Hanya Kamu Hidupku - Bab 608 Pani, Kamu Adalah Nyawaku!

Reaksi Selma ini, terkejut hingga membuat Ellen dan Lira tanpa sadar pun terduduk sedikit menegakkan tubuh.

Seira yang merupakan orang yang lebih dewasa, melihat wajah pucat Selma , di dalam hatinya pun tidak dapat menahan diri lagi, kemudian ia melihat Thomas, " Thomas, kamu tidak tahu toilet dimana bukan, biar bibi antar kamu kesana."

Sambil mengatakan hal tersebut, Seira menatap ke arah Lira, "Lira, kamu ke dapur dan masakkan sedikit teh pereda mabuk, mereka semua ini satu per satu, aku perkirakan telah minum terlalu banyak."

"Baiklah." Lira pun pergi menuju ke dapur.

"Kamu beritahukan saja kepadaku, aku pergi sendiri juga sudah bisa." Thomas merangkul Selma dan berdiri, kemudian menatap dan berkata kepada Seira dengan ramah.

Mendengar perkataan itu.

Pandangan Seira sekilas melewati Selma , kemudian menjulurkan tangannya untuk menujuk ke arah toilet.

Thomas mengangguk-anggukkan kepalanya, arah pandangnya tertuju kepada Selma , kemudian ia menarik Selma dan berjalan menuju ke toilet.

Wajah Selma semakin memucat, namun ia tidak memberontak atau melawan.

Oleh karena itu.

Seira, Pani dan Ellen tidak memiliki dasar apa pun untuk berbicara, menahan atau pun melarangnya.

Namun ada sedikit perasaan yakin.

Thomas pastinya tidak akan melakukan tindakan yang terlalu berlebihan kepada Selma dirumah Sumi.

Thomas dan Selma telah pergi ke toilet, Samoa pun berjalan keluar dari ruang tamu.

Pani melihat ke arahnya, melihat wajah Samoa terdapat rona merah akibat mabuk, namun langkah kakinya masihlah stabil, karena itu dia mengetahui bahwa dia sama sekali belum mabuk, maka dari itu dia tidak melangkah maju untuk memapahnya.

Samoa belum tiba di ruang tamu, saat berada di jalan menuju ruang tamu, ia tersenyum ramah kepada Pani dan Ellen, kemudian ia berjalan keluar pintu, setibanya ia di depan pintu ia pun berdiri disana melihat pergerakan cepat Tino, Bobo dan beberapa anak kecil lainnya.

Seira beberapa menit kemudian juga keluar.

Suami istri ini berdiri dengan saling bersandar, tak lama kemudian, Seira berkata dengan suara yang rendah, "Awalnya mengira bahwa Thomas akan membawa Linsan kemari, namun tak disangka dia malah membawa Selma datang."

Samoa dengan ringan menjulurkan tangannya dan merangkul bahu Seira, "Aku juga tidak menduganya."

Tatapan mata Seira mendalam, "Semakin merasa, aku seperti orang buta yang tidak dapat melihat apa pun."

Samoa menepuk-tepuk bahu Seira, "Aku juga. Hanya saja karena rubah yang bersembunyi di dalam kegelapan itu telah memunculkan ekornya, maka dari itu tidak perlu takut, cepat atau lambat pasti akan menarik keluar ekor rubah itu dan menghempaskannya keluar untuk menerima hukuman yang sebenarnya!"

Seira mendongak untuk melihat Samoa, "Permasalahan ini aku rasa lebih baik memberitahukannya kepada Sumi, agar dia dapat lebih awal tersadarkan."

"Baiklah."

......

Kira-kira dua puluh menit kemudian, Thomas yang awalnya menggandeng Selma pergi ke kamar mandi, saat keluar ternyata malah menggendong Selma .

Selma mendekap di dalam pelukannya, wajahnya disembunyikan di dada dia, kulitnya sedikitpun juga tidak muncul.

William dan yang lainnya telah keluar dari ruang makan, dan duduk di atas sofa untuk minum teh pereda alkohol.

Thomas menggendong Selma keluar, sungguh terlalu menarik perhatian, semua orang yang ada di ruang tamu pun melihat kearah mereka.

Raut wajah Thomas mendalam, ia berkata, "Hadiah satu bulan penuh anakmu, aku lain hari akan meminta orang untuk mengantarkannya kesini. Hari ini aku pergi terlebih dahulu, jika ada waktu luang baru berkumpul kembali."

Setelah Thomas selesai berbicara, dia pun menganggukkan kepala dengan hormat kepada Seira dan Samoa, kemudian dengan stabil ia menggendong Selma dan pergi dari sana.

Bayangan Thomas dan Selma telah menghilang.

"Selma .... apakah tidak apa-apa?" Ellen merasa khawatir, ia diam-diam bertanya di samping telinga William.

"Dia dengan stabil berada di dalam pelukan Paman Mu." William menjawabnya dengan sederhana.

Ellen menatap William dengan tatapan tak memahaminya, "Jadi?"

William menatap wajah kecil milik Ellen, kemudian ia kembali menatap perutnya, dengan sedikit menggulungkan bibirnya ia berkata, "Sekalinya hamil maka akan menjadi bodoh itu ternyata tidak bohong."

Ellen tertegun, diikuti dengan wajah kecilnya yang memerah, kemudian ia menatap William dengan marah, "Keterlaluan!"

William melihat wajah Ellen yang memerah itu, tanpa dapat dicegah ia mengangkat tangannya dan mencubit-cubit pipinya.

Ellen merasa tidak senang.

Pergerakan kecil diantara William dan Ellen, tidak dapat terlewatkan dari pandangan semua orang yang hadir disana.

Pani dengan tulus bersyukur dan bahagia, karena William dan Ellen benar-benar sangat penuh kasih sayang.

William menatap mata Ellen, dengan perasaan yang mendalam, setiap untaiannya adalah cinta.

Sementara itu setiap kali William dan Ellen saling bertatapan, Pani selalu dapat melihat daun telinga Ellen yang memerah, dia berkedip malu-malu dengan bulu matanya yang panjang itu.

Kedua orang ini ya, seperti model pasangan suami istri yang penuh kasih sayang!

"Aku katakan ya William, sewaktu kamu dan Ellen bermesraan, dapatkah kalian memikirkan perasaan kami yang lajang ini?" Samir pun berbaring malas diatas sofa, ia berkata sambil memegang jantungnya sendiri, "Jantung kecil aku ini, segera akan meledak menjadi isian daging karena kalian!"

Bobo sepertinya telah mengantuk, ia bersandar di atas lengan Ethan, dengan bulu mata panjang hitamnya itu.

Tetapi sepasang telinga kecilnya ternyata masihlah sedikit menegak ke atas, mendengar obrolan para orang dewasa.

Saat mendengar perkataan Samir, Bobo mengangkat tangannya yang kecil dan mengusap-usap hidungnya, dengan suara yang tidak begitu jelas ia berkata, "Paman Moral, kamu tidak perlu cemburu dengan paman ketiga aku dan bibi Ellen, karena aku telah mencarikannya untuk dirimu, lain hari aku bawakan dia untuk menjumpai kamu."

Ethan tidak menampilkan ekspresi apa pun, ia menundukkan kepalanya dan melihat wajah kecil Bobo yang telah mengantuk itu, ia menjulurkan tangannya dan merangkul tubuhnya yang kecil itu untuk didekatkan kepada tubuhnya.

Semua orang yang melihat gerakan Ethan itu, mata mereka pun terbesit perasaan terkejut dan sebersit kehangatan.

Samir tertawa, "Bobo kecil, tidak mungkin bukan pasangan yang kamu carikan untuk paman adalah sisa dari pasangan kencan buta ayahmu?"

Bobo menguap, sepasang matanya yang mengantuk itu mengalir air mata, ia pun menggerakkan leher kecilnya dan menatap Samir, "Nenek telah berjanji kepadaku, pasangan kencan yang ia siapkan untuk ayah harus melewati aku terlebih dahulu. Oleh karena itu yang satu ini ayah aku masih belum pernah menemuinya."

Samir diam-diam menutupi hatinya, "Jadi bahkan yang tidak lulus dari pemeriksaan mu ini, kamu berikan kepada aku?"

Bobo sepertinya sudah sangat mengantuk, mendengar perkataan itu, ia pun menampilkan senyuman jahat kepada Samir, kepalanya pun miring, ia pun tertidur dengan bersandar pada tubuh Ethan.

Semua orang yang melihat ini merasa tidak tahu harus berbuat apa.

"Kakak ketiga, kamu bawa Bobo dan pulanglah terlebih dahulu, dia tidur seperti ini juga tidak nyaman, jangan sampai terkena flu. aku akan ambilkan selimut untuk Bobo...."

"Tidak perlu, di dalam mobil ada."

Ethan menggendong Bobo, kemudian ia berkata sambil tersenyum kepada Pani.

"Baiklah kalau begitu." Pani menaikkan bahunya, dan tersenyum sambil berbicara.

Ethan pun berpamitan dengan Seira dan Samoa, kemudian ia menggendong Bobo dan pergi dari sana.

Setelah itu, William juga membawa keluarganya pulang ke Coral Pavillion.

Semuanya telah pergi, Frans dan Samir juga pulang.

Lira dan Seira membersihkan tempat itu sejenak, barulah ia pergi dengan Sumi.

Karena khawatir dengan Lian, Seira dan Samoa pun tinggal disana.

Tubuh Pani lemah, Seira khawatir ia terbangun tengah malam menjaga anak akan mempengaruhi tubuhnya, ia bersih keras memindahkan ranjang bayi ke kamar dia dan Samoa untuk sementara waktu, akan dijaga oleh dirinya dan Samoa.

Pani merasa terharu akan perhatian yang menyeluruh dari Seira.

Dari Seira, Pani merasakan cinta ibu yang telah lama hilang, dan yang selalu ia dambakan.

Di dalam kamar tidur.

Sumi seperti satu bulan yang telah berlalu, ia menuangkan air panas untuk menyeka tubuh Pani.

Pani meskipun merasa malu, namun sudah tidak seperti pertama kali ia tidak dapat terbuka dan tidak alami, wajahnya yang memerah itu menyesuaikan dengan dia untuk berinisiatif membalikkan tubuhnya, agar mempermudah dia untuk menyekanya.

Setelah selesai.

Sumi pun pergi ke kamar mandi untuk mandi.

Pani bangkit dan terduduk di atas kasurnya, ia menatap ke arah pintu kamar mandi, sewaktu tadi pagi ia keluar dari rumah sakit, bayangan Vimaya yang tiba-tiba muncul di tempat masuk ke dalam pikirannya.

Satu bulan ini.

Seluruh pikiran dan hatinya hanya tertuju pada Lian, segala macam urusan mengenai dunia luar dia secara sendirinya menutup semua itu diluar.

Maka dari itu dia sama sekali tidak mengetahui dengan jelas, saat Pataya muncul diruang pameran dengan memegang pisau yang bermaksud untuk membunuh dirinya, yang menyebabkan ia harus melahirkan lebih awal, bahkan beresiko dikemudian hari akan sulit melahirkan, dan apa hasil akhir yang sedang menunggu dirinya!

Disaat yang bersamaan.

Dia juga merasa curiga.

Pataya bagaimana dapat tiba-tiba terlalu terdorong ingin membunuh dirinya?

Karena.

Di dalam bayangan Pani, setelah empat tahun, dia dan Pataya sama sekali tidak pernah bertemu!

Setelah Sumi selesai mandi dan keluar, ia pun melihat Pani yang terduduk diatas kasur dengan alis yang berkerut seperti sedang berpikir mendalam, matanya yang jernih pun sedikit berbinar, dengan menggunakan handuk kering ia menyeka rambut pendeknya, kemudian membuangnya ke samping, ia pun berjalan kesana, dan duduk ditepi ranjang, "Sedang memikirkan apa?"

Pani mendongakkan matanya untuk menatap dia, di dalam bola matanya terpancarkan sedikit kengerian.

Sumi melihatnya, ia menjulurkan tangannya dan menggenggam tangan Pani, suaranya rendah, "Tidak peduli apa yang saat ini sedang kamu pikirkan, jangan terus dipikirkan ...."

Perkataan Sumi belum selesai terucapkan, telapak tangannya pun sudah digenggam oleh Pani, kemudian ia dengan perlahan membalikkannya, dan membukanya.

Jari-jari lembutnya bergerak dengan ringan bagaikan bulu diatas telapak tanganya.

Sumi pun terhenti, kemudian menatapnya dalam-dalam.

"Bekas luka ini, akankah selamanya tertinggal disini?" Pani dengan ringan menutup bulu matanya, kemudian menatap bekas luka panjang yang ada di telapak tangan Sumi, ia berbisik dengan suara yang parau.

Sumi tidak mengatakan apa pun, ia menarik Pani, membuatnya bersandar didadanya.

Pani meremas tangannya, ujung matanya sedikit sembab, "Saat itu pada saat aku melihat Pataya memegang pisau dan menghunuskannya ke arahmu, aku benar-benar merasa bahwa akulah yang benar-benar terkena pisau itu, aku terkejut. Dia pasti menghunuskannya dengan sekuat tenaga, kalau tidak kamu juga tidak akan demi menghalangi dia, malah mendapatkan bekas luka yang begitu mendalam seperti ini."

Sumi mengecup kening Pani, "Ini hanyalah sebuah bekas luka, tidak berarti apa-apa."

Pani menjulurkan tangannya dan memeluk pingganggnya dengan erat, "Paman Nulu, jikalau, aku mengatakan jikalau, menghadapi situasi yang seperti ini lagi, jangan demi menyelamatkan aku, malah membahayakan dirimu sendiri. aku tidak berani membayangkan, jikalau kamu tidak dapat mengendalikan dengan baik pisau yang ada ditangan Pataya, hasilnya akan seperti apa? Sekalinya aku terpikirkan kemungkinan seperti ini, maka aku akan merasa sakit, dimana-mana pun terasa sakit!"

"Kamu adalah ibu dari anakku, jikalau kamu dalam situasi berbahaya, aku akan pertama kali bertindak, agar dapat membuat anak kita mengetahuinya, bahwa aku tidak mengenal rasa takut!" Sumi mengelus rambut Pani dengan ringan, sengaja menggunakan nada bicara yang lembut bahkan acuh tak acuh.

Hidung Pani tersumbat, dengan parau ia berkata, "Yang aku katakan kepadamu adalah serius."

Sumi meletakkan dagunya diatas kepala Pani, setelah beberapa saat, barulah ia berkata dengan ringan, "Pani, kamu adalah nyawa aku! Jika kamu baik maka aku juga akan baik!"

Pani teringat saat Sumi mengancamnya di ruang bersalin, matanya menyiratkan amarah, kedua tangannya dengan sekuat tenaga memegangi baju tidurnya, ia pun membuka mulut dan mengigit dadanya.

Dada Sumi sedikit bergetar, tenggorokannya tidak dapat menahan mengerang kesakitan, dengan tak berdaya ia menundukkan kepalanya dan menatap Pani, "Sayang, daging aku ini juga asli, bukanlah besi baja, dapat merasakan sakit juga."

Pani dengan penuh amarah melepaskan gigitannya, ia mengangkat matanya yang memerah itu dan menatap dia, "Iya aku ingin kamu merasa sakit!"

Sumi memeluknya dengan erat, ia pun menundukkan kepalanya dan tersenyum, ia menempelkan ujung hidungnya kepada dia, "Lumayan, cukup arogan!"

Pani mencibir, "Pada saat di ruang bersalin, apakah kamu tidak takut kamu yang begitu galak akan mengejutkanku, langsung saja mengagetkan aku hingga marah? Apakah kamu tahu, saat aku mendengar perkataanmu, seberapa aku membencimu, seberapa aku jengkel?"

Sumi memeluk Pani, dan membaringkannya diatas kasur, kedua matanya menatap dia, "Coba katakan, seberapa kamu benci, seberapa kamu jengkel?"

Pani melihat dirinya yang menutupi kedua matanya yang telah memancarkan cahaya kehijauan, di dalam hatinya ia merasa malu, ia pun membuang mukanya, dan berkata dengan marah, "Aku, aku mengatakan pada waktu itu, bukan, bukannya sekarang."

Sumi menggunakan mulut harimaunya mengigit dagu Pani, memaksa dia untuk memandang dirinya, "Kalau sekarang? Saat ini kamu ke aku, adalah apa?"

Pani kedua tangannya tanpa sadar telah meremas selimut yang ada dibawah tubuhnya, wajahnya memerah, tatapan matanya menghindar dari cahaya, "Takut."

Takut?

Sumi sedikit terkejut, ia menatap Pani dengan tertarik, "perempuan ini langit tidak takut bumi pun tidak takut, tapi takut denganku? Takut aku karena apa?"

Pani dengan perlahan mengigit sedikit bibir bawahnya, berbicara hingga separuh, ia pun berkata dengan suara pelan, "Takut kamu akan memakan aku!"

Sumi tertegun, ia pun merespon kembali, seketika dengan tertawa ia menerkamnya, dan membungkam mulut mungilnya dengan intim.

Novel Terkait

Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu