Hanya Kamu Hidupku - Bab 162 Panggil William dan Ellen

Setelah teriakan Vania, suasana di ruang tamu langsung menjadi hening.

Louis menatap ke Hansen, melihat mata Hansen buka lebar, tidak berani marah, orangnya kaku keras.

Rosa berdiri diam di dekat Louis, dengan malu menatap ke Hansen, dimuka dilapisi senyuman dingin.

Vania mengigit bibir, menatap ke Hansen, sehabis berteriak, tiba-tiba merasa ketakutan, jantung berdetak keras.

Di ruang tamu sunyi tanpa suara sedikitpun selama 1 menit.

Tidak tahu alasan apa, tiap orang dilapisi kegelisahan, suara nafas masing-masing tidak kedengaran juga.

Krit-------------------

Terdengar suara buka pintu dilantai atas.

Kelopak mata Vania bergetar, berlari menuju ke lantai atas, dan melihat Gerald keluar dari ruang kerja.

Vania melihat Gerald, dimatanya segera mengalirkan permohonan minta bantuan..

Gerald melihatnya, alis mata berkerut, berdiri di lantai atas melihat ke semua orang di lantai bawah, bibir tertutup rapat, dan tubuhnya berbalik ke arah tangga.

Tong tong suara langkah kaki, disuasana yang sunyi, suara langkah kaki lebih jelas.

Gerald baru tiba diujung tangga.

Terdengar suara keras yang berasal dari lantai bawah.

Langkah Gerald terhenti terkejut, mata menuju ke lantai bawah.

"Yaaaa......"

Vania terlompat ketakutan, menghindari gelas yang dilempar oleh Hansen, dan bersembunyi dibalakang Louis, kedua tangan memegang di bahu Louis ketakutan, badan gemetar melihat Hansen yang sedang marah.

Hansen mengambil gelas lain dengan posisi tertuju ke Vania, muka yang keriput dari warna merah berubah ke ungu, "anak durhaka, aku akan memberikan kamu pelajaran, mengajar kamu apa yang boleh dibicarakan dan yang tidak boleh dibicarakan."

"Papa, papa. jangan emosi, Vania masih muda, tidak mengerti, jangan pedulikan dia. "Louis takut Hansen melemparkan gelas yang ditangannya ke Vania, segera berdiri di depan Vania, dengan kedua tangan terbuka, dengan cemas berkata.

"Kamu beri jalan! dia dimanjakan kalian hingga tidak tahu diri! sekarang kata-kata yang kasar ini pun dikatakannya, lain kali apa yang tidak berani dia perbuatkan? Louis, kamu berdiri di tepi, kalau tidak aku akan memberi pelajaran kepada kamu juga! Hansen menatap marah dengan Vania, dengan berkata marah.

"Papa, Kamu kenapa? bisakah kita bicara baik-baik? lihat Vania ketakutan separti apa?"

Gerald melihatnya, dengan muka marah, berjalan cepat dari lantai atas, menuju ke sisi Louis dan Vania, suami istri melindungi Vania dengan menyembunyikan Vania dibelakang mereka.

Gerald melihat Hansen dengan tidak puas, "Papa, aku tidak ada permintaan lain dari kamu, aku hanya ingin kamu mengeluarkan setengah kesabaran dan kasih sayang yang kamu berikan ke Ellen kepada Vania, itu sudah cukup. Kamu tidak menyukai dan tidak peduli terhadap Vania, aku tidak mengerti, kenapa Vania membuat kamu tidak menyukainya! kamu jangan lupa, Vania adalah cucu kandung kamu!"

"Dia bukan cucu kandungku! Dia adalah............"

"Pa! "

Muka Gerald tiba-tiba berubah, dengan suara keras memutuskan perkataan Hansen.

"......"Hansen memegang erat gelas ditangannya, satu tangan gemetaran, menatap ke Gerald, "Kamu pergi?"

"Pa, kamu mau marah kepada anakmu saja!" Gerald bersikap yang keras.

"Kamu....."

"haa...."

Hansen baru mau mengeluar kata dengan marah, tiba-tiba Vania menangis kuat.

Hansen, "................."

Gerald gelisah, membalikkan badan tertuju Vania, dengan kasih sayang, "Vania...."

"haaaaa....."

Vania menghempaskan tubuhnya ke pelukan Gerald, menagis kuat, "Papa, papa, Hanya kamu yang sayang aku, cuma kamu yang sayang aku....."

Gerald menghela nafas, memeluk Vania, dengan kasih sayang menepuk ke punggung yang gemetar dengan tangisannya, "jangan nangis anak, ada papa, papa tidak akan membiarkan orang lain menganggu kamu."

"haa....papa, haaa..."

Ini adalah pertama kali sikap Hansen terhadap Vania, Vania juga ditakutkan dengan kegalakan Hansen.

Perlindungan terhadap Ellen yang dberikan Hansen, membuat Vania marah dan benci.

Sekali mendengar Gerald membantunya, kesedihannya tak tertahan seperti wabah banjir, membuat dia menangis keras didalam pangkuan Gerald.

Hansen melihat Gerald membela ke Vania tanpa alasan, membuatnya marah sampai sakit kepala, muka menghijau.

Dia Hansen, kenapa bisa melahirkan anak yang keras kepala!

"Papa, kamu memberitahukan kakek, kamu memberitahukan kakek, aku tidak berbohong, kamu memberitahukan kakek, wuwu...." Vania dengan banyak keluhan, menarik lengan baju Gerald dan berkata.

Gerald heran, melihat muka Vania yang penuh dengan airmata, "Vania, memberitahukan apa kepada kakek?"

"Ellen, apakah orang yang disukai Ellen adalah kakak ketiga? aku memberitahu kakek! aku tidak bisa tahan lagi, aku tidak bisa bertahan lagi! kenapa aku harus disalahkan? Papa, kamu memberitahukan kakek, kamu cepat memberitahukan kakek....."

Vania menarik lengan baju Gerald, dengan menangis berkata.

"Sampai sekarang kamu masih berkata fitnah terhadap Ellen? Vania, kamu....."

"Papa, Vania tidak berbohong! itu adalah kenyataan!” Gerald melihat ke Hansen, dibandingkan dengan emosional Vania, kemarahan Hansen, dan ketakutan Louis, Gerald mengucapkan kata tersebut, dengan suara yang tenang, bisa dikatakan dingin.

Sepertinya dia tidak keberatan dengan perkataan yang diucapkan, kemungkinan bagi Hansen bisa sebagai pukulan dan akibat yang tidak bisa diperkirankan.

Dan sekarang, dia hanya peduli apa yang dirasakan oleh anak perempuannya.

Hansen serasa lemas, menatap ke Gerald, "kamu juga begitu......."

"Ellen yang mengoda William, kemarin, William telah mengakui di depan kami! Kamu tak percaya kami, kamu harusnya percaya William? kalau kamu ragu, kenapa tidak memanggil William kemari, memberitahukan dengan jelas! jangan membuat kamu tanpa alasan memarahi orang yang tak bersalah! "Gerald mengerutkan alis matanya.

"Gerald! kamu....."

Louis melihat Gerald yang memberitahukan semua kenyataan tanpa menghiraukan semuanya, hati takut, dan membuat dia kecewa dan tidak bisa dipercaya.

Yang berdiri didepan adalah ayah kandungnya, apakah dia tidak takut terjadi kecelakaan yang tak terduga dengan perkataan yang menjadi pukulan berat terhadap ayahnya yang sudah tua ini?

Louis dengan menatap ke depan apa yang dimilikinya, suami dan anaknya, dia merasakan sangat aneh, sangat aneh.

Pertama kali dia merasa sayang kepada Vania, disaat ini hilang semuanya.

Gerald melihat reaksi Louis yang tercenggang, dua mata sedikit tertutup, dengan cepat menbawa Vania meninggalkan ruang itu.

Louis melihat bayangan Gerald dan Vania, matanya menjadi merah, seluruh muka gemetaran.

Dia, begitu pergi?!

tong------------------

Tiba-tiba ada suara keras.

Louis terkejut, dan secepatnya mata menuju ke suara itu.

Melihat tubuh Hansen yang berdiri berangsur-angsur jatuh ke sofa, mata melotot, kaki lurus.......

"papa!"

Louis segera berlari kesana, dengan gelisah memeluk tubuh Hansen, "Pa, pa......."

Rosa berdiri dingin di tempat semula, melihat Louis yang ketakutan dan menepuk ke muka Hansen yang mnghijau ungu, mencubit bangian tengah hidung bawah.

Matanya tertuju kepada Jine yang menbawa kotak obat dari luar pintu rumah menuju ke dalam, Rosa menutup mata sedikit, pura-pura seperti baru bangun tidur, menghela napas berlari menuju ke tempat Hansen dan Louis, " Kakek Dilsen....."

Jine mendengar suara kacau dari ruang tamu, muka berubah, dengan langkah cepat berjalan masuk ke ruang tamu.

Ketika dia melihat tubuh Hansen berbaring kaku di sofa, hati terkejut, dengan langkah cepat ke depan, "Tuan besar."

.......

Jine melakukan pertolongan pertama kepada Hansen, supaya tubuh Hansen yang kaku berangsur-angsur lembut, dan pernafasan normal kembali.

Setelah itu, Louis masih khawatir, secepatnya mau mengantar Hansen ke rumah sakit, Hansen menolaknya.

Akhirnya Jine dan Louis memapah Hansen ke kamarnya.

Dikamarnya, Jine melakukan infus kepada Hansen, setelah itu Hansen meminta Jine dan Louis meninggalkan kamarnya.

Sampai jam 4 sore, Hansen belum keluar, Jine dalam waktu itu masuk ke kamar menggantikan infusnya 2 kali.

Louis mendapat kabar dari Jine keadaan Hansen masih terkontrol, dia baru lega, tapi dia menjaga di depan pintu kamar Hansen dan tidak berani meninggalkan tempat itu.

Rosa meninggalkan rumah lama di sore hari.

Gerald dan Vania belum pulang setelah meninggalkan ruang besar dari tadi.

Louis berdiri dilorong jalan lantai kedua, setiap melihat ke pintu kamar Hansen, hatinya sedih tanpa tertahan.

Tak terpikir olehnya, Gerald begitu tega.

Apakah dia sama sekali tidak khawatir ke ayahnya?

Kalau khawatir, kenapa keluar dari tadi, belum ada telepon yang menanyakan keadaan dirumah?

Louis mengosokkan mata dengan kedua tangannya, masalah William dan Ellen, Gerald, Vania, dan Hansen yang berbaring di kamar, membuat dia merasa capek tiada tenaga.

Sore jam 5, Jine masuk ke kamar Hansen untuk melepaskan jarum infus dari tangannya, waktu keluar, memberitahukan Louis, Hansen menyuruhnya masuk kekamar.

Louis terkejut sejenak, mengangguk kepada Jin, dan berjalan menuju kedalam.

Louis masuk ke dalam kamar Hansen, melihat Hansen sudah turun dari tempat tidurnya, duduk di sofa kamar dengan pakaian rapi.

Louis dengan teliti meliha ke muka Hansen, melihat mukanya tidak seperti tadi hijau hitam, tapi kondisinya tidak sesegar sebelumnya.

Louis merasa tidak tega, "Papa."

Hansen naikkan kepala dan melihat ke Louis, "datang duduk sini."

Louis jalan menuju kesana, duduk di sebelah lain sofa, dengan sangat perhatian melihat ke Hansen, "Papa, bagaimana keadaan kamu sekarang?"

"......" Hansen diam sejenak, berkata, "Semalam masuk rumah sakit, karena ketahuan masalah William dan Ellen ya?"

Louis dengan perasana sedih, mengangguk kepala.

Hansen menurunkan kelopak mata, kegagahannya tidak seperti dulu yang perkasa, seperti lemah sekali.

Hansen tiada berkata.

Louis pun tidak tahu mesti berbicara apa.

Dia tahu waktu itu dia terkejut dan marah, Hansen pasti lebih parah darinya.

Ellen yang selalu disayanginya, sekarang dia mengetahui Ellen yang disayang olehnya bagaikan cucu buyut telah menggoda pamannya, Terhadap Hansen, tidak hanya marah dan terkejut, lebih banyak, adalah pukulan besar dan sakit hati.

Berlalu sekian lama.

Hansen berkata, "telepon."

Louis, ".........."

Hansen menaikkan kepalanya, sisi mata tertuju ke Louis, "telepon William dan Ellen, suruh mereka datang."

"......papa. Kamu adalah?"

Hansen melambaikan tangan, tidak ingin berkata lebih, "pergilah."

".....baik, aku pergi telepon."

Hansen menutup mata, tanpa bersuara.

Louis menatap ke Hansen sekilas, berdiri, meninggalkan kamarnya.

Novel Terkait

A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu