Hanya Kamu Hidupku - Bab 360 Ya, Aku Masih Memilikimu

Louis berkata dengan begitu mengenaskan, “Ini semua Gerald yang membuatku paham. Aku pernah mencintainya, lalu tidak cinta lagi. Aku pikir ini adalah akhir yang paling buruk. Namun pada akhirnya, aku membencinya. Namun kalau dia mati, bagaimana caraku membencinya.”

Mata Ellen terasa perih, ad senyum tipis di bibirnya ketika menatap Louis dan berkata, “Kalau begitu lepaskanlah.”

Mata Louis berkedip beberapa kali, ia menoleh menghadap Ellen, “Tidak perduli benci atau tidak, dari awal sampai akhir, yang paling menderita adalah aku! Sekarang meskipun Gerald mati, ia juga tetap merasa dirinya tidak bersalah.”

Ellen meletakkan tangannya di atas tangan Louis, tanpa berbicara apapun.

Dia tahu.

Setelah Gerald mati, tidak berarti Louis sudah tidak membencinya lagi.

Hanya saja rasa benci ini tidak memiliki tempat untuk dilampiaskan lagi, membuatnya merasa kosong.

Rasa dendam Louis, kecuali putri kandungnya bisa “bangkit dari kematian” baru mungkin dapat mengurangi dendamnya, jika tidak, maka dendam itu akan tertanam di dalam jiwanya dan akan menemaninya sepanjang hidupnya.

……

Kabar kematian Gerald diumumkan pada jam 9 malam.

Setelah Ellen melalui begitu banyak hal, rasa dingin dalam perasaannya melonjak, itu membuatnya tidak merasakan apa-apa.

Louis sama sekali tidak meninggalkan villa, ia juga menunggu berita meninggalnya Gerald.

Setelah berita itu datang, Louis duduk di sofa selama dua tiga menit, ia tiba-tiba tertawa lalu pergi meninggalkan villa.

Kematian Gerald tidaklah mendadak, William telah terlebih dahulu menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Gerald dengan layak. Sehingga nantinya tidak akan terburu-buru.

Penyakit yang diderita oleh Gerald tidak diketahui oleh media, hingga Gerald Meninggal, barulah William memberitakannya.

Karena tidak ada media yang mengetahui masalah ini sebelumnya, begitu mengetahui berita itu, para awak media juga sedikit terkejut, sehingga mereka mulai sibuk menulis berita sepanjang malam.

……

Upacara pemakaman Gerald diadakan dua hari kemudian, ada banyak media yang meliputnya langsung.

Biasanya, sebagai istri William, sudah seharusnya Ellen menghadiri upacara pemakaman Gerald.

Dan Ellen juga bermaksud untuk hadir.

Bagaimanapun, tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu, ia sekarang sudah mati, seberapa besar rasa yang mengganjal di hati mereka, itu hanya akan membuat mereka semakin tidak bisa lega.

Hanya pada saat malam sebelum pemakaman, Nurima menelepon.

Meskipun tidak ada pernyataan yang pasti bahwa Ellen tidak diizinkan untuk ikut, namun dari apa yang ia ucapkan terdengar jelas tidak ingin membiarkan Ellen hadir.

Setelah menutup telepon, pikiran Ellen sedikit kacau.

Dibandingkan dengan orang mati, perasaan orang yang masih hidup jauh lebih penting.

Untungnya, Wlliam juga menelepon kerumah, ia mengusulkan kepada Ellen untuk tidak menghadiri pemakaman besok.

Lalu..

Di hari pemakaman, Ellen benar-benar tidak pergi.

Ia hanya menyuruh Samir membawa Tino dan Nino pergi.

Bagaimanapun juga, Gerald adalah kakek kandung Tino dan Nino, ikut menghantarkannya untuk yang terakhir kali, itu sudah seharusnya.

……

Sejak Gerald meninggal, William dan Hansen tidak pernah kembali ke villa.

Akhirnya upacara pemakaman selesai, Hansen berkata bahwa ia ingin kembali tinggal di rumah lamanya selama beberapa hari, Demian dan Mila pun menemani kakek tua itu pulang ke rumah lamanya.

Dan pada saat ini William baru terlihat di rumah.

Ellen merasa khawatir beberapa hari ini, karena nengurusi urusan Gerald, suaminya jadi tidak makan dengan baik, begitu suaminya sampai di rumah, ia kemudian memasak beberapa makanan dan menariknya ke ruang makan.

Di ruang makan.

William mengenakan setelan jas berwarna hitam gelap yang sangat pekat. Kemeja, dasi di dalam jas itu semuanya hitam. Rambut pendeknya rapi dan ringkas. Wajahnya terlihat lebih dingin dan lebih tajam.

Ellen duduk di hadapannya, ia menyajikan sayuran untukknya dengan hening.

William hanya makan, ia tidak berbicara sepatah katapun dengan Ellen.

Sehabis makan, William naik ke atas.

Ellen duduk di ruang tamu lantai bawah sebentar, lalu ikut naik.

Memasuki kamar tidurnya, Ellen mendengar suara air yang mengalir dari kamar mandi.

Bulu matanya merunduk, Ellen berjalan ke tempat tidur dan duduk, ia menatap perutnya, mengulurkan tangan lalu mengelusnya dengan lembut, wajahnya penuh kekhawatiran. “Bagaimanapun dia adalah ayah kandungnya sendiri. Nak, ayo coba kamu beri ibu saran, bagaimana seharusnya ibu menghibur ayahmu, hm? “

……

Di hari ke tujuh kematian Gerald, keluarga Dilsen berkumpul di rumah lama.

Kali ini, Ellen juga membawa Tino, Nino dan Keyhan pergi.

Tapi ia tidak menyangka Bintang juga ada di sana.

Semua orang duduk di sofa ruang tamu, suasananya masih sedikit muram.

Ellen menatap Hansen yang sedang duduk di kursi utama dengan khawatir.

Setelah kematian Gerald, ini pertama kalinya Ellen bertemu dengan Hansen.

Hansen terlihat jauh lebih kurus, seperti orang sakit, tubuhnya sangat lesu, untuk memegang tongkat saja tangannya tampak tidak bertenaga, hanya memegangnya dengan lemah.

Ellen terus memandangi Hansen.

Dan Bintang tetap melihatnya, alisnya yang tebal mengkerut erat.

Raut wajah Vania lemas dan pucat, sorot matanya terlihat begitu terkejut ketika melihat Ellen bersama Tino, Nino dan Keyhan datang.

Wajah William terlihat dingin, ia menatap Hamid dengan dalam dan tajam.

Sebagai anak tertua dari keluarga itu, Demian meletakkan tangan di pahanya sambil menarik napas, menyipitkan matanya melihat kearah Wlliam dan yang lainnya, lalu berkata, “Besok aku akan pergi.”

Begitu Demian mengeluarkan kalimat itu, mata semua orang langsung tertuju padanya.

Demian mengambil kendali, ia menatap William, “Ketika aku tidak disini, semua hal yang ada dirumah kuserahkan padamu.”

Wlliam menundukkan matanya dan menggangguk pelan.

Demian menatap Wlliam dengan dalam, matanya dipenuhi rasa bersalah, “Maaf sudah merepotkanmu.”

William menatap Demian, “Kamu di luar sana, berhati-hatilah. Jika ada apa-apa, masih ada aku.”

Demian mengangkat tangannya, ia kemudian menyeka airmatanya dengan kuat, dan tersenyum pada William, “Ya, masih ada kamu.”

Wlliam menatap Demian dengan dalam.

Demian menghela napas, ia menatap Hansen dengan iba, mengetatkan bibir lalu berkata, “Kakek, orang yang sudah tiada tidak akan kembali, yang masih hidup harus tetap melanjutkan kehidupannya, kamu adalah pemimpin keluarga Dilsen, kami para cucu dan cicitmu akan sering datang melihatmu.”

Hansen memandangi Demian dan yang lainnya satu per satu, dengan senyum masam, “Apakah kalimat seperti ini perlu kamu ajarkan? Semuanya Jangan khawatir.”

“kakek…. ….”

Yang berbicara adalah Vania.

Hansen memandang Vania, karena Gerald, ia menatap mata Vania dengan sedikit tajam, “Kenapa?”

Vania duduk menyamping menghadap Hansen, bola matanya terlihat merah berkaca-kaca, ia berkata dengan terisak “Aku ingin pindah.”

“Pindahlah.” Kata Hansen.

Jawaban Hansen yang tanpa pertimbangan, membuat Vania tertegun, matanya melebar menatap Hansen, bibirnya sedikit mengkerut berkata, “…… Disini dipenuhi jejak-jejak ayah, dimana pun aku berada membuatku teringat dengan ayah. Aku takut aku bisa gila karena merindukannya.”

Hansen terdiam sebentar, dan berkata, “Tenggelam dalam kesedihan itu juga bukan masalah besar, mengganti suasana juga bagus.”

“Terima kasih atas pengertian kakek,” kata Vania dengan ramah.

Hansen mengetatkan bibirnya, menatap Bintang dan tiba-tiba berkata, “Bintang, sebelum ayah Vania sakit, hal yang paling tidak bisa membuatnya tenang ialah peristiwa terpenting dalam hidup Vania, kamu dan Vania sudah bertunangan selama beberapa tahun, lebih baik kamu segera memilih hari yang baik lalu menikah.”

Bintang tertegun, diikuti oleh perasaannya yang dingin, ia menatap Hansen dengan wajah tidak senang, “Kakek, paman baru saja meninggal, untuk membicarakan hal ini sekarang sungguh tidak pantas.”

Vania menunduk, ia menyembunyikan wajah sedihnya, dirinya yang sekarang, seperti anak lemah yang baru saja kehilangan ayahnya, sekujur tubuhnya bahkan sedikit tenaga saja sudah tidak ada.

“Pernikahanmu dan Vania adalah keinginan terakhir paman sebelum meninggal. Kalian menikahlah lebih awal, agar keinginan terakhirnya itu dapat dipenuhi lebih awal, tidak ada yang salah dengan hal itu.” Hansen hampir tidak pernah menatap Bintang dengan begitu tegas, ia berkata dengan nada bicara yang keras.

Bintang mengepalkan tangannya dengan kencang, tak dapat menahan dirinya untuk melihat Ellen.

Ellen menunduk, tangannya menggandeng tangan kecil Nino.

Ia bukan tidak tahu bahwa sorot mata Bintang tertuju padanya, tapi ia hanya pura-pura tidak mengetahuinya.

Sejak kemunculan Ellen, kedua mata Bintang dapat dikatakan secara terang-terangan tertuju pada Ellen.

Hansen, William dan yang lainnya juga melihatnya.

Tentu saja, ketiga anaknnya juga melihatnya.

Keyhan mengerutkan bibir kecilnya, lalu matanya melirik Nino yang ada disampingnya.

Nino mencondongkan tubuhnya ke samping lalu memiringkan kepalanya untuk melihat Wlliam di samping Ellen, berkata, “Papa.”

“……”!!!

Mata Bintang melebar dan tegang, ia menatap William lalu menarik napas dalam - dalam, tidak bisa dicerna juga tidak bisa dimuntahkan!

William mengangkat kepalanya dan melihat Nino, ia perlahan menjawab, “Ya. Apa?”

Napas Bintang tertahan, seperti ada seseorang menaruh petasan di jantugnya, dan pecah didalamnya!

Nino memutar bola matanya, “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu.”

Setelah Nino selesai bicara, ia memundurkan tubuhnya, lalu menengok ke arah Keyhan.

Nino terasa amat puas dan membalikkan kepalanya setelah Keyhan mengelus kepalanya.

Mata kecilnya melirik Bintang yang ada di seberangnya, ia melihat Bintang mematung berdiri seperti batu yang terduduk di sofa.

Nino menggerakkan sudut bibirnya, ia diam-diam menyandarkan kepalanya di lengan Ellen.

Ellen melihat Bintang dari sudut matanya, hatinya sedikit menghela, ia mengulurkan tangannya membelai-belai kepala kecil Nino.

Ketika Ellen membelai Nino, tangannya yang lain juga digenggam oleh tangan besar yang hangat.

Ellen mengangkat alis dan menoleh kearah orang itu.

Tidak disangka ternyata William sedang menatapnya, tatapan matanya yang dalam memiliki getaran yang kuat.

Hati Ellen berdegub, ia membalikkan kepalanya, lalu menyenderkan kepalanya ke orang itu.

Meskipun Ellen melewatkan pandangannya, tetapi telinga yang tajam telah menghianatinya.

Bintang melihat William menggenggam tangan Ellen, semakin melihat wajah Ellen yang merona merah itu, jantungnya terasa sakit dan hancur.

Dia mengepalkan tangannya dengan erat dan akan bangkit dari sofa.

Di saat ini.

Tiba-tiba terdengar suara Hansen berkata, suaranya terdengar tegas dan tidak bisa dibantah, “Hari ini setelah pulang, segeralah kamu berdiskusi dengan orang tuamu tentang pernikahanmu dengan Vania. Setelah diputuskan, kedua keluarga kita akan bertemu satu sama lain untuk membahas waktu yang tepat untuk menikah. Kemudian menentukan hari dan tanggalnya.”

Vania tertunduk, matanya melirik Bintang yang mengepalkan tangannya dengan kuat hingga ke ruas jarinya menjadi pucat, sudut bibirnya sekilah melengkung dingin.

……

Pada hari kedua setelah tujuh harian Gerald, Ellen meminta Pak Suno untuk membawanya ke pemakaman.

Ellen memegang seikat bunga krisan putih, ia dengan hati-hati meletakkannya di depan batu nisan Rainar, lalu membalikkan badannya untuk duduk di samping, ia menoleh batu nisan Gerald, dan berkata dengan suara serak, “Pa, Ellen datang menemuimu. Tak terasa papa dan aku sudah tidak bertemu selama lebih dari empat tahun. Aku hari ini ingin membawa Tino dan Nino ikut bersama, tetapi mereka harus pergi ke sekolah. Lain kali, aku akan membawa mereka datang ke sini.”

“Oh ya, aku lupa memberitahumu bahwa Tino dan Nino adalah saudara kembar, sama seperti Keyhan, mereka semua adalah anak-anakku. Mereka harus memanggilmu kakek.”

Ellen berhenti sejenak dan melanjutkan, “Orang yang menyebabkan kecelakaan mobilmu waktu itu juga sudah meninggal. Ia meninggal karena uremia. Itu juga merupakan balasannya.”

“Dan juga dalam empat tahun terakhir, aku telah bertemu nenek dan kakak sepupu Dorvo Nie. Aku telah tinggal bersama mereka selama empat tahun.” Ellen menghela napasnya dengan ringan, matanya berkaca-kaca. “Mereka semua sangat baik padaku juga anak-anakku, terimakasih Pa, kamu telah membuatku memiliki keluarga yang baik. Papa, aku pasti akan bahagia... “

“Kamu, siapa kamu?”

Ellen belum selesai berbicara, sudah terdengar suara gemetar yang datang dari arah belakang.

Novel Terkait

Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu