Hanya Kamu Hidupku - Bab 73 Hanya Kamu Yang Menyayangiku

Setelah Louis mendengar perkataan ini, berhenti sejenak tidak bicara, lalu menepuk ringan tangan Ellen, “Ellen, kamu sungguh anak yang baik.”

Mendengarnya berkata demikian, Ellen tidak bisa memungkiri kalau dadanya terasa begitu sesak.

Apa yang Louis katakan tadi terasa penuh kewaspadaan dan juga seperti mengetes.

Mengetes apakah ia mengatakan pada William mengenai Vania yang tidak sengaja melukainya.

Waspada padanya, tidak ingin membiarkan Samir melihat kondisi Ellen yang sekarang, mengantisipasi William mengetahui kondisi Ellen melalui Samir.

Ellen sebenarnya bukan tipe orang yang bisa diam saja dibully oleh orang lain.

Namun kemampuan untuk membedakan mada yang benar dan masalah masih ada.

Masalah hari ini, Vania memang bukan sengaja ingin melukainya, sengaja melempar kaset kewajahnya.

Jadi dia sama sekali tidak menyalahkannya, meskipun kemungkinan wajahnya akan menjadi cacat.

Dia tidak menyalahkannya, berbeda kondisi dengan dirinya yang merasa sedih dan juga takut.

Dipertanyakan.

Wanita manakah yang bersedia membiarkan wajahnya memiliki bekas luka?

dia menelepon William untuk mendapatkan rasa tenang sama sekali tidak keterlaluan.

Dia tidak menangis dihadapannya, tidak berkata apapun, bahkan merasa khawatir mereka akan tidak enak hati karenanya.

Hanya saja, kalau saja Vania dan dirinya bertukar posisi.

Vania mungkin akan mengobrak abrik seisi rumah ini, dan mungkin saja membawakan pisau untuk membunuh dirinya yang menjadi pelaku.

Dan Louis juga Gerald tidak akan melepaskannya dengan mudah.

Semakin berpikir demikian, Ellen semakin merasa kasih sayang William padanya begitu besar, begitu sabar padanya.

Manusia memang seperti itu.

Hanya disaat ia mengalami hal yang tidak menyenangkan, baru bisa teringat pada orang yang baik padanya.

Ellen menarik nafas dalam, berkata pada Louis, “Nenek, aku merasa sedikit lelah.”

“Kalau begitu kamu istirahatlah, makan siang aku akan menyuruh orang untuk mengantarnya naik.” Louis berkata.

Ellen tersenyum dengan terpaksa, tanpa menunggu Louis pergi, langsung bangun dan berjalan menuju ranjang.

Louis melihat Ellen yang berbaring diranjang, matanya sedikit berbinar, lalu berdiri meninggalkan kamar Ellen.

Terdengar suara pintu kamar yang dibuka dan ditutup kembali, Ellen memejamkan mata, bibir bawahnya sedikit mengkerut dan digigitnya dengan cukup erat.

……

Siang hari, pelayan memberitahukan kalau makan siang sudah siap.

Samir berdiri dari atas sofa, lalu melirik kelantai atas, “Dimana Ellen?”

Louis menundukkan wajah, “Tadi aku sudah kekamar Ellen, dia mengatakan padaku kalau pelajarannya akhir-akhir ini terlalu berat, ketika sekolah tidak bisa tidur dengan cukup, jadi hari ini dia ingin tidur lebih lama sedikit.”

Setelah berhenti sejenak, Louis menatap Samir dan berkata, “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Ellen, nanti aku akan menyuruh pelayan untuk mengantarkan makanan keatas.”

Samir mengkerutkan alis, ekspresinya terlihat curiga, dan berkata pelan, “Jangan-jangan Ellen sedang tidak enak badan? Tidur terlalu lama juga tidak baik.”

“Anak jaman sekarang tidak perlu terlalu dipusingkan. Kita makan saja.” Louis seperti tidak ingin membicarakan tentang Ellen lagi, lalu berkata pada Samir.

Samir menyipitkan mata dan berjalan kearah tangga, “Aku lihat Ellen dulu.”

Tangan Louis yang terkulai disamping tubuhnya mengepal erat, mengetatkan bibir melihat Samir berjalan keatas, namun dia tidak mengatakan apapun.

Samir tidak naik hanya dalam dua tiga langkah, berjalan dengan langkah besar kedepan kamar Ellen, mengulurkan tangan dan mengetuk pintu, “Ellen, Paman Samir datang untuk menengokmu, cepat buka pintu.”

Louis memejamkan mata.

Dan tepat disaat ini, Gerald dan Vania keluar dari dalam ruang kerja, berdiri didepan pintu melihat Samir.

Samir mengangguk pada Gerald, lalu lanjut mengetuk pintu, “Ellen, aku masuk ya?”

Begitu Louis mendengar ini, menarik nafas pelan, baru ingin bicara.

Suara Ellen yang malas-malasan dan serak terdengar dari dalam, “Paman Samir, jangan masuk, aku masih mau tidur, aku mengantuk sekali.”

Louis mengetatkan bibirnya, berpikir sejenak lalu berkata pada Vania, Vania, pergi ke kamar untuk memanggil kakek turun untuk makan.”

Vania teringat kejadian Hansen yang membentaknya karena Ellen, begitu mendnegar apa yang dikatakan Vania, ia langsung menggeleng, lalu berdiri disamping Gerald, “Aku tidak mau, aku takut.”

“Apa yang kamu takutkan? Apakah kakekmu akan menelanmu?” Louis berkata.

“Pokoknya aku tidak mau pergi.” Vania berkata dengan bibir yang dimancungkan.

Louis merasa kesal, “Vania…..”

“Aku saja yang pergi.”

Gerald memotong ucapan Louis dengan tenang.

Setelah mengatakannya ia langsung berjalan ke kamar Hansen.

Louis mengkerutkan alis, melihat kearah Gerald, lalu langsung melihat Vania.

Vania mengangkat dagunya.

Begitu Louis melihat ini, amarahnya langsung memuncak!

ia menahannya, mengetatkan bibirnya, lalu berjalan keruang makan.

Melihat Louis berjalan ke ruang makan, Vania berlenggang kearah Samir yang tetap berdiri didepan kamar Ellen.

Samir melihatnya berjalan mendekat, bibirnyabergerak dan menatap Vania.

Vania berjalan kehadapannya, berdiri tegak, kedua tangannya diletakkan di punggungnya, melihat kearah pintu yang tertutup rapat, memiringkan kepala melihat Samir, “Samir, kamu itu sedang apa, Ellen sudah bilang dia tidak makan, mengantuk, kamu masih terus saja memanggil, berisik banget sih?”

Setelah Vania mengatakannya, Samir langsung memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.

Ketika Vania menatapnya dengan bingung, dia langsung menjepret kening Vania dengan keras.

“Aaa.”

Vania memegang dahinya yang kesakitan, memelototi Samir dengan kesal, “Kamu gila ya, sakit banget!”

“Begitu saja sakit?” Samir berkata sambil tersenyum.

“Samir, kamu lelaki atau bukan sih? Kalau bersikap pada wanita harus lebih lembut, kamu tidak tahu apa?” Vania berkata dengan kesal sambil menggertakkan gigi.

Samir mengangkat bahunya, kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana, matanya menatap Vania lurus, senyum mengembang dibibirnya, “Kamu juga bilang harus sedikit lebih lembut pada wanita. Namun sayangnya, dimataku kamu bukan wanita!”

“…………”

Vania membelalakkan mata.

Apa maksudnya?

Kalau dimatanya dia bukan wanita, lalu apa?

Samir melihat tatapan Vania yang penuh heran, berdiri tegak, lalu berkata, “Begitu melihatmu, mengingatkanku pada seekor monyet yang suka loncat kesana kemari.”

What?

vania melihat kearah Samir dan berkata dengan kesal, “Kamu mengatakan kalau aku monyet? Samir, aa………”

Vania belum menyelesaikan ucapannya, keningnya sekali lagi dijepret.

“Samir…”

“Bicara lagi? Masih mau.”

Samir menyipitkan mata dan menunjukkan tinjunya.

Vania kesal sampai ingin sekali membunuh orang rasanya, berbalik dengan kesal lalu berlari turun, “Ma, ma, Samir memukulku…..”

Memukul?

Samir memutar bola matanya.

Sukurin!

Siapa yang menyuruhnya menyodorkan diri untuk dipukul!

Tidak lagi memperdulikan Vania, Samir melihat kearah pintu kamar yang berada dihadapannya, mengangkat tangan dan mengetuk lagi, “Ellen, kamu begitu rasanya tidak baik deh? Bagaimana pun Paman Samir sengaja datang untuk menemuimu, paling tidak kamu keluarlah dan bertemu dengan paman sebentar. Kamu sekarang pintu saja tidak ingin dibukakan, aku sungguh merasa tidak dihargai, sangat sedih.”

“………. Paman Samir jangan buat gaduh lagi. Aku sungguh mengantuk sekali.” Suara Ellen terdengar begitu malas.

“Ellen, Ellen kecilku yang baik, kamu bukakanlah pintu sebentar saja untuk membiarkan paman melihatmu sebentar, ya?” Samir berkata dengan suara yang lembut.

“Rese ih.”

Tidak lama berselang terdengar suara Ellen yang kesal.

Samir tercengang, tersenyum sambil menggosok hidungnya, “Ellen kecil…….”

Bump!

Samir baru memanggil satu kali, pintu dibelakangnya langsung bergetar dan terdengar suara yang keras.

Samir terkejut sambil menatap pintu kamar.

“Paman Samir, yang barusan aku lempar adalah bantal, kalau kamu menggangguku lagi, maka yang berikutnya kulempar adalah kamu!”

Ellen berkata dengan sangat kesal.

Samir merasa lucu, “Juga harus lihat kamu kuat ti……”

Bump!

Pintu bergetar lagi.

Samir, “………”

“Samir?” terdengar suara Hansen dari belakangnya.

Samir menoleh, lalu berkata sambil tersenyum, “Halo kek.”

Hansen melihat wajahnya yang tersenyum, dirinya malah sama sekali tidak bisa tersenyum, lalu berjalan kearahnya, “Kapan datang?”

“Kakek, ucapan anda ini sungguh membuatku sedih.”

Samir berkata sambil meletakkan tangannya diatas bahu Hansen bagaikan sahabat baik, satu tangannya lagi memegang dadanya, menatap Hansen dengan ekspresi wajah yang begitu terluka, “Aku sudah disini hampir 3 jam, tapi anda tidak tahu aku datang? Haih, sungguh menyakitkan.”

“Sana!”

Hari ini Hansen sama sekali tidak mood untuk bersilat lidah dengannya, menggunakan sikut untuk menyingkirkannya, lalu menatapnya sambil mengkerutkan alis, “Tumben datang?”

“Kangen kamu donk.” Samir berkata sambil tersenyum.

Hansen memelototinya, “Tidak ada ucapan jujur yang keluar dari mulutmu!”

Samir memperlihatkan wajah tidak berdosa.

Hansen tidak punya waktu untuk mengurusinya, mengkerutkan alisnya dan melihat kearah pintu kamar Ellen, mengangkat tangan dan mengetuk pintu.

“Paman Samir, kalau kamu seperti ini lagi aku akan benar-benar marah, aku baru akan tidur.” Terdengar suara Ellen yang mulai meninggi.

Samir yang tidak melakukan apapun, “……….”

Hansen terdiam, setelah berpikir sejenak baru paham, wajahnya yang sudah tuamenjadi begitu serius.

Setelah berdiri sesaat didepan kamar, mengangkat kepala dan berkata pada Samir, “Turunlah makan.”

Samir agak menyipitkan matanya, sudut bibirnya agak mengangkat, lalu mengangguk.

……

Ruang makan.

“Kakek, tadi aku melihat Dokter Ji keluar dari kamarmu, kamu kenapa? Tidak enak badan?”

Begitu Samir melihat ini langsung bertanya.

Tamun tidak menyangka begitu ia bertanya, orang satu meja langsung menghentikan gerakan mereka yang sedang makan, lalu melihat kearahnya dengan serempak.

Tatapan Samir menjadi agak tajam, tersenyum kearah mereka, “Ini?”

Louis mengerjapkan mata menatap Samir.

Sejak Ellen mengalami kecelakaan, ekspresi wajah Hansen selalu terlihat begitu buruk, dan sekarang terlihat semakin memburuk.

Hansen tidak menjawab pertanyaan Samir.

Dan Samir juga berpura-pura tidak bertanya, lanjut makan siang.

Setelah makan Samir langsung pulang.

Setelah mereka melihat Samir pergi, akhirnya mereka bisa merasa lega.

Hansen menatap dingin kearah mereka, lalu mendengus dengan dingin dan naik ke lantai atas, berjalan kearah kamar Ellen.

“Pantaskah kakek sampai seperti ini? Sudah marah sepanjang siang, sekarang masih berlanjut?” Vania berkata sambil memancungkan bibirnya.

Hati Louis terasa begitu penuh, ia hanya mengetatkan bibir sambil menatap Vania, tanpa mengatakan apaun langsung berjalan masuk kamarnya.

Vania melihat sikap Louis yang seperti ini merasa agak sedih, menjulurkan tangan merangkul lengan Gerald.

Gerald mengangkat tangan, mengelus kepala Vania dengan penuh kasih sayang, “Tidak apa, ada papa disini.”

Mata Vania memerah, “Pa, dirumah ini hanya kamu yang menyayangiku sekarang.”

Gerald menundukkan kepala menatap Vania, tersenyum padanya, “Kamu adalah putri papa, tentu saja papa sayang padamu.”

“Hm, papa memang yang terbaik.”

……

Samir berjalan keluar dari pintu utama, lalu naik kedalam mobil kesayangannya, mengeluarkan ponsel yang ia letakkan didalam mobil, melihat ada puluhan panggilan tidak terjawab di layar, alisnya mengangkat, lalu segera membalas teleponnya.

Telepon diangkat dengan cepat, “Kenapa baru menelepon sekarang?”

Suara pria yang serak dan rendah terdengar begitu kesal.

Novel Terkait

Awesome Husband

Awesome Husband

Edison
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Mr Huo’s Sweetpie

Mr Huo’s Sweetpie

Ellya
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu