Hanya Kamu Hidupku - Bab 275 Menunggu Panggilan Teleponmu

Tetapi Ellen masih belum tahu, orang yang benar-benar membuatnya susah adalah Sumi.

“ Iya, sekarang aku baik-baik saja, bisa makan, bisa minum, dan bisa tidur.” Pani menertawakan dirinya.

“ Pani, maaf.” Ellen berkata dengan suara serak.

“ Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Kamu tidak salah, aku yang terlalu mementingkan diriku. Tidak peduli kamu, atau....... Sebenarnya, aku tidak begitu penting di dalam hati kalian.”

“ Bukan begini.” Ellen sangat cemas, “ Pani, kamu adalah teman baikku, dan satu-satunya temanku, ini tidak pernah berubah.”

“ Iyakah?” Suara Pani semakin rendah.

Ellen berusaha membuka lebar matanya, ingin menghentikan air mata menetes keluar, dan berkata, “ Pani, masalahnya agak rumit. Tunggu, tunggu kita bertemu, aku akan memberitahumu semuanya, bolehkah?”

Pani lumayan lama tidak berkata, lalu ketika berkata lagi, suaranya sangat dingin, “ Tidak perlu. Ellen, tidak peduli bagaimanapun, aku sangat senang, sangat senang kamu masih hidup.”

“ Pani.” Ellen sangat sedih dan mengerutkan kening.

“ Aku masih ada urusan. Sampai disini saja.” Selesai berkata, Pani tidak memberikan kesempatan berbicara untuk Ellen, dia langsung menutup teleponnya.

Mendengar telepon diputusin.

Air mata Ellen tidak berhenti menetes keluar, dan segera meneleponnya lagi.

Tetapi setiap kali Ellen meneleponnya, Pani selalu memutuskannya.

Ellen menutup rapat bibirnya, sama sekali tidak dapat menyembunyikan kecemasan dan kesedihan dalam hati, menggenggam ponsel dan tidak berhenti menelepon nomor ponsel Pani.

Dia tahu, dia pasti sangat sedih, dan sangat tertekan.

Dia menganggapnya sebagai teman baiknya, merasa sedih, tertekan dan satu-satunya orang yang bisa dia curhat.

Orang yang menangis setelah mendengar dirinya masih hidup.

Ellen tidak ingin kehilangan dirinya, dan tidak boleh kehilangan dirinya.

Ellen berturut-turut menelepon puluhan kali, akhirnya dia mengangkatnya.

“ Pani........” Ellen sangat senang dan tidak berhenti menangis.

“ Apakah kamu gila?” Pani marah sambil menangis, “ Kamu menelepon hingga ponselku kehabisan baterai, kamu harus mengecaskan ponselku!”

Kata permulaan yang sangat komedi, namun Ellen tidak dapat tertawa.

Mendengar kehabisan baterai, Ellen segera melihat ponselnya sendiri, untungnya masih ada lima puluh persen.

Ellen menarik nafas, dan berkata dengan sedih, “ Pani, silakan marah padaku, aku pasti tidak akan membantahnya.”

“ ...... Ponselku kehabisan baterai, bagaimana aku memarahimu?” Pani berkata dengan bangga.

Otak Ellen agak tidak nyambung, “ ..... Kalau begitu, bisakah kamu mengecasnya?”

Pani, “ ......”

Ellen memejamkan matanya, dia juga merasa dirinya bodoh.

“ Aku melihat IQ-mu bukan 180, tapi 250!” Pani berkata dengan tidak segan.

“ Apa yang kamu katakan benar.” Ellen berkata.

“ ..... Dulu kamu bilang IQ-mu 180, itu hanya menipu orang, kan! Sebenarnya kamu sangat bodoh!”

“ Ya, aku bodoh!”

“ Kamu tidak hanya bodoh, kamu juga tidak punya hati dan jantung!”

“ Dulu tidak punya, sekarang ada.”

“ Hehe......”

Pani akhirnya tersenyum, suaranya agak serak, “ Ellen, apakah kamu idiot?”

Ellen menggigit bibir bawahnya dengan hati-hati, mendengar Pani tersenyum, namun dia sendiri tidak berani tersenyum.

Pani berhenti tersenyum dan mendengus berkata, “ Mengapa kamu tidak berkata?”

“ ....... Sudah bisakah aku berbicara?” Ellen berkata dengan lemah.

“ Boleh!” Pani berkata.

Akhirnya sudut bibir Ellen perlahan-lahan terangkat, “ Pani, hehe.”

“ Kamu hanya tahu tertawa.” Pani berkata seperti ini, tapi dirinya sendiri juga tersenyum.

“ ....... Pani, kapan kamu kembali?”

“ Aku tidak ingin kembali!” Pani sengaja berkata seperti ini.

“ Kalau begitu aku pergi mencarimu?”

“ Siapa suruh kamu datang?”

“ Aku ingin pergi sendiri.” Ellen berkata dengan suara kecil.

“ Hiks.” Pani mendengus berkata.

Ellen mengedipkan matanya, “ ......Pani, orang yang mengangkatkan ponselmu tadi......”

“ Ellen, aku masih marah, kamu malah ingin menggosip tentang masalahku? Apa yang kamu pikirkan?” Pani berpura-pura marah.

Ellen tidak berani bertanya lagi, meskipun hatinya sangat penasaran.

Beberapa saat kemudian.

Pani berkata dengan nada rendah, “ Dia adalah Pemilik rumah, jangan sembarang berpikir.”

Pemilik rumah?

Ellen tertegun, bukankah dia kuliah di sana? Mengapa tidak tinggal di kos sekolah?

Sepertinya mengetahui kebingungan di hati Ellen, Pani berkata, “ Sekarang sudah tahun ke empat, banyak orang yang pindah keluar dari sekolah. Aku sudah menemukan pekerjaan di sini, dan tempat kerja agak jauh dengan sekolah. Jadi tinggal di sini, lebih mudah untuk berangkat kerja.”

“ ...... Oh.” Ellen memutar matanya dan berkata.

Meskipun hatinya tahu, hubungan Pani dan pemilik rumah ini tidak begitu sederhana, tetapi Ellen tidak banyak bertanya.

Ya, karena tidak berani banyak bertanya!

“ Ellen.....”

Pani berkata dengan ragu-ragu.

Ellen tertegun, “ Ya?”

“ Sekolah meminta aku mengumpulkan karangan essay ke sistem administrasi pendidikan sebelum jam dua belas. Aku masih ada sedikit yang belum selesai, jadi, jadi.......” Pani berkata dengan hati-hati.

Dia takut Ellen menyangka dia tidak ingin melayaninya.

Ellen mengerti dan tersenyum berkata, “ Kalau begitu kamu sibuk dulu, tunggu kamu selesai sibuk baru hubungi aku.”

“ Kalau begitu aku......”

“ Ya ya, kamu tutup saja.” Ellen langsung berkata.

Pani mendengarnya, langsung tahu Ellen tidak banyak berpikir, baru dia menutup teleponnya.

Ellen melepaskan ponsel dari telinganya, tiba-tiba terpikir Pani mengatakan dirinya telah menemukan pekerjaan di sana......

Dia telah menemukan pekerjaan di sana, apa mungkin dia benar tidak ingin pulang lagi?

Ellen mengerutkan bibirnya, mengambil ponsel dan ingin langsung menelepon Pani.

Tapi sebelum menekan tombol telepon, Ellen memindahkan tangannya dari layar ponsel.

Menarik nafas dan memutuskan untuk bertanya lain kali.

……

Selesai bertelepon dengan Pani, Ellen pergi ke bawah dan sedang menunggu seseorang.

Jam sepuluh setengah, seseorang masih belum kembali.

Ellen duduk silang di atas sofa, mengeluarkan ponsel dan menelepon William.

Setelah terhubung sekitar belasan detik kemudian, baru diangkat.

“ Akhirnya terpikir untuk meneleponku?”

Terdengar suara pria yang bernada rendah dari dalam telepon.

Ellen kaget, “ ..... Kamu tahu aku yang menelepon?”

Dia baru mendapat nomor ini tadi siang, oke?

William tidak langsung menjawab perkataan Ellen, tapi berkata, “ Aku menyangka kamu tidak ingin aku tahu nomor ponselmu.”

Ellen mengerutkan kening, dan lupa untuk terus bertanya tentang masalah tadi, “ Masih sibuk?”

“ Sudah hampir selesai.” Ketika William berkata, Ellen masih terdengar suara menekan keyboard.

Ellen mengerutkan kening, “ Apa yang kamu makan tadi siang dan malam?”

“ Peduli padaku?” Suara menekan keyboard berhenti, hanya terdengar suara seseorang yang lembut.

Hati Ellen menghela nafas, “ Kamu adalah papa Nino dan Tino, bukankah sangat normal kalau aku mempedulikanku?”

“ Ya, hanya karena aku adalah papanya Tino dan Nino.” Terdengar lagi suara keyboard.

Ellen mencibir, “ Kamu kira-kira masih berapa lama?”

“ Segera.”

Seiring berhentinya suara keyboard, Ellen mendengar suara kursi bergerak, kemudian suara langkah kaki.

“ ..... Kamu sudah mau kembali?” Ellen duduk tegak.

“ Ya. Aku sedang menunggu kamu telepon dan menyuruhku pulang.” William tersenyum, “ Kalau tidak aku tidak berani pulang.”

Ellen memutar bola matanya ke atas.

Kapan dia begitu “ takut” padanya?

Berani sekali mengatakannya!

“ Hati-hati di jalan.” Ellen berkata.

“ Oke.” William menjawab dengan lembut.

Ellen menggerakkan sudut bibirnya dan menutup telepon.

Meletakkan kedua kakinya dari sofa, bangkit dan berjalan menuju ke arah dapur.

……

Garasi parkir bawah tanah Grup Dilsen.

William duduk masuk ke kursi pengemudi dan akan meletakkan ponselnya di dashboard, tetapi ponsel tiba-tiba bergetar di telapak tangannya.

William tertegun, mengambil mendekat dan melihatnya.

Matanya yang gelap melihat nama penelepon yang berkedip di layar ponsel selama beberapa detik, kemudian mengeluarkan headset Bluetooth dari dalam laci, dan meletakkannya di telinga, menarik sabuk pengaman dan mengikatnya, menyalakan mobil dan mengemudinya menuju luar garasi parkir.

William mengemudi mobil keluar dari garasi parkir, baru terdengar suara orang tua yang tebal dari dalam telepon, “ Baru saja keluar dari perusahaan?”

“ Ya.” William berkata.

“ Jangan hanya tahu bekerja, kamu juga harus menjaga kesehatanmu.” Suara Hansen sangat lemah, sepertinya penuh dengan tidak berdaya.

Mata William berkedip, “ Aku tahu.”

“ Ya, aku tidak apa-apa. Hanya tidak bisa tidur, jadi meneleponmu sebentar.” Hansen berkata.

William tidak berkata.

Lalu, keduanya terdiam sejenak.

Lumayan lama kemudian.

Dalam ponsel terdengar suara panggilan telepon diputusin.

Tenggorokan William bergerak, seperti biasanya melepaskan headset bluetooth, dan melemparkannya ke laci dalam mobil.

Pada saat yang sama, kaki yang diletakkan di pedal gas, tiba-tiba menginjak ke bawah.

Mobil melaju bagaikan roket.

……

Tidak sampai setengah jam, mobil berhenti di depan Vila.

William melepaskan sabuk pengamannya, menatap pintu vila, dan beberapa saat kemudian baru membuka pintu mobil dan melangkah masuk ke dalam Vila.

Sampai di pintu masuk, William segera mencium wangi hidangan, matanya langsung bersinar.

William melepaskan sepatu kulit, mengenakan sandal, dan bergegas masuk ke dalam dapur.

Dalam dapur, Ellen selesai memasak hidangan terakhir, dan menaruhnya di piring. Begitu api dimatikan, dia dipeluk dari belakang.

Ellen mengerutkan kening, segera memutar kepala melihat.

Tetapi belum melihat jelas, bibirnya langsung ditutup.

Ellen mengepal erat tangannya, membuka lebar matanya, dan melihat wajah pria yang tampan dan mendekat.

William menatap Ellen, dengan tatapan api membara, dan mengelilingi Ellen di dalam matanya.

Ellen terengah-engah, kepalanya bersandar ke belakang, “ Aku memasak beberapa hidangan sederhana, uhh.....”

Sebelum Ellen selesai berkata, seseorang mencium pada bibirnya lagi, satu tangannya tanpa sadar memegang di meja dapur, dan tubuh Ellen sedikit bergetar.

William menyadarinya, tangan besarnya segera memegang pinggangnya membalikkan tubuhnya berhadapan dengannya, satu tangannya lagi mengangkat dagunya, ibu jarinya menyentuh bagian dagu, kemudian menarik kebawah, Ellen terpaksa membuka mulutnya, baru saja membuka mulutnya, bau aroma miliknya masuk ke mulut bagaikan api membara.

Novel Terkait

Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu