Hanya Kamu Hidupku - Bab 163 Paman Ketiga Sekarang Terluka, Sangat Terluka

Ellen mengulang pelajaran seharian, baru keluar, baru mengantar Gu Lihua, orang masih belum sampai ke villa, William yang membawa mobil G-TR sudah berada di depan villa.

Ellen tersentak, melihat William yang duduk didalam mobil.

William tidak turun dari mobil, duduk dibagian sopir, dengan pandangan penuh pikiran menatap ke Ellen.

Mata Ellen sedikiit berkedip, telapak tangan tengah memegang erat, sedikit mengigit bibir, menatap ke William.

"Sini." William berkata.

Hati Ellen berdetak, memegang erat telapak tangan, menuruni tangga berjalan menuju ke William.

Sesampai di pintu mobil sopir, Ellen naikkan kepala melihat ke muka William, mengeluarkan suara yang sedikit gemetaran, "Paman ketiga."

William mengeluarkan satu tangan dari jendela, meraba ke muka Ellen yang bersih seperti telur yang terkupas dari kulitnya, "tadi nenek telepon, minta malam ini kita ke rumah, katanya, itu pesanan kakek buyut."

"....." mata Ellen yang hitam menyusut, disekitar mata terlihat selingkar merah, dengan gelisah menatap ke William.

William melihat lingkaran-lingkaran merah dimatanya, mengerut alis mata, "takut?"

Ellen mengigit kuat bibir bawahnya, menatap ke William tanpa berkata.

Tetapi William merasakan perubahan di mukanya dari telapak tangannya, yang berangsur-angsur berubah dingin.

William menutup mata sedikit, tangan yang satu lagi membuka tali pengaman, waktu mendorong pintu menatap ke Ellen.

Ellen menghelakan nafas, sepasang bulu mata yang panjang bergetar bagaikan disambar hujan deras.

Dia mundur kebelakang beberapa langkah.

William mendorong pintu dan keluar dari mobil, selangkah berjalan menuju ke Ellen, mengulurkan tangan menarik ke pelukannya, memeluknya erat-erat.

Punggung Ellen terasa dingin, menaikkan tangannya memeluk erat ke pinggang William, muka yang dingin pucat menempel di dada William yang lebar penuh kehangatan.

William menatap ke bawah gadis keil dalam pelukannya, jantung bagaikan di lingkarin dengan kawat tipis membuat tak bisa bernafas, dan sakit hati, "Ada Paman Ketiga."

Ellen menutupkan matanya, hatinya tersandung di tenggorokannya, dia....sangat takut!

........

Sejam kemudian, Mobil G-TR melaju ke pintu utama rumah lama.

Ujung mata Ellen kemerahan, sedikit gemetaran melihat ke pintu merah coklat.

Pintu ini dimata Ellen, seperti pintu model zaman kerajaan , pintu itu bukan pintu biasa, tetapi melewati jalan penghakiman, pintu keagungan yang khidmat.

Dia tidak berani memikirkan, setelah melewati pintu rumah ini, kejadian yang akan terjadi kepadanya, akan mendapatkan penghakiman dan kritikan yang tidak berperasaan semacam apa.

Dan akibat yang harus dihadapinya, akan seberapa sadisnya.

Ellen harus mengakui, dia, sama sekali belum ada persiapan.

"Ellen, pecaya paman ketiga."

Tangan yang diletakkan di kakinya digandeng oleh tangan lelaki yang besar dan hangat.

Dengan suara lelaki yang rendah, yang bermagnet, yang tenang memasuki ke telinganya.

Ellen membuka mulut dan bernafas, mata yang tadi tertuju ke pintu dialihkan ke muka lelaki yang duduk disebelahnya, suara yang keluar dari mulutnya, seperti dilanda angin topan, pecah gemetaran, "Paman ketiga, apakah kita harus berpisah?"

"Tidak akan!” William menatap dengan tegas.

"........ paman ketiga, aku tidak ingin berpisah denganmu."Ellen menatapnya dengan nostagia.

"Tidak akan berpisah! Paman ketiga jamin!” William berkata.

Ellen melihat William dengan mata menyipit, yang terlihat dari kedua matanya adalah ketergantungan dan kasih sayang terhadap William.

Pandangan William mendalam, miringkan tubuh, bibir yang sedikit panas mencium ke bibir Ellen yang pucat, "Aku cinta kamu."

"Paman Ketiga."

Ellen mengangkat kepalanya merangkul erat leher pria ini.

.......

William menggandeng tangan Ellen dan masuk ke aula ruang tamu.

Hansen dengan muka menunduk duduk di tempat utama sofa, disisi kedua diduduki oleh Louis, Gerald dan Vania.

Metode pertempuran, seperti pembukaan konferensi persidangan.

Melihat William dan Ellen masuk, Louis bertiga segera mengerutkan alis mata.

Vania menatap Ellen penuh dengan rasa benci, ingin sekali memotongkan dia.

Ellen memegang erat kedua tangan, telapak tangan berkeringatan, muka pucat seperti dilapasi bedak berlapis-lapis.

Ellen mengetahui hari ini bakal datang, hanya cepat lambatnya.

Tetapi sewaktu menghadapinya, baru mengetahui sendiri begitu lemah.

Karena pada saat ini, dia tidak berani melihat ke Louis semuanya.

William memegang erat tangan Ellen, tubuh tegak, muka masih dingin seperti biasa, dengan pandangan yang dingin menuju ke Louis bertiga, dan akhirnya tatapan tertuju ke Hansen, berkata, "Kakek, Ada yang perlu aku katakan. "diam sejenak, "kita berdua saja!"

Ellen, "......."Menatap dengan bingung kepada William.

William hanya memegang erat tangan dia, tanpa melihat dia, pandangan tertuju kepada Hansen terus.

Louis bertiga mendengarkannya, menyipitkan mata mereka.

Hansen yang tertunduk kepalanya, baru mengangkatkan kepalanya, pandangan tertuju ke William dan Ellen.

Pandangnya belum menuju ke muka mereka, sudah terlihat lebih dulu William memegang erat tangan Ellen.

Aksi ini, kalau di masa lalu, Hansen tidak merasakan ada apa-apa, itu sudah biasa.

Tetapi sekarang, dia merasakan sangat merusak pandangan.

Terdiam.

Hansen berdiri dari tempatnya, mengambil asbak yang dekat gelas melempar ke William.

"William...."

"kakak Ketiga!"

Muka Willam mengetat, tidak bergerak.

Muka Ellen pucat, dengan gelisah mendorong kuat Willam sesuai hati nuraninya.

William tanpa terduga, dorongan dari Ellen membuat dia mundur ke sebelah dua langkah.

"Hm......"

Akhirnya.

Asbak yang dilempar Hansen tidak kena William, malahan terlempar kena Ellen.

Hansen yang lagi marah, betapa kuat tenaga yang dikeluarkan.

Tapi dia tidak sejahat melempar asbak ke posisi muka atau kepala William, hanya tertuju ke arah dada William.

Ellen mau melindunginya, mendorong William pergi, karena perbedaan ketinggian badan.

Asbak yang dilempar Hansen kena ke kepala Ellen.

Diwaktu itu darah mulai mengalir.

Ellen menutup luka kepalanya, muka menjadi putih pucat.

Kepalanya mulai berangsur-angsur pusing, darah segar mengalir dari kepala, dari kepala ke kelopak mata.

Ellen tidak tahu karena pusing atau karena darah mengallir ke kelopak mata.

Hanya merasakan kelopak mata sangat berat, pandangan mata mulai kabur, seluruh badan berputar.

"Ellen!"

William terkejut, sebelum Ellen jatuh, dia langsung mengendongnya.

Ellen bersandar ditubuh William, mengerutkan alis, dengan nafas yang lemah, satu tangan memegang erat ke lengan bajunya, dengan kesadaran yang masih ada menatap ke William, walaupun dia, sekarang mulai tidak bisa melihat jelas muka lelaki ini.

"Ellen, Ellen....."

William melihat ke darah yang mengalir dikepala Ellen, tanpa terkontrol kedua tangan yang memeluk Ellen bergemetaran terus.

"Ellen."

Louis juga terkejut, tanpa terkontrol dia berdiri dari sofanya, menatap ke Ellen yang bersandar dibadan William.

"Cepat, cepat, antar, antar ke rumah sakit! cepat antar ke rumah sakit!"

Hansen mulai tenang dari kondisi terkejut, meneriak kuat, sehabis teriak, mata air menetes deras dari matanya.

William mengeluarkan tenaga, mengendong Ellen menuju keluar.

Muka Hansen tersentak kuat, dengan gemetaran mengikutinya, tapi karena kakinya kaku dan mati rasa, berjalan beberapa langkah, sekujur badan jatuh ke lantai.

"Papa!"

.......

Rumah sakit Yihe, Ellen dan Hansen diatur dengan dua kamar VIP yang bersebelahan.

Kepala Ellen telah dibersihkan dan dibalut dengan obat, menurut penjelasan dari Ellen mengenai gejalanya, dokter menilai Ellen ada sedikit gegar otak, mesti diselidiki lebih teliti, kalau besok pagi tidak ada keanehan, bisa istirahat di rumah.

Tidak tahu karena luka di kepalanya atau obat yang diberikan dokter ada pengaruh hipnotisnya, kelopak mata Ellen terasa berat, tidak bisa dibuka, kepala serasa ada tarikan yang membuat dia sedikit sakit.

Gerald Louis bertiga di kamar Hansen, dikamar Ellen hanya William.

William berdiri disisi tempat tidur, melihat Ellen dengan muka yang pucat,alis mata yang berkerut, bibir yang kering berbaring di tempat tidur. Jantung William seperti ratusan ribu semut lagi mengigit, kesakitan terus.

Gadis bodoh ini, Dia tidak tahu harus berbuat apa!

William menutupkan matanya sekilas, duduk di sisi tempat tidur, menggulurkan tangan memegang ke tangan kecil yang disuntik jarum, menatap kepada Ellen, "bodoh!"

Ellen hanya bisa dengan terpaksa membuka kedua mata dengan celah yang kecil, dari celah dia bisa melihat muka William, tapi tidak terlalu jelas.

Terlihat bibr Ellen yang kering bergerak sekilas, William mengerutkan alis mata, bertunduk, "Kamu mau bicara apa?"

"Kakek buyut...."

Badan William bergetar dikit, dengan heran melihat ke Ellen.

"aku mau, pergi lihat, kakek buyut.........."

Ellen mengangkat tangannya dengan susah, menarik lengan baju William.

William melihat kristal yang mengalir dari mata Ellen, tiba-tiba emosi, mukanya yang ganteng merah, urat hijau terlihat di kedua sisi mata, menggertakan gigi dan berteriak kecil, "sudah waktu begini, kamu masih peduli orang lain?"

Air mata Ellen mengalir lebih deras, dengan sedih menatap ke William, berbicara perkata-kata dengan suara serak, "kakek buyut bukan orang lain......"

Leher bawah William menyipit, "tidak boleh pergi! istirahat!"

"Paman ketiga....." Ellen mengerakkan mulutnya, tiba-tiba sedih dan meneteskan air mata, dari tenggorokan keluar suara sedih gemetaran.

William memegang mukanya dengan kasih sayang, "Ellen, kamu baik-baik saja, tutup mata istirahat, em?"

"Paman ketiga." Ellen mencubit tangan William dari sisi lengan bajunya, karena dengan tenaga kuat, punggung tangan dan tangan dia sendiri kelihatan menjadi merah.

William menundukkan kepalanya, keningnya berdekatan dengan Ellen, "kamu khawatir kakek, kamu tidak peduli paman ketiga? hm? paman ketiga sekarang terluka juga, sangat terluka apakah kamu mengetahuinya?"

"Paman ketiga, mohon maaf......." Ellen menangis sampai ingusan.

Mata William merah, "Lain kali jangan bodoh lagi, tahu nggak?"

Ellen tersedak, "Aku, aku tidak bisa, melihat kakek buyut, kakek buyut melempar kamu, tanpa melakukan yang lain, Paman ketiga, aku, aku ingin melindungi kamu......mohon maaf, mohon maaf Paman ketiga, aku, aku membuat kamu terluka, mohon maaf Paman ketiga, uh........"

William memegang kuat muka kecil Ellen yang gemetaran, merasakan di celah tulang sakit tertusuk, tenggorokan sakit, William merasakan dia juga memiliki sakit yang tak terungkapkan.

Lebih baik, dia tidak berusaha menyatakan sesuatu, tetapi semua bebannya lewat bibir tipis, dengan keras mencium ke bibir Ellen.

Novel Terkait

Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu