Hanya Kamu Hidupku - Bab 67 Paman Ketiga, Ini Di Gerbang Sekolah

Begitu ia mengatakan ‘masuklah’, ia langsung melepaskan tangannya……

Ellen menahan keluh dalam hatinya, menatapnya sambil berkata dengan suara pelan, “Paman Ketiga, aku sudah hampir telat.”

William melepaskan tangannya.

Ellen merasa lega, berbalik hendak turun dari mobil.

Namun tangannya sekali lagi ditarik dari belakang.

Namun kali ini tidak dibatasi oleh sweater yang ia kenakan.

Melainkan langsung menggenggam tangannya yang tersenyum dalam sweater.

Jantung Ellen berdebar, menoleh dan menatapnya dengan heran, “Paman……”

William menggenggam tangannya dan menarik Ellen yang sudah mengeluarkan tubuhnya sebagian dari dalam mobil, salah satu tangannya mengangkat, ujung jarinya mengelus alisnya yang mengkerut karena bingung.

Bulu mata Ellen agak bergetar menatapnya.

“Paman Ketiga naik pesawat siang ke Prancis, kurang lebih satu minggu baru kembali.” William berkata dengan lirih.

“…. Tiba-tiba sekali?” Ellen mengkerutkan alis, dari alam bawah sadarnya ada rasa tidak senang karena mendengar kabar dia harus dinas keluar negri.

William melihat reaksi Ellen yang masih sama seperti dulu, begitu mendengar kabar kalau dia keluar negri akan langsung mengkerutkan alis.

Harus diakui.

William dibuat senang oleh gerakan kecilnya ini, senyum mengembang di bibirnya, tangan yang menggenggam tangan Ellen menjadi agak mengencang, tangannya yang berada dialisnya turun merangkul pinggang tipisnya, menariknya sampai terduduk dipahanya.

Ellen terkejut, begitu bokongnya menyentuh pahanya yang kuat dan berotot, ia langsung menjerit pelan ingin turun.

Ini didepan gerbang sekolah!

kalau sampai ada yang melihat…..

Wajah Ellen pucat, bibirnya mengetat dengan penuh khawatir, gerakan untuk turun dari pangkuannya menjadi semakin penuh gelisah.

“Suno.” William mengangkat alis, merangkul pinggang Ellen dan menahannya, lalu berkata dengan serius.

“Iya, tuan.”

Pak Suno langsung menutup semua jendela mobil, lalu turun dari mobil dan menutup pintu mobil.

“Paman Ketiga, kamu mau apa?”

Ellen melihat ini, menjadi semakin takut.

Tubuh kecilnya bergetar hebat.

William memegang pinggangnya dan mengangkatnya keatas, membuatnya terduduk di pangkuannya dengan posisi yang saling berhadapan.

Satu tangannya menjalar keatas, memegan kepala Ellen yang bergetar dan terlihat begitu tidak tenang, William menatapnya dengan lembut sambil berkata, “Ellen, rileks.”

Dia seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa rileks?

Ellen melihatnya dengan mata memerah, tangan kecilnya berada di bahunya yang lebar, seluruh jarinya yang putih dan halus bergetar, menarik nafas, “Paman Ketiga, jangan seperti ini, disini, disini depan gerbang sekolah, kalau, kalau sampai ada yang melihat………..”

“Sssstttt……..”

William memiringkan tubuhnya, dahinya bertumpu pada wajahnya, tangan lainnya mengelus punggungnya yang bergetar karena merasa tidak aman dan ketakutan, bibir tipisnya mengecup ringan daun telinganya, berkata dengan suara yang begitu serak, “Tidak akan ada yang melihat, percaya pada Paman Ketiga.”

Ellen memejamkan matanya sambil bergetar, suaranya lirih, “Paman ketiga, aku benar-benar sudah hampir terlambat, biarkan aku turun, ya?”

William memeluknya erat, dagunya bertumpu pada bahunya yang begitu lemah, “Biarkan paman memeluku sebentar. Hanya sebentar saja.”

“Pam………..”

“Kamu bicara satu kata lagi, aku akan langsung berbuat disini sekalian!”

Nada bicara William santai dan datar, namun hanya satu kalimat saja sudah bisa membuatnya diam dalam waktu singkat.

Merasakan tubuh Ellen yang menjadi kaku.

Alis William mengangkat, tiba-tiba mengangkat tangan dan menarik sweater juga seragam Ellen, lalu mengigit leher Ellen tepat di tempat kaus dalamnya terlihat.

“Ah.”

Ellen merasa sakit juga kaget, kedua bahunya terangkat tinggi, kedua tangannya yang berada diatas bahunya langsung mengencang, ia berkata dengan lirih, “Paman, sakit.”

Suaranya yang lembut dan lemah, terdengar bagaikan air yang begitu lembut ditelinga William

William melepaskan gigitannya, lalu menyedot bagian leher yang tadi ia gigit.

Tiba-tiba leher Ellen terasa seperti mati rasa.

Ellen menarik nafas, tubuhnya meringkuk semakin hebat dan ingin mundur kebelakang.

William agak menyipitkan mata, tangan besarnya yang memegang belakang kepalanya langsung menjadi lebih bertenaga, mengalahkan tenaga Ellen yang ingin mundur dengan mudah.

“Paman Ketiga.” Suara Ellen terdengar sudah hampir menangis, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Palin tidak setelah 3 menit berlalu William beru melepaskan leher Ellen yang kasihan.

Ellen segera menarik sweater dan juga seragamnya, mengetatkan kerah bajunya dengan tergesa-gesa, matanya memerah penuh amarah namun tidak berani mengungkapkannya, memelototi William dengan wajah yang sangat sedih dan kesal.

William melihat tangan putih Ellen yag menggenggam erat kerahnya, alis panjangnya agak mengangkat, perlahan melepaskan tangannya yang mengunci kepala juga pinggul Ellen.

Ellen segera turun dari pangkuannya dan turun dari mobil, mengambil tasnya dengan terburu-buru, mendorong pintu mobil dan berjalan kearah sekolah dengan cepat sambil menundukkan kepala.

William duduk didalam mobil, melihat kearah Ellen yang berjalan dengan terburu-buru menuju gerbang sekolah, tatapannya dipenuhi dengan aura dingin.

……

Pani membeli kue untuk sarapan di kantin sekolah, ia membukanya, lalu memakannya sambil berjalan menuju kelas.

Tiba-tiba ada ‘angin’ yang berhembus dari sampingnya.

Pani mengangkat sudut bibirnya, hanya melihat sebuah bayangan ‘hitam’ yang berlalu disampingnya, lalu menghilang tidak lama kemudian dari hadapannya.

Pani, “……..”

Siang hari bolong ketemu setan?!

……

Pani berjalan kearah pintu belakang kelas, waktunya pas untuk menghabiskan kue yang dia bawa untuk sarapan.

Berjalan masuk ke dalam kelas, Pani berjalan ke arah tong sampah yang berada dibaris belakang kelas, lalu membuang bungkus kuenya.

Menurunkan tas yang berada dibahunya, membawanya ditangan sambil berjalan menuju ke tempat duduknya.

Belum berjalan sampai ke tempat duduknya.

Ani melihat tempat duduk disampingnya, yang merupakan tempat duduk Ellen, disana duduk sesosok ‘hantu’ yang terdiam dengan tatapan kosong.

Dan sosok ‘hantu’ ini terlihat begitu familiar.

Bukankah ini ‘hantu’ yang tadi melewatinya dengan begitu cepat bagai kilat ketika berada didepan gerbang tadi!?

Pani hanya tersenyum, lalu berjalan ke tempat duduknya sendiri dan duduk disana.

Meletakkan tas diatas meja, satu tangannya bertumpu diatas meja sambil menopang kepalanya, tubuhnya agak dimiringkan sambil melihat sosok yang duduk disampingnya dengan ajaib, ‘hantu’ yang menutupi seluruh wajahnya dengan rapat.

Pani sudah menatapnya cukup lama, namu hantu ini sama sekali tidak bergeming.

Pani menatap langit-langit kelas sambil membalikkan bola matanya, mengetatkan bibir, mengulurkan tangannya menepuk bahunya, “Nona Ellen, ada apa gerangan? Apakah wajahmu tiba-tiba muncul jerawat sebesar batu dalam semalam, atau sudah membuat kesalahan yang besar? Kau lihat kamu menutupi dirimu sampai seperti ini, yakin bisa bernafas?”

Pani berkata sambil menarik sweaternya.

Perlahan, kepala hantu ini muncul dari dalam kerah sweater perlahan.

Rambutnya yang panjang dan hitam berantakan, poninya juga acak-acakan.

Pani melihatnya sampai menggelengkan kepala.

Dan ketika Pani membukanya sampai bagian dagu, ia merasakan ada sesuatu yang menahan.

Pani bingung, merasa aneh dan lanjut menariknya.

Namun tetap tidak berhasil menariknya turun, pani tercengang, mengetatkan bibirnya, menatap Ellen dengan tatapan terheran.

Kedua tangan Ellen menahan kerah sweater dengan kuat, perlahan ia menegakkan tubuhnya, menonjolkan matanya yang bulat dan besar dari balik rambutnya yang berantakan.

“Apaan sih? Aneh-aneh aja deh kamu.” Pani melihatnya dengan kesal.

Ellen membasahi bibirnya sambil sedikit terisak, “Tidak apa, hanya merasa agak dingin, jadi membungkus diriku agak rapat.”

“Hehe. Seluruh kepala kamu saja sampai tersembunyi seperti itu, apanya yang agak rapat?” Pani berkata sambil mengangkat sudut bibirnya.

Ellen mengelum bibirnya, mengulurkan satu tangannya untuk menyibak poni juga rambutnya yang terurai, tidak bicara.

Pani menggeleng tidak tertahankan, langsung bangkit berdiri dan membantu Ellen merapikan rambutnya.

Membantu Ellen menyisir rambut dengan tangannya, wajahnya muncul, Pani melihat wajahnya sangat merah, semerah kepiting yang sudah matang direbus.

Pani membelalakkan mata, “Jangan bilang kamu sakit?”

Ellen menyentuh wajahnya sendiri, menundukkan matanya dengan kaku, menggeleng, “Tidak.”

“Tapi wajahnya begitu merah, apakah kamu demam?”

Pani mengkerutkan alis, mengulurkan tangan dan memegang kening Ellen, “Panas sekali.”

Pani menghela nafas.

Pipi Ellen mengangkat, “Mu, mungkin karena tertutup terlalu lama, karena kekurangan oksigen.”

“…… benarkah?” Pani menatapnya dengan curiga.

Ellen mengangguk dengan berat, mengalihkan pembicaraan, “Kamu sudah sarapan?”

Pani tercengang, mengangguk, “Tadi membeli kue di kantin.”

“Oh.”

Ellen menarik resleting sweaternya sampai paling atas baru melepaskan tangannya yang memegang erat kerah bajunya, mengambil tas yang berada dibawah meja, membukanya, lalu mengeluarkan soal latihan dari dalamnya.

Ketika semua soal latihan terjajar diatas mejanya, ia melirik Pani, dan menemukan Pani masih menatapnya.

Ellen merasa tidak enak, lalu menarik nafas sambil menatapnya, “Kamu sudah menyelesaikan semua soal latihan dari setiap mata pelajaran yang diberikan kemarin?”

“………. Semalam sudah kuselesaikan.” Pani berkata.

Ellen tercengang, “Keluarkan, kita cocokkan jawabannya.”

“Apakah aku tidak salah dengar? Kamu mau mencocokkan jawaban dengan milikku?” Pani tertawa, “Kamu itu masternya pelajaran, selain pelajaran bahasa, semua pelajaran yang lain memiliki nilai yang sempurna, kamu ingin mencocokkan jawaban denganku?”

Ellen meliriknya, “Jangan salah paham, maksudku, aku ingin membantumu mengoreksi jawabanmu, ingin tahu berapa banyak jawabanmu yang salah.”

“……” tiba-tiba Pani merasa tertohok sampai bertubi-tubi, ia melirik Ellen dengan wajah kesal dan menggertakkan gigi, “Menurutmu jawabanmu adalah yang paling akurat?”

Ellen mengangkat bahu, “Bukankah tadi kamu yang mengatakan, setiap pelajaranku mendapat nilai sempurna. Kalau begitu bukankah jawaban milikku merupakan jawaban yang paling akurat?”

“Ellen, agak merendah sedikit bisa membunuhmu ya?” Pani berkata dengan wajah dingin.

“Tidak akan membunuhu, namun juga tidak membuatku merasa lebih lega. Dan tidak merendah, paling tidak ketika melihat wajahmu yang tidak suka melihat gayaku namun tidak berada yang sekarang, rasanya sangat memuaskan!” Ellen tertawa.

Pani, “…..” hampir mati kesal!

……

Akhirnya selesai juga bergelut denga soal latihan hari ini, dan Ellen juga sudah melupakan apa yang terjadi pagi ini.

Bel jam pelajaran siang sudah berbunyi, Ellen dan Pani sudah mulai membereskan tas mereka untuk pulang.

“Asik, besok akhir pekan lagi, akhirnya aku bisa tidur sepuasnya sampai siang.” Pani menyimpan soal latihan sambil berseru.

Ellen tersenyum, “Besok kamu tidak perlu pergi kerja partime?”

“Kerja, tapi malam.” Pani melihat Ellen, “Jadi aku bisa tidur dari malam ini malam besok.”

Ellen sungguh salut padanya.

Setelah keduanya selesai membereskan barang, langsung berdiri dan berjalan kearah pintu keluar.

Mereka berdua belum berjalan sampai depan pintu, suara getaran ponsel terdengar.

Novel Terkait

 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu