan, perutku sakit.”

Alis William naik dengan ganas, wajahnya sangat gelap seperti alas panci.

Ellen, “……” mengangkat tangan, diam-diam menutupi wajahnya.

Novel Terkait

Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
4 tahun yang lalu
Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu