Hanya Kamu Hidupku - Bab 102 Paman Ketiga, Kamu Jangan Begitu

Ellen baru saja mengeluarkan kata-kata, pintu ruangan tiba-tiba di tendang terbuka dari luar.

Terlalu tiba-tiba, senyum di ujung bibir Ellen belum sempat di tarik kembali, ditabrak oleh seseorang yang masuk dari luar.

Ellen dan Bintang dengan wajah terkejut melihat pria yang masuk dari luar itu.

Pria itu memakai kemeja hitam dan celana panjang ketat, kemeja itu di masukkan ke dalam celananya. Garis kemeja itu sesuai dengan otot tubuh rampingnya, menampilkan sosok tubuh yang sempurna.

Jaket oria itu sepanjang pergelangan kaki. Panjang sampai kaki, tinggi badan 190 di tambah jaket panjang, membuat dia terlihat lebih tinggi.

Dia berdiri di depan pintu, wajahnya dingin tidak berekspresi, seperti garis itu di ukir oleh Tuhan dengan hati-hati, matanya yang dingin seperti kolam dengan ketenangan dan kesejukkan yang dalam, menatap Ellen yang dengan polosnya belum menarik kembali senyuman di bibirnya, bibir tipisnya membentuk lengkungan yang tajam.

“Paman, Paman ketiga?” Ellen sangat terkejut.

“Kemari!” nada bicara William tenang, tapi tidak ragu.

Ellen,”......”

William melihat Ellen tidak bergerak, alisnya mengernyit lebih dalam, aura kejamnya menyebar ke seluruh tubuh.

Bintang menarik napas, berdiri dari tempat duduknya, melangkah lebar ke arah William, wajah muda dan tampan tergantung kesopanan, “ Paman ketiga, kamu juga datang kemari untuk makan?”

Mata William menyipit, melihat Bintang dengan tatapan dingin, tidak berbicara.

Seperti sekarang dia bersikap tidak memperdulikannya, tidak keberatan, berkata,” Paman ketiga, kamu sudah makan? Kalau belum, mari makan bersama.” Bintang mengundang.

William tanpa ekspresi melihat Bintang.

Dia hanya menganggapnya sebagai senior Ellen saja !

Terdiam, William menaikkan alis, melirik Ellen yang duduk dengan cemas.

Dia melemparkan pandangannya kemari, Ellen menahan napas, wajahnya tegang, dengan cepat berdiri dan berjalan ke arah dia, “Paman ketiga....”

Ellen baru saja membuka mulut, William langsung berputar badan, tubuhnya mengeluarkan aura dingin, tidak menoleh sedikitpun lalu meninggalkan ruangan.

Ellen,“……”

Bintang,“……”

Ellen termenung di tempat selama 3 detik, dengan cepat, mengambil tas jaket dan syal, tidak sempat berbicara kepada Bintang, dengan terburu-buru mengejar keluar.

Bintang,“……”

Ekspresi wajah Bintang saat ini sangat terkejut, dan saat dia kembali kesadarannya, sudah tidak menemukan bayangan Ellen dan William.

……

Di dalam mobil besar berwarna hitam, Ellen duduk di sebelah pengemudi, tangan kecilnya memegang tas syal dan jaket, sepasang matanya dengan gelisah melirik pria yang mengemudi di sebelahnya.

Tidak tahu apakah karena ekspresi wajah seseorang sangat tidak enak di lihat, atau karena tekanan udara di mobil sangat rendah, sangat mempengaruhi fungsi otak Ellen, otaknya menjadi kosong, langsung mempengaruhi kemampuan bicara Ellen, dan otaknya penuh dengan keinginan untuk menjelaskan, tapi, akhirnya tidak bisa memulai berbicara.

Ellen lalu dengan bodohnya menatap William sepanjang jalan tanpa menjelaskan apa-apa.

Mobil memasuki Coral Pavillion, kepala Ellen tersentak, dadanya bernafas, mengedip melihat seseorang melepaskan sabuk pengaman, dengan agresif mendorong pintu mobil dan turun, tidak memperdulikan dia, dengan dingin berjalan masuk ke paviliun.

Wajah kecil Ellen pucat, tangan putihnya gemetaran membuka sabuk pengaman, mendorong pintu mobil, kedua kakinya juga gemetaran, turun dari mobil, memeluk barang bawaannya, berlari kecil ke dalam paviliun.

……

Saat Ellen masuk ke paviliun, Darmi menyambutnya, mengambil barang bawaannya, “Nona, Kamu dan Tuan kenapa lagi?”

Ellen hampir menangis, tertekan tidak tahu harus bagaimana memberitahu Darmi.

Darmi melihat matanya memerah, sangat cemas.

Tidak lagi bertanya, dengan cepat menunduk dan mengambil sandal dalam lemari, “Cepat ganti dan cari Tuan. Bicara baik-baik, Tuan paling menyayangi kamu.”

Ellen mengangguk sekuat tenaga, mengganti sepatu dan berjalan ke arah atas.

Ellen naik, melihat ke arah ruang baca dan kamar master, terakhir berjalan ke kamar master, sama seperti biasa, hanya mengulurkan tangan untuk membuka pintu.

Siapa tahu, tidak bisa terbuka....

Jadi, seseorang ada di dalam, dan lagi, mengunci pintu !

Wajah Ellen tambah memucat.

Seperti hari ini mengunci pintu, dan menjauhkan diri darinya, sebelumnya tidak pernah terjadi.

Ellen menebak, seseorang kali ini benar-benar marah, dan lagi marah besar!

Dia sekarang mengira dia sedang membohonginya.

Pergi menemui kakek buyut hanyalah kedok, tujuan sebenarnya adalah menemui Bintang.

Berpikir demikian, Ellen tiba-tiba teringat kejadian pada malam hari ulang tahunnya.

Malam itu yaitu dia marah karena mengenalkan Bintang sebagai pacarnya dan menghukum dia dengan kejam, dan juga tidak memikirkan itu pertama kali untuknya, begitu kejam.

Dan masalah hari ini, jangan-jangan akna lebih parah dari hari itu?!

Ellen karena terlalu panik, jadi otaknya berpikir yang tidak-tidak.

Semakin dipikirkan semakin merasa gelisah.

Di saat Ellen merasa ketakutan, Ellen tiba-tiba mendengar suara kunci kamar dibuka.

Ellen menahan napas, matanya memandang ke bawah, melihat pegangan pintu.

Tangannya masih di pintu, jadi bisa dengan jelas merasakan pintu bergerak di telapak tangannya.

Dan tiba-tiba.

Pintu di tarik keras dari dalam.

Karena tangan Ellen di pintu, saat pintu terbuka kedepan, dia otomatis tertarik, seluruh tubuhnya dengan menyedihkan masuk kedalam, membuat dia ketakutan sampai mengeluarkan keringat dingin.

Tidak menunggu dia berdiri stabil, pinggangnya di tarik dari belakang, kedua kakinya kehilangan keseimbangan.

Ellen tiba-tiba membuka mata besarnya, jantungnya seperti di gantung tinggi.

BAMM----

Suara pintu dibanting, seperti sebuah bom meledak dekat telinganya.

Tubuh Ellen hanya bisa menyusut, bahunya yang kurus terangkat, matanya yang besar melihat ke arah pria di atas kepalanya.

Tidak melihat lebih baik, setelah melihat, Ellen menyesal telah datang.

Wajah William gelap, kedua bibirnya menutup membentuk garis tajam, menatap Ellen dengan tatapan dingin seperti es Antartika, kelihatannya sangat beringas, kejam.

Jantung Ellen meringkuk karena ketakutan, “Paman, Paman ketiga, kamu, kamu dengar aku, dengar penjelasanku.”

Tenggorokan Ellen gemetaran menjadi seperti saringan kecil.

Dan William hanya tersenyum dingin kepadanya, lalu menggendong dia berjalan ke ranjang, langsung membuang dia di atas ranjang.

Ellen terlempar seperti melihat bintang, ranjang di bawah tubuhnya sangat lembut, tapi tubuh dia kaku, tidak bisa bergerak.

Sepasang matanya yang jernih memandang ngeri pria yang berdiri di ujung ranjang dan sedang membuka kemejanya, pengalaman sewaktu pesta ulang tahun itu, berputar di otaknya seperti film.

Seluruh tubuh Ellen kedinginan, dahinya mengeluarkan keringat dingin, mulutnya pucat dan dingin, tidak bisa mengucapkan satu kata pun.

William melepaskan kemeja, melepaskan kancing tali pinggang, bergerak ke atas tubuh, satu tangan menekan bahu Ellen, membuat dia terlentang di atas tempat tidur.

Dia seperti harimau ganas menekan di atas tubuh Ellen.

Dan Ellen, saat ini adalah kelinci kasihan yang di tangkap dengan kejam oleh dia.

“Paman, paman ketiga, kamu jangan begini.....” Ellen menangis karena terkejut, dua tangannya bersikeras mendorong William.

Tapi ketika telapak tangannya menyentuh dada dia, sangat keras seperti batu tebal, dan lagi, panas.

“Ellen, apakah kamu tahu aku sangat tidak senang?” William menunduk mencium bibir gemetar dan pucat Ellen, suaranya terdengar kejam, tidak ada suhu hangat.

Tenggorokan Ellen tercekat, kedua tangannya bergerak dari dada dia ke atas, memeluk lehernya, “Paman ketiga, aku, aku bisa menjelaskan,bolehkah kamu menjelaskan penjelasan dulu?”

“Emm, Kamu bicara. Aku mendengar.” William menggigit bibir bawah Ellen, menatap Ellen dengan pandangan dingin dan berapi seperti darah.

Walaupun dia berkata demikian, tapi tangan yang dia letakkan di pinggangnya sudah bergerak turun, mengangkat roknya. Ellen terkejut, satu tangannya sibuk bergerak turun, menahan tangan dia, dengan mata merah memohon kepadanya, “Paman ketiga, jangan....”

“Kenapa jangan?” William dengan gampang menyingkirkan tangan Ellen yang melawan, meletakkan tangannya ke belakang pinggangnya, tiba-tiba dengan kejam, mengoyak lapisan terakhir tubuh bagian bawah Ellen.

“Paman ketiga.”

Ellen bergidik, tubuhnya semakin kaku.

William menatapnya, dahinya menempel padanya, bernapas berat.

Ellen mendengar suara celana dibuka, matanya yang memerah membesar, dengan ketakutan melihat William, memohon, “Paman ketiga, paman ketiga, aku sangat takut......”

“Ellen, rileks sedikit, kamu akan sangat kesakitan.” Suara William terdengar kasar, menatap mata hitam Ellen dengan kegilaan dan seperti haus darah. Dan saat dia berkata begitu, tiba-tiba menekan masuk.

Ellen merasa kesakitan sampai wajahnya mengerut, dahinya penuh dengan keringat dingin.

Dia sangat gugup, sama sekali belum siap, dan juga, terlalu takut.

Jadi di saat situasi seperti ini, dia sangat menderita.

Seperti, ada orang yang mengambil pisau menusuk tulangnya.

Ellen sangat kesakitan sampai tidak bisa mengeluarkan suara.

Tapi walaupun begitu, orang yang di atas tubuh tidak merasa kasihan sedikitpun, malah semakin merajalela.

Seperti, hanya dengan seperti ini, baru bisa membuktikan kedudukan apa.

Ellen seperti mengalami siksaan yang tidak pernah berakhir, dia seperti sebuah boneka, dilempar berulangkan oleh seseorang.

Dan Ellen selain sakit, tidak merasakan apa pun.

Dia tidak tahu hukuman ini akan berlangsung berapa lama, karena sampai akhir, dia sudah tidak bisa merasakan apa-apa.

Setelah itu, Ellen terbangun karena suara aliran air.

Mengangkat kelopak matanya yang berat, rasa capek dan sakit menyerbu badannya, Ellen membuka mulutnya yang bengkak, menghela napas dengan berat.

Mengulurkan tangan meraba kepala bengkak yang sakit, Ellen menggerakkan menyentuh tubuh bawahnya, rasa sakit yang sangat menyakitkan beralih dari kaki ke ujung saraf.

Ellen menutup dengan erat bibir pucatnya, sangat kesakitan sampai mengeluarkan suara rengekan.

Pada saat bersamaan, suara air mengalir berhenti.

Setelah itu, suara membuka pintu dari arah kamar mandi terdengar.

Tubuh Ellen menegang, mata jernihnya memerah, wajah kecilnya tak berdaya melihat ke arah kamar mandi.

Seseorang baru saja selesai mandi, rambut pendek hitamnya menitikan air, tubuh bagian atas telanjang, bagian pinggang di balut dengan handuk putih, dua kaki di bawah handuk yang terikat kuat terbuka.

Dibandingkan dengan dia yang “hampir mati” seseorang bisa menggunakan ungkapan “kuat bagai naga lincah bagai harimau” untuk mencerminkan dirinya, jaraknya jangan terlalu besar.

Ini masih bukan apa-apa.

Pandangan mata dia melihat dirinya sangat dingin, tidak ada rasa bersalah.

Kedua tangan di bawah selimut mengepal kuat, Ellen cemberut, dengan temperamen ini duduk di atas ranjang, mata memerahnya menatap William berkata, “William Dilsen, aku ingin menuntutmu!”

Novel Terkait

Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu