Hanya Kamu Hidupku - Bab 413 Apa Hati Nurani Kalian Tidak Sakit

Ellen tercengang, terkejut dan kebingungan melihat Pani.

Pani memejamkan mata dengan kesal, mungkin juga merasa dirinya tadi terlalu jelas mau menutupi.

Ellen menarik nafas, "Pani, kamu berdiri sebentar juga tidak akan mengganggumu membaca buku."

Pani membuka matanya, melihat Ellen dengan sedikit tak bersalah dan kasihan, "Aku terlalu capek, tidak ingin berdiri."

"Berdiri sebentar saja." Ellen membujuk.

Panin menundukkan dagunya, dengan lambat menggeleng, "Tidak ingin berdiri."

"Pani......"

"Ellen, aku masih sedang belajar ulang, lain hari baru datang cari kamu lagi, begini dulu, kumatikan dulu."

"Pani, kamu....."

Ellen belum menyelesaikan perkataannya, Pani sudah langsung memutuskan video call mereka.

Ellen mengerutkan kening, tangannya berada di atas keyboard mengetik: Pani, kamu ingin memutuskan hubungan ya?!

Kira-kira setelah satu menit.

Pani dengan lemas membalas dua emotikon kasihan.

Ellen masih dengan wajah murung, melihat layar komputer, otaknya malah cepat sekali membalas.

Kira-kira setelah dua menit lebih, Pani membalas pesan: Ellen, aku belum memberitahumu ya, magangku sudah lewat [dibarengi dengan emotikon tertawa terbahak].

Ellen menyipitkan mata, berpikir keras: Pani, kamu kalau mengganti pembicaraan topik, ya ganti saja, tidak perlu maksa gitu, aku sampai merasa canggung untukmu!

Ellen tidak membalas.

Setelah beberapa saat.

Mungkin Pani sudah berkonflik dengan batinnya sekian lama, lalu dengan sendirinya memanggil via video call.

Ellen menarik sudut bibirnya, juga tidak sok, langsung menerimanya.

Saat layar memunculkan wajah Pani yang tersenyum ingin menjilat, Ellen langsung menaikkan alisnya, memperhatikannya dengan diam.

Dia sudah kurus.

Dan juga kurusnya tidak bisa membohongi sudut pandang, efek video ini hanya alasan saja!

Ellen sedih sekali, tapi ekspresinya semakin serius.

"Ellen, aku terlalu capek, benar-benar tidak mau berdiri, aku hanya membuat kesepakatan kecil denganmu, tolong mengerti karyawan yang lelah ini, oke?"

Pani melihat Ellen benar-benar merah, menatapnya, berkata dengan merendah.

"Kamu bilang kamu sudah capek, tidak ingin berdiri. Baik, aku tidak memaksamu. Nanti kamu bilang aku tidak mengerti kamu." Ellen merapatkan bibirnya, menatapnya dengan tajam.

Jelas sekali Pani keringatan, memandang Ellen tidak berani berbicara.

"Pani, apakah aku masih teman baikmu?" Tanya Ellen.

".......Ellen, pertanyaanmu ini terlalu kekanakan, aku mengira hanya anak SD yang bertanya seperti ini." Pani tertawa, ingin mencairkan suasana serius ini.

Ellen hanya menatapnya.

Garis hitam Pani, mengangkat tangannya dan menyisipkan rambutnya, dengan menurut menjawab, "Tentu saja iya."

Ellen baru mengangguk dengan senang, "Empat tahun lalu aku membohongimu kalau aku masih hidup, bukankah aku sudah meminta maaf kepadamu, dan juga kamu juga sudah memaafkanku?"

".......Ehn, benar." Pani sedikit tercengang, melihat Ellen, "Ellen, kenapa tiba-tiba membicarakan ini?"

"Selain hal ini, apakah aku pernah berbohong padamu?" Tanya Ellen langsung.

Pandangan Pani sedikit mengeles, kira-kira sudah mengerti maksud Ellen, "......Tidak."

Ellen menatapnya lurus, "Lalu bagaimana denganmu? Apakah ada membohongiku sesuatu?"

Wajah Pani menadi kaku, sepasang matanya yang memang tidak kecil, karena sudah kurus, menjadi lebih besar, melihat Ellen seperti itu, kegugupan di matanya tidak bisa ditutupi.

Ellen melihatnya demikian, hatinya juga berdenyut sakit.

Dia tidak ingin memaksanya seperti ini.

Dia juga mengerti, setiap orang mempunyai satu atau dua hal yang tidak ingin dibagikan dengan orang lain, meskipun dengan orang terdekat yang disayangi, teman paling baik........

Hanya saja, Ellen benar-benar sangat khawatir kepada Pani.

Apalagi sikapnya berbeda sekali, membuat Ellen semakin tidak tenang.

Sebenarnya, keheningan diantara mereka berdua tidak berlangsung lama, hanya 2 atau 3 menit.

Tapi bagi Ellen dan Pani, malah waktu yang amat sangat panjang/

Karena kedua orang ini berbicara berhadapan seperti ini, tidak pernah ada keheningan selama ini.

Akhirnya.

Pani membuka suara, di detik itu terdengar keserakan yang sangat tak biasa, "Aku ada."

Mata Ellen menjadi panas.

Bukan sedih karena Pani membohonginya.

Tapi karena dia tersiksa sekali saat mengatakan dua kata ini, membuat Ellen sangat sedih!

"Maaf Ellen." Mata Pani menjadi merah, tapi tetap tersenyum pada Ellen, "Dulu kamu pernah membohongiku, sekarang aku juga ada sesuatu harus bohong padamu sementara. Kamu harus memaafkanku."

Ellen sudah mengerti maksud Pani.

Pani membohonginya sesuatu, tapi sekarang ini Pani tidak bisa memberitahunya.

Dulu Ellen yang membohonginya, dan juga Pani sudah memaafkannya.

Sekarang kedua orang ini ganti posisi, dia mebuat Ellen juga memaafkannya sekali. Impas.

Ellen menjulurkan tangannya menggosok keningnya, dengan telapak tangan menutupi matanya sendiri, "Pani, aku tidak menyalahkanmu, tidak perlu mengatakan maaf atau tidak."

Ellen menurunkan tangannya, melihat wajah Pani yang sedih, "Bagaimana kamu mau menyelesaikannya? Kamu tau tidak kamu kurus sekali?"

".......Ehn." Pani mengangguk, "Kamu tenang saja, aku bisa mengurusinya."

Ellen berpikir lagi, tidak bisa menahan dan bertanya lagi, "Bukan masalah kesehatan kan?"

Dia tau Ellen bertanya lagi karena terlalu khawatir padanya, takut terjadi sesuatu padanya.

Pani menggunakan tangan mengusap hidungnya yang sudah ngilu, berkata, "Bukan."

Ellen bernafas lega, dengan cepat juga tidak bisa menahan berkata, "Dulu bukankah kamu jago sekali makan? Sekarang sudah bekerja, harus makan lebih banyak lagi. Harus makan sarapan, jangan bergadang."

Pani menundukkan kepala, tangannya yang terletak diatas buku, jarinya bergerak, mengangguk, "Ehn."

Setelah sebentar, dengan cepat mengangkat kepalanya melihat Ellen, tertawa, "Memang benar orang yang sudah menjadi mama, cerewet sekali."

Ellen tercengang, juga ikut tertawa, berdehem berkata, "Juga hanya kamu saja. Ada paman ketiga disini, urusan rumah tidak perlu aku khawatirkan."

"Cih~~"

Pani menggunakan telapak tangannya mengusap matanya, mengangkat kepala melihat Ellen, dengan hina berkata, "Tidak perlu pamer mesra padaku."

"Cintaku dengan paman ketiga bukan pamer, tapi berjalan begitu saja, tau tidak?" Kata Ellen.

".........benar-benar mengesalkan!" Pani memeluk dadanya, wajah penuh kesal melihat Ellen.

Pani tertawa, "Kamu berani berakting lebih berlebihan tidak?"

"Bayar tidak? Kalau kamu membayarku, aku akan berakting untukmu."

"Bye!"

"Haha~~"

........

Ketika waktu sudha subuh William baru kembali ke kamar utama.

Awalnya mengira Ellen sudah tertidur, tidak ingin membuka pintu langsung melihat Ellen melamun sambil bersandar pada kepala tempat tidur, wajahnya sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

William mengerutkan keningnya, menutup pintu, berjalan maju beberapa langkah, duduk di samping tempat tidur, kepalanya menghadap Ellen, "Kenapa?"

Bola mata Ellen bergerak, melihat William, terdapat khawatir yang samar di dalam mata yang jernih itu, "Paman ketiga, aku ingin berdiskusi mengenai suatu hal."

"Ehn." William membawakan satu tangannya ke telapak tangannya, melihatnya, "Katakan."

"Aku ingin pergi ke kota Yu, boleh tidak?" Ellen takut William tidak setuju, suara tertekan dan tidak tenang.

William melihat Ellen, "Apa kamu merasa aku harus bilang boleh?"

"Paman ketiga, aku tau aku sekarang sedang hamil tidak cocok pergi kesana kemari, tapi kamu lihat aku lumayan sehat, tidak ada masalah. Asalkan berhati-hati sedikit, tidak akan ada hal buruk yang terjadi." Ellen berusaha membujuk.

"Tidak......." Kata itu terlontar.

Pupil William sedikit menyipit, dengan curiga melihat Ellen, "Beri aku alasan."

Ellen senang, mengira masih bisa didiskusikan, lalu berkata, "Aku ingin pergi melihat Pani, aku selalu merasa akhir-akhir ini dia aneh sekali, dia menjadi kurus sekali. Hari ini waktu video call dengannya, aku hanya menyuruhnya berdiri, agar aku bisa melihat dia kurus berapa banyak, tidak kusangka dia menolak, benar-benar naeh sekali. Aku sungguh khawatir padanya, berpikir kesana kemari, lebih baik pergi langsung kesana melihatnya, paling bagus kalau tidak ada apa-apa, aku juga bisa tenang."

Mendengar Ellen selesai berbicara.

William pun melihat Ellen, juga tidak tau mau mengatakan apa, sedikitpun tidak terlontarkan.

Ellen masih menunggunya setuju, tapi dia hanya terdiam.

Ellen mengerutkan keningnya, dengan aneh melihat William, "Paman ketiga, paman ketiga......."

"Jangan berpikir macam-macam, tidurlah."

Ellen membelalakkan matanya.

Dia menunggu begitu lama, hanya mendapatkan sepatah......jangan berpikir macam-macam?

Lalu bagaimana dengan diskusi yang sudah dijanjikan?

"Paman ketiga......."

"Sebelum anak kita lahir dengan selamat, jangan berpikir untuk pergi kemana-mana!"

William langsung dengan dominan memotong perkataa Ellen, berdiri langsung pergi ke kamar mandi, tidak memberikan Ellen kesempatan untuk berbicara.

Ellen benar-benar.

Hanya bisa menegakkan leher melotot ke arah kamar mandi!

Benar-benar terlalu meremehkan!

Kalau tidak boleh pergi lalu untuk apa bertanya sebanyak itu? Apa lucu sekali menggodanya! (William dengan wajah serius: Lumayan!)

.......

Hari kedua, di kantor presdir perusahaan Dilsen.

William duduk di kursi kebesaran di depan meja kerjanya, Sumi, Frans, dan Samir duduk di sofa.

Asisten yang baru dipekerjakan di perusahaan adalah seorang wanita, lulus di universitas bergengsi di luar negri, namanya Vera.

Samir mengangkat kaki duduk di sofa, memegang dagunya melihat kopi yang diantar masuk, Vera yang mengantarkan Vera meletakkan kopi, tidak lama berhenti, langsung meninggalkan kantor.

Detik saat pintu kantor tertutup, Samir dengan senyum iblis melihat William, "William, asisten baru lumayan juga."

Memang lumayan.

Vera cantik, tubuhnya bagus dan langsung, aura mempesona, juga sangat berbakat.

Wanita yang cantik dan berbakat, tidak peduli ditempatkan dimana saja, selalu akan dengan mudah mendapatkan "komentar bagus".

Mendengar demikian.

William masih belum ada ekspresi apapun.

Sumi dan Frans memunculkan senyuman yang dirasakan sesama pria.

William menatap Samir dingin, "Kamu selalu merasa bagus asalkan wanita!"

Sumi dan Frans tertawa semakin kuat.

"Seleraku tinggi." Samir berdecih, "Sumi, Frans, menurut kalian asisten baru William bagus kan?"

Sumi mengetuk di atas pahanya, "Tidak lihat."

Frans, "........" Pura-pura!

Frans melejitkan bahunya, "Jauh dibawah kesayanganku."

Sumi, "......" Dasar, satu persatu munafik sekali!

"William, kamu katakan sesuatu sesuai hati nuranimu, asisten barumu bagaimana?" Sumi dengan tidak puas melihat William, berkata.

William meliriknya, "Di dunia ini, selain mamaku, kakakku, dan istriku, semuanya adalah pria!"

Sumi muntah darah, menggeram, "Apa hati nurani kalian tidak sakit?!"

Novel Terkait

My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu