Hanya Kamu Hidupku - Bab 57 Bisakah Kamu Menerimaku Semalam?

Darmi, “……….” Shock! Tuan muda, nyaliku itu kecil loh, jangan menakutiku!

Ellen tidur sampai hampir 3 jam, ketika bangun dia melihat Darmi berdiri disamping ranjang sambil tersenyum.-senyum

Ellen bingung, ia bangun dan duduk di atas ranjang perlahan, lalu menatap Darmi dengan perasaan aneh.

“Nona, anda pasti sudah lapar kan? Tuan muda sudah berpesan padaku untuk memasakkan bubur sarang burung wallet untukmu, beliau memintaku untuk menunggu sampai anda bangun lalu membawakannya untuk anda makan.”

Darmi berkata sambil membawa satu nampan berisi bubur sarang wallet, mengambil sendok dan mengaduknya perlahan, lalu mengambil satu sendok dan menyuapi Ellen, “Diseluruh Keluarga Dilsen, tuan muda paling baik padamu. Lihat, ia memperhatikan semuanya dengan begitu teliti.”

Ellen, “……”

Begitu dia bangun, dia langsung membicarakan semua kebaikan William dihadapannya, apakah ini baik?

Yang paling tidak ingin ia dengar sekarang adalah nama itu ya!

Ellen memiringkan bibirnya, lalu menatap sendok berisi bubur yang disuapkan oleh Darmi, lalu berkata lirih, “Kamu bilang ini Paman Ketiga yang menyuruh memasaknya untukku?”

“Tentu saja bukan. Tadinya tuan muda ingin memasaknya sendiri, tapi karena ada telfon mendadak, mau tidak mau dia harus pergi, sehingga ia menyuruhku untuk memasaknya. Nona, jujur saja, tuan muda sungguh sangat baik padamu.” Darmi berkata.

“…..” Ellen tersenyum, lalu menatap Darmi dengan aneh, “Bibi Darmi, jujur saja, apakah paman Ketiga ada memberikanmu keuntungan? Kalau tidak untuk apa kamu terus bicara yang baik tentangnya?”

Ini………

Ada ekspresi kikuk diwajah Darmi, lalu tersenyum dengan cerah, “Lihat apa yang anda katakan. Apakah anda merasa tuan muda kurang baik pada anda?”

Ellen memiringkan bibirnya, lalu menjawab, “Dia apanya yang baik padaku, sedikit pun tidak baik.”

Darmi melihat wajah Ellen yang terlihat begitub kesal, hanya bisa menahan ucapannya, “Cepatlah makan Nona.”

Ellen memang sudah lapar, awalnya dia sudah menerima semua siksaan itu, dan sekarang dia tidak ingin menyiksa dirinya sendiri lagi.

Sehingga dia membuka mulutnya, membiarkan Darmi menyuapinya bubur.

Satu suap bubur dia telan, cacing di dalam usus Ellen langsung terpancing keluar, ia merasa Darmi terlalu lambat menyuapinya, sehingga langsung mengambil bubur ditangannya, lalu makan dengan lahap.

Darmi melihatnya sambil tersenyum, “Pelan-pelan, masih ada.”

“…….” Ellen melirik Darmi, ekspresinya malu juga angkuh, “Bibi Darmi, dirumah ini, kamu satu tim denganku. Kamu tidak boleh langsung memihak Paman Ketiga hanya karena dia memberikanmu sedikit keuntungan.”

Darmi hanya tertawa tanpa berkata.

Siapa suruh tangan orang yang menerima selalu lebih pendek.

Setelah menghabiskan satu mengkuk bubur, Ellen mengelus perutnya, lalu melihat Darmi dengan wajah bingung, “Tadi kamu bilang paman Ketiga keluar?”

“Hm.” Darmi mengangguk, bertanya padanya, “Masih mau makan?”

“Mau.”

Ellen berkata dengan yakin.

Darmi tersenyum, “Saya turun untuk ambilkan lagi, tunggu sebentar.”

Ellen berpikir, “Aku ikut turun denganmu.”

Darmi menatapnya sambil tersenyum, “Ok.”

Wajah Ellen memerah, ia menyibak salimut diatasnya, lalu turun dengan Darmi tanpa mengenakan sandal.

“Nona, sepatu.” Darmi segera membungkuk dan mengambilkan sandal untuk diletakkan disamping kakinya, lalu menatapnya dengan wajah tidak berdaya.

Ellen hanya menjulurkan lidah lalu mengenakan sandalnya.

……

Turun kebawah, Ellen makan dua mangkuk bubur lagi baru bisa memuaskan semua cacing dalam perutnya.

Ia mengelus perutnya sambil duduk disofa, bola mata Ellen yang begitu jernih melihat ke sekeliling villa.

Setelah melihat kesekeliling, tiba-tiba matanya terhenti di satu titik, ada rasa suram yang terlihat dibalik matanya.

Darmi membawa anggur yang sudah dicuci bersih dari dalam dapur, melihat bulu mata Ellen yang panjang menunduk, ada ekspresi kesepian dan murung yang menghiasi wajahnya yang belia.

Jantung Darmi terasa berdebar, lalu berjalan kearahnya, lalu meletakkan buah diatas meja dan duduk disampingnya.

Setelah terdiam sesaat, Darmi menatap Ellen dari samping, berkata dengan lembut, “Nona, Bibi Darmi temani jalan-jalan ketaman ya?”

Ellen menggeleng, bangkit berdiri lalu berjalan ke lantai atas.

Darmi bingung sambil melihat Ellen, “Nona, makan sedikit buah ya?”

Ellen tidak menjawab.

Darmi melihat Ellen naik keatas, lalu berjalan masuk ke dalam kamar, dalam hatinya ada helaan yang melesat tanpa suara.

……

Ketika hampir jam 6 sore, William kembali ke villa dengan aura yang begitu dingin.

Ia melepas sarung tangan kulit untuk diberikan pada Darmi dan juga membuka mantel bulunya, lalu bertanya, “Dimana Ellen?”

“Nona dikamar.” Darmi berkata.

William melihat kearah lantai atas, memberikan mantel bulunya pada Darmi lalu melangkah kelantai atas.

William tentu tidak akan mengira Ellen akan berada dikamarnya dengan menurut, jadi setelah naik, ia langsung berjalan ke depan pintu kamar Ellen.

Jarinya yang panjang menggenggam pegangan pintu dan memutarnya, namun ketika ia membuka pintu, William tiba-tiba terkejut.

Mata William yang dingin bergerak pelan, lalu melepaskan pegangan pintu, mengangkat tangan untuk mengetuk pintu.

Tokk… tokk…

Setelah mengetuk pintu, William menunggu sebentar, tidak ada pergerakan didalam kamar.

William mengetatkan bibir tipisnya, tidak mengetuk pintu lagi, ia menjulurkan tangan untuk memegang pegangan pintu dan membukanya lagi.

Pintu kamar terbuka.

Yang pertama dilihat William adalah ranjang kecil berwarna pink, angina bertiup pelan dari pintu, membuat kelambu pink diatas ranjang tertiup, namun tidak ada bayangan gadis itu diatas ranjang.

Mata William yang dingin menyapu sekeliling kamar sekali lagi, namun tetap tidak menemukan Ellen.

Tangan William yang menggenggam pegangan pintu perlahan mengencang, lalu tiba-tiba melepaskannya.

Lalu langsung berjalan kedepan kamarnya sendiri, membuka pintu kamar, matanya yang dingin menyapu seisi kamar, namun tetap tidak melihat bayangan Ellen.

Ekspresi wajah William langsung menjadi begitu tegas, menutup pintu dengan keras lalu berbalik dan berjalan turun kebawah.

Darmi baru saja menggantung mantelnya diatas rak pakaian, ia sudah mendengar suara langkah yang begitu berat dari lantai atas mendekatinya.

Hatinya menjadi tegang, lalu menoleh dengan heran.

Ketika melihat ekspresi dingin bagai singa yang sedang mengamuk turun dari atas, sekujur tubuh Darmi mulai gemetar.

“Dia tidak ada!” William menatap Darmi dengan tegas, suaranya begitu dingin.

“……..” Apa!?

Darmi menarik nafas, lalu berlari naik keatas dengan wajah pucat.

Naik keatas, membuka pintu kamar Ellen, berjalan masuk, melihat kesekeliling, namun tetap tidak menemukan Ellen.

Darmi memebatu disana, wajahnya begitu kebingungan.

Bagaimana bisa tidak ada dikamar?

Jeals-jelas begitu dia naik keatas, dia tidak turun lagi.

Dan karena khawatir, dia sama sekali tidak meninggalkan ruang tamu barang selangkah pun.

Jadi, bagaimana mungkin orang sebesar itu bisa menghilang begitu saja?

Dari luar rumah terdengar suara mobil dinyalakan lalau suara ban mobil yang berdecit.

Darmi menarik nafas, lalu berbali melihat kelantai bawah.

Disana, kemana William?

……

Rumah utama Keluarga Dilsen.

Sekarang adalah waktu makan malam di rumah utama.

Jadi, ketika William tiba-tiba mencul di ruang makan secara tiba-tiba, Gerald dan yang lainnya tidak menyangka dia akan datang, sehingga semua hanya menatapnya dengan sumpit yang masih berada ditangan.

Malah Vania yang merespon terlebih dahulu, ia segera meletakkan sumpit dengan senang, lalu bangkit dari tempat duduknya, berjalan kesamping Willam, dan langsung merangkul lengannya, “Kakak ketiga, kenapa kamu tiba-tiba datang? Kamu sudah makan? Kita baru mau makan. Kalau belum makan, makan bersama yuk.”

Alis William mengkerut erat sampai hampir bisa menjepit lalat hingga hancur, menundukkan kepala melihat Vania yang tersenyum begitu lebar, mengetatkan bibir lalu melepaskan tangannya dari lengannya, lalu bertanya pada Hansen, “Dimana Ellen?”

Hansen terkejut, “Ellen? Apakah Ellen datang?”

Hansen berkata sambil melihat kearah Gerald dan Louis.

Gerald dan Louis saling bertatapan lalu menggeleng.

“Ellen tidak datang.” Louis berkata.

“Kakak ketiga, hari ini Ellen tidak datang, aku dirumah sepanjang siang, sama sekali tidak melihatnya datang. Kakak Ketiga, kamu jarang ada waktu untuk pulang, jangan membicarakan orang lain. Makanlah bersama kami.” Vania menatap William sambil berkata dengan suara pelan.

“Apanya yang orang lain? Apakah Ellen orang lain?”

Hansen langsung membanting sumpitnya keatas meja, lalu berdiri dari tempat duduknya dan memelototi Vania.

Vania hanya mengkerutkan bahunya sambil memancungkan bibirnya, tatapannya pada Hansen penuh rasa benci.

Ia merasa tidak senang.

Ellen memang bukan Keluarga Dilsen.

Kalau bukan orang Keluarga Dilsen, apa lagi kalau bukan orang lain?

Apakah dia salah?

huh!

Kakek sama dengan Kakak Ketiga, semuanya pilih kasih pada Ellen!

Hansen sama sekali tidak perduli dengan sikap Vania, ia melihat kearah William dengan tegas, “Ada apa?”

William menatap Hansen sejenak, bibir tipisnya agak mengetat, lalu berkata, “tidak apa.”

Setelah mengatakan ini, William langsung berbalik dan keluar dari ruang makan.

“Kakak ketiiga…..”

“Anak kurang ajar, berhenti kamu, jelaskan dulu!”

Begitu Willam pergi, Vania dan Hansen langsung mengejarnya.

Gerald dan Louis saling bertatapan, mereka terlihat begitu tidak berdaya.

……

Jalan Yuyuang, rumah Kediaman Wilman.

Setelah Pani pulang sekolah langsung ke toko untuk bekerja, baru masuk sebentar sudah menerima telfon dari Ellen, dia mengatakan kalau dia sudah berada didepan rumahnya.

Begitu Pani mendengar suaranya langsung merasa ada yang aneh, dia juga tidak punya suasana hati intuk bekerja, sehingga ia langsung meminta ijin dan naik mobil untuk pulang.

Begitu turun dari taksi, Pani langsung melihat Ellen yang sedang berjongkok didepan rumahnya dengan wajah memelas.

Pani mengkerutkan alis dan menghampirinya dengan setengah berlari.

Begitu mendengar suara derap langkah, Ellen perlahan mengangkat wajahnya yang bersandar di lututnya, dan melihat kearah asal suara.

Ia melihat Pani.

Ellen membenamkan wajahnya di banlik lututnya sambil menghirup hidungnya yang memerah.

Alis Pani mengkerut semakin erat, ia maju dan berdiri diahapannya, lalu menatapnya sampil bertolak pinggang, “Apa maksudnya?”

Ellen tidak bergeming.

Pani menghela nafas, menurunkan tangan lalu kut jongkok, menatap Ellen yang menundukkan kepalanya beberapa menit, lalu mengulurkan tangan mengelus kepalanya, suaranya menjadi lembut, “Kenapa?”

Ellen menggigit bibir bawahnya, berkata dengan suara bindeng, “Pani, aku tidak tahu bisa kemana, bisakah kamu menerimaku semalam?”

“Boleh saja.”

Pani tidak menanyakan apapun, begitu Ellen meminta, tanpa pikir panjang ia langsung menyetujuinya.

Ellen merasa tersentuh sampai ingin sekali menangis, menatapnya dengan mata memerah, “Pani, aku akan mengingat budimu.”

“……..” Pani tersenyum, apakah ini masih Ellen yang ia kenal? Kenapa terlihat seperti seorang anak yang sama sekali tidak memiliki rasa aman!

Pani menghela nafas, mengulurkan tangan untuk mengusap sudut mata Ellen, berdiri, lalu menuntun anak yang konon dikatakan ‘tidak punya tempat bernaung’ untuk masuk ke dalam rumahnya.

Ketika Pani membawa Ellen masuk ke dalam rumah, Sandy Wilman dan Reta Manis sedang tidak berada di ruang tamu, adik tirinya Troy Wilman juga belum pulang, didalam ruang tamu hanya ada Suli Wilman yang berusia 5 tahun sedang menonton kartun.

Pani melirik Suli, lalu langsung membawa Ellen masuk ke dalam kamarnya.

Novel Terkait

Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu