Hanya Kamu Hidupku - Bab 140 Paman Ketiga, Apakah Kita Bisa Lebih Lembut

Ellen mendengarkannya, mata yang buram menjadi terang, tarik nafas, berjalan cepat menuju ke dalam rumah.

Sekali masuk kedalam rumah, Darmi memberikan telepon kepadanya, "Ini kakek."

Ellen, "......"

Muka yang terang bergetar sedikit, alis mata yang tebal ke bawah, Ellen menghelakan nafasnya, menerima telepon, mendengarkannya, "kakek buyut.

"Ellen ellen, dimanakah kamu?" suara Hansen yang bersemangat dari telepon sebelah sana.

"Aku dirumah...."

Sehabis Ellen berkata, baru merasakan kesalahan, dengan suara lembut, berkata, "Kakek buyut, ada apa ?"

"Kemarin suruh kalian pulang ke rumah kalian tidak pulang, kakek buyut tidak ada apa-apa, hanya merindukanmu. Beberapa kali ingin pergi menjengukmu, paman Ketiga-mu tidak mengizinkan, katanya sebentar mau ujian, sedang belajar ketat, kalau kesana takut menganggumu belajar. Hmm. Bisakah aku? aku tidak mengetahui kamu belajar ketat? kekhawatiran paman ketiga-mu berlebihan!"

Hansen berkata dengan sedikit marah.

Ellen menarikkan bibirnya, berjalan menuju sofa, "Kakek Buyut, jangan salahkan paman ketiga, dia juga demi kebaikkanku."

"Lihat kamu, tiap membicarakan paman ketigamu, selalu membantunya, tidak pernah berdiri di pihak kakek bantu kakek nasehati dia!” Hansen berkata dengan sedikit cemburu.

Ellen mengeluarkan lidahnya, duduk di sofa, "Aku mana ada membantu paman ketiga."

"Mana ada bantu paman ketiga." Hansen berkata, "Aku melihatmu membantu dia di segala hal!"

Ellen tersenyum.

"Ya, tadi kamu bilang ada di rumah?" Hansen tiba-tiba berkata.

"........" muka Ellen bergetar, duduk tegap, "Hm."

"Sekolahmu bukannya baru bubar? Kenapa kamu begitu cepat dirumah?" Hansen berkata, "Aku berdiri di pintu sekolah menunggumu, tidak melihatmu keluar, kenapa aku tidak melihatmu?"

"......"

Mata Ellen buka lebar, mendengarkan titik berat perkataan kakek buyut, "Kakek buyut, kamu sekarang dimana?"

"Di sekolah. paman ketiga tidak mengizinkanku ke villa cari kamu, terpaksa aku harus ke sekolah." Hansen berkata dengan hati sedikit masam.

Ah.......

Ellen menjilat bibir bawahnya, "kakek buyut, orang yang pulang sekolah ramai, kemungkinan kakek tidak nampak. Aku, aku sekarang dalam perjalanan pulang ke rumah."

Ellen mengusahakan suaranya kedengaran kepastiannya.

"Sudah dalam perjalanan pulang." nada suara Hansen kecewa disertai dengan helaan nafas pelan.

"....." Ellen mendengarkan, merasakan kurang enak juga.

Diam-diam dia sudah sebulan tidak melihat Hansen.

Memikirkannya, Ellen berkata, "Kakek buyut, apakah kamu mau datang?"

"Aku tidak datang! Hansen berkata segera.

"........Kenapa?" Ellen merasa aneh.

"Hm. paman ketiga kamu tidak mengizinkan, aku mana berani!" Hansen berkata.

"......" muka Ellen masam.

Dia sekilas mengetahui alasan tidak mengizinkan Hansen datang ke rumah.

Kemungkinan takut Hansen mengetahui sesuatu.

Tetapi anak dikandungannya belum memasuki bulan ketiga, perut masih rata, gejala kehamilan juga tidak begitu besar, melihat dengan mata dipastikan tidak bisa tahu dia lagi hamil.

Berpikir sampai situ, Ellen berkata lewat telepon, "Kakek buyut, kamu datanglah, aku kangen kakek juga.”

"Aku, aku tidak datang!" Hansen berkata kaku.

Ellen tertawa diam,dengan sengaja memakai nada suara yang kecewa berkata, "Kakek buyut, kamu benar tidak mau datang?"

"hm!"

"Kakek buyut, apakah kakek sudah tidak suka aku lagi?" Ellen berkata dengan "sedih".

".....siapa bilang? Apakah William yang bilang begitu?! Aku katakan denganmu Ellen, dia iri dengan hubungan akrab kita, sengaja provokasi di mukamu, jadi apa yang dikatakan dia, jangan percaya! kamu tidak tahu seberapa "kejam" dia!” Hansen berkata dengan marah.

Pria itu seberapa kejam, siapa lebih jelas dari dia?

Dia sendiri pernah mengalami kekejaman dia!

Perkataan Hansen atas" kejam", Ellen sangat setuju!

"Kakek buyut, kalau kamu bukan tidak suka aku, kenapa tidak mau datang lihat aku? jelas sekali kamu tidak menyukaiku." Ellen berkata " manja"

"..............."

Hansen tidak berkata lagi.

Ellen menaikkan alis matanya, tidak tergesa-gesa, dengan santai duduk di sofa.

Sekitar 6-7 menit, Suara Hansen terdengar, "Ellen Ellen, kamu tunggu, Kakek buyut sekarang datang."

Hasil begini sudah didalam pemikiran Ellen.

Tetapi mendengarnya, Ellen sengaja kegirangan, "Benar?"

"Heh, benar!"Hansen tertawa.

"em em, kalau begitu aku menunggu dirumah." Ellen berkata.

Habis bertelepon dengan Hansen, tidak lama William kembali.

William menukar sepatu di pintu rumah, melihat Ellen duduk di sofa ruang tamu, berjalan menuju dia, menundukkan kepala menciumnya.

Akan tetapi, Ellen mundur terus bersembunyi dibelakang.

William mengerutkan alis mata, melekatkan bibir dan menatapnya.

Ellen bergidik, mengulurkan tangan meraih lengannya, biarkan dia duduk disisinya.

William dengan terpaksa mengikutinya, mukanya dingin, masih merasakan tidak senang dengan reaksi Ellen.

Dia merindukannya sepanjang hari, masih tidak diperbolehkan menciumnya.

Dengan memikirnya, William mengasahkan giginya, menatap Ellen, "Masih boleh aku mencium?"

Ellen, "............" muka merah.

paman ketiga, apakah kita bisa lebih lembut?! jangan begitu mudah kasar.

Dengan jelas hati William tersumbat, tidak puas karena tidak bisa mencium Ellen.

Ellen melihat mukanya makin lama makin masam, tidak bisa lagi.

Mata membesar, miringkan badannya, dengan agresif menempelkan bibirnya yang lembut.

William bola mata sedikit menyusut, tapi dengan hati yang kurang gembira menatap kepada Ellen.

Ellen mengangkat mulutnya, memasukkannya lebih dalam.

"......." William dangan mata dingin redup, mengulurkan tangan merangkul ke tubuh kecil Ellen, memeluk erat ke pelukannya, sebelah tangan melewati badannya mengangkat kepalanya, dari pelaku cadangan ke pelaku utama

Darmi mengintip di dapur, menutup mukanya, tidak berani melihat ke ruangan tamu.

Habis ciuman, Ellen kehabisan nafas, baring didalam pelukan William, tidak memiliki tenaga tidak berdaya.

Muka William kemerahan, bawah dagu diatas kepala Ellen, telapak tangan memegang rambut Ellen, dingin tanpa sinar cahaya.

Sebentar, tenaga Ellen pulih kembali, segera keluar dari pelukannya, dari sofa, berjalan menuju ke kamar mandi.

William terdiam sebentar, alis mata berkerut bagaikan orang tua.

Bertahan di sofa sekitar 10 detik, William tidak bisa duduk lagi, sekilas berdiri, berjalan dengan langkah besar menuju ke kamar mandi.

Pintu kamar mandi tidak tertutup, William berjalan sampai pintu, melihat Ellen lagi "cuci mulut" dengan tangan putihnya.

Muka William yang hitam seperti dasar kuali, bibir tertutup segaris, berjalan menuju dalam, menarik tangan Ellen yang penuh dengan air untuk cuci mukanya.

Ellen terkejut dengan kelakuan William yang tiba-tiba, air di telapak tangan tumpah membuat bajunya basah.

Muka kecil Ellen berkerut, menatap William dengan tidak paham.

Ketika melihat muka William yang hitam buram, jantungnya berdetak-detak, pandangan mata yang tidak jelas.

"Marah denganku?" William menatap Ellen dengan tatapan bagaikan mendapatkan mangsa dan ingin memakannya.

"?" Ellen keheranan, kapan dia marah dengan dia?

"Muak ya?" tepi mata William merah, suaranya menyeramkan.

Ellen mengangkat kepalanya kaku, ketakutan melihat muka William yang menyeramkan, otaknya berputar cepat.

"Ellen....."

"paman ketiga, kamu, kamu jangan emosional."

Ellen cemas medengar dia memanggil namanya disertai marganya.

Jadi sekali William buka mulut, Ellen dengan gelisah membaringkan ke badannya, mengunakan sebelah tangannya memeluk erat pinggangnya.

William terkejut, menundukkan muka melihat Ellen.

"paman ketiga, kamu pasti salah paham. Aku, kapan aku marah denganmu? apalagi muak."

Ellen dengan muka cemas, dengan gelisah melihatnya dan berkata, "kamu kasih aku alasan, kenapa kamu mempunyai pemikiran yang aneh ini, aku akan jelaskan kepadamu."

William mengerutkan alisnya, mata tertuju ke wastafel.

Mata Ellen tertuju ke wastafel, sekilasnya, otaknya bagai diketuk sesuatu, tiba-tiba sadar.

Mengetahui alasan kesalahpahaman William, dia tadi mengambil air untuk cuci mulutnya, karena bibir mulutnya sedikit bengkak, dia takut dilihat William, jadi memakai metode ini untuk meringankan bengkak di bibir mulutnya, mana tahu William salah paham.

William melihat muka Ellen yang sedih, mata sedikit bersinar.

"paman ketiga, Kakek buyut datang" Ellen mengerut alis dan berkata.

"....." William dengan muka terkejut, "Kakek?"

"Hm." Ellen cemberut, dengan suara kecil menjawab, "mungkin sudah mau sampai."

William memikir, melihat Ellen, "Jadi?"

Jadi?

Harus penjelasan?

Ellen mengerakkkan bibirnya, "Aku tidak mau dicium, bukan marah denganmu, juga bukan muak, hanya lebih aman, jangan dilihat oleh kakek buyut. Dan tadi aku memakai air dingin cuci mulut, karena mulut agak....agak bengkak, takut diketahui kakek."

William menatap Ellen, dingin kaku membuat tampannya bergerak beberapa kali.

Hati Ellen capek, mau keluar dari tubuhnya.

Sekali dia bergerak, William menarik kembali lagi.

Ellen menghela nafas pelan, mengangkat kepala melihatnya.

Ketika dia mengangkat kepalanya, bibirnya sudah menempel ke bibir Ellen.

Pandangan Ellen terpencar, menatap ke wajah William yang tampan, suara nafas pelan-pelan.

William kali ini tidak seperti tadi di ruang tamu lebih mendalam, bertahan sebentar saja di bibir Ellen, setelah itu melepaskannya.

Muka Ellen memerah, kedua mata dilapisi dengan pandangan yang jernih menatap ke William.

Muka William yang kaku menjadi lembut, ibu jari meraba muka merah Ellen dan berkata rendah, "tidak bilang dari awal sih."

Ellen, "......." akhirnya memahami arti dari "orang jahat malah yang benar"!

Lebih awal katanya, memangnya diberi kesempatan bicara!

Orang ini, kapan baru belajar sebelum marah harus dengar penjelasan dulu?

Mulut Ellen bergetar dikit, tidak puas dengan muka William yang segar gembira.

Ada pepatah yang mengatakan perempuan kalau marah lebih cepat dari membalik halaman buku, kata ini lebih cocok untuk William.

........

Kesalahpahaman sudah jelas, sekitar 10 menit mereka keluar dari kamar mandi, diluar villa terdengar suara mesin mobil.

Kemungkinan Hansen telah tiba, Ellen segera bertanya kepada William apakah bibirnya masih bengkak, William melihat tidak ada yang aneh, Ellen berjalan menuju keluar menyambut Hansen tanpa kekhawatiran.

"

Novel Terkait

Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
3 tahun yang lalu
Awesome Husband

Awesome Husband

Edison
Perkotaan
4 tahun yang lalu