Hanya Kamu Hidupku - BAB 70 Ellen, Darah Kamu Mengalir Begitu Banyak

Baru saja membuat bak penuh dengan air panas, menyebar aroma bunga mawar, bersiap melepaskan baju, handphone Ellen yang di letakkan di wastafel bergetar.

Ellen memegang pegangan tangan, menoleh ke arah wastafel.

Sudah larut malam begini, siapa?

Ellen mengulurkan tangan dengan penasaran, berbalik ke sana, mengambil handphone.

Layar handphone yang berkedap-kedip, tangan Ellen yang memegang handphone ternyata tidak bisa di kendalikan.

Bernapas perlahan, Ellen mengangkat kepala, melihat di lehernya ada bekas merah gigitan seseorang, tulang punggungnya membeku.

Handphone di tangannya kembali tenang, Ellen bernapas gemetar, pandangannya bergerak dari kaca ke handphone di tangan.

Dan matanya jatuh di layar handphone, layar itu kembali menyala.

Ellen terkejut sampai menghirup udara dingin, hampir membuang keluar handphone.

Menutup mata, Ellen menarik napas dalam, mencoba tenang, menekan tombol di handphone, mendengar.

“Sudah tidur?”

Suara rendah pria terdengar.

“...... belum.” Ellen berkata jujur.

“Baru saja sampai.” Dia berkata.

Ellen tahu, yang ingin dia katakan adalah, dia baru sampai di Paris.

“Emm.” Ellen menjawab dengan rendah.

Di saat itu terdengar suara helaan napas, walaupun sangat kecil, tapi Ellen masih bisa mendengar.

Ellen memajukan bibirnya, bertanya,” Capek?”

“Masih oke.”

“Kalau capek istirahat sebentar.” Ellen berkata.

“Nanti akan ada pesta makan malam.” William menjawab.

Nanti?

Ellen termenung.

Baru mengingat perbedaan waktu.

Di sini sudah larut malam, di sana seharusnya masih sore hari.

Bisa dikatakan, dia baru saja turun dari pesawat, waktu istirahat tidak ada, harus pergi menghadiri acara makan malam.

Ellen tersenyum, “Kamu tutup mata sebentar.”

William hening sebentar, “Emm”

Suara yang begitu akrab terdengar begitu lembut.

“Lain kali pergi dinas, bawa kamu ikut juga.” Nada bicaranya serius.

“……” Ellen terdiam, “Untuk apa kamu membawa aku ikut dinas?”

“Kalau begitu, saat rindu bisa melihatmu. Dan bukan begini, hanya bisa mendengar suaramu. Tidak cukup.” William berkata dengan lembut.

Telinga Ellen menjadi merah.

Paman ketiga, apakah sedang dengan dia, berbicara romantis?

“Apakah kamu merindukanku?” dia tiba-tiba bertanya dengan lembut, perasaan itu, seperti sekarang dia sedang berada di sisinya, bibirnya menempel di telinga, menggelitik telinga.

Leher Ellen memerah, jantungnya berdetak tidak karuan, “Paman, paman ketiga, aku capek ... ...”

“Apakah kamu merindukanku?”

Dia memotong kata-katanya, bersikeras bertanya.

“... ...” Ellen tiba-tiba bersendawa, detak jantungnya terasa berdetak sampai ke tenggorokannya, “Khe~~”

William,”... ...”

“Khe~~”

“Hehe... ...”William tertawa perlahan.

Dia sangat jarang tertawa seperti ini, dia tidak tahu suara tawa dia sangat enak di dengar, sangat membingungkan dan meracuni pikiran orang.

Tangan Ellen menahan detakan jantungnya.

Di pakaian dan kulitnya, dia merasa, jantung nya akan melompat keluar, melompat ke telapak tanganya.

Perasaan ini, sangat segar, juga sangat, menarik!

“Merindukan mu.”

Suara rendah dan berat dia sama memabukkan seperti anggur kuno, juga seperti violin, sangat serius.

Ellen mengulurkan tangan memegang dahi sendiri, dan dia terkena suhu panas dari wajahnya sendiri, yang membuat ujung jarinya gemetar.

Setelah itu, William masih berkata apa lagi, Ellen sama sekali tidak mendengar.

Bahkan kapan pembicaraan terputus dia tidak tahu.

Dia seperti di kutuk, kesadarannya sudah melayang jauh dari tubuh.

……

Kamar Vania.

Gerald dan Hansen melihat Vania tidak apa-apa, lalu kembali kamar masing-masing untuk istirahat.

Meninggalkan Louis yang menemani Vania.

“Ma, apakah ruam di wajahku sudah hilang?”

Vania dengan cemas memegang wajahnya, bertanya pada Louis.

Louis menarik turun tangan Vania dari wajahnya, “Sudah hilang.”

Vania bernapas lega, “Bagus kalau begitu.”

Louis melihat dia, mengernyit, berhenti berbicara.

Vania melirik Louis, bibirnya mengerucut, berkata, “Ma, aku menyukai Bintang.”

Kejujuran Vania membuat orang terkejut!

Walaupun Louis ada merasakan, tapi mendengar Vania mengakui dengan jujur, masih merasa terkejut, memelototi dia tapi tidak bisa berkata.

“Ma, ini pertama kalinya aku menyukai pria.” Wajah Vania memerah, nada bicaranya sangat yakin, “Aku ingin bersama dengannya.

“Mana boleh?” Louis penuh gairah, “Dia adalah pacar Ellen!”

“Hanya pacar, belum juga menikah! Apa yang terjadi di masa depan siapa yang tahu?” Vania berkata dengan tidak peduli.

Wajah Louis menegang, melihat Vania, “Vania, biasanya kamu selalu ribut dengan Ellen, mama selalu berdiri di pihakmu, tapi. Bintang adalah pacar Ellen, kamu tidak boleh merusak! Mama tidak ingin kamu menjadi orang ketiga!”

“Ma, aku adalah putrimu, kenapa kamu, kenapa kamu menggunakan katayang begitu serius terhadapku? Ellen dan Bintang sekarang hanya pacaran, belum menikah, setiap orang memiliki hak untuk mengejar kebahagiaan sendiri? Aku mengejar Bintang adalah urusanku, tapi kalau dia merasa aku lebih cocok dengannya daripada Ellen, dan memilih aku,

Vania mengerucutkan bibir, berkatan dengan keras kepala.

“Pokoknya tidak boleh!” Louis bertekad tidak seperti biasanya, melihat Vania dengna kedua mata yang serius.

“Mama... ...”

“Vania, Bintang lebih muda 2 tahun darimu, aku tidak menyangkal dia tidak buruk, tapi, kalian tidak cocok.” Nada bicara Louis melunak.

“Hanya 2 tahun saja, ada masalah apa? Sekarang penyuka sesama jenis sudah bebas menikah, aku dan dia bukannya hanya beda 2 tahun? Kenapa kami tidak cocok?”

“Tapi dia adalah pacar Ellen!” Louis berteriak rendah.

“... ...” Vania yang diteriaki oleh Louis menjadi tertegun, sebentar kemudian, dengan wajah pucat melihat Louis berkata,” Ma, kamu tidak pernah memarahiku? Hari ini karena Ellen kamu memarahiku? Baiklah, aku hari ini menlihat kalian dengan jelas. Kakek lebih menyukai Ellen daripada aku, abang ketiga lebih menyayangi Ellen daripada aku, sekarang kalian juga demi Ellen memarahiku? Aku di rumah ini memang tidak penting! Lagipula kalian semua tidak mengharapkan aku, kalau begitu besok aku mengemas barang keluar negeri, tidak akan kembali lagi!”

Vania setelah mengeluarkan kata-kata marah, menarik selimut menutupi wajah sendiri.

Louis melihat tubuhnya bergetar di bawah selimut, matanya menyiratkan tak berdaya dan kusut.

Menggenggam erat tangan, Louis menarik napas, nada bicaranya kali ini melunak lagi, mengulurkan tangan meraba punggungnya, “Sayang maaf, mama bukan sengaja ingin memarahimu, kamu adalah anak kesayangan mama, mama untuk menyayangimu saja tidak cukup, bagaimana bisa rela untuk memarahimu... ...”

“Tapi kamu tadi sudah memarahiku! Kamu tidak perlu menghiburku, besok aku akan pergi!’ Suara serak Vania terdengar.

Louis meletakkan tanganya di atas selimut, menghela napas dalam hati, dan tidak berkata apa-apa lagi.

Duduk di tepi kasur Vania sebentar, berdiri dan meninggalkan kamar.

“aaa... ...”

Louis baru saja menutup pintu, mendengar teriakan Vania.

Dahi Louis mengernyit, berdiri lama di depan pintu, tidak lagi mendengar suara dari dalam, baru berbalik kembali ke kamar dia dan Gerald.

……

Saat Louis membuka pintu memasuki kamar, Gerald baru saja akan naik ke ranjang.

Mendengar suara pintu dibuka, Gerald menoleh melihat Louis,”Aku kira kamu akan menemani Vania di kamarnya.”

Setelah Gerald selesai bicara, Louis tidak melihat dia, langsung berjalan ke kamar mandi.

Gerald mengernyit, terus menatap Louis yang berjalan ke kamar mandi, menutup pintu kamar, baru pelan-pelan membalikan pandangan.

Menempatkan tubuhnya di atas kasur, Gerald menunduk diam, tidak tahu sedang memikirkan apa.

……

Pagi hari kedua, Ellen dibangunkan oleh suara ribut dari luar.

Karena kemarin malam tidur terlalu larut, dan Ellen juga bangun karena suara ribut, jadi merasa agak sebal.

Menarik rambut berguling di atas kasur, Ellen turun dari kasur dengan wajah gelap, pergi ke kamar mandi mencuci wajahnya.

Lalu keluar menarik jaket dan dipakaikan di badannya, berjalan keluar.

Dan.

Disaat Ellen membuka pintu kamar, sebuah benda terbang mendarat di wajahnya.

“Ellen!”

Kedua tangan Ellen menutupi wajahnya, saat itu langsung menunduk.

“Vania, kamu membuat keributan lagi!”

Karena Vania pagi hari membuat keributan, wajah Hansen menjadi tidak enak.

Kali ini melihat Ellen terkena pecahan piring yang di lempar Vania, saat itu langsung marah, berteriak marah kepada Vania!

Vania yang mendengar itu tubuhnya gemetaran, berhenti, matanya membesar, dengan terburu-buru mendekati Ellen yang menunduk tanpa bersuara.

“Kamu ... ...”

Louis ingin memarahi Vania, tapi saat membuka mulut, tiba-tiba merass tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

Menggelengkan kepala, memfokuskan alis dan dengan cepat berjalan ke arah Ellen.

“Ellen, Ellen, apakah kamu baik-baik saja?”

Louis mengulurkan tangan memegang pundak Ellen, lalu membantunya berdiri.

Kedua tangan Ellen menutupi wajahnya, menggeleng, tapi tidak mengeluarkan suara.

Louis sangat cemas, “Ellen, kamu angkat kepalamu supaya nenek bisa melihat.”

Karena cemas Vania membuat masalah pada Ellen, ketika William pulang tidak akan bisa menjelaskan.

Ellen mengangkat kepala.

“Oh Tuhan, sudah berdarah!”

Saat Ellen mengangkat kepala, Louis melihat darah mengalir melalui jari-jarinya, dia terkejut sampai matanya membelalak, terkejut sampai berteriak.

Mendengar kata Louis, Hansen langsung bergerak cepat, mendorong Louis, dengan cemas menatap Ellen, “Ellen, Ellen ... ...”

“Kakek besar, kakek besar, aku, aku tidak apa-apa, jangan khawatir.” Suara Ellen gemetaran.

“Kamu masih bilang tidak apa-apa, lihat lah ini, sudah mengalir begitu banyak darah.” Hansen sangat cemas, berdiri didepan Ellen, tampaknya lebih tidak berdaya di banding Louis.

Pada akhirnya hanya Gerald yang mulai tenang, dengan cepat menelpon dokter keluarga, menyuruh dia cepat datang.

Vania berdiri di depan pintu kamarnya, hanya bisa melihat tangan putih Ellen menjadi kemerahan, wajahnya hampir pucat, sudah terlalu terkejut.

Kalau diketahui oleh abang ketiga dia, dia membuat Ellen berdarah, abang ketiganya pasti tidak akan melepaskannya!

Hanya memikirkan wajah dingin abang ketiganya, Vania tadi hanya mengancam Louis dan yang lain, mengatakan ingin keluar negeri dan tidak kembali lagi, tapi sekarang, dia benar-benar ingin mewujudkan keinginan keluar negeri.

Setidaknya, jika dia sudah keluar negeri, walaupun kemarahan abang ketiganya sebagaimana besar, juga tidak berbuat apa-apa padanya.

Karena, abang ketiganya tidak mungkin pergi keluar negeri mengejar dia hanya untuk membantu Ellen balas dendam?!

Tidak sampai dua puluh menit, dokter keluarga sudah sampai.

Novel Terkait

His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu