Hanya Kamu Hidupku - Bab 83 Sudah Hampir Menangis

Namun, Dara tidak ingin menghentikan topik ini.

Menatap sosok punggung Ellen, dia berkata dengan tenang, “Tetapi kalau bilang hubungan Tuan Dilsen dan Nona Nie tidak baik, tidak mungkin ada yang percaya. Karena Tuan Dilsen bahkan bisa keluar masuk kamar tidur keponakannya sesuka hati di tengah malam.”

Ellen langsung tertegun, wajahnya menjadi suram, dia memutar kepalanya menatap ke arah Dara dengan pandangan yang tajam.

Hati Dara bergetar karena pandangan Ellen, dia menarik napas dingin.

Sepertinya dia tidak menyangka Ellen yang terlihat lemah lembut akan menatapnya dengan tatapan yang begitu dingin dan suram.

“Nona Nie......”

“Guru Dara, apa yang ingin kamu katakan?” Ellen berkata dengan nada suara dingin, menatap Dara dengan pandangan yang tidak lembut sama sekali.

“Aku, aku tidak ingin mengatakan apapun.” Suara Dara sedikit bergetar.

Ellen berbalik dan berjalan ke depan Dara, “Guru Dara, kamu sebagai seorang guru, seharusnya lebih tahu dari siapapun, bahaya dari sebuah perkataan. Perkataan yang diucapkan Guru Dara tadi, aku bisa anggap tidak mendengarnya. Tetapi kalau Guru Dara mengatakan ini pada yang lain, apa yang akan dipikirkan orang lain dan bagaimana menyebarkannya, apakah Guru Dara pernah memikirkannya? Dan juga, kalau kata-kata ini didengar oleh pamanku.....”

“Nona Nie, apakah kamu sedang mengancamku?” Wajah Dara menjadi pucat, namun matanya menatap Ellen dengan penuh kesombongan.

Ellen menyipitkan matanya, “Aku sedang mengingatkanmu, perkataan buruk menyakiti orang serta........ Kemalangan berasal dari mulut!”

Dara, “.......”

Pandangan Ellen penuh kedinginan, “Mari kita mulai.”

Selesai berkata, Ellen berbalik dan berjalan ke depan sofa, duduk di karpet, mengeluarkan headset dan kertas ujian bahasa Inggris, mulai mengetes pendengaran.

Kedua tangan Dara mengepal erat, menatap Ellen dengan matanya yang memerah.

Perkataan yang dia katakan tadi, sangat jelas sedang mengancamnya.

Jika kata-kata yang baru saja dia katakan diketahui William, jangankan di sini, mungkin saja dia tidak dapat tinggal di seluruh kota Tong.

Dara menggertakkan giginya.

Menatap Ellen dengan pandangan penuh kebencian.

Dia hanyalah seorang anak angkat, Tuan menyayanginya selama beberapa tahun, dia malah menganggap dirinya penting!

.........

Siang hari, William tidak kembali ke Villa untuk makan siang.

Selesai makan, Ellen langsung kembali ke kamarnya, dia tidak banyak berkomunikasi dengan Dara, dan sama sekali tidak berkata.

Kembali ke kamar, Pani meneleponnya.

Ellen duduk di depan meja belajar, mengambil pena dan memutarnya dengan jari tangan.

“Ellen, bagaimana keadaanmu? Mengapa tidak datang ke sekolah? Apakah terjadi sesuatu lagi padamu?” Pani berkata dengan panik.

“Ya, wajahku terluka.” Ellen berkata dengan acuh tak acuh.

“Hehe, kamu sembarang berkata lagi.” Pani sama sekali tidak percaya.

Ellen mencibir, “Perlukah aku mengirimkan selembar fotoku padamu?”

“Kirimlah ke sini!” Pani berkata.

“Kamu harus siap mental, jangan-jangan nanti terkejut, malam mimpi buruk.” Ellen berkata.

“..... hey, apakah yang kamu katakan benar?” Pani mendengar nada suara Ellen agak aneh, tertegun dan berkata dengan kaget.

“Tidsk mungkin aku berbohong.” Ellen berkata.

“Apa yang terjadi? Siapa yang melukaimu? Hey Ellen, aku tidak mengagumi siapapun, aku hanya mengagumimu seorang! Dalam semester ini, sudah berapa kali kamu terjadi sesuatu, kamu benar-benar hebat.” Sebenarnya Pani sangat khawatir, namun dia sengaja mengejek Ellen.

Ellen tersenyum pahit, “Aku juga sangat mengagumi diriku.”

“Aku tidak tahu apa yang seharusnya kukatakan. Bagaimana? Apakah luka kali ini parah? Sebenarnya siapa yang begitu berani hingga melukaimu? Apakah dia tidak takut Pamanmu akan membunuhnya!”

“Bukan sengaja.” Ellen berkata.

“Siapa? Kamu harus memberitahuku siapa dia. Kalau tidak aku tidak tahu siapa yang harus aku kagumi.” Pani berkata dengan ceroboh.

“Dasar!” Ellen mendengus.

“Hehe.” Pani tersenyum manis, “Katakanlah, siapa sebenarnya?”

Ellen menghela nafas dan berkata, “Siapa lagi, Vania yang selalu berlawanan denganku.”

“Lalu kamu masih bilang dia bukan sengaja! Kalau Vania, aku bisa pasti dia sengaja.” Pani mendengus berkata.

“Kali ini benar-benar bukan sengaja.” Ellen berkata.

Apa reaksi Pamanmu setelah mengetahui Vania melukaimu?”

Pani lebih tertarik dengan ini.

“........ Reaksi apa?”

Ellen agak tegang.

“Chie.....”

Ellen mencibir, “Pokoknya, dia lumayan marah.”

“Lalu apakah dia melakukan sesuatu pada Vania? Apakah dia membalasnya?” Pani bertanya dengan semangat.

“Ketika Paman kembali, Vania sudah keluar kota bersama kakek dan nenek. Sekarang masih belum kembali.” Ellen berkata.

“Apa.”

Suara Ellen sangat kecewa.

Ellen memutar bola matanya ke atas, “Pani, bukankah sekarang kamu lebih harus mempedulikan situasiku?”

“Hehe, peduli peduli. Sore setelah pulang sekolah, aku langsung pergi ke Villa, oke?” Ellen berkata.

Ellen kaget, “Kamu berani datang?”

Setelah hari ulang tahun Ellen yang ke 15, dia tidak pernah datang lagi ke sini.

Sekarang Ellen berpikir.

Mungkin karena Pani melihat Pamannya menciumnya, jadi terkejut dan selalu sengaja menghindar untuk datang ke Villa.

“Apa yang kamu katakan, mengapa aku tidak berani datang! Dunia begitu besar, tidak ada tempat yang tidak berani ku pergi.” Pani berkata tanpa merasa malu.

“Hehe.”

“Ellen........”

“Pani....”

Terdengar suara Pani dan suara pria yang lembut dari dalam telepon.

Ellen tertegun, segera duduk tegak dan mendengarnya.

“Kamu, mengapa kamu datang?” Pani berkata.

“Bocah kecil, kamu sudah tahu namun sengaja bertanya, kan?”

Dasar...... Suara ini terlalu menggoda!

Ellen memegang lengannya sendiri.

Salah…….

Mata Ellen berkedip.

Mengapa suara ini begitu familiar!”

Du...du....du.......

Sebenarnya Ellen masih ingin mendengar suara itu, namun panggilan teleponnya langsung ditutup Pani.

Ellen, “.......”

……

Ellen mengerutkan kening, dengan wajah penuh curiga, dia membuka pintu keluar dari dalam kamar.

Bump..... langsung banting ke sebuah “dinding” yang keras.

Ellen menarik nafas, mengangkat kepala menatapnya.

Ellen tertegun ketika melihat wajah tampan yang familiar itu, “Paman?”

Bukankah dia bilang ada urusan dan tidak akan kembali pada siang hari? Mengapa dia kembali sekarang?

William memeluk pinggangnya, menatapnya dengan tatapan menyalahkan, “Apa yang sedang kamu pikirkan, hingga tidak melihat jalan.”

Suhu tangannya melewati kain yang tipis masuk ke dalam, membuat Ellen teringat adegan tadi pagi.

Telinganya memerah, dia menggoyangkan tubuhnya dengan kaku ingin mundur dari pelukannya.

William mengetahui tujuannya, tangannya langsung menekan bagian pinggangnya.

Ellen langsung tidak dapat bergerak, bibirnya yang lembut mencibir, dan menatap William dengan tatapan tidak puas.

“Sedang bertanya padamu? Apa yang kamu pikirkan?” William bertanya dengan nada tegas, seolah-olah sedang memberitahu Ellen, kalau dia tidak menjawab, maka dia tidak akan melepaskannya.

“Tidak memikirkan apapun.” Ellen berkata dengan nada manja, den mengerutkan kening.

William memeluk pinggangnya dan membawanya menuju ke dalam kamar.

Ellen terkejut, dan segera melihat di sekitar koridor, dan menemukan tidak ada orang lain selain mereka berdua, hatinya yang tegang barulah terasa lega.

William merangkulnya dan berjalan ke dalam kamar, mengangkat kaki dan menendang kamar, berbalik dan langsung menekan Ellen ke pintu, menundukkan wajahnya yang tampan, menatap Ellen yang sedang mengedipkan matanya, berkata dengan nada rendah, “Apakah kamu rindu padaku?”

“.......” Wajah Ellen sangat panas, kepalanya memiring ke sebelah, mulutnya mencibir dan tidak berkata.

Sudut mulut William terangkat, mencium di pipinya dan kemudian mencium di telinganya.

Leher Ellen terasa kebal, nafasnya menjadi kencang, kedua tangannya mendorong lembut pada William, “Paman, jangan, geli.....”

Geli?

Tatapan William menjadi mendalam, tubuhnya yang kuat menekan ke tubuh Ellen yang kecil, dan berkata dengan nada serak dan menggoda, “Bagian mana geli?”

Mana mungkin Ellen ngerti dengan kata-katanya.

Dia bertanya seperti begitu, dia langsung menjawab, “Telinga.”

Tangan William memeluk di pinggangnya, dan menatap wajahnya, “Jadi apa yang kamu ingin Paman lakukan?”

“Lakukan apa?”

Ya lepaskan!

Mata Ellen memerah, sudah hampir menangis!

Dia tidak mengerti.

Apakah semua pria suka bersikap seperti itu?

Tenggorokkan William bergerak, tangan yang diletakkan di pinggangnya, tiba-tiba masuk ke dalam pakaiannya, dan menuju ke bagian bawah.

“Ah.......”

Ellen berteriak, tangannya yang panik menekan tangan William, wajah yang memerah juga memutar ke arahnya.

Dan tepat ketika dia memutar kepala, bibirnya langsung menempel ke bibirnya.

Ellen membuka lebar matanya, dan mulai berlinang air matanya.

“Masih sakit?”

William melepaskan tangannya, dan tidak bersikeras meneruskan, dia mengambil kembali tangannya dan meletakkannya di perutnya yang rata, sambil mencium di bibirnya yang lembut, lalu bertanya, “Tadi pagi aku melihatmu memegang bagian perut, apakah aku menyakitimu?”

Ellen terengah-engah, tubuhnya yang kecil bergetar tak terkendali, dan air mata berlinang, “Aku ingin pergi belajar.....”

William melihat air matanya berlinang, “Lain kali aku akan lebih berhati-hati, tidak akan menyakitimu lagi.”

“......” Bolehkah tidak mengatakannya lagi?

Ellen mengedipkan bulu matanya yang panjang, dia sangat malu, lalu berkata, “Guru Dara masih menungguku di ruang studi.”

William menatapnya, tertegun sejenak dan berkata, “Dia sudah pergi!”

“……”

What?

Ellen menatapnya dengan bingung, “Apa, apa maksudnya?”

William memeluk erat padanya, dia mencium dari bibir ke hidungnya, barulah menundukkan mata menatapnya dan berkata, “Sifatnya tidak jujur, tidak cocok mengajarimu.”

Ellen tidak dapat peduli dia memeluk erat padanya, dia mengerutkan kening dan berkata, “Kapan kamu menyuruhnya pergi?”

Tadi mereka masih makan siang bersama.

Apa mungkin pada saat dia sedang bertelepon dengan Pani?

William menyentuh alis Ellen yang berkerut, dan berkata, “Jangan bicarakan dia lagi. Paman Sumi akan membawa guru les baru ke sini nanti.”

Baru saja memecat, sekarang mencari lagi yang baru?

Ellen menaikkan sudut mulutnya dan berbisik, “Paman, sebenarnya aku bisa pergi ke sekolah. Palingan aku tidak makan siang di kantin, aku makan di dalam kelas.”

William menatap Ellen dengan penuh kasih sayang, dan berkata, “Aku enggan melihatmu begitu lelah.”

Ellen melihat bibirnya yang terangkat, hatinya bergetar dan terharu.

Novel Terkait

Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
3 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu