Hanya Kamu Hidupku - Bab 171 Sekarang Mati Pun Juga Tidak Disayangkan

Plak---

Mengikuti suara yang nyaring ini, suasana ruang makan masuk dalam suasana yang begitu aneh dan sepi.

Satu detik, dua detik, tiga detik…

"Ah……"

Vania sambil memegang wajah yang di tampar Ellen dan berteriak terkejut, kemudian langsung mengarah ke Ellen seperti orang gila.

Ellen yang sudah bersiap sejak awal, ketika dia mengarah ke dirinya, langsung mengelak.

Dan Vania menggunakan seluruh tenaga, Elakan Ellen, dia sekujur tubuh kehilangan kendali, langsung mengarah ke kursi yang ada di belakang Ellen.

Meskipun tidak jatuh ke lantai, tetapi bagian pinggang Vania tersantuk pinggir siku kursi.

Vania saat itu kesakitan sampai menggenggam perutnya, menunduk di lantai.

Tangan kanan Ellen yang mati rasa, dengan mata merah menatap Vania yang menunduk di lantai.

Dan saat itu juga.

Sebuah langkah kaki yang buru-buru mengarah ke belakang tubuhnya.

Ellen yang tidak fokus, tidak sempat untuk melihat ke belakang, bahu yang langsung di cengkeram kuat dari belakang.

Kemudian, dia karena cengkraman dari belakang dan membuatnya terputar setengah putaran.

Ketika Ellen merasa goyah, sebuah tamparan yang sangat kuat jatuh ke pipi kanannya.

Saat itu Ellen di tampar sampai darah dari hidungnya pun keluar.

Karena cengkraman di bahunya, Ellen tidak jatuh ke lantai, tetapi kedua kakinya melemas, kepalanya terus berdenging, sampai tahap dia tidak sadarkan diri.

"Ellen! "

Hansen melihat hidung Ellen yang mengeluarkan darah, panik dan melototkan mata, beberapa kali mencoba untuk berdiri dari atas kursi pun tidak berhasil.

Pandangan Ellen yang kabur, satu tangan yang lain menahan hidungnya, dengan tatapan memerah menatap Gerald yang sedang menahan bahunya.

Dia melihat jelas wajahnya, tetapi bisa melihat aura kejam dan jahat yang keluar dari tubuhnya.

"Gerald, apa yang kamu lakukan!? "

Louis terkejut sampai langsung berdiri dari atas kursi, berlari ke arah Ellen, sekuat tenaga mendorong Gerald, berteriak, "Kamu sudah gila! "

Terbatas oleh meja makan, dia pun bisa merasakan tamparan Gerald pada Ellen seberapa kuat!

"Kamu lepaskan! Hari ini aku akan mengajari baik-baik orang yang tidak menghormati senior, bisa-bisanya terhadap senior ringan tangan! " Gerald seperti merasa tamparan pada Ellen itu masih belum cukup, mengangkat tangan melambai ke arah wajah Ellen.

"Gerald…"

"Kamu berani! "

Hansen berteriak.

Bahkan urat di wajah dan leher pun bermunculan semua.

Gerald yang terdiam, menatap dingin Hansen.

Kedua tangan Hansen yang memapah di atas meja, bergetar dan dengan susah berdiri, berhenti beberapa detik, baru memiliki tenaga berjalan ke arah Ellen.

"Lepaskan, kamu kasih saya, kasih aku hentikan! "

Bola mata Hansen yang merah darah, menjulurkan tangan untuk melepaskan tangan Gerald yang mencengkram bahu Ellen, suaranya bergetar tidak beraturan.

Bagaimanapun Gerald pun tidak ingin melepaskan, "Pa, dia hanya anak angkat yang di angkat di Keluarga Dilsen. Keluarga Dilsen memberikan makan dan tempat tinggal padanya, mengajarinya seperti Nona Keluarga Dilsen! Tetapi sekarang? Karena manjaan kamu dan William, dia tidak hanya menggoda William, sekarang berani main tangan dengan Vania! Elang putih yang diberi makan sia-sia ini mati pun tidak di sayangkan! "

Kalau sekarang mati…juga tidak di sayangkan!

Ellen terus menggigit bibirnya dengan erat, sepasang mata yang lemah menatap Gerald, tiba-tiba langsung bersinar mengejutkan orang.

Gerald yang melihat tatapan Ellen, tertawa dingin, "Pa, kamu lihat tatapan matanya sekarang, aku hanya menamparnya sekali, langsung membenciku! aku lihat lebih baik usir dari Keluarga Dilsen, biarkan dia hancur! Lihat dia tanpa dukungan Keluarga Dilsen, masih bisa hidup tidak! "

"Tutup mulut, tutup mulutmu! Gerald, aku tidak punya anak sepertimu ini, aku tidak punya anak sepertimu, kamu pergi, pergi keluar…"

Wajah Hansen yang begitu sedih, sedih sekaligus marah.

Gerald mengerutkan kening, menatap Hansen, "Pa, bahkan sampai saat ini, kamu masih melindunginya! Apakah kamu sudah bodoh gara-gara tua! "

"Gerald, bagaimana bisa kamu berkata begitu dengan Papa? "

Louis emosi menatap Gerald.

Gerald memicingkan mata, melihat Hansen, lalu melihat Louis, kemudian langsung tertawa dua kali, membuang tangan Ellen, melewati Louis, berjalan ke arah Vania yang sedang menunduk dan memegang perut di lantai.

Satu sisi yang menatap Ellen dengan kejam dan dingin, Gerald yang melihat Vania, penuh dengan kesedihan, "Vania, mari Papa lihat. "

"Huhuhu…"

Vania langsung menangis keras.

Gerald dalam hati langsung sedih, memapah Vania, melihat dia yang terus memegang perutnya, wajah Gerald langsung mengejam, melihat Ellen.

"Hu…Papa, aku sangat sakit, aku sangat sakit. "

Vania memegang perut dan terus berteriak kesakitan, tetapi benar begitu sakit kah? Tidak begitu!

Gerald mendengar, sangat sedih sekali, mengulurkan tangan memegang perut Vania, "Sangat sakit kah? "

"Sakit, perut sakit, wajah juga sakit! "

Air mata Vania yang terus menetes melihat Gerald, "Papa, ini pertama kalinya aku di tampar oleh orang lain, pertama kali! Dan di tampar oleh Ellen! Dia hanya seorang anak angkat, bisa-bisanya dia berani menamparku! Papa, hu…"

Gerald merangkulnya, dengan hati-hati memapah punggungnya, "Papa sudah membantumu mengajarinya. Pergi, Papa bawa kamu periksa ke dokter. "

"Hu… sangat sakit, Papa, aku sangat sakit. " Vania bersandar dalam pelukan Gerald, berteriak kesakitan.

Gerald langsung mengendong Vania, di bawah pandangan Hansen dan Louis, meninggalkan ruang makan.

Hansen sedih dan memejamkan mata, hatinya yang dingin tidak bisa di ungkapkan.

Dan Louis, bagaimana bisa tidak.

Prak---

Sebuah suara jatuh terdengar dari sisi kaki Hansen dan Louis, bahkan mereka bisa merasakan getaran lantai di kaki mereka.

Hansen langsung membuka mata, melihat Ellen yang jatuh ke lantai, dan sedang menghadapnya, kebetulan sisi pipi kanan Ellen yang membengkak dan darah yang keluar dari hidungnya.

"Ellen…"

Hansen panik ingin memapah Ellen, tetapi sekujur tubuh gemetar, dan langsung berlutut di atas lantai.

"Pa! "

Mata Louis yang membesar, berteriak, "Sobri,Sobri!"

Louis menunduk memapah bahu Hansen, matanya memerah melihat Ellen yang pingsan, hatinya sangat kacau.

"Sobri... "

"Nyonya, Ah…Nona Muda. "

Lina mendengar suara panik Louis dan berjalan kemari, lalu melihat Ellen yang jatuh di lantai, dan melihat Hansen yang berlutut di samping Ellen dengan sekujur tubuh yang gemetar, terkejut sampai membuatnya terus mundur.

"Cepat, cepat panggil ambulance! "

Suara serak Louis yang berteriak.

"…" Lina tidak bisa berkata-kata, bengong beberapa detik, lalu dengan gugup langsung berbalik badan, berlari ke arah ruang tamu.

Sobri yang panik berjalan ke ruang utama, lalu melihat wajah Lina yang memucat keluar dari ruang makan.

Hatinya terkejut, Sobri maju beberapa langkah, mencengkram bahu Lina, "Apa yang terjadi? "

"…Nona Muda, Nona Muda…" Lina terkejut, suara yang keluar gemetaran, beberapa waktu tidak berkata menjadi gagap.

Sobri mengerutkan kening, langsung melepasnya, dan langsung berjalan ke arah ruang makan.

Berjalan ke pintu ruang makan, Sobri melihat pingsan dan jatuh di lantai, wanita yang di pukul sampai wajahnya babak belur itu...

Seperti melihat pakaian yang dipakai Ellen tadi pagi, Sobri benar tidak mengenal wanita yang di pukul dan jatuh di lantai adalah Ellen.

Sobri yang jantung seperti berhenti berdetak, berdiri beberapa detik di depan pintu, sadar kembali, dia langsung berlari ke dalam, dua langkah sampai di sisi Ellen, menundukkan tubuh langsung mengendong Ellen, berbalik badan dan langsung mengarah ke luar ruang makan.

Daripada menunggu ambulance, lebih baik langsung membawa Ellen ke Rumah sakit.

Melihat Sobri yang membawa pergi Ellen, Louis memapah satu bahu Hansen yang menegang, berkata, "Pa, kamu tidak apa-apa? "

Hansen tidak bertenaga dan melambaikan tangan, "Papah saya, papah aku pergi. "

"Pa, mari. " Louis sekuat tenaga memapah Hansen.

Kedua kaki Hansen yang sudah berdiri tegak, Louis melihat sekilas kakinya yang terus gemetar, air matanya langsung menetes, "Pa, kamu jangan khawatir, Sobri sudah membawa Ellen ke Rumah sakit, tidak akan terjadi apa-apa pada Ellen. "

"Jalan, jalan. " Hansen tidak bertenaga melambaikan tangan menunjuk ke arah luar ruang makan.

Louis menggigit bibir melihat Hansen, melihat dirinya tidak bisa menahannya, hanya bisa memapahnya keluar.

Menolong orang harus cepat.

Jadi Sobri tidak menunggu Louis dan Hansen keluar, langsung mengendarai mobil pergi ke Rumah sakit.

Louis tidak bisa mengendarai mobil, Hansen bisa, tetapi umurnya sudah tua, sekarang kedua kaki gemetar, tentu saja tidak bisa mengendarai.

Dan hanya Sobri yang bisa mengendarai mobil sudah mengantar Ellen ke Rumah sakit.

Louis memapah Hansen berdiri di depan pintu utama, tidak tahu harus bagaimana.

"Telepon ke Samir, menyuruhnya menjemput kesini. " Hansen dengan panik berkata.

"…Pa. " Louis bimbang.

"Telepon! " wajah Hansen yang menegang, berteriak.

Louis menggigit bibirnya, dengan penuh air mata menatap Hansen, "Pa, kalau Samir tahu masalah Ellen dipukul, dia pasti akan memberi tahu William. "

"Memberitahu juga kenapa? " Hansen yang nafasnya tidak beraturan, melotot melihat Louis, "Dia Gerald berani memukul orang, masih takut diketahui oleh orang kah? "

"…Pa, hubungan William dengan Papanya yang sudah tidak baik, William yang begitu peduli pada Ellen, kalau dia tahu Gerald memukul Ellen sampai seperti itu, aku takut, aku takut bisa mempengaruhi hubungan Ayah Anak mereka. " Louis merendahkan suara menasehatinya.

"Kamu takut apa? Dia Gerald pun tidak takut tidak peduli, kamu menggantikannya khawatir apa? aku sekarang tidak ingin omong kosong denganmu, aku buru-buru ke Rumah sakit melihat Ellen. Kamu tidak telepon? aku yang telepon. "

Hansen berkata, bergetar dan berbalik badan, lalu ingin kembali ke ruangan menelepon.

"Pa, anggap saja aku memohon padamu, masalah ini bisakah tidak beritahu pada William? Pa. " Louis berlutut di depan William, memohon.

Hansen memejamkan mata, tidak lama, membuka matanya, dengan tatapan dingin melihat Louis, "Louis, meskipun Gerald adalah anakku satu-satunya, tetapi aku harus memberitahumu, dia Gerald tidak pantas menerima perlakuanmu seperti ini! "

"…" Louis memegang mulutnya, air matanya terus menetes.

Akhirnya Hansen tidak menelepon Samir, tetapi Louis malah menelepon mencari Rosa.

Rosa buru-buru sampai, Hansen dan Louis sudah menunggu di luar pintu hampir satu jam.

Mobil Maserati yang berhenti di depan pintu kediaman, Hansen tidak menyapa Rosa, langsung berjalan, membuka pintu penumpang belakang, tidak sabar untuk duduk ke dalam.

Louis terpaksa menganggukkan kepala pada Rosa, ikut masuk ke dalam mobil.

Melihat kedua orang sudah masuk ke dalam mobil, mata Rosa memicingkan, mengangkat kepala dari kaca spion melihat Louis dan Hansen, "Kakek, Bibi, kita kemana? "

"Rumah sakit Yihe. "

Louis melihat Hansen sekilas, berkata.

Rumah sakit?

Wajah Rosa yang menegang, sekali lagi melihat Hansen dan Louis dari kaca spion, tidak banyak bertanya, langsung membalikkan stir, langsung mengendarai mobil ke arah Rumah sakit Yihe.

Novel Terkait

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu