Hanya Kamu Hidupku - Bab 284 Semua Berjalan Sesuai Rencana

Bukan hanya Pani yang membenci hubungan yang seperti ini, wanita manapun yang berada di posisinya juga tidak akan suka! Semua akan merasa tidak tahan!

Ellen berusaha menahan diri menunggu 2-3 jam lamanya, lalu menelfon nomor Pani.

Begitu telepon tersambung, Pani langsung mengangkatnya.

“ Ellen, aku baru akan menelfonmu. Aku sampai…. Darius Mu, kamu bermasalah ya, minggir!”

“ Apakah itu teman kecilmu yang itu? Ketika itu tidak sempat berkenalan setelah mengangkat telepon, berikan ponselmu, aku ingin mempererat hubungan sedikit.”

“ Males!”

setelah Ellen mendengar perbincangan itu, terdengar suara hembusan angin dari balik ponsel.

“ Pani…”

“ Ellen.” Suara Pani yang terdengar dari balik telepon sekarang sedikit terengah, seperti habis berlari, “ Aku sudah menemukan pekerjaan di Kota Yu, penanggung jawabnya menghubungiku pagi ini secara mendadak, ia memintaku untuk datang mengurus administrasi masuk kerja siang ini, kalau melewati waktu yang ditentukan maka tidak akan berlaku lagi. Pagi tadi aku berangkat dengan terburu-buru, sama sekali tidak sempat memberitahumu.”

Hari sabtu mengurus administrasi masuk kerja?

Ellen hanya mengetatkan bibirnya, tidak bersuara.

“ Aku mengambil kuliah jurusan Bahasa Prancis, perusahaan yang kulamar adalah perusahaan interpreneur, menjadi penterjemah, fasilitas yang didapat lumayan, namun kejelekannya mungkin akan sering lembur.” Pani berkata dengan pelan.

Ia bisa mendengar Pani sedang menjelaskan padanya.

Ellen hanya bisa menghela.

Tidak perduli Pani sedang menutupi lukanya atau sedang menghindar.

Sekarang Ellen tidak ingin membongkar kedoknya, kalau sampai dia benar-benar melihat Sumi dan Linsan bersama, Pani pasti pergi dengan membawa luka juga kekecewaan yang begitu besar. Jadi, meskipun dia sedang berbohong, Ellen juga tidak akan tega membongkar kebohongannya.

“ Pani, berjanjilah satu hal padaku.” Ellen berkata.

“ ….. apa?”

“ Jaga dirimu dengan baik.”

Pani tidak bersuara.

Ellen berusaha tersenyum pada ponselnya, “ Kalau sempat aku akan membawa Tino dan Nino ke Kota Yu untuk menengokmu.”

Pani tetap tidak bersuara.

Ellen mengerjapkan mata, “ Pani, kamu akan baik-baik saja, iya kan?”

“ …… Hm.”

Akhirnya, Pani tidak mengatakan apapun lagi, hanya satu kata ‘hm’ lalu memutus sambungan telepon.

Ellen menurunkan ponsel dari telinganya perlahan, melihat kearah langit biru yang berada di luar villa, tanpa sadar menghela nafas panjang.

……

Siang hari, William tidak pulang untuk makan siang.

Pukul 4.30 sore, Ellen khawatir mengganggi kerja seseorang kalau menelfon, sehingga mengirimkan pesan untuk bertanya apakah mala mini dia pulang untuk makan malam atau tidak.

William hanya menjawab satu kata ‘hm’.

Ellen langsung tahu kalau dia sedang benar-benar sibuk, kalau tidak ia tidak mungkin membalas sesingkat itu.

Karena tahu William akan pulang untuk makan malam, Ellen turun tangan untuk memasak sendiri.

Darmi menjadi asistennya, membantunya menyuci sayur dan lainnya.

Dan kelebihan kedua bocah adalah, mereka berdua bermain bersama, tidak merasa kesepian, tidak bosan…. Disaat yang bersamaan, tidak perlu merasa khawatir para bocah akan membuat onar dan membuat kekacauan.

Melihat Ellen yang merebus kaldu, menumis, mengontrol besar api dan memberi bumbu dengan santai.

Darmi merasa senang juga sedih, ia berkata dengan perih, “ Aku masih ingat pertama kalinya nona membuat sup penghilang mabuk untuk tuan muda, bahkan menyalakan kompor saja tidak bisa.”

Ellen meletakkan kepiting yang sudah diikat kedalam kukusan, “ Ketika itu kan masih kecil.”

Darmi menatap Ellen, “ Kalau nona tetap berada disisi tuan muda, beliau tidak akan membiarkan nona melakukan ini semua.”

“ Bik Darmi.” Ellen berbalik, menggenggam tangan Darmi, matanya yang bulat menatap lekat mata Darmi yang memerah, “ AKu belajar membuat ini semua, hanya ingin bisa membuat makanan untuk keluargaku, menunjukkan perhatianku. Sama sekali tidak ada orang yang memaksaku. Jangan merasa tidak tega padaku.”

Darmi memaksakan senyuman, berbalik menggenggam tangan Ellen, tetap dengan nada bicara yang tidak tega, “ Tangan nona begitu lembut, tidak seharusnya melakukan ini semua. Intinya, beberapa tahun ini hidup diluar dengan tidak berdaya.”

Ellen melihat ekspresi wajah sedih Darmi, sungguh tidak tahu harus mengatakan apa baiknya.

……

Sekitar jam 6 sore, Ellen dan Darmi sedang mempersiapkan peralatan makan di meja makan, terdengar suara mesin mobil dari luar rumah.

“ Sepertinya tuan muda sudah pulang.” Darmi berkata sambil melihat kearah Ellen.

Ellen mengetatkan bibirnya, membuka apronnya dan berjalan keluar dari ruang makan.

Baru berjalan keluar dari ruang makan tidak jauh, ia sudah melihat William berjalan masuk dari luar sambil menggendong kedua bocah, dan dibelakangnya ada Samir juga Frans.

Begitu Ellen melihatnya, langsung mengangkat alis.

Kelihatannya akhir-akhir ini kakak keempatnya cukup ‘santai’!

“ Wow, kebetulan sekali. Ada apa ini, hari ini Ellen kita turun tangan memasak?”

Samir melirik Ellen, tersenyum melihat Ellen yang sedang membuka apron, berkata dengan nada menggoda, “ Tidak membakas dapur kan?”

Ellen hanya memiringkan bibirnya, “ Membakar dapur rumahmu?”

Samir terkekeh.

Sebenarnya tidak tidak benar-benar mengira Ellen yang memasak, hanya menggodanya saja.

Ellen juga tersenyum, melihat beberapa pria yang sedang mengganti sepatu di depan pintu, “ Makan malam sudah siap, setelah ganti sepatu kemarilah.”

William melirik Ellen, ada senyum tipis yang menghiasi mata hitamnya, setelah selesai mengganti speatu ia menggendong kedua anaknya ke toilet untuk mencuci tangan.

Ellen melihat ini, hanya tersenyum, kedua tangannya ia letakkan dibelakang sambil berbalik ke dapur untuk membawa sup yang sudah ia masak.

……

“ Sudah beberapa tahun tidak makan masakan Bibi Darmi. Masakan Bibi Darmi semakin lama semakin enak. Hebat.”

Samir tiba-tiba memuji ditengah prosesi makan.

Ellen mengambilkan sepotong sayap ayam untuk Tino, hanya tersenyum tanpa berkata.

William melirik Ellen, dan lirikkanya penuh dengan rasa bangga.

Frans mengangkat gelas anggur merahnya dan menggoyangkannya perlahan, meletakkannya di mulut dan mencicipinya, lalu melirik Ellen sambil mengangkat pelan alisnya, “ Ellen, lumayan juga loh.”

“ Bisa mendapatkan pujian Kakak Keempat, aku sungguh tersanjung!” Ellen merasa senang.

“ ……. Salah kali!” Samir melihat kearah Ellen, lalu melihat kearah Frans, “ Ini masakan BIbi Darmi, pujian ini seharusnya kamu katakan pada Bibi Darmi, untuk apa kamu mengatakannya pada Ellen?”

“ Paman Samir, ini semua memang masakan ibuku.” Tino mengangkat kepalanya dari piring dan berkata pada Samir.

“ Bercanda, ibumu hanya bisa membuat sup penghilang mabuk.” Samir berkata sambil tertawa.

Ellen speechless, “ Kakak kelima, itu 4 tahun yang lalu ok? Aku yang sekarang, sudah bisa memasak banyak masakan!”

Samir tercengang, menatap Ellen, “ …… ini benar-benar masakanmu?”

Ellen hanya menatap Samir sambil tersenyum lebar, memberinya ekspresi ‘memang iya, ini semua buatanku!’.

“ ………” Samir langsung menarik nafas dalam, lalu mengacungkan jempol pada Ellen, “ Mantul!”

“ Tentu saja.” Ellen mengangkat alisnya tanpa sungkan.

Samir menatap Ellen sambil menghela, “ Ellen kita sudah tumbuh besar, bahkan memasak yang masuk level tinggi seperti ini saja dia bisa.”

Ellen terlihat tidak berdaya.

“ Adik Kelima, kenapa melihat ekspresimu ini, terlihat seperti kamulah yang sudah mendidik Ellen sampai sehebat ini?” Frans berkata pada Samir dengan santai.

“ Pffft.” Samir tertawa, “ Kamu sedang bergurau dengan fakta ya!”

Ellen sudah diadopsi oleh William sejak usia 5 tahun, Samir dan yang lainnya sudah kenal dengan William sejak kecil.

Hubungan mereka sangat erat.

William menyukai Ellen, tentu saja mereka juga menyukai Ellen.

Keberhasilan apapun yang dicapai oleh Ellen, asalkan William merasa bangga, maka yang lainnya juga demikian.

Ellen berada diposisi yang begitu special diantara mereka.

Ketika Ellenmasih kecil, mereka membesarkan Ellen selayaknya putri sendiri.

Ketika Ellen sedikit lebih besar, seiring dengan perubahan perasaan seseorang, selain Samir yang telat menyadarinya, yang lainnya sudah menganggap Ellen sebagai adik sendiri.

Tidak perduli putri atau adik, Ellen sudah masuk ke dalam relung hati yang paling lembut didalam hati para pria ini.

Meskipun rasa kasih juga sayang mereka terhadap Ellen tidak sebanding dengan William, namun jauh dibandingkan orang lainnya.

Danorang lain ini tentu saja calon pasangan hidup mereka nantinya.

Memang benar, mendengar Samir berkata demikian, William juga tidak bereaksi, hanya mengupaskan udang untuk Ellen dengan hening lalu meletakkannya di piring kosong di depan Ellen.

……

Setelah selesai makan malam, semua bangkit berdiri dan akan beranjak dari ruang makan.

Ponsel William yang berada di kantung celananya bordering tepat waktu.

Gerakan semua orang terhenti dan melihat kearah William.

William mengeluarkan ponsel dari dalam kantung celananya, ketika melihat nomor yang menghubunginya, bola matanya sedikit menyempit, lalu ia mengangkat sambil berjalan keluar ruang makan.

Ellen mengerjapkan mata, ikut berjalan keluar.

“ Hm, semua lakukan sesuai rencana.” Begitu William melangkah keluar dari ruang makan, ia langsung memperbesar langkahnya kedepan untuk memberi jarak dari ruang makan, berkata dengan suara yang dikecilkan.

Ellen juga tidak merasa ada yang aneh, ia menghampiri.

“ Hm.”

William melihat Ellen yang menghampiri dari sudut matanya, lalu memutus teleponnya.

Ketika dia memiringkan tubuhnya meletakkan ponsel di meja, salah satu tangan William juga menggenggam tangan Ellen untuk menariknya duduk disampingnya.

Ellen menatap wajahnya dengan mata besarnya.

William hanya berkata dengan lembut, “ Urusan kantor.”

“ .. oh.” Ellen mengangguk.

Frans dan Samir duduk di satu sofa yang sama.

Tino dan Nino sudah membawa pistol mainan dan mulai bermain, mereka mengarahkan pistol untuk saling menembak.

Ellen, “ ……..”

Tidak mengerti dimana asiknya?

setelah 10 menitan.

Tiba-tiba William bangkit dari sofa, menatap Frans dan Samir.

Setelah mereka berdua menerima isyarat pandangannya, langsung mengangguk pelan.

William melangkah menuju tangga.

Ellen melihat bayangan tubuhnya, ekspresinya terlihat bingung.

Dan disaat ini.

Frans dan Samir juga bangkit dari sofa.

Ellen mengerjapkan mata, menatap mereka, “ Sudah mau pulang?”

“ Aku dan Kakak kelima-mu berencana duduk mengobrol dengan kakak ketigamu. Kakak ketigamu setiap hari hanya mengunci diri dirumah, kalau aku dan kakak kelimamu tidak pergi mencarinya, dia pasti akan karatan.” Frans berkata sambil mengangkat Nino yang membawa pistol mainan menembak kesegala penjuru ruang tamu, setelah mengelus kepalanya, ia baru menurunkannya, berkata pada Ellen, “ Kami pergi dulu.”

Ellen mengangguk, “ Hati-hati mengendarai mobil.”

Frans tersenyum, lalu mengajak Samir pergi bersamanya.

Melihat Frans dan Samir yang berjalan keluar villa, mendengar suara mobil yang berjalan menjauh diluar, Ellen mengerjapkan mata, melihat kearah dua bocah yang bermain dengan senangnya, bibirnya mengatup erat, bangkit berdiri dari sofa, lalu berjalan ke lantai dua.

Novel Terkait

Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
3 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
4 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu