Hanya Kamu Hidupku - Bab 267 William, Aku Benci Padamu

Ellen dengan benci menggenggam dan menggigit, ingin rasanya meledakkan bumi ini. Bagaimana!!

William keluar dari kamar Ellen, begitu keluar ia langsung melihat Dorvo berdiri tegap didalam koridor, menatapnya dengan pandangan mata yang berat.

William mengerutkan alis matanya, tidak pergi kearahnya, berjalan hingga depan pagar dan berhenti disana, mengeluarkan rokok dan korek api dari dalam kantongnya kemudian menyulut sebatang rokok dan menggantungnya diujung mulut.

Dorvo memandang William sebentar, kemudian saat mengalihkan pandangan matanya, ujung bibirnya sedikit bergerak.

Kedua pria ini berdiri begitu saja dikedua ujung, tidak ada satu dari mereka yang berusaha untuk mendekati yang lain.

……

Pukul 4 dini hari.

Terdengar suara mesin mobil dari arah luar vila.

William berdiri dari sofa diruang tamu, menyipitkan mata untuk melihat pintu gerbang vila.

Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah berat dua orang dari luar yang masuk kedalam.

Ya, Samir dan Frans.

Keduanya berjalan masuk kedalam ruangan dan melihat William, kemudian menggerakkan alisnya memberi tanda.

Berpikir akan meninggalkan tempat ini dengan segera, keduanya tidak mengganti sepatu dan masuk kedalam.

Disaat yang bersamaan, terdengar suara 2 pintu terbuka yang berasal dari lantai atas.

William dan mereka berdua melihat kearah atas, melihat Dorvo dan …… Nurima keluar dari kamar masing-masing, mata mereka bertiga berpindah perlahan dan saling menatap satu-sama lain, kemudain mereka berjalan kelantai atas.

Berjalan menuju lantai 2, William perlahan berhenti kemudian menghadap kearah Nurima dan membungkuk, lagi-lagi sebuah salam hormat yang bersungguh-sungguh.

Mata Nurima sedikit bergetar, air matanya mengalir dengan deras, perlahan menjulurkan tangannya melambai kepada William.

William menutup mulutnya rapat-rapat, kemudian melihat sekilas kearah Frans dan Samir.

Frans dan Samir menganggukkan kepala, dengan langkah besar menuju kamar anak-anak.

William menatap mata Dorvo, kemudian dengan langkah besar berjalan menuju kamar Ellen.

Tidak sampai 5 menit.

Frans dan Samir sambil memeluk Tino dan Nino yang dibungkus dengan selimut keluar dari kamar anak-anak.

Air mata Nurima menglir dengan lebih deras, tangannya menggenggam erat-erat, memaksakan diri untuk tetap dapat berdiri ditempatnya.

Frans dan Samir melihat wajah Nurima yang penuh dengan air mata, dalam hati mereka sedikit tidak tega dengannya, dengan mengangguk-anggukkan kepala kepada Nurima, kemudian dengan bergegas berjalan keluar sambil memeluk Tino dan 时, berjalan lurus keluar dari vila.

“Huu huu……”

Nurima berjalan hingga depan pagar, mengulurkan tangannya dan memegang pagar erat-erat, dengan bersedih menatap kearah pintu pagar vila.

Ekspresi wajah Dorvo terlihat berat dan sangat tegang, ia meletakkan kedua tangannya yang mengepal erat kedalam kantong.

Disaat ini.

Langkah berat terdengar kembali dari sisi satunya dari koridor itu.

Tubuh Nurima terlihat terkejut, diujung matanya terdapat air mata dan perlahan ia menoleh kearah suara.

William menggendong Ellen keluar dari kamar, saat melihat Dorvo dan Nurima, matanya yang hitam dan sorotan mata yang dalamnya itu memicing, tanpa keraguan, ia berjalan turun sambil menggendong Ellen.

“ Agnes ……”

Nurima dengan suara serak menangis, maju dua langkah untuk berusaha mengejarnya, mengulurkan tangannya seakan-akan berusaha untuk menangkap sesuatu.

“Nenek.”

Dengan selangkah Dorvo langsung berada disamping Nurima kemudian mengulurkan lengannya dan mendekap Nurima kedalam pelukannya.

Nurima dengan hati yang hancur bersandar kedalam pelukan Dorvo, Huu huu, “Nenek tidak bisa merelakan Agnes, tidak relaaa.”

Mata Dorvo terasa panas, memeluk erat Nurima, mengalihkan pandangannya kearahnya yang berhenti diruang tamu, melihat William dilantai bawah yang memeluk Ellen, dagunya mengeras, “Jangan lupa dengan apa yang kau janjikan kepadaku! Jika kamu tidak dapat melakukannya, aku akan membawanya jauh-jauh darimu dengan segala cara!”

Tatapan mata William menyipit tajam, “Aku tidak akan memberimu kesempatan itu!”

Akhir pembicaraan, William menggendong Ellen dan dengan langkah lebarnya berjalan keluar dari vila.

“ Agnes ……”

Nurima tiba-tiba mendorong Dorvo dan berlari kearah bawah.

Dorvo menarik nafas dan dengan beberapa langkah besar maju kedepan dan memeluk Nurima, “Nenek, jangan seperti ini.”

“Aku hanya, hanya ingin mengantarkannya, mengantarkannya……”

Sambil air mata Nurima mengalir, ia melihat Dorvo dan dengan sedih memohon.

Dorvo menahan rasa sakit didalam hati, “mengantar dan tidak mengantarkannya apakah ada perbedaan, adik pada akhirnyapun akan pergi meninggalkan kita. Jika mengantarkannya, malah akan membuatmu tidak bisa merelakannya, semakin bersedih hati.”

“Kamu memang kejam!” Nurima menamparnya, kemudian menutup wajahnya dan menangis.

Dorvo menutup matanya, memeluk erat Nurima, kerongkongannya yang dingin menambahkan rasa serak dalm suaranya, “Nenek, kamu masih ada aku.”

“Kamu mana bisa dibandingkan dengan Agnes ? Agnes bisa membuatku bahagia, menemaniku berbincang-bincang. Sedangkan kamu? Sekarang Agnes sudah pergi, kamu kemungkinan juga akan kembali seperti dulu lagi, setengah bulan sekali baru sesekali pulang melihat orang tua ini! Aku memiliki cucu sepertimu dengan tidak memiliki cucu, apa bedanya!”

Setelah kata-kata Nurima ini selesai, terdengar suara mesin mobil dinyalakan yang berasal dari luar vila.

Merasakan tubuh Nurima yang mulai bergetar, Dorvo munutup mulutnya erat dan semakin erat memeluk Nurima, kemudian berkata, “Aku berjanji padamu, aku akan berusaha untuk lebih sering lagi pulang, hingga dapat membuatmu mengerti bahwa kamu masih memiliki cucu ini, apa bedanya ada dan tidak adanya aku, cucumu ini.”

Nurima mempertajam pendengerannya untuk mendengar pergerakan suara dari luar, sampai ia tidak lagi mendengar suara apapun, sambil bersandar didepa tubuh Dorvo menangis Woo woo, “Juga tidak tahu dalam masa kehidupanku ini masih bisa atau tidak bertemu dengannya lagi…… kamu bilang padaku, bagaimana kamu bisa setega itu, biarkan aku keluar untuk mengantarnya saja, dengan begitu aku masih bisa melihat Agnes lebih lama lagi. Sekarang ia sudah pergi, dikemudian hari jika ingin melihatnya sebentar saja sudah susah! Semua salahmu, semua salahmu!”

Dorvo menepuk-nepuk ringan punggung Nurima, mata gelapnya menatap pintu gerbang vila dengan tatapan berat, perlahan berkata, “Jika nenek mengantarkannya pergi, pasti tidak akan merelekannya membawa pergi adik”

“Huuu huuuu……”

Nurima memegang erat hatinya sendiri, ia merasa hatinya benar-benar kosong, kekosongan yang menyakitkan!

Orang yang sudah bersama untuk waktu yang panjang, seketika seluruhnya pergi. Di dalam vila yang besar ini, bagi Nurima saat ini tidak ada bedanya dengan gua es.

Yang paling penting adalah.

Nurima benar-benar takut, kali ini Ellen pergi, ia selanjutnya benar-benar tidak dapat menemuinya lagi.

……

Di teras atap Hotel Junli, meskipun Frans dan Samir sudah membungkus erat-erat kedua bocah itu, tetapi begitu naik ke atap itu, angin besar disekitar helicopter yang berhembus kencang itu membangunkan kedua bocah itu.

Frans menundukkan kepalanya melihat bocah yang berada dalam pelukannya, sepasang mata hitam yang berkilau terang sedang menatapnya dengan pandangan polos, Ni...no?

Bibirnya yang tipis terlihat bergerak naik sedikit, menarik selimut dan penutup kepala untuk menutupi bocah itu, dengan langkah besar berjalan menuju helikopter.

Sumi membungkukkan badannya sambil berdiri dipintu, melihat Frans dan Samir berjalan masuk, sambil menyipitkan mata melihat William yang baru saja memasuki atap.

William melangkah dengan cepat kearah kemari.

Dilihat dari posisi Sumi, William dikira seperti memeluk sebuah selimut kapas yang sangat tebal.

Sumi baru mendengar suara Huu huu yang keluar dari dalam selimut.

Sumi tertawa, kemudian menutup pintu pesawat dan langsung memberitahukan sang pilot untuk siap terbang.

Sebenarnya.

Saat berjalan menuju atap, Ellen juga terbangun karena angin itu, William mungkin karena melakukan kesalahan dalam pemilihan terakhir, tidak menunggu Ellen membuka matanya, langsung mengambil selimut untuk menggendong dan membungkusnya.

……

Helikopter sudah terbang selama kurang lebih 30 menit dari kota kota Rong.

Didalam helicopter itu terdapat dua kabin, kabin dalam dan kabin luar.

Sumi dan yang lainnya duduk dikabin luar, Nino dan Tino berbungkuskan dengan selimut itu duduk diatas kasur kecil dengan tatapan kosong, menatap sepasang mata mendelik, yang berada di kabin dalam, yang terpisah hanya dengan sebuah pintu.

“William, kamu benar-benar tidak masuk akal!”

Suara Ellen yang penuh dengan emosi hingga hampir menangis menembus pintu, terdengar hingga keluar.

Sumi menaikkan sebelah alisnya, melihat Tino dan Nino.

Baiklah.

Kedua bocah ini menajamkan telinga mereka, tertarik untuk mendengarkan.

Kabin dalam.

Begini, tidak peduli bagaimanapun Ellen berusaha, ia tidak akan dapat melepaskan dirinya.

“Bagaimana bisa kamu membawaku pergi tanp berkata-kata terlebih dahulu? Bahkan diskusi terlebih dahulupun tidak ada! Kamu benar-benar tidak menghargai orang!”

Sekujur tubuh Ellen bergetar, ia benar-benar emosi!

Ia pun merasa malam ini Nurima dan Dorvo agak sedikit aneh.

Tetapi ia menyangka-nyangka pun tidak menyangka ada orang yang tidak semasuk akal hingga seperti ini, sedikit kata-katapun tidak diucapkannya, langsung membawanya pergi!

William memandang wajah kecil Ellen yang merah karena emosi, dengan santai berkata, “Jika aku berunding denganmu terlebih dahulu, akankah kamu akan setuju untuk ikut denganku?”

“Ini adalah dua hal yang berbeda!”

Ellen mengomelinya, “Meskipun saat ini aku tidak pergi denganmu, apakah itu bisa membuatmu begitu saja memutuskan untuk tidak memikirkan keinginanku dan memaksaku untuk pergi?

William dengan santai mengerutkan alisnya, “Kakakmu dan nenekmu keduanya sudah setuju untuk aku membawamu pergi!”

“Mereka setuju untuk membawaku pergi, itu karena takut aku menerima luka……”

“Rupanya kamu tahu.”

“……” kedua mata Ellen benar-benar memerah, dengan tatapan terluka memandang William, “Benar, aku tahu. Justru karena tahu, aku seharusnya tidak bisa pergi. Saat iniyang menerima siksaan dan tindasan di kota Rong adalah kakak kandungku dan nenek kandungku, aku membuang mereka untuk pergi, apakah aku masih manusia? Apakah aku ini!”

“Kalau begitu, apa yang bisa kamu lakukan jika kamu tetap berada di kota Rong ? William selalu berbicara secara langsung, menusuk jantung!

Hati Ellen terasa sesak, dengan sakit hati menatap kepada William, dengan pelan berkata, “Aku tidak dapat melakukan apa-apa, tetapi aku bisa selalu menemani mereka! Meskipun berada dalam kondisi cemas, aku juga rela.”

“Bagaimana dengan Tino dan Nino ? Kamu juga ingin mereka ikut denganmu selalu berada dalam kondisi kecemasan, mereka baru umur berapa!” kata William dengan nada tegas.

“Kamu bisa membawa Tino dan Nino pulang terlebih dahulu kemudian aku tinggal disana, apakah tidak bisa?”

Ellen dibuatnya berteriak, lehernya yang kecilpun memerah, “Aku benci padamu William! Jelas-jelas kamu yang berbuat salah, kamu masih saja begitu percaya diri!”

“Kamu……”

“Aku tidak ingin mendengarmu bicara lagi! Aku saat ini tidak mau melihatmu!” Ellen seperti seekor monster kecil yang dibuat marah, melotot kepada William sambil berteriak.

William menarik nafas dalam-dalam, terdiam menatap mata hitam Ellen yang semakin gelap, “Aku bisa membawa Tino dan Nino kembali ke kota kota Tong, kamu tidak tenang meninggalkan nenek dan kakak sepupumu, tidak dapat meninggalkan keluarga Nie. Tetapi kamu bisa merelakan aku, merelakan Tino dan Nino !”

“Kamu masih saja berdalih!”

Hati Ellen sangat sakit dan sesak, seperti disumbat dengan sebuah batu yang besar, kata-kata William malah bagaikan menambahkan batu-batu diatas batu besar itu, memicunya!

Bagaimana bisa dia menahannya!?

Ellen sangat sedih, sakit hati, merasa bersalah, dan menyalahkan diri sendiri.

Berbagai macam perasaan terjerat satu sama lain, benar-benar membuat orang runtuh.

Ellen memukul kepalanya, air mata Mutiara menetes deras kebawah, “Jelas-jelas kamu tahu arti dirimu bagiku, juga arti Tino dan Nino bagiku, kamu masih sengaja berkata seperti itu…… William, mentang-mentang kamu lebih tua daripadaku, mentang-mentang aku menyukaimu, kamu langsung mem-bullyku! Tunggu satu hari, aku……”

“Satu hari kamu apa?”

Wajah William terlihat marah, otot disamping dikedua sisi dahinya pun seketika terlihat jelas hingga dibagian kulit wajahnya.

Ellen menutup matanya, air mata mengalir turun terjatuh dari bulu matanya yang hitam dan panjang.

Disaat ini, terhadap William, dia benar-benar…… kecewa!

Tetapi lebih-lebih adalah, sedih!

Ellen tahu, mereka saat ini sedang berada dalam perjalanan kembali ke kota Tong, semakin jauh dari kota kota Rong, William tidak mungkin mengirimkannya kembali kesana.

Ellen menahan tenggorokannya hingga bergetar, dengan suara serak berkata, “Kamu keluarlah saja, aku ingin seorang diri berdiam diri.”

“El……”

“Anggaplah aku memohon padaku ok?” dengan suara pelan Ellen menyelesaikan kalimat ini, air matanya seketika mengalir dengan lebih deras lagi.

“……”

Novel Terkait

Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
4 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu